8) Lompatan Keyakinan (1)
#
"Maaf, wajahku memang begini adanya," Tuan Majja kembali dari dapur membawa nampan berisi teko sedang dan tiga buah cawan mungil.
Pandanganku tidak bisa terlepas dari asap yang mengepul di corong teko itu, juga bau dari isinya yang tengah mengisi ruangan.
"Maaf, anu, karena sudah teriak—"
"Aku tahu kau akan datang. Ajudan Penyihir Agung yang bilang," mata tajam itu melirik ke arahku sejenak, sebelum tatapannya melunak diiringi sudut bibir yang mulai melengkungkan senyum, "Kau salah seorang dari anak-anak yang beruntung."
"Dan soal teriakan, rasanya aku yang salah."
Aku menunduk. Tatapan tajam, dengan luka yang membuat garis melintang itu bukan sesuatu yang paling menyeramkan di dunia, atau setidaknya yang pernah kurasakan. Tetapi nada suaranya memiliki suatu kekuatan tertentu, cukup untuk membuat gentar.
"Tentang satu anak lagi." Kalimat Tuan Majj menggantung. Ia mengalihkan perhatiannya pada teko teh, menuangkan isinya ke salah satu cawan. Semerbak harum semakin terlempar ke hidung.
"Baunya enak, Tuan Majj," kataku sembari menerima satu cawan yang telah diisikan.
"Ini resep istriku," katanya sambil terkekeh, "yeah, memang baunya enak, tapi kalau soal rasa jelas berbeda dengan buatannya yang asli."
Aku tidak langsung meneguk minuman itu. Aromanya lebih menarik ketimbang langsung menyicipi rasanya. Selain itu, ada sebuah sensasi yang menenangkan ketika menatap cerminan wajah di permukaan teh yang tenang.
Aroma dan keadaan ruangan rumah ini sangat menenangkan. Ada aroma lain yang bercampur dengan aroma teh, semacam kayu-kayuan dari hutan atau bebauan herbal. Pandanganku beralih sejenak ke sekitar. Banyak rak-rak berisi wadah kaca, dengan isinya yang entah itu jamur atau tanaman hijau.
"Sepertinya, kau tidak begitu haus, eh? Atau, barangkali rasanya memang setidak enak itu?"
Lamunanku buyar sekejap.
"E-eh, tidak, Tuan, anu, kucuma ... "
Wajahku terasa hangat, "... menghirup aromanya."
Tuan Majj tersenyum, lalu meletakkan cawannnya menyesap sejenak, "Aku bergurau. Istriku juga suka melakukan itu, berdiam sejenak, mengirup aroma teh. Tapi, selain itu ia juga suka melakukan satu hal yang cukup aneh untuk dilakukan setelah selesai: meramal dirinya dengan ampas teh."
"Aku pulang!"
Di saat semua harapan untuk beristirahat mulai sirna, sebuah suara nyaring terdengar dari pintu masuk. Seorang anak perempuan melompat ke ruang tengah, mencomot sebuah roti, sebelum terhenti.
"B-bapak ngadopsi anak dari mana?!"
"Ngawur!"
Anak perempuan itu membuat wajah terkejut sebelum tersenyum miring. Begitu menatap ke arahku sekali lagi, barulah ia bertanya lebih serius, "Aku Nene. Ayah sudah lama mengurusku, jadi spontan aku bilang kalau Ayah mengadopsi anak lagi begitu melihatmu. Hehe, tidak sopan memang. Kalau kau bagaimana?"
"Elia," aku menyambut uluran dan menjabat tangan Nene, "aku ... baru saja sampai di desa ini."
"Ho?" Nene menoleh ke Tuan Majj. Tolehan yang terlalu kentara.
"Tidak. Elia cuma menginap. Besok dia akan memilih." Tuan Majj menyahut.
"Elia, kau akan memilih?!"
"Nene, suaramu terlalu keras!"
"Hah, Ayah kan juga teriak-teriak!"
Kedua orang itu terus berdebat satu sama lain. Awalnya persoalan remeh seperti berteriak, sampai persoalan jemuran. Nene juga kena marah karena kebanyakan bermain di hutan, yang dibalas dengan eyelan kalau Tuan Majj tidak bisa memasak.
Rasanya, familiar.
"Ah, iya, soal masakan," Nene berhenti menyalak. Ia merogoh tas selempangnya, mengeluarkan beberapa barang ke meja. Sebuah jamur terbesar yang pernah kulihat, dedaunan yang berbeda bentuk, dan terakhir, seikat bunga.
Jamur yang awalnya dikeluarkan pecah, menyebarkan debu-debu kecil yang membuat kami bersin dan terbatuk secara bergantian. Pak Majj menggeram, selagi mengibas-ngibaskan tangan, sementara aku dan Nene menutupi hidung dan mulut. Setelah menerima teguran dan sebuah jeweran, Nene duduk di sampingku. Kami menatapi punggung Pak Majj yang membawa bahan-bahan tadi ke dapur.
"Jadi," katanya memulai sembari mengusap-usap telinganya yang merah karena dijewer, "bagaimana perjalanan ke mari? Menyenangkan?"
Aku meletakkan cawan, "Sebenarnya, tidak. Tidak sama sekali."
"Ho?" Nene menopang dagunya dengan tangan, "Ayah selalu bilang, menceritakan sesuatu bisa meringankan beban."
"Ah ... mungkin, untuk sekarang tidak, Non."
Nene menutup mulutnya, kemudian menutup mulut; berusaha tidak tertawa,
"Nene saja. Ya ampun, kaku betul kamu ini."
Hangat. Aku bisa merasakan wajahku menghangat, "Ma-maaf, Nene."
"Tidak masalah." Nene mengambil gelas Tuan Majj dan menuangkan teh untuk dirinya, "Banyak yang merasa tidak betah awalnya. Tahun lalu, aku juga ..."
Aku melirik anak itu sejenak, menanti apa yang akan dia katakan selanjutnya. Tetapi setelah berdiam beberapa saat, Nene mengedikkan bahu dan menyesap teh yang baru ia tuang.
"Istirahatlah, Ayah bakal buat sup untuk malam ini." Nene melirikku, matanya bergerak ke atas dan ke bawah, sebelum ia berkata, "Hari ini cukup gila bagimu, eh?"
[]
---------------------
Yooo, I'm back again!
//Langsung kabur lagi
Wkwkwk, maaf karena author ini jarang upload ;-;) //sungkem ke pembaca
Tapi, untuk alasan yang baik: author sedang berusaha bersosialisasi dengan kehidupan
//Padahal enggak juga ;-;)
Dan bertapa di gua hantu :3
Oke, sedikit intermezzo. Di sini ada yang mau nebak Elia bakal jadi apa? :3 Silakan komen ya, kupenasaram dengan pemikiran kalyan :3
Kembali ke gua.
Ciao!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top