7) Sebuah Rumah

Beberapa penduduk menundukkan pandangan mereka, sambil berlalu melewati kami. Beberapa di antara mereka hanya melakukan pekerjaannya. Semua terlihat ... biasa.

Mengejutkan bagaimana tempat ini disebut sebagai "Desa Penyihir", di saat semua yang terlihat hanya sesuatu yang umum ada di desa, seperti pedagang, atau tukang asah alat tani.

Apanya yang sihir?

Kami terus berjalan, melihat hal-hal yang sama, sampai, di ujung jalan, terdapat jalan setapak yang meninggi. Pria itu berhenti sejenak, sebelum mempersilahkan.

"Penyihir Agung menunggu di atas."

Atas. Aku mengatakan itu dalam hati sembari mengangkat kepala ke sesuatu yang menjulang. Undakan, anak-anak tangga yang menjulang, entah berapa jauh. Aku menoleh ke arah pria bertopi lebar.

"Eh, aku 12, dan adikku baru 10, tuan?"

"Pelajaran pertama: jawaban membutuhkan usaha. Dan bukankah, kalian masing-masing punya pertanyaan?"

Ia menarik sudut tipis di bibirnga, "Sekarang, keputusan kalian. Tugasku sudah selesai."

**Magus*Mythos**

"Ayolah, kak." Erran merengek, menarik-narik baju selagi kami berjalan menjauh.

Ingin rasanya, menggunakan sihir atau apalah itu untuk menyumbat telinga ini. Tetapi, anak itu tetap mengganggu. Ketika menarik-narik baju tak berhasil, ia mendahului dan melompat di hadapanku sembari merentangkan tangan. Saat berjalan ke kanan, Erran akan melompat ke arah yang sama, begitu pula saat ku berjalan ke kiri. Aku menarik napas.

"Erran, itu rumah yang sangat tinggi dan aneh, ya kan? Aku tidak tahu apa yang akan kita temukan di sana-"

"Jawaban! Tentang sihir!" jawab Erran, masih setengah merengek, tetapi suaranya segera menciut ketika kami bertatapan. Ia membuat muka, melanjutkan, "Yah, pria itu yang bilang sih."

"Erran."

Aku menariknya, cukup dekat sampai aku bisa mendengar sisa rengekan itu di napasnya. Dengan jarak yang cukup, akhirnya aku berlutut, menatapnya erat.

"Apa menurutmu, desa ini seperti desa sihir?"

Erran sedikit terdiam. Matanya menatap sebentar, sebelum mulai menjelajahi sekitar. Tapi akhirnya, ia menunduk.

"Aku berusaha melindungi kita, kawan kecil." aku memeluknya, "Aku tidak ingin kita terkena masalah di desa yang jauh dari mana-mana."

"Kakak lihat di awal tadi, kan? Kita menerobos masuk ke pohon!"

"Aku tak tahu, mungkin itu jamur!" Aku melepas, dan mengacak-acak rambut kumal Erran, "sekarang, ayo."

"Ke mana ..." Erran menunduk, "Kita sudah tidak punya rumah, kan ..."

Panti ...

Mengingat saat terakhir meninggalkannya, napasku mulai terasa berat. Aku terduduk di samping Erran, menatap ke arah lain, desa yang punya sedikit warga. Mereka terlihat tengah bertegur sapa, bekerja, atau pulang ke tempat tinggal. Pintu-pintu rumah yang terpampang seakan menyadarkan.

"Kita mau ketemu siapa sata pulang nanti ..."

"Tidak tahu ..." Suaraku mencicit tipis.

"Kalau begitu aku akan ke atas." Erran beranjak, meninggalkanku duduk. Di saat berbalik, aku melihatnya menaiki anak tangga satu-persatu, semakin menjauh.

Begitu setengah jalan, ia menoleh kembali, "Pikirkan tentang kekuatan Kakak! Apa gunanya bisa melayangkan spons, eh!"

Erran bertalaran setiap kali membuka mulut, itu sudah dalam nadinya. Tetapi kali ini, itu membuatku berpikir. Kedua tangan ini, apa yang bisa mereka lakukan? Jika aku seorang penyihir, dan kembali, apa mungkin aku berakhir seperti ...

Kepala seakan menarik kesadaranku untuk mengingat kejadian itu. Tubuhku tiba-tiba menggigil, tak terkendali. Aku menggeleng.

Lupakan, lupakan!

Sosok Erran sudah sulit dilihat, hanya setitik kecil yang bergerak naik. Erran sudah terlalu jauh.

Memandang anak itu menggerakkan kaki menanjak dan sesekali berhenti, membuatku sedikit bersyukur tidak mengikutinya. Melelahkan. Setidaknya, sekarang aku bisa mengecek kembali pembatas antara desa dan dunia luar.

Tapi, setelahnya, apa yang mau dilakukan? Jika benar, pembatas itu pembatas magis, aku mau apa?

Pergi, suara bunda Arian muncul. Rasanya, seperti kepalaku sendiri yang menciptakan suara itu. Apakah bunda Arian akan berkata demikian, menyuruhku pergi? Pergi ke mana?

Aku menyentuh dada. Sesuatu di dalamnya berdegup kencang. Jantungku, tentu saja. Tapi, bukan itu.

Mataku gatal untuk melirik lagi tangga menuju ke atas. Di ujung sana, sebuah rumah, atau gubuk yang sedikit lebih besar. Sederhana.

Tempat tinggal sang Penyihir Agung yang disebutkan oleh paman itu.

Tetapi, siang telah berubah jingga. Kembali ke panti bukan sebuah pilihan. Erran benar. Mustahil kembali setelah ... setelah semua itu.

"Permisi,"sepasang kakek-nenek yang tengah mengangkut beberapa barang ke sebuah kereta kuda menoleh ke arahku begitu aku bertanya, "apakah di sini ada penginapan atau rumah singgah?"

Sepasang kakek-nenek itu menunjuk ke arah sebuah rumah tua di ujung gubuk mereka.

"Tuan Majja mungkin punya tempat kosong. Dia baru saja kehilangan istrinya, pria yang malang."

Aku menoleh ke rumah yang ditunjuk. Sebuah gubuk yang tidak terlalu besar, mungkin cukup untuk satu keluarga. Aku menunduk, berterima kasih, untuk berlanjut menuju ke gubuk tuan Majja. Sesekali, aku menoleh ke arah ujung tangga paling tinggi.

Apa Erran sudah sampai di sana? Bertemu dengan seseorang yang disebut sebagai Penyihir Agung?

Aku mengetuk pintu. Beberapa saat, tidak terdengar apa pun. Aku mengetuk lagi. Tetapi beberapa waktu berselang, tidak ada jawaban, mungkin sedang keluar atau sedang bersiap-siap.

Di waktu senggang, aku mulai memperhatikan beberapa hal di halaman rumah tuan Majja. Ada sepasang pot berisi bunga anyelir; salah satunya layu, cukup kering untuk tanaman. Selain itu, ada potongan kayu bertebaran, dengan sebuah kursi kayu diletakkan di bawah jendela yang terbuka. Aku melirik ke sekitar, sebelum menyentuh lengan kursi berukir itu.

Hanya dengan menyentuhnya, muncul perasaan yang membuatku gelisah. Di permukaan yang timbul-tenggelam itu, ada aliran-aliran yang lolos ke panca indera, menggelitik, memberikan pesan. Rasanya hangat dan merindu.

Dilihat-lihat lagi, kursi ini nampaknya belum selesai. Selain satu bagian yang barusan kusentuh, sisanya terlalu kasar dan samar. Terbesit sesuatu: bagaimana rasanya bagian lainnya?

"Kupikir anak-anak sudah diajari sopan-santun, eh."

Sejak mendengar suara itu, aku menarik tanganku, menjauhi kursi yang hendak kusentuh. Saat berbalik, seorang pria berjanggut sudah berdiri menjulang. Tatapannya lurus, turun ke arahku, dengan wajah yang menyindir.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bertalaran: berkata dengan terang-terangan; berbicara dengan tidak menyembunyikan rahasia; terus terang

Kamis, 9 Desember 2021

Yah, seperti biasa, I'm back (人 •͈ᴗ•͈)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top