4) Pentasbihan
Warning ⚠️ 1500+ kata
-----
Aku tidak tahu masa depanku.
Aku tidak pernah tahu mengapa dan untuk apa. Tetapi, semua berubah sejak kedatangan sosok itu.
**Magus*Mythos**
Semua orang jadi bertingkah aneh. Saat ini, mereka menundukkan pandangan di hadapanku. Bahkan, Bunda Arian.
"Bunda ... apa ada sesuatu di wajahku?"
Bukannya jawaban, kuhanya mendapat perlakuan itu. Bunda menarik kepalanya ke arah lain, dan menahan napas.
Apa aku melakukan kesalahan?
Ingin rasanya aku bertanya lebih lanjut, mungkin Bunda Arian akan kemudian menjawabnya. Setelah dipikir, itu terasa sia-sia. Kini, satu-satunya hal yang dilakukan adalah bertanya-tanya, membayangkan penyebabnya dan betapapun aku menebak, aku semakin tidak mengerti.
Piring pecah? Makanan yang dicuri Erran? Mana ada, itu salah Erran!
Aku menghela napas, menenangkan pikiran dan melanjutkan untuk membawa keranjang baju kotor ke ruang cuci. Aku mempercepat langkah ketika berpapasan dengan sekelompok Bunda yang sedang melintas.
"-itu anaknya-" dan bisik-bisik itu makin jelas dan dengan cepat memudar semakin aku menjauh, menyisakan satu kata yang akan tersangkut selamanya di telinga, "-penyihir."
Karena melangkah terlalu cepat kakiku hampir melayang saat berayun, serta mata yang tertutup karena tak mau melihat siapapun, aku tersandung. Keranjang yang kubawa terbalik, menghamburkan isinya. Aku buru-buru memasukkan semua pakaian itu, dan berdiri untuk kembali berlari, tidak membiarkan seorang Bunda di dekatku sempat melakukan apa pun.
Apa pun untuk mengubah tatapan itu ...
Sampai di depan ruang cuci, seorang Bunda baru saja keluar dari balik pintu. Seperti yang bisa ditebak, wajahnya sedikit mempertanyakan, 'apa yang dia lakukan di sini', padahal aku sudah berulang kali kemari saat piket.
Ia hendak menerima keranjang yang kupegang, tetapi gerakannya terhambat, seolah hendak menyentuh sesuatu yang bau dan tidak seharusnya disentuh. Bahkan, setelah menerima, beliau bergegas kembali ke tempatnya mencuci.
**Magus*Mythos**
Begitu sampai di gerbang, aku bertemu dengan seorang Bunda yang menjaganya. Aku menunduk, memberi salam, yang juga dibalas oleh Bunda.
"Ah, Elia? Mau ke luar, nak?"
Aku mengangguk.
Tapi tepat sebelum Bunda penjaga gerbang membukakan pintu kecil di ujung, terdengar seruan dari belakang, mengalihkan pandangan kami.
"Berhenti, jangan keluar!"
Aku membeku ketika melihat bunda Arian bergegas memperpendek jarak, sampai-sampai menyibakkan roknya. Tapi yang paling membuatku tidak mengerti, adalah ekspresi itu. Nyaliku untuk bicara langsung ciut ketika bunda berdiri sebentar di hadapanku, untuk kemudian beralih ke Bunda yang menjaga gerbang.
Mereka bergerak sedikit jauh, walau tak cukup jauh untuk telingaku menangkap sebagian percakapannya. Di sela-sela pemaparannya, bunda Arian menoleh padaku; alisnya tertaut, ekspresi yang berada di tengah rasa iba dan jijik. Lalu untuk terakhir kalinya, beliau memegang pundak Bunda penjaga gerbang, untuk kembali padaku.
"Masih banyak yang perlu dilakukan di dalam," tanganku ditarik, sedikit lebih kencang hingga hampir terkilir, "di luar tidak aman."
Aku menoleh ke belakang. Dan tatapan yang sama dengan semua orang di dalam mulai mekar di wajah Bunda Penjaga gerbang.
**Magus*Mythos**
Suatu hari, aku dibangunkan oleh Bunda Arian. Beliau bilang aku harus bergegas. Aku tidak mengerti dan hanya mengiyakan, sambil mengusap mata. Di luar masih gelap; sinar mentari masih mengintip dari cakrawala.
Kami berjalan cukup lama, melewati koridor dan lorong. Mataku cukup terbuka untuk melihat Bunda Arian, sedikit panik dengan langkahnya yang terburu-buru. Beliau bahkan tidak repot-repot untuk melihatku, sementara tangannya seakan menyeretku agar berjalan lebih cepat.
"Bunda, kita mau ke mana?"
"Upacara."
Pentasbihan dilakukan sebagai bukti bahwa seorang anak panti telah tumbuh, memasuki awal umur ke-12 tahunnya. Di suasana yang dingin ini, keringat mulai menelusuri leherku. Tidak ada yang pernah bilang tentang apa saja yang ada pada acara pentasbihan, dan firasatku terus memberontak.
Kami terus berjalan, melewati lorong dan udara dingin pagi hari. Aku melihat pintu yang sebelumnya kami masuki, terlewat begitu saja. Sesuatu tentang pintu itu membawa kesan yang menakutkan; seperti sesosok makhluk yang berdiri, menatapi selagi kami menjauh. Berikutnya, kami berbelok, dan sampai di pintu besar aula utama. Bunda mendorong salah satu pintu, menyuruhku menunggu sebentar selagi beliau masuk.
Kepala Bunda menyelinap beberapa saat kemudian dari bukaan pintu, menggangguk ke arahku.
"Ayo." Bisik Bunda.
Di dalam, ada beberapa Bunda lain yang sudah menunggu. Mereka masih melihat dengan tatapan yang sama, walau kali ini ada usaha untuk menatap mataku; yang baru kusadari, kini itu murni akan rasa iba.
Sesuatu membuat kepalaku pusing, terutama saat mengintip ke langit-langit. Ruangan ini besar, dengan kursi bertingkat yang melingkar di sisi kanan dan kiri, menciptakan bagian tengah yang kini dihiasi gambar indah; entah bundar, kotak, dan benda simetris lain, yang kesemuanya berpadu dan memusat ke satu tempat. Ada perasaan aneh tentang bentuk-bentuk yang digambar menggunakan kapur itu.
Sejenak, aku bisa melihatnya berubah warna, dari putih, menjadi kuning, lalu merah jambu, kemudian putih lagi. Aku mengusap mata, dan perubahan warna itu lenyap, tersisa putih kapur.
"Ritual akan dimulai!" Bunda Arian menghentikanku untuk berdiri di tengah-tengah semua orang.
Semua Bunda lain mulai berkerumun. Sebagian mendekatiku dengan beberapa benda di tangan mereka. Tanpa menunggu, mereka mulai mengadunkan wajahku, lalu baju dan bagian tubuh lainnya. Selagi mengganti baju dengan gaun putih, ada salah satu benda yang dioleskan di tengkuk, dan membuat mataku terbuka lebar; dingin, sangat dingin sampai aku terlonjak.
"Tidak apa, Elia," suara itu bergetar, dan kutahu itu suara Bunda Arian di belakangku. Tetapi, entah kenapa, leherku terasa sangat kaku untuk digerakkan, "Tidak sakit, kan?"
"Leherku ..."
"Ditahan ... ya."
Aku mengantupkan mulut. Rasa dingin itu bukan apa-apa. Tapi aku tidak mengerti alasan pentasbihan harus menggunakan semua hal yang aneh seperti ini.
Sebelum selesai berpikir, Bunda Arian mendorong pundakku. Matanya memberikan tanda ke arah lingkaran. Aku mengikuti tutunan dan berjalan ke tengah. Di tempat itu, aku mulai merasakan sesuatu; udara tidak lagi dingin, berubah hangat.
"Mulai upacaranya."
**Magus*Mythos**
Aku pernah terjebak di semak-semak. Rasa perih saat tertusuk, sampai gatal tak tertahankan, semua menyatu saat berusaha keluar darinya. Semua itu terjadi beberapa tahun lalu, bersama Erran; ampuh membuatku tidak pecicilan lagi, atau cukup membuat Erran puas terbahak.
Kalau bisa, aku tidak mau merasakan duri-duri. Kalau punya, aku akan membayar berapapun koin yang dibutuhkan untuk tidak masuk ke semak itu lagi. Dan selama ini, aku pikir aku sudah aman.
Tapi tidak.
Selagi angin berembus, rasa dingin yang menggigit tengkuk menjelma menjadi duri-duri itu, mendera kulitku tanpa ampun. Awalnya, semua itu seperti duri-duri mungil, yang mengganggu, menusuk dan geli. Kelamaan, semakin besar, hingga tusukannya terasa kejam.
Bagian tubuh lain pun merasakan hal yang sama. Menghujam dan makin dalam selagi aku bergerak. Sulit untuk menggerakkan tubuh, karena semua itu sudah melingkupiku.
Mataku tak lagi berfokus ke sekitar, atau pada cahaya yang mulai ketara muncul dari gambar dari kapur di pijakan, atau para Bunda yang kini memejam dan mengangkat tangannya untuk berdoa. Aku menarik napas, terpejam, berharap rasa sakitnya segera hilang.
Semua hanya makin sakit, hingga suaraku terlepas dan meledak cukup lama, membuat tenggorokan perlahan terasa seperti kertas. Tidak peduli berapa kali meminta, sensasi itu tidak berhenti. Makin menggila, berusaha masuk lebih dalam. Napasku mulai berat, dan kelopak mataku melebar sejadinya. Bunda tidak pernah memberitahu soal ini.
Untuk satu saat, yang bisa kudengar hanya suaraku.
Apa kesalahanku hingga pantas seperti ini.
Untuk satu saat, suara itu terasa kosong.
Dan di saat ini, aku mulai tak mendengar apa pun.
Sesuatu menekan-nekan bagian dalam kepalaku, memaksa keluar dengan memukul-mukul tempurungnya. Di tengah semua perasaan itu, akhirnya kosong, bahkan kesadaranku. Tumpul, bahkan hanya perasaan samar saat wajahku membentur lantai. Mataku bergetar saat sosok-sosok mulai berlarian ke arahku.
**Magus*Mythos**
"Sudah kubilang, hentikan upacaranya!"
"Ada sesuatu yang harus kupastikan-"
"Bedebah! Sebanyak dan selama itu, bahkan orang biasa akan pingsan, kau tahu?!"
"Maafkan aku, Ana, tapi-"
"-berhenti minta maaf dan segera selesaikan! Aku muak padamu!"
Suara-suara mulai terbentuk. Mataku yang berat perlahan terbuka, mengamati atap yang sangat kukenal, dengan retak rambut yang melingkupi sebagian besar sisi-sisinya. Aku mulai bisa merasakan sesuatu melalui tangan, serta kulit. Aku di kasurku.
Sudut pandanganku menangkap seorang Bunda yang terlonjak dari tempat duduk di sampingku, lalu dengan panik berlalu membuka mulutnya, mungkin berseru ke ujung ruangan. Seseorang bergegas datang menanggapi panggilannya.
Bunda Arian kemudian memelukku. Aku melihatnya memelukku, tapi tidak ada kehangatan di pelukan itu. Tubuhku masih tumpul.
"Maafkan kami, Elia, sebentar lagi semua selesai, ya? Sebentar lagi, kami janji ..."
Bunda Arian menoleh ke Bunda tadi.
"Rena, umumkan ke semua anak agar tidak keluar. Jaga pintu depan; tidak ada yang keluar ataupun masuk."
Bunda Rena mengangguk dan berbalik pergi.
Hal buruk akan terjadi.
Belum lama keluar, Bunda itu kembali lagi. Kini wajahnya pucat pasi, dan, entah apakah semua orang perlu menjaga suara, tapi Bunda Arian segera berbalik dan menutup mulut Bunda Rena sebelum sempat berteriak.
Hanya, hal itu tidak menyelesaikan masalah.
"Ana, mereka datang!" dari arah lain, seorang Bunda mendekat, "Satu kompi, dengan satu ajudan!"
"Harusnya mereka tidak bisa sedekat ini!"
"Tenang, Ana. Mereka tidak akan bisa."
Sosok bertopi lebar itu menurunkan topinya. Tapi sebelum aku bisa memproses, Bunda Arian memegang kepalaku, mengarahkanku lurus-lurus dengan tatapannya.
"Dengar, Elia. Begitu kau sadar nanti, segera pergi dari sini. Dan jangan berhenti, sampai hatimu berkata demikian, mengerti?"
Dengan sisa tenaga, aku mengangguk. Bunda Arian mengecup dahi, sebelum membaringkan kepalaku kembali, sementara ia mengarahkan Bunda yang lain untuk bergegas.
Bergegas untuk sesuatu.
**Magus*Mythos**
Di tengah semua itu, pria bertopi lebar menarik tudungku, menarik menjauh dari Bunda Arian yang tengah dibungkam ke tanah. Dua prajurit yang menahannya cukup kewalahan, ditambah, Bunda berhasil membanting salah satunya sekali, sebelum kembali dikunci. Mata itu menatap lurus ke arahku.
Aku ingin melompat, kembali. Tapi begitu kakiku melangkah, pria topi lebar mencengkeramku makin erat, "Ayo, Elia."
"Bunda, bagaimana dengan Bunda," aku berusaha menarik kembali tanganku, tapi cengkeramannya tak bergeming. Sakit, sampai aku berpikir bahwa cengkeraman itu bisa lebih erat lagi.
-----------------
Mengadunkan: memperelok dengan perhiasan dan sebagainya; mendandani
Terbit: 13 Februari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top