Mungkin...
Vote dulu tukhon.
.
.
.
.
.
Jaki mengendarai sepeda motornya dengan lesu. Pasalnya, setelah Basuki mengatakan kalau mereka akan berangkat masing-masing dengan pacar mereka, dirinya malah berangkat kuliah seorang diri. Ya, Basuki bersama pacarnya. Namun, pacarnya sendiri menolak ajakannya. Sepanjang perjalanan, ia memikirkan nasibnya yang terasa lebih miris. Lebih-lebih saat dirinya masih menjomlo dulu.
Ia masih ingat ketika semalam Pur memutus panggilan mereka terlebih dulu saat Jaki mengatakan kalau mulai besok, mereka akan kembali berangkat bersama. Tak lupa juga ia menjelaskan perihal Basuki. Namun, alih-alih senang, pacarnya itu malah mengatakan kalau Jaki berlebihan.
Banyak kemungkinan yang mengisi kepalanya. Lebih banyak dari jumlah tagihan bapaknya yang tempo hari ta sengaja dilihatnya. Perasaannya juga lebih rumit daripada soal matematika anak kelas dua sekolah dasar. Ia sendiri bingung harus menjabarkannya bagaimana.
Jauh di dalam pikirannya yang sebenarnya dangkal, Jaki berpikir kalau bisa saja pacarnya malu berpacaran dengannya. Atau, menyembunyikan sesuatu darinya? Ia terlalu gengsi untuk bertanya pada Anyu.
Sibuk berpikir, motor yang dikendarainya sudah sampai di parkiran kampus. Bukan tiba-tiba, ya. Memangnya dia pelihara jin?
Baik, kembali lagi pada permasalahan dirinya yang galau dengan penolakan pacarnya semalam. Jaki mengedarkan pandangannya ke seluruh area parkir. Mencoba menemukan sepeda motor yang selalu Anyu bawa. Namun, hasilnya nihil. Mungkin saja, hari ini sahabatnya itu membawa mobil. Tetapi, sayangnya di parkiran mobil pun ia tak menemukan mobil milik Anyu.
"Eh, itu Anyu pake motor? Tapi kok sendiri?" Jaki bermonolog.
"Lho, Nyu. Mana kak Pur?"
"Em, itu, dia,"
Jaki menatap Anyu penuh curiga saat sahabatnya itu tertutup. Belum sempat ia mengeluarkan pertanyaan lagi, pandangannya tertuju pada mobil yang berhenti di depan gedung fakultas. Pasti, ada mahasiswa atau mahasiswi yang diantar. Karena, kalau kendaraan mahasiswa kampusnya, tidak mungkin berhenti di depan gedung. Bisa diderek paksa nanti.
Belum selesai urusan dengan Anyu, perhatiannya kini terpusat pada mobil mewah yang mulai menurunkan kacanya. Jaki tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat orang yang mengendarai kendaraan mewah tersebut.
"Jak, buru ke kelas!" Anyu mencoba menarik lengan Jaki. Namun, ternyata sia-sia saja. Jaki masih fokus melihat lelaki tersebut.
Wajahnya mirip Tor Thanapob, aktor Thailand favorit emaknya yang sering kali terlibat dalam perdebatan bersama bapaknya karena adu pendapat siapa yang lebih ganteng.
Lupakan! Jaki semakin fokus melihat dan memang benar mirip. Meski bukan si aktor sungguhan.
Kali ini, bukan wajah tampan lelaki itu yang menarik perhatiannya. Melainkan, perempuan yang turun dari balik pintu penumpang.
Duarrr!
Kalau dirinya tokoh FTV yang kerap kali emaknya tonton, mungkin saat ini sedang turun hujan lebat dengan dirinya yang bernyanyi kumenangis membayangkan, betapa kejamnya dirimu atas diriku. Namun, sayangnya ini adalah kenyataan, bukan situasi dalam FTV.
"Jak," panggil Anyu lemah.
"Diem! Gue gak mau ngomong sama lo, ya!" tunjuk Jaki pada wajah Anyu sebelum meninggalkan sahabatnya yang masih mematung di tempatnya seperti orang dikutuk menjadi patung.
"Gus, gue titip absen, ya. Hari ini gue mau bolos!" ucap Jaki ketus dan hampir meninggalkan kelas sebelum lengannya ditahan Anyu yang baru saja datang.
"Eh? Tumben banget Jaki bolos?" Bagus yang lama berpikir itu baru mengeluarkan pendapatnya setelah beberapa menit berlalu.
"Lepasin!" Kembali lagi pada Jaki yang lengannya dicekal Anyu.
"Jak, kayaknya lo mesti dengerin penjelasan kakak gue dulu, deh."
"Gak perlu, Nyu. Semalem, dia marah karena gue bilang mau jemput dia. Dah lah! Gue emang cuma mahasiswa baru yang pulang pergi kuliah sama si beruk. Gak pantes sama kakak lo."
Jaki segera berlari setelah mengatakan kenyataan pahit itu. Ia sebenarnya tak tahu ke mana tujuan bolosnya. Yang jelas, ia hanya ingin sendiri. Jaki sadar, jika dirinya sedang kesal, orang-orang yang berada di sekitarnya akan kena imbas juga. Makanya, ia lebih memilih melarikan diri. Tolong ingatkan Jaki kalau dirinya lelaki agar tidak menangis.
Sayangnya, dadanya yang terasa sesak itu tak mampu lagi membendung perasaannya. Kalau saja ia tahu jatuh cinta akan sesakit ini, ia memilih untuk tidak merasakannya sama sekali. Memang, ia pernah berpacaran sekali dulu. Tetapi, bukan karena cinta. Melainkan, karena teman-temannya juga melakukan hal yang sama. Ia hanya ingin terlihat keren saat itu.
Mungkin, kalau saja ia mencintai perempuan sebaya atau dibawahnya, rasanya tidak akan seperti ini. Jaki merasa kecil saat ini. Ingatannya yang biasanya sangat pendek, kini malah mengkhianati takdirnya. Ingatan tentang pacarnya dengan lelaki lain terus berputar di kepalanya.
Bapaknya pernah bilang, kalau resiko jatuh hati adalah patah hati. Tetapi, ini baru beberapa langkah yang Jaki tapaki. Kemudian, kenyataan datang begitu menyakitkan. Sepertinya, setelah ini, mendengarkan podcast atau lagu galau akan menjadi hobi baru Jaki.
Daripada pulang lagi ke rumah dan akan mendapat berbagai pertanyaan dari Cista, Jaki memilih pergi ke SMAnya. Bukan berkunjung baik-baik, ia akan menyelinap diam-diam menuju kantin sekolah lamanya. Tiba-tiba saja ia rindu jajanan masa SMAnya. Mungkin, itu akan mengobati sedikit sesak di dadanya.
Setelah menyantap habis cimol, cilok, cilor dan rekan-rekan aci lainnya, perasaan Jaki lumayan membaik. Ia meneguk es tehnya sampai tandas. Memang, makanan adalah obat terbaik saat patah hati. Terserah teori dadakan Jaki saja.
Ah, pulang tengah hari dengan alasan kelas kosong mungkin tak jadi masalah. Kini, tujuannya adalah pulang dan tidur. Semoga, apa yang terjadi saat ini adalah mimpi.
"Jaki."
Sebuah suara menghentikan Jaki yang hendak menstarter si beruk.
"Kak Pur? Ngapain di sini?"
"Ada juga aku yang tanya. Kamu kenapa bolos?" tanya Pur balik.
"Bosen! Dah, Jaki mau pulang dulu!"
"Aku minta maaf soal semalam. Aku gak maksud matiin telepon."
Jaki diam saja. Menunggu penjelasan lanjutan dari Pur. Namun, perempuan itu diam saja. Seakan, kesalahannya hanya karena semalam marah-marah dan menutup panggilan sepihak.
"Jak," panggilnya.
"Gak apa, Kak. Jaki yang salah kok. Jaki yang aneh bisa suka sama Kak Pur. Padahal, Jaki cuma mahasiswa baru yang belum punya apa-apa. Jaki gak punya mobil mewah, kecuali pinjem punya bapak. Jaki juga gak pake barang-barang mahal. Maaf!"
Kali ini, Jaki benar-benar melajukan si beruk tanpa peduli apapun lagi. Setidaknya, ia sudah mengatakan semuanya.
Ah, untung rumahnya sepi. Pasti, emaknya tengah arisan atau bergosip di rumah tetangga. Jaki langsung masuk ke kamarnya tanpa mendapat pertanyaan.
Kak Pur 🌻 : Jak, maaf soal tadi pagi. Aku keburu mengiyakan permintaan dia buat anter aku ke kampus. Aku kira juga kamu sama Bas.
Jaki hampir melempar ponselnya ke lantai kalau tidak ingat kalau benda pipih itu mahal. Bisa kering tanpa uang jajan ia kalau benda itu rusak.
Dia. Kenapa harus berkata dia. Tidak menyebutkan nama, siapa, alamat, pekerjaan, kode pos? Kenapa hanya dia? Kan, Jaki semakin curiga saja.
Kyaaa. Kemusuhan! Hayo tebak-tebak buah manggis. Siapa cowok itu? Yang jawab aku kasih Jaki (tapi boong)
#SalamKetjupBasyah 😘💦
#authorterjomlosedunia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top