11 | SENZO - Ancestor

Rinjani ternganga-nganga.

Dia tidak menyangka Ronan akan menyusulnya kemari, lalu menyamar sebagai... Jonathan Kirby?

Dari mana dia dapat identitas palsu itu?

Selama Esther dan Ronan bersalaman, tatapan Rinjani tak pernah lepas darinya. Senyum Ronan menular, menebarkan pesona aneh yang membuat Esther maupun Estelle terkesan.

"Jadi, anda wali Nona Tjiptobiantoro. Pengacara?"

Ronan terkekeh. "Bisa dibilang begitu." Ia mengeluarkan sebuah kartu nama mengilap dari balik saku jasnya. Esther menerima dan membacanya sekilas.

"Silakan duduk, Tuan Kirby!" Esther mempersilakan.

Tanpa sepengetahuan Esther atau Estelle, Ronan mengedipkan sebelah mata ke arah Rinjani yang masih tertegun.

"Sepertinya sebutan wali kurang cocok untuk menggambarkan status saya saat ini. Nona Tjiptobiantoro sudah di atas delapan belas tahun. Saya datang kemari untuk sekadar mendampinginya." Ronan berujar.

"Saya mengerti maksud anda, Tuan Kirby." Esther menyahut dengan senyum.

"Jadi, sampai di mana obrolan kalian tadi?"

"Bu Esther mengingatku," timpal Rinjani.

"Benar. Saya berstatus sebagai asisten kepala saat Nona Tjiptobiantoro-"

"Tolong panggil saya Jani saja, Bu," potong Rinjani karena dia tidak nyaman mendengar panggilannya yang begitu panjang dan sulit diucapkan oleh Ny. Esther.

"Saya sudah di sini saat Nona Jani datang pertama kali. Ibunya sendiri yang menitipkan Nona Jani kepada kami."

Jantung Rinjani berdegup kencang ketika Ny. Esther menyebut ibunya.

"Dia wanita yang menarik. Saya lihat Nona Jani mendapatkan paras cantik ini dari ibunya," sambung Ny. Esther.

"Apa ibu kandung saya mengatakan sesuatu sebelum pergi? Tentang alasannya menitipkan saya ke panti asuhan?" Suara Rinjani mulai bergetar.

"Dia tidak mengatakan banyak hal, tapi dia meninggalkan sebuah surat untuk anda. Ayah angkat anda tahu mengenai surat itu dan menghargai keputusan panti asuhan untuk tetap menyimpannya sampai anda datang kemari saat dewasa. Tuan Rudolf sudah mengabari saya tentang rencana Nona Jani pergi ke Penn dalam waktu dekat. Dan saya sudah menyiapkan suratnya untuk Nona Jani baca."

Ny. Esther mengeluarkan surat yang dimaksud dari laci mejanya. Surat itu dimasukkan di dalam amplop tertutup dengan segel lilin. Rinjani menerimanya. Ia menekuri amplop itu dan menyadari kalau lilin yang menyegel amplop memiliki simbol khusus. Ia memandang Ronan yang tersenyum samar. Rinjani tahu kalau Ronan mengenali simbol itu.

"Lalu... bagaimana dengan ayah kandung saya?" tanya Rinjani.

"Maaf, kami tidak tahu menahu tentang itu."

Pertemuan itu berakhir dengan cepat setelah Ny. Esther menjelaskan bahwa Rinjani diadopsi oleh keluarga Tjiptobiantoro usai satu minggu dirawat di panti asuhan itu.

"Kamu tidak akan membacanya?" tanya Ronan ketika mereka sudah dalam perjalanan kembali ke Penn. Rinjani menumpang supercar milik Ronan. Dia tidak kelihatan terkesan sewaktu melihat mobil itu pertama kali karena kepalanya sudah penuh oleh hasil pertemuan hari ini.

Rinjani menggeleng. "Nanti saja di hotel." Ia memasukkan amplop berisi surat dengan hati-hati ke dalam tasnya. "Dari mana semua uang ini?" Akhirnya Rinjani penasaran. "Apa kamu mencurinya? Tunggu, Magoirie boleh mencuri?"

"Bukankah memalukan jika aku tidak memiliki sepeser pun uang selama hidup beberapa millenia?" Ronan malah balik bertanya. "Aku biasa berbisnis di waktu senggang. Magoirie lain juga begitu. Kecuali Adjo. Dia hidup sederhana di tengah gurun terpanas di bumi. Itu habitat alaminya."

Rinjani terkejut. Entah karena usia Ronan atau uang yang dimilikinya. "Berapa usiamu sesungguhnya?"

"Sudah kukatakan. Beberapa millenia."

"Kamu hidup sejak zaman pra-sejarah?"

"Aku hidup di masa yang sama dengan Tutankhamun."

Rinjani menutup mulutnya akibat syok. "Lalu di mana kamu menyimpan uang-uangmu?"

"Di sana-sini. Di mana pun aku biasa mendarat."

"Orangtua yang suka pamer!" Gumaman Rinjani disambut tawa rendah Ronan.

"Apa rencanamu besok?"

Rinjani mengedikkan bahu. "Entahlah. Aku rasa harus melakukan beberapa riset dulu sebelum pergi ke Navajo Nation."

"Aku bisa memberimu tumpangan."

"Tempatnya sangat jauh dari sini."

"Ya, aku tahu. Makanya aku menawarkan."

"Aku enggak tahu apakah visaku berlaku di sana. Aku belum pernah bepergian ke Amerika sebelumnya."

"Kita tidak perlu visa."

Rinjani tahu maksudnya. "No, no. Aku enggak mau terbang denganmu dengan sayap-sayap itu. Sama sekali enggak aman!"

"Sayangnya, kamu hanya aman jika sedang bersamaku."

"Katakan aku mau terbang denganmu, di mana aku akan duduk?"

"Kamu bisa berpegangan padaku. Waktunya juga tidak lama."

"Oke, itu sangat tidak meyakinkan."

"Kita sampai."

Mobil yang mereka kendarai telah berhenti di depan lobi hotel. Rinjani melepas sabuk pengamannya. Mobil ini meluncur begitu cepat sampai menghemat waktu perjalanan selama satu jam berkendara dengan bus.

"Pikirkan aku saat sudah siap berangkat besok. Aku pasti datang." Ronan berujar.

"Sekarang kita bertelepati?"

"Ya. Biasanya bekerja bagi sesama Magoirie. Aku ingin mencobanya denganmu besok."

"Bagaimana kalau aku enggak sengaja memikirkanmu?"

"Biasanya orang memikirkan orang lain karena kesengajaan."

"Tapi bagaimana kalau enggak? Aku enggak sengaja memikirkanmu. Semisal waktu aku sedang kesal padamu atau mengenang kejadian hari ini, dirimu akan otomatis muncul di kepalaku."

"Cara kerjanya tidak sesederhana itu. Kamu harus benar-benar memikirkanku dan menginginkan kehadiranku."

Mulut Rinjani membentuk huruf o. "Baiklah. Aku mengerti sekarang. Sampai jumpa besok, Ronan."

Setelah Rinjani turun, Ronan melesat membelah malam bersama supercarnya. Bersamaan dengan itu, Lia menghampirinya. Rupanya dari tadi ia sengaja menunggu kepulangan Rinjani di lobi hotel.

"Hai!" sapa Rinjani.

Mata Lia terus mengikuti arah mobil Ronan pergi. "Boleh kutanya itu siapa?"

"Kenalan."

"Baru?"

"Well," Rinjani menggaruk pelipisnya. "Kami kenal sejak di Indonesia. Lalu bertemu lagi di sini."

"Apakah aman jika aku berasumsi kalau dia dapat dipercaya?" Lia menaikkan sebelah alis.

"Aman, kok. Ngomong-ngomong, lagi menunggu siapa?"

"Menunggumu. Ada yang mau kukatakan."

Punggung Rinjani serta merta menegak. Dia khawatir akan ditegur kali ini.

"Aku ingin minta maaf atas sikapku yang kasar selama ini. Aku terlambat mengenalimu. Seharusnya kamu bilang dari awal kalau kamu adik... mendiang Val." Suara Lia melembut ketika ia menyebut nama Valentino. "Aku merasa tidak enak."

"Wanda yang memberitahu?"

Lia mengangguk. "Ya, kami sempat ngobrol saat kamu enggak ada."

"Oh, oke."

Mereka dilanda keheningan canggung selama beberapa detik sebelum Lia kembali bertanya, "Ada yang bisa kulakukan untukmu?"

Rinjani buru-buru menggeleng. "Aku agak capek sebetulnya."

"Ohh..." Lia menyingkir agar Rinjani dapat segera naik ke kamarnya. "Pergilah istirahat. Kalau perlu apa-apa, kamu bisa menelepon nomor kamarku."

"Oke, makasih."

***

Untuk putriku yang terkasih,

Ibu berasumsi kalau usiamu sudah dewasa saat surat ini kau baca. Terima kasih, Sayangku, karena telah bertahan sampai sejauh ini. Ibu menulis surat ini dengan hati pedih karena hanya sempat menimangmu dalam hitungan jam. Ibu tidak menyangka telah berhasil melahirkanmu ke dunia dengan selamat. Ini kebahagiaan sejati Ibu setelah mengenal ayahmu.

Putriku, ketika usiamu beranjak dewasa, kau pasti akan merasakan getaran-getaran aneh di sekelilingmu. Itu wajar, Sayang. Kau adalah putri dari pasangan Magoirie. Sebelum kau bertanya-tanya, akan Ibu jelaskan dalam surat ini secara singkat.

Saat bumi terbentuk, ada jiwa yang lahir bersamaan dengannya. Dia lah yang kami kenal dengan sebutan Sang Dewi.

Sang Dewi menganugerahi manusia-manusia terpilih dengan berkahnya untuk hidup abadi sembari menjaga keseimbangan alam. Kami tidak tahu mengapa dan bagaimana. Sang Dewi cukup misterius mengenai itu. Masing-masing dari kami mewakili setiap elemen yang ada di bumi. Air, tanah, api, metal, dan udara. Kami dikenal dengan sebutan Magoirie. Ibumu ini merupakan Magoirie Air dan yang tertua. Ayahmu, Ahiga, seorang Magoirie Tanah yang dikenal sebagai salah satu dewa bagi suku Navajo. Cinta kami tulus dan murni. Sehingga lahirlah engkau, Sayangku.

Putriku yang terkasih, dengan sangat menyesal Ibu memberitahukanmu kalau kelahiranmu ini bertentangan dengan peraturan dari Sang Dewi, di mana Magoirie tidak boleh bercampur satu sama lain. Ibu ingin mengubah pikiran beliau agar membiarkanmu hidup sebagai Sentient.

Ya, Putriku. Dirimu adalah sebuah berkah yang telah lahir tanpa campur tangan Sang Dewi. Dari tanganmu nanti, akan banyak hidup yang kau selamatkan. Ibu yakin eksistensimu akan mencegah bencana yang dapat menghancurkan manusia tanpa kesempatan untuk terlahir kembali. Putriku sayang... Ibu telah melihat pendar berkahmu dalam mimpi-mimpi indah. Kau berpendar bagai matahari. Kau memberi kehidupan bagi yang membutuhkan. Jalanmu akan sangat terjal. Tapi, yakinlah... kau selalu dalam perlindungan Ibu. Jika Ibu gagal mengubah pikiran Sang Dewi atau para Magoirie lain, carilah ayahmu -meski Ibu tidak yakin di mana ayahmu sekarang berada. Buktikanlah pada Sang Dewi kalau berkahmu tidak bersifat merusak atau sia-sia. Hiduplah sebagai Sentient sejati.

Satu hal yang Ibu ingin kau ingat selalu. Cinta dan kasih sayang Ibu terhadapmu tak pernah hilang walau sekejap. Apa pun yang Ibu lakukan adalah demi melindungimu.

Salam sayang dari ibumu,

Keiko


Surat itu basah oleh air mata Rinjani.

***

Memanggil Ronan tidak sesulit yang Rinjani kira.

Taksi telah membawanya ke pinggir hutan, di mana tak ada mata yang mengawasi. Taksi itu mengira dia berniat melakukan hiking seorang diri dan bermalam di hutan untuk liburan. Toh, Rinjani kelihatan sudah siap dengan segala perlengkapannya. Perlengkapan yang ia beli secara daring lewat toko skydive terdekat di Penn.

"Parasut?" Ronan menunjuk tas yang ada di punggung Rinjani.

"Dengan kacamata, helm, body harness, dan segalanya. Aku sudah siap terbang. Aku pernah melakukan simulasi di indoor freefall simulators bersama Aoki beberapa tahun lalu. Jadi, kurasa aku lumayan pengalaman."

Ronan tertawa.

Rinjani justru cemberut. "Tertawalah sesukamu. Tapi aku enggak percaya berpegangan denganmu akan membuatku berumur panjang. Bagaimana kalau tiba-tiba kamu ingin melepasku dari ketinggian?"

"Aku tidak pernah berniat membunuhmu."

Rinjani mengangguk. "Ya, kalau memang berniat, pasti sudah kamu lakukan sejak kemarin."

"Kenapa dengan wajahmu?"

Rinjani memalingkan muka. Dia menangis semalaman setelah membaca surat dari Keiko berulang-ulang. Ibunya memiliki tulisan tangan yang sangat indah. Dan hanya dengan membaca surat itu, Rinjani merasakan kerinduan yang tak pernah dirasakan sebelumnya terhadap sosok yang tak pernah ia kenal. Surat cinta itu ditulis dengan luapan kasih sayang. Lewat tulisannya, Rinjani merasa sedang dipeluk oleh sosok tak kasat mata yang ia sebut sebagai ibu kandungnya. Dia selalu merasa beruntung telah diadopsi oleh keluarga Tjiptobiantoro, tapi kerinduan pada sosok orang tua kandungnya akan selalu ada di hatinya.

Ronan menghela napas. Itu pertanyaan bodoh, pikirnya. Tentu saja manusia kecil ini akan menangis usai membaca surat dari Keiko. Hati manusia begitu rapuh.

"Jadi, kita apakan alat ini?" Ronan mengangkat body harness di tangannya. Tanpa berkata apa-apa, Rinjani membantunya memasang perlengkapan keamanan yang menyatukan mereka. Selain sibuk menangis, Rinjani juga menghabiskan waktu semalaman untuk mempelajari cara kerja alat-alat yang ia beli. Semoga tidak ada kesalahan.

Semua sudah siap. Rinjani menarik napas dalam-dalam. Tangannya agak gemetar, tapi ia memberanikan diri.

"Oke. Aku siap." Dia berujar.

"Tutup matamu."

"Kenapa aku harus- Arrrrggghhh!"

Rinjani menutup matanya erat-erat sejak Ronan melompat ke atas dan lepas landas. Lengan-lengan Ronan yang padat kokoh mengelilingi pinggang Rinjani, mencegahnya jatuh atau bergerak-gerak. Daratan tak lagi mereka pijak. Mereka naik dan terus naik ke angkasa, melewati awan-awan tipis. Rinjani beruntung karena mengenakan kacamata pelindung sehingga tekanan udara tidak membuat bola matanya sakit. Ketika mereka telah terbang dengan stabil, Ronan baru menyuruhnya membuka mata.

"-dan jangan panik!" ujar Ronan.

"Ya Tuhan, Ya Tuhan!" Rinjani memekik pelan. Sekeliling mereka hanya awan dan awan. Daratan tak lagi terlihat. Telinganya pengang akibat perbedaan tekanan udara secara tiba-tiba. Perlu beberapa waktu sampai dia terbiasa.

"Bernapaslah perlahan!"

Rinjani mengikuti perintah Ronan. Oksigen lumayan tipis di sini. Jika Rinjani tidak mengendalikan dirinya, maka dia akan terkena sesak napas lalu tewas. Itu lebih merepotkan Ronan.

Pittsburgh, Albuquerque, mereka lewati dalam sekejap.

"Pesawat, ada pesawat!" tunjuk Rinjani.

Kepakkan sayap Ronan masih tangguh membelah langit.

"Bagaimana kalau kita terlihat?" ujar Rinjani panik

"Saat ini tidak ada mata manusia yang bisa melihat kita."

"Benarkah?"

"Sekarang kita di atas New Mexico. Coba lihat di sana!" Ronan menunjuk balon udara penuh hidrogen yang membawa sekeranjang turis. Mereka menuju ke sana. "Melambai atau berteriaklah kalau tidak percaya."

Rinjani melakukannya. Dia berteriak dan melambai, tapi turis-turis itu tidak menoleh ke arahnya. Mereka sibuk berfoto atau menikmati pemandangan.

"Ini luar biasa." Rinjani tertawa senang. "Apa kamu tinggal di angkasa?"

Ronan mengangguk. "Aku punya istana."

"Aku boleh berkunjung?"

"Aku tidak menerima sembarang tamu."

Seekor elang terbang di samping mereka. Rinjani pernah melihat elang itu sebelumnya di halaman belakang rumah sebelum diusir oleh Mono yang gelisah.

"Elang itu punyamu?"

Ronan mengangguk. "Dia pelayanku. Namanya Eyrie."

"Eyrie!" panggil Rinjani. "Salam kenal!" Eyrie menukik ke bawah. Tanpa mengucapkan apa-apa. "Apa dia bisa bicara?"

"Dia hanya bicara denganku. Tuannya."

"Ah, begitu rupanya. Apakah dia semacam pengikutmu?"

Ronan menggeleng. "Aku tidak mengambil pengikut. Lebih suka bekerja sendiri."

"Selain Magoirie Metal, apa ada lagi yang punya pengikut manusia?"

Ronan berdecak. "Hanya Metal."

"Ngomong-ngomong tentang Eyrie. Bagaimana dia bisa melayanimu sedangkan dia adalah burung? Apa semacam mengambilkan makanan untukmu?"

Lagi-lagi Ronan berdecak. Untuk ukuran manusia kecil, Rinjani lumayan banyak bicara sampai-sampai Ronan ingin menyumpal mulutnya dengan petir.

***

I believe I can fly---

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top