2) Sosok Misterius

"Eli," suatu hari Erran bertanya.

Ia harus kuabaikan sebentar, walau, membiarkannya menarik-narik gaun membuatku terasa menyedihkan dan menengoknya membuatku sadar, betapa waktu cepat berlalu. Kini, dia sudah tumbuh hampir setinggi pundakku. 

"Bisa kita keluar sebentar? Aku bosan ada di sini, tahu." rengeknya.

"Tunggu sebentar, ya. Ibu panti memintaku membantu cucian piring," aku melanjutkan untuk mengusap salah satu piring, sebelum meletakkannya ke tempat cucian, karena mereka punya pertemuan darurat dengan seseorang. "Lagian, bukannya kau sering bermain dengan teman-temanmu itu? Kesatria dan naga raksasa?"

Setelah mengatakan itu, Erran sempat berontak, menendang pelan kakiku, sebelum kembali merengek. Tentu, aku berusaha menenangkannya, mengatakan kalau ia jadi anak baik selama beberapa menit, aku pasti menemaninya bermain. Tangisan Erran menyusut, sampai, beberapa saat kemudian, Erran tidak menarik-narik bajuku lagi. Dia pergi, Aku bisa mendengar langkahnya mulai menjauh, sampai tidak lagi terdengar.

Hela napas yang sedari tadi kutahan, lepas begitu saja. Dengan tidak adanya orang di dapur ini, aku bisa lebih fokus mengusap dan membilas beberapa piring cucian yang tersisa. Walau, rasanya bisa sedikit bosan di sini, setelah Erran pergi.

Tatapanku bermain sebentar, membayangkan ada sesuatu yang melompat dari air, menari-nari di tepian. Sosok yang terbentuk dari gelembung-gelembung itu melompat ke sana-kemari, membuatku terkikik sebentar, sebelum berhenti. Ia melihatku sejenak, sebelum menggerakkan bagian kepalanya ke tanganku, seolah memiliki mata tak terlihat yang tengah menatapi piring.

Aku mengangkat tangan. Sebentar saja, perasaan yang menggelitik kulit itu mulai terasa. Aku menunjuk sebuah spons, dan spons itu mulai melayang sesuai arah tangan.

Luar biasa!

"Elin, cuci piringnya sudah selesai?!"

Karena panggilan dari Bunda Arian, tanganku terselip, dan spons itu terjatuh, menciprati setiap bagian bajuku dengan sabun. Manusia gelembung juga ikut terciprat, dan ia meletus, menghilang ke udara.

Tepat setelah itu, yang tidak kupahami, Bunda Arian sudah ada di belakangku. Begitu berbalik, aku harus menghadapi wajah bulatnya.

"Ee, kubisa jelaskan, Bunda. Tanganku terselip, dan—"

"Tidak, bukan masalah. Letakkan saja sponsnya, dan sekarang, Ikut Bunda."

**Magus*Mythos**

Satu harapanku: ini bukan masalah spons yang melayang. Aku mengikuti jejak Bunda Arian, melewati lorong. Dari lorong, aku bisa melihat beberapa anak bermain di taman. Di antaranya, ada Erran, menaiki sebuah tempat permainan. Dia bersenang-senang di atas, sementara teman-teman di bawahnya tertawa. Sejak saat itu, aku penasaran, kenapa dia merengek mengajakku bermain?

Mata kami bertemu. Setelah itu, Erran bergerak menuruni tempat bermain, berlari menghampiriku. Kami berjalan beriringan, sampai ia mulai bertanya.
"Ke mana, kak?"

Aku bisa melihat air mukanya berubah.

"Aku tak tahu."

Erran berjalan lebih dekat, "Kau tidak melayangkan sesuatu di depan Bunda lagi, kan?"

"Sssshh."

"Erran, kembali lah bermain," Bunda Arian akhirnya berhenti. Kami sampai di depan sebuah pintu.

Pintu itu adalah pintu tertua di antara bangunan panti. Serat-seratnya seakan memudar; berubah menjadi bentuk lain. Bau apek bercampur manis terasa khas. Tetapi, selain itu, Bunda Arian masih mematung. Tangannya memegang daun pintu, tapi matanya mengarah pada Erran, yang masih berdiri di sampingku.

Erran, tentu saja, masih berdiri di sana, balik menatap Bunda Arian. Aku menyenggolnya beberapa kali, tapi baru setelah pelototan Bunda Arian membulat, Erran tersentak dan berbalik pergi.

"Sampai jumpa, Eli!" Teriaknya. Ia kembali ke teman sepermainannya, bermain dengan ranting seperti tidak terjadi apa pun.

"Elina, ayo."

Bunda Arian sudah membuka pintu, sedikit menarik pundakku untuk masuk.

Di dalam, adalah sebuah ruangan, sangat mencerminkan bentuk pintunya: remang, pengap. Mataku perlu menyipit sebentar, sebelum bisa melihat jelas apa yang ada di sini.

"Tunggu." Bunda menegah langkahku.

Aku bisa merasakan tangannya sedikit bergetar. Sesuatu yang menular, dan masuk akal begitu kudengar ada napas lain selain Bunda Arian.

"Sekali lagi, keputusan bukan di tanganku, Tuan. Elin yang memilih."

Aku menoleh, melihat sosok yang kini berdiri tinggi. Mungkin tidak setinggi itu, tetapi cukup lebih tinggi dari Bunda Arian. Bunda Arian sendiri memeluk pundakku, seperti berusaha menarikku dari sosok ini. Ia berjalan, dan seiring mendekatnya, Bunda makin erat memeluk pundakku.

Begitu tepat berdiri di hadapan kami, sosok itu perlahan merendahkan tubuh. Mungkin karena remang, aku tidak melihat wajahnya begitu jelas, tapi kontras dengan ruangan pengap, ada aroma rerumputan yang menguar dari tubuh sosok itu.

"A-aku?" Aku merespon ajakannya. Sosok itu mengangguk, dan ada senyum tipis dari balik topi lebarnya.

Aku menoleh ke Bunda Arian, yang ikut tersenyum. Tapi Bunda terlalu menarik ujung bibir, hingga alisnya berkedut.

"Tujuan dari anak-anak panti adalah untuk bertemu keluarga baru, Elin. Sekarang adalah salah satu saatnya kamu bertemu keluarga baru itu." Bu Arian ikut berjongkok dan mengelus kepalaku, "jadi, bagaimana menurutmu?"

Keluarga baru.
"Tapi ... "

Bunda Arian menggeleng. Rautnya berubah sedih walau ia kembali menatapku dengan senyum.

"Panti ini hanya sebuah alat. Jadi, bagaimana?"

"Erran juga ikut ... kan?"

"Tidak. Tuan Baik ini hanya bisa membawamu, Elin. Cuma kau yang cocok."

Sosok itu berbicara sebentar, memberikan sebuah permintaan ke telinga Bunda Arian. Bunda Arian terlihat sedikit terkejut, tetapi ia mengangguk.

"Elina, coba lakukan lagi."

Bola mataku membulat.

"Lakukan hal itu."

Aku menarik napas. Bunda Arian selalu melarangku, dalam keadaan apa pun. Tetapi kali ini, Bunda sendiri yang melanggar aturan itu.

-----------------------------------------------------------------
Menegah: melarang, mencegah, menahan, menyita
---------------------

Bisa dikatakan, ini prequel dari Hart, cerita yang sebelumnya pernah dipublikasikan di lapaq sederhana ini ._.)

Ada hubungan kecil yang, mungkin tidak terlalu signifikan, tapi cukup berpengaruh, terutama tentang penyihir. Semoga bisa dinikmati, dan kalau ada yang janggal, mangga, bisa disampaikan lewat komen, baik itu tata tulis, maupun bagaimana plot berjalan. '-')/

Pertama ditulis: 3 Desember 2021

Dipublikasi: 22 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top