Dan terjadi lagi
Vote dulu hyunk 🤭
Jangan lupa follow IGku : tiapurnamasetiani15 dan tiaps.story yaaaa
.
.
.
.
.
Jaki terpaksa harus kembali ke kampus untuk mengambil sepeda motornya karena kedua kawan bangsulnya menolak untuk berangkat masing-masing. Untung saja, kampusnya masih ramai. Jujur saja, Jaki paling takut jika di parkiran sendiri. Suasananya mencekam. Terdapat satu pohon beringin besar yang tak tahu sudah berapa usianya. Di tambah rumpun bambu yang menambah suasana semakin mencekam saat langit mulai menggelap. Pernah, mahasiswa protes karena seramnya tempat parkir. Namun, pihak kampus berdalih penghijauan. Mahasiswa bisa apa selain pasrah?
Dengan mata yang melirik kanan kiri, Jaki dengan gesit menggunakan helm dan melajukan sepeda motornya dengan cepat. Pokoknya, sebisa mungkin ia harus meninggalkan parkiran sebelum petang. Memang, terlalu berlebihan sih. Padahal, dari parkiran ke luar hanya memerlukan waktu dua menit dan sekarang baru pukul empat lebih dua puluh menit.
Lelaki delapan belas tahun itu mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang sambil bersenandung kecil. Ia mencoba menghibur dirinya sendiri di tengah jalanan yang ramai. Ia ingat, dari kemarin ia ingin boba di depan kafe dekat kompleksnya. Mumpung ingat, ia mampir sebentar untuk menikmati brown sugar boba favoritnya. Kalau dibawa ke rumah, pasti ia hanya kebagian sedotan dan es batunya saja lantaran diminta oleh kakak-kakaknya.
Sambil menunggu bobanya siap, Jaki melirik ke dalam kafe yang berdinding kaca. Melirik orang-orang yang tengah nongkrong sore. Dirinya yang notabene lebih suka bergerak, berpikir pasti akan bosan jika harus berjam-jam duduk seperti itu.
"Kak, sekarang bobanya cerai dari kafe ya?" tanya Jaki absurd pada perempuan yang tengah sibuk meracik boba.
"Kok cerai? Ada-ada aja kamu. Bukan cerai, tapi karena banyak yang antri boba untuk dibawa pulang, jadi kami inisiatif untuk membangun stan di luar kafe khusus untuk yang mau di bawa pulang." Sang penjual menjelaskan.
"Ini tapi kok ada kursi, Kak?"
"Buat nunggu, Dek. Biar gak pegel."
Sang penjual terkekeh pelan karena pertanyaan Jaki yang sangat tak penting itu.
"Saya boleh minum di sini tapi kan? Soalnya kalo dibawa ke rumah, nanti di sikat kakak-kakak saya."
"Iya boleh. Ampun kamu lucu banget sih!" Sang penjual mencubit gemas pipi Jaki.
"Ih kok Jaki baru ngeh Kakak lagi hamil."
"Oh nama kamu Jaki? Iya, dari tadi perut saya gede. Gak saya titipin dulu di dalem kafe kok."
Jawaban sang penjual boba membuat Jaki tergelak. Ternyata, kakak penjual boba ini istri pemilik kafe. Saat Jaki tanya kenapa masih berjualan saat hamil, perempuan itu menjawab karena ngidam. Aneh sekali ngidam mencari uang. Nanti, saat anaknya lahir akan dua singgit dua singgit tidak, ya?
Rasanya cepat sekali bobanya habis. Padahal, Jaki masih seru mengobrol dengan kakak penjual boba. Karena hari semakin petang, Jaki dengan terpaksa buru-buru pulang. Ia tak ingin melewatkan makan malam karena kelelahan dan tertidur nantinya.
Namun, saat Jaki siap tancap gas, ia melihat dua sosok yang sangat dikenalinya baru saja keluar dari kafe. Ia menajamkan penglihatannya memastikan kalau apa yang dilihatnya salah. Sayang, semua yang dilihatnya itu nyata. Jaki melihat Bas, sahabatnya tengah tertawa bersama perempuan yang sudah mencuri hatinya sejak pertemuan pertama mereka. Bisa dilihat kalau kedua orang itu sangat bahagia.
Jadi, ini yang namanya sesak saat melihat orang yang kita cintai bersama orang lain? Terlebih, orang itu sahabat kita sendiri. Sakit di dadanya memang benar terasa. Bukan sekedar perumpamaan semata. Rasanya, Jaki ingin menangis kalau tidak ingat ini tempat umum.
Sakit tapi tidak berdarah. Perih tapi tak nampak lukanya. Mungkin, begitulah yang Jaki rasakan saat ini. Tetapi, jika dipikir-pikir, ia tidak berhak cemburu. Benar, apa yang dikatakan Anyu kalau ia bukan siapa-siapa. Mungkin, Jaki akan mundur saja dari pada persahabatannya dengan Bas harus hancur. Namun, ia masih tak rela melakukan itu. Masih terbersit rasa kecewa di hatinya. Sahabat karibnya sendiri, tempat berbagi keluh kesahnya yang harus membuat perempuan yang dicintainya tertawa lepas.
Memang, sebenarnya salah Jaki juga dulu merahasiakan tentang perasaannya itu. Ia terlalu malu bercerita pada Bas yang mungkin saja akan menertawakannya. Namun, karena rahasianya itu lah, ia harus berada di situasi semacam ini.
Kalau bisa, Jaki ingin sekali melupakan apa yang dilihatnya hari ini. Kali ini, Jaki menutup kaca helmnya sebelum jalan. Ia tidak ingin orang lain melihat wajah menyediakannya sepanjang jalan. Ya, Jaki menangis. Sepeda motor yang dibawanya pun semakin memelan lajunya. Ini terlalu menyakitkan. Walaupun, ini bukan pertama kalinya ia tertarik pada lawan jenis. Namun, kali ini rasanya sangat beda.
Rekaman dua orang yang tengah tertawa tadi terus terputar bak kaset rusak di kepalanya. Sampai tak terasa, ia sudah berada di depan gerbang rumahnya. Biasanya, ia akan berteriak meminta membukakan gerbang pada orang rumah, tapi kali ini ia lebih memilih membuka gerbang sendiri. Ia terlalu lelah untuk berteriak.
"Assalamualaikum, Mak. Jaki pulang."
"Waalaikumsalam. Eh, Jaki kenapa?"
Cista yang menyadari lesunya Jaki langsung menghampiri anak bungsunya itu.
"Jaki capek, Mak." rengek Jaki sebelum memeluk emak tercintanya dengan erat.
"Eh? Capek juga gak biasanya Jaki kayak gini, lho. Mau cerita gak?" tawar Cista.
"Makasih, Mak. Biasa lah, anak muda. Jaki malu ceritanya. Biarin Jaki peluk Emak dulu ya. Jaki capek banget, Mak."
Mendengar penuturan Jaki, Cista tak lagi bertanya dan membiarkan Jaki memeluknya. Ia juga mengusap punggung putra bungsunya lembut. Sebenarnya, tanpa Jaki ceritakan pun, Cista paham kalau masalah yang dihadapi Jaki adalah masalah percintaan.
"Mak, Jaki kayaknya gak bisa berhenti nangis, deh. Jaki malu nanti makan malam, takut diledekin."
Cista terkekeh pelan sebelum menimpali perkataan Jaki. "Nanti, Emak bawain makan malam ke kamar Jaki. Sekarang, Jaki mandi gih terus rebahan aja. Emak paham kok gimana perasaan Jaki."
"Makasih. Emak emang paling the best sedunia maupun akhirat." Jaki mengacungkan kedua jempolnya meski matanya masih berair.
"HEH! EMAK BELUM KE AKHIRAT YA!"
Jaki lumayan terhibur karena Cista dengan mode galaknya. Ia sempat tertawa disela tangisnya sebelum menuju kamar. Ia berjalan sepelan mungkin takut berpapasan dengan salah satu kakaknya.
Setelah mandi, perasaannya memang lumayan membaik. Namun, masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Kalau dikatakan tidak ikhlas, Jaki sadar posisi, tapi jika mengatakan ikhlas, itu juga rasanya terlalu munafik.
Saat pikirannya masih begitu kalut, ponselnya berbunyi menandakan ada pesan masuk. Enggan membuka, Jaki hanya melihat pesan tersebut yang ternyata dari Bas.
Bas aja udah : Jak, nanti senin ketemu kuy! Balik kuliah ya. Nanti Bas share loc.
Jaki mengernyit heran. Rumah mereka dekat, tapi kenapa Bas mengajaknya bertemu setelah pulang kuliah?
Tak ingin ambil pusing, Jaki lebih memilih menonaktifkan ponselnya. Hari ini cukup melelahkan baginya. Bukan fisiknya, tapi hatinya. Ternyata, mencintai seseorang bisa sesakit ini. Apalagi, Jaki yakin tak mungkin sanggup melakukannya dalam waktu dekat ini.
Anak ganteng lagi galau. Ahihi
Anyu sama Bagus gak keluar dulu di bab ini yaw. Selamat membaca kawan-kawan.
#SalamKetjupBasyah 😘💦
#authorterjomlosedunia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top