10 | RYOKOU - Journey

Jika dia bisa membangkitkan Aoki dari kematian, maka dia pasti bisa melakukan itu juga pada Papa, Bang Mika, dan Val. Rencana itu langsung tercium oleh Ronan sehingga dia mengatakan tanpa tedeng aling-aling, 'sekali lagi kukatakan, usia mereka usai malam itu. Mau berapa kali pun kamu membangkitkannya, mereka tidak akan bangun dari kubur.'

Sekali lagi, Rinjani berduka.

Dia tidak menyalahkan situasi di mana ia menemukan Aoki lebih dulu, tetapi pada dirinya yang terlambat menyadari potensi yang ia miliki. Jika ia pintar, dia bisa menggunakan kekuatannya untuk menolong lebih banyak orang termasuk keluarganya dari gempa itu. Atau, dia tidak perlu merayakan ulang tahunnya di kelab malam secara diam-diam, melainkan membawa papanya ke rumah sakit lain ketika Papa terkena serangan.

Saat Rinjani menyinggung tentang asal-usulnya, Ronan tidak tampak keberatan dengan rencana Rinjani untuk pergi ke komunitas adat Navajo di Amerika. Meski, dia sendiri juga tidak menyarankannya. Rinjani menolak untuk menemui Magoirie mana pun -selain Ronan- sebelum ia mengenal masa lalu orang tuanya.

"Jika Sang Dewi menganugerahi berkah pada para Magoirie, mengapa Sang Dewi membiarkan bencana itu terjadi? Bukankah seharusnya gempa dan tsunami menjadi tanggung jawab Magoirie yang ditunjuk?"

Ronan tidak serta merta menjawabnya. Dia hanya diam untuk waktu yang cukup lama sebelum mengatakan bahwa jika bencana itu terjadi, maka Sang Dewi memiliki alasan untuk membiarkannya terjadi. Seperti Ronan yang memilih tidak bertindak sejak gempa pertama, walau alasannya masih tidak dapat diterima oleh Rinjani.

"Untuk menebus kesalahanku, akan kubiarkan kamu pergi menemui para Navajo. Aku juga akan mendampingimu."

"Dengan sayap-sayap itu?"

"Bukankah lebih cepat jika aku membawamu terbang langsung ke sana?"

"Enggak. Aoki sudah mengatur segalanya buatku. Kalau aku tiba-tiba membatalkannya, dia akan bertanya-tanya."

"Mengapa pendapat Aoki penting buatmu?"

"Karena cuma dia yang kupunya sekarang. Satu-satunya orang yang kupercaya."

Ronan menyerah dan memilih untuk berkompromi. Yang penting Rinjani tetap bersedia untuk dibawa bertemu para Magoirie lain sebelum Sang Dewi memutuskan kepada siapa berkah Tanah dan Air akan diberikan. Bagaimana pun, dua posisi itu telah lama kosong. Para pengikut Magoirie yang musnah akan berlaku sewenang-wenang jika dibiarkan tanpa penguasa.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Rinjani.

Kepalanya menoleh ke arah jam dinding. Sudah hampir pukul sembilan. Rinjani tidak keluar kamar selama berjam-jam, bahkan melewatkan makan malam. Yamazaki-san mengirim pesan kalau beliau akan pulang larut malam ini sehingga meminta Rinjani tidak menunggunya.

"Hei," sapa Aoki ketika Rinjani membuka pintu.

"Hai,"

"Tadi aku mampir ke tempat Deborah. Dia menitipkan ini untukmu." Dia mengangkat baki berisi cheesecake buah, secangkir teh panas, dan semangkuk permen. "Kamu belum makan malam?"

"Tahu dari mana?"

"Makanan di kulkas masih utuh."

Rinjani memandangi baki di tangan Aoki. "Ini semua dari Debby?"

Lelaki itu mengangguk. Aneh. Ini semua adalah favorit Aoki. Permennya sih bukan. Tapi tetap saja semuanya manis kecuali tehnya.

"Aku lagi enggak nafsu makan."

"Perutmu harus tetap diisi."

"Aoki-"

"Atau pilih salah satu permennya. Ada banyak rasa. Mau coba yang mana?"

Dengan setengah hati Rinjani mengambil salah satu permen dengan bungkus warna merah. Berharap kalau itu adalah rasa strawberry. Ketika dia mengulumnya, dahinya mengernyit.

"Manis banget!" Itu bukan strawberry. Entah apa, yang pasti bukan rasa buah.

Sebelum Rinjani menyadarinya, Aoki sudah mencondongkan tubuh ke depan dan mencium bibirnya. Tunggu dulu. Dia tidak benar-benar mencium Rinjani. Lebih tepatnya, mengambil permen di mulut Rinjani menggunakan bibir dan lidahnya. Rinjani terpaku di tempat. Baki makanan berada di antara mereka, sehingga ia yakin kalau gerakan Aoki pasti canggung. Namun, tubuh Aoki lebih tinggi darinya. Dari cara dia menciu- maksudnya, mengambil permen dari mulut Rinjani, gerakan Aoki kelihatan luwes.

"Hmm," Bibir bawah Aoki yang tampak basah itu mengerucut sedikit saat ia mengulum permennya. "Memang manis. Mungkin mau coba rasa yang lain?"

Apa-apaan?

Di saat mulut Rinjani sudah megap-megap seperti ikan mas, Aoki bersikap seolah tindakannya tadi wajar-wajar saja.

Karena terlalu lama menunggu respon Rinjani, Aoki memindahkan baki berisi kue, teh panas, serta permen ke atas meja belajar. Dia berjalan melewati Rinjani dengan santai. Aroma harum dari sabun mandi ketika Aoki melewatinya menandakan kalau Aoki sempat mandi sebelum menemuinya.

"Meski enggak lapar, usahakan makan. Mukamu pucat. Butuh asupan glukosa." Aoki menunjuk teko teh. "Tehnya enggak kuberi gula."

"O -oke." Rinjani tergagap.

"Aku capek. Mau langsung tidur. Enggak apa nggak kutemani?"

"O -oke."

Aoki tersenyum kecil. "Selamat malam, Rin-chan!" Dia sempat mengusap kepala Rinjani saat keluar dari kamar dan menutup pintu.

Beberapa detik lamanya Rinjani masih mematung.

"Apa itu tadi?" Rinjani menyentuh bibirnya sendiri. Jelas-jelas tadi Aoki melakukan sesuatu padanya. Sulit dipercaya! Apakah itu sudah termasuk ciuman? Aoki mencuri ciuman pertamanya? Astaga!

Rinjani jatuh terduduk. Lalu ia menghela napas secara perlahan demi mengembalikan degup jantungnya yang menggila.

***

Satu hal tentang Aoki yang Rinjani sukai, dia tidak pernah mengikuti arus.

Pun saat SMA, di mana teman-teman dan guru mengira dia akan memilih bahasa Jepang sebagai mata pelajaran pilihan ketimbang bahasa Jerman. Selain karena paras dan namanya yang sudah mewakili, Aoki juga sangat jago berbahasa Jepang karena itu bahasa sehari-harinya di rumah saat berbincang dengan Yamazaki-san. Dengan begitu, teman-temannya akan banyak bergantung padanya untuk dapat contekan atau teman praktik berbicara. Nyatanya, dia malah masuk ke kelas bahasa Jerman. Berhubung dia sama tidak mahirnya dengan Rinjani -yang waktu itu memilih bahasa Jepang karena mengira Aoki akan sekelas dengannya-, nilainya selalu jeblok dan mendapat urutan paling akhir di mata pelajaran itu -dan lainnya.

Pasangan Yamazaki tidak pernah memaksa Aoki untuk menjadi anak pandai atau nomor satu di sekolah. Bagi pasangan Yamazaki, selama anaknya menyukai sekolah dan tidak nakal sudah menjadi suatu hal yang membanggakan. Ditambah, Aoki menggeluti satu bidang yang menjadi jalur kesuksesannya sebelum usia 25.

Di mata teman-teman Rinjani, Aoki sangat tidak mengesankan. Dia penyendiri, muram, hanya bicara kalau ditanya, tidak pandai dalam hal apa pun selain game, gaya berbusananya juga biasa-biasa saja. Namun, di mata penggemar tim Apollyon, Aoki dipuja bagai dewa. Dia yang membawa timnya menjadi langganan juara dalam turnamen nasional maupun internasional. Selain berparas oriental klasik yang dinilai super menarik bagi penggemar perempuan, dia juga sering menjadi model iklan perangkat mutakhir yang mendukung bidang yang ia tekuni. Intinya, di luar sana, Aoki amat sangat populer.

Walau terkenal, berita tentang kehidupan pribadi Aoki hampir tidak dapat ditemukan. Dia menolak pertanyaan yang menyangkut keluarga, pendidikan, kehidupan cinta, atau lingkungan pertemanan terdekat ketika diwawancara oleh reporter majalah e-sport. Beberapa laman khusus penggemar memang ada yang didedikasikan untuknya, tapi tetap saja tak banyak informasi bersifat pribadi yang dapat ditemukan di sana. Di depan penggemar, Aoki adalah idola yang sangat tertutup.

Rinjani adalah satu-satunya teman masa kecil yang menjadi saksi karir Aoki sedari nol, dan terus menyukainya sejak awal. Rasa sukanya tidak pernah berkurang. Yang ada justru malah bertambah. Rinjani tak pernah menutupinya. Sejak kecil Rinjani selalu bercita-cita untuk menikah dengan Aoki dan dengan bangga meneriakkan itu ke mana-mana. Aoki sempat menghindarinya semasa SD karena malu Rinjani terus menempel padanya. Namun, ternyata perasaan familiar semacam itu sulit untuk diabaikan. Sebelum Rinjani paham tentang lapisan atmosfer bumi, diam-diam Aoki juga memupuk perasaan yang sama di hatinya.

Dan malam ini, rasanya Aoki sudah menyatakan perasaannya lewat adegan perebutan permen yang dipikirnya tidak terlalu sulit untuk dilakukan.

"Komik bodoh!" Aoki menendang komik percintaan yang belakangan ini dibacanya. Ia menandai halaman 'Nyatakan Perasaanmu', dan mempelajari caranya dari situ. "Baka!" dengkusnya kesal.

Bagaimana dia akan menjelaskannya pada Rin-chan besok?

***

Di hari keberangkatan, keduanya bertemu di depan rumah masing-masing. Aoki membawa satu koper, dan Rinjani membawa koper yang jauh lebih besar. Mobil yang menjemput Aoki sudah tiba dan menunggu. Aoki meminta waktu sebentar untuk menghampiri Rinjani yang menunggu taksi.

"Taksimu belum datang?"

Rinjani mengecek lokasi di GPS. "Sebentar lagi." Dia tersenyum sedih. "Kamu harus berangkat hari ini, ya?"

Aoki mengangguk. "Iya. Kami harus mempersiapkan diri dulu di ibukota sebelum berangkat ke Shanghai. Kamu akan aman selama kamu tetap bersama manager-ku. Kalian bertemu langsung di bandara?"

Giliran Rinjani yang mengangguk. Mereka dilanda keheningan canggung selama beberapa saat.

"Bagaimana dengan Mono?" tanya Aoki.

"Jingga mengambilnya semalam. Untuk sementara dia akan dijaga oleh saudara-saudara Jingga yang lain. Mereka semua suka Mono."

"Baguslah. Maaf, kamu harus pergi sendiri," ujar Aoki.

"Enggak apa. Lagipula kamu menitipkanku ke manager Lia. Itu sudah lebih dari cukup. Aku akan membalasmu lain kali."

Aoki menggeleng. "Pastikan kamu pulang dengan selamat dan terus kabari aku sesempat yang kamu bisa." Ia membetulkan topi Rinjani yang sedikit miring.

"I'm gonna miss you. A lot." Rinjani menahan diri agar tidak menitikkan air mata.

Aoki membuang muka karena tidak ingin Rinjani melihat pipinya memerah. "Turnamenku hanya memakan waktu seminggu. Kalau kamu belum selesai dengan urusanmu di sana, aku akan menyusul."

Rinjani buru-buru menggeleng. "Aku akan pulang bareng tim Apollyon 1."

"Itu... masih dua minggu lagi." Intinya Aoki tidak ingin tidak melihat Rinjani lebih dari waktu yang dapat ditolerirnya.

"Ah, benar juga."

"I wish you get your closure there. Jangan pergi ke mana-mana sendirian. Aku sudah minta Lia untuk selalu menemanimu. Termasuk ke Caruther atau tempat Navajo."

"Iya, iya! Belakangan ini kamu cerewet!" Rinjani menggosok hidungnya lalu tersenyum lebar. "Sampai jumpa, Aoki!" Taksinya sudah datang. Aoki membantunya untuk memasukkan koper ke bagasi.

"Rin-chan," panggil Aoki.

"Ya?"

"Tentang yang waktu itu-"

"Kapten!" Panggilan dari manager tim Shanghai menginterupsi. "Kita hampir terlambat. Ayo!"

Aoki menghela napas berat. "Hati-hati selama di sana, Rin-chan." Ia melambai.

Rinjani mengangguk dengan senyum lebar. Taksi dan mobil yang membawa keduanya pergi ke arah yang berseberangan dengan tujuan berbeda.

***

Rinjani membuka jurnalnya selama penerbangan berlangsung. Dia bergabung bersama tim Apollyon 1 di kabin kelas pertama. Kehadirannya tidak terlalu disadari oleh tim selain Lia, sang manager. Lia orang yang tidak terlalu ramah. Hobinya mengeluh. Ketika bertemu Rinjani pertama kali di bandara, ada beberapa peraturan yang harus ditaatinya. Jangan mencari perhatian, jangan bicara dengan anggota tim kecuali terpaksa, jangan sok kenal sok dekat atau membahas apa pun tentang Aoki Yamazaki, dan jangan merepotkan.

Woah, Rinjani merasa tertekan hanya karena daftar peraturan itu. Tapi tak apa. Tujuan ia datang ke Penn bukan untuk merepotkan siapa-siapa. Dia hanya hendak mencari tahu tentang orang tuanya agar dia mengerti tujuan mereka menitipkan dia ke panti asuhan. Dan juga untuk membuktikan klaim Ronan kalau orang tuanya telah dimusnahkan.

Ngomong-ngomong tentang Ronan. Magoirie itu memenuhi janjinya untuk mendampingi Rinjani selama perjalanan ke Caruther dan Navajo Nation. Lihat! Di antara awan-awan tebal, Rinjani dapat melihat sosoknya yang terbang melintasi angkasa. Kecepatannya bahkan menyaingi pesawat yang ditumpangi Rinjani. Ketika Rinjani melihat ke luar jendela, Ronan sedang menukik ke samping. Rinjani penasaran apakah penumpang lain juga melihat apa yang dia lihat.

***

Perjalanan panjang dan melelahkan itu baru berakhir ketika Rinjani tiba di hotel tempat mereka bermalam. Karena Covid belum sepenuhnya hilang, bandara setempat menerapkan aturan yang lumayan ketat bagi para pendatang, khususnya luar negeri. Rinjani merasa kewalahan selama pengecekan di imigrasi. Hidungnya terasa sakit karena harus menjalani PCR dan antigen selama transit. Tak cukup sampai di situ, sekali lagi, Lia menyebutkan peraturan-peraturan yang tidak boleh dilanggar oleh Rinjani selama dalam pengawasannya. Rinjani tak keberatan. Dia tidak berniat untuk berurusan dengan tim Apollyon 1 karena tidak ada yang dikenalnya meski mendiang Valentino selalu bermain di tim ini. Mereka hanya wajah-wajah familiar yang biasa dilihatnya di TV.

"Permisi," Bahu Rinjani ditepuk seseorang ketika ia hendak membuka pintu kamar hotel.

"Ya?" Orang yang menghampirinya adalah Wanda, teman setim Valentino dan Aoki. Rinjani menunjukkan senyum.

"Aku rasa kita pernah ketemu sebelumnya di rumah duka Val. Namaku Wanda."

"Yeah, I know." Rinjani menjabat tangan Wanda sambil melihat sekeliling, cemas kalau Lia memergoki mereka.

"Meski aku pernah mengatakan ini, tapi sekali lagi, aku turut berduka cita. Val adalah teman yang baik, salah satu yang terdekat denganku." Wanda tersenyum canggung untuk menutupi suaranya yang bergetar.

"Terima kasih."

Kemudian Wanda berdeham untuk mengembalikan suaranya ke semula. "Aku dengar dari Lia kalau Aoki menitipkanmu padanya. Ada acara apa di Penn?"

"Nngg..." Rinjani menggaruk pelipis. "Urusan pribadi. Aku minta bantuan Aoki karena aku belum pernah pergi sejauh ini dari rumah."

"Itu bagus. Lia memang suka menggerutu, tapi sebenarnya dia baik. Besok mau sarapan bareng?"

Rinjani menyunggingkan senyum penyesalan. "Pagi-pagi besok aku harus berangkat ke Caruther."

"Caruther? Naik apa?"

"Rencananya bus. Tadi aku sudah bicara dengan resepsionis untuk book tiket."

"Ah, begitu..." Wanda mengangguk-angguk. "Kalau begitu kamu harus istirahat lebih awal. Kalau mau makan malam bareng kamu bisa gabung ke mejaku."

"Makasih, Wanda. Nice to meet you."

"Nice to meet you too."

Begitu pintu terbuka, Rinjani buru-buru masuk agar tidak terlibat obrolan lebih jauh dengan Wanda. Sebisa mungkin Rinjani berusaha untuk tidak merepotkan Lia atau membuatnya marah. Seharusnya tidak sulit beradaptasi di sini sendirian.

Usai beristirahat dan mengisi perut di restoran hotel, Rinjani bersiap pergi ke Caruther. Ia sengaja mengabaikan tawaran Wanda sebelumnya karena cemas Lia akan memarahinya. Sewaktu dia mengabari Lia tentang rencananya itu, Lia tampak acuh tak acuh. Rinjani menafsirkannya sebagai izin sehingga dia meminta resepsionis hotel untuk menyiapkan taksi serta mencari tahu rute terdekat menuju Caruther. Taksi akan mengantarkannya ke terminal. Tiket bus menuju Caruther sudah dipesan oleh resepsionis hotel sehingga Rinjani dapat melakukan perjalanan dengan nyaman tanpa diburu waktu.

"Petugas hotel di sini lebih ramah ketimbang Lia, huh," dumal Rinjani seraya berjalan menuju taksinya menunggu.

Ini adalah kali pertama Rinjani melakukan perjalanan solo sejauh ini. Sejak dari bandara asal, dada Rinjani berdebar karena mengantisipasi petualangan yang akan dilaluinya seorang diri. Tadi ia sudah sempat bertukar pesan dengan Aoki. Lelaki itu perlu waktu lama untuk menjawab pesan-pesannya. Rinjani maklum. Aoki pasti sibuk latihan dengan timnya. Untuk memberinya dukungan, Rinjani mengirimkan beberapa foto pemandangan kota yang ia lewati untuk Aoki. Itu adalah pesan terakhir yang ia kirim sebelum Aoki tidak membalas sama sekali.

St. Elizabeth Ann adalah sebuah panti asuhan tertua di Caruther. Sebuah kota kecil dikelilingi hutan yang luasnya sekitar lima kali luas Colosseum di Roma. Dengan jumlah penduduk hanya sebanyak 3.236 orang. Lembab dan berkabut hampir setiap hari. Di tempat ini hanya ada satu McDonald's, empat restoran yang buka 24 jam, dua bar, empat klub malam, satu sekolah dasar, satu sekolah menengah, dan satu katedral berasitektur gothic yang merangkap perpustakaan kota di dalamnya, serta sebuah panti asuhan bernama St. Elizabeth Ann.

Lokasinya berada di ujung kota yang berdekatan dengan hutan. Rinjani merinding. Bangunan itu tampak tua dan kusam meski strukturnya masih kuat. Saat itu sedang musim gugur ketika Rinjani datang berkunjung. Taksi yang membawanya dari terminal Bus kota Caruther berhenti tepat di depan gerbang. Tak ada anak-anak yang bermain di sekitar halaman hingga memberi kesan bahwa bangunan itu telah lama terbengkalai. Namun, menurut supir taksi, panti asuhan St. Elizabeth Ann masih beroperasi walaupun anak-anak yang dirawat di sana jumlahnya sedikit.

Rinjani membunyikan bel. Sayup-sayup ia dapat mendengar gema bunyi bel dari dalam bangunan.

"Yes?" Terdengar suara dari interkom yang dipasang di tembok sebelah pagar. Suaranya milik seorang wanita.

"Hello, good afternoon." Rinjani menggigil akibat angin musim gugur dari hutan. "My name is Rinjani. And I am here to see the -the director." Dia buru-buru menambahkan dalam bahasa Inggris yang sama. "Saya datang dari jauh dan ingin bicara dengan Kepala Panti. Bisakah saya menemuinya hari ini?"

"Tunggu sebentar," jawab suara di interkom. "Siapa tadi namanya?"

"Rinjani. Dari keluarga Tjiptobiantoro. Indonesia."

Interkom dimatikan sepihak. Tak sampai semenit, pintu depan terbuka. Seorang wanita muda keluar dan membukakan gerbang. Rambutnya berwarna pirang dan menjuntai jatuh dengan lembut di salah satu bahunya.

"Maaf membuat anda menunggu. Saya Estelle, asisten Ibu Kepala. Kalau saya boleh tahu, dengan tujuan apa anda ingin bicara dengan Ibu Kepala?"

Rinjani menatap bangunan itu sekali lagi sebelum menjawab, "Dulu saya diadopsi di sini oleh pasangan Indonesia. Saya hanya ingin berkunjung dan bertanya tentang asal usul saya."

"Berapa usia anda? Dan pada usia berapa anda diadopsi?"

"Sekarang saya 21th. Saya diadopsi sebelum usia saya genap dua tahun."

Estelle tampak berpikir sesaat. "Ibu Kepala di sini baru menjabat sekitar lima tahun yang lalu. Tapi, mungkin beliau masih menyimpan dokumen anda atau mengetahui hal yang ingin anda ketahui. Masuklah!"

Rinjani menggumamkan terima kasih. Ia diantar menuju ruangan Kepala Panti.

"Anak-anak sedang bersekolah," ungkap Estelle.

Ah, pantas sepi begini. Pikir Rinjani.

Kontras dengan penampakan luarnya, interior di dalam bangunan terlihat cukup terawat. Jika Rinjan terpaksa harus tinggal di sini, dirinya yakin pasti betah dan dapat beradaptasi dengan cepat. Terdapat banyak papan tulis dan gambar yang ditempel di sekitar ruangan. Semuanya penuh coretan khas anak-anak. Rinjani tersenyum membayangkan betapa riuhnya tempat ini jika anak-anak berkumpul meski jumlahnya sedikit.

"Saya sudah memberitahu Kepala Panti perihal kedatangan anda. Beliau siap ditemui. Silakan!" Estelle membukakan pintu yang ditempeli plakat Director pada daun pintunya.

"Selamat siang!" sapa Kepala Panti. "Silakan duduk!"

Wanita itu berusia tidak lebih dari setengah abad. Wajahnya teduh dan sangat keibuan. Kecemasan yang tadinya Rinjani rasakan hilang sepenuhnya saat bertemu dengan Kepala Panti.

"Nama saya Esther," sambung Kepala Panti.

"Saya Rinjani Tjiptobiantoro. Jani," sahut Rinjani saat berjabat tangan sekilas sebelum duduk di kursi yang telah disediakan.

"Jadi, ada yang bisa saya bantu?"

"Umm... mengenai asal-usul saya."

Esther tersenyum. "Tentu. Tidak saya sangka anda akan tumbuh dewasa secepat ini. Rasanya seperti baru kemarin pasangan dosen dan tukang roti itu datang kemari. Bagaimana kabar mereka?"

Rinjani tergagap. "Mereka berdua... sudah meninggal dunia."

Raut Esther berubah sendu. "Begitu, ya. Saya turut berduka cita."

"Terima kasih." Rinjani tersenyum kikuk. "Sebelum Papa meninggal, beliau menjelaskan asal-usul saya sebagai anggota suku Navajo."

"Hmm," Esther setengah merenung. "Saya memang baru menjabat sekitar lima tahun. Namun, sebelumnya saya menjadi Asisten Kepala selama belasan tahun. Saya ingat betul hari di mana anda tiba di sini."

"Jadi, anda mengenal orang tua kandung saya?" Harapan Rinjani membuncah.

Sebelum Esther sempat menjawab, ruangannya diketuk. Kepala Estelle menyembul dari balik pintu yang terbuka. "Seseorang yang mengaku sebagai wali Nona ini datang untuk menemui anda, Bu Kepala," ujar Estelle.

Di tengah kebingungan Rinjani, Esther berkata, "Kalau begitu persilakan dia masuk."

Alangkah terkejutnya Rinjani saat orang yang dimaksud masuk ke ruangan. Sosok itu tampan dan kelihatan amat berwibawa karena setelan jas mahal yang membalut tubuhnya. "Selamat siang, Bu Kepala. Nama saya Jonathan Kirby." Ronan dalam wujud manusia berujar dengan senyum mengembang.

***

Welcome to Caruther!

.

.

.

Bagaimana menurut kalian tokoh yang ada di sini?

Aoki?

Rin-chan?

Ronan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top