09 | MURYOKU - Helpless
Jumlah mereka tidak sampai jutaan. Itu kabar baik.
Jika seluruh penduduk dunia digabungkan, atau kekuatan militer disatukan, ratusan ribu Siren pasti bisa dibinasakan. Masalahnya, mereka mahir menyamar sebagai manusia dan mengirim banyak mata-mata ke daratan. Manusia kecolongan. Dari segi kekuatan magis maupun daerah teritori, manusia kalah telak. Luas daratan jauh lebih kecil dari lautan. Memburu siren di laut sama seperti mencari jarum di antara tumpukan jerami.
"Apa kalian punya pemimpin? Seperti ratu atau raja."
Yila tampak berpikir. "Kami menghormati Azura dan Yara. Selain mereka berdua, kami dipaksa tunduk pada Magoirie Air." Makhluk itu meludah ke laut. "Seharusnya Sang Dewi menganugerahi berkah pada siren, bukannya manusia."
Lukas tampak sangat tertarik. "Magoirie Air?"
"Pengendali dan penguasa elemen, yadda-yadda." Raut Yila merengut bosan.
"Mereka ada berapa?"
"Tiap Magoirie mewakili satu elemen. Pikirkan saja sendiri."
"Bagaimana dengan Sang Dewi?"
Yila mengernyit. "Apa yang kau ingin tahu tentangnya?"
"Rupa Sang Dewi, kekuatannya, di mana dia tinggal?"
Yila melipat tangan di depan dada. "Kau sudah hampir mati. Untuk apa mengetahui hal-hal begitu?"
Lukas mengedikkan bahu. Ia berbaring menatap matahari. Raganya memang sedang sekarat, tapi otaknya tidak. Rasa ingin tahunya menggebu-gebu sejak ia pertama kali bertemu Yara.
"Apakah Sang Dewi adalah Tuhan?" bisik Lukas.
"Apa itu Tuhan?"
"Sang Maha Kuasa. Entitas yang menciptakan dan mengatur setiap kejadian di dunia. Aku tidak pandai menjelaskannya."
"Kami memuja Sang Dewi, itu betul. Ya, kurasa Sang Dewi adalah Tuhan bagi kami. Kau punya juga?"
Lukas mengangguk. Matanya memandang kejauhan. "Setiap orang yang memiliki kepercayaan selalu punya Tuhan di hatinya."
"Jadi kau pernah bertemu Tuhan?"
Lukas menggeleng. "Tidak ada manusia yang pernah bertemu Tuhan."
"Kalau begitu sama. Belum pernah kudengar ada siren yang bertemu Sang Dewi. Kami penasaran, di mana Sang Dewi bermukim selama ini." Yila ikut menatap kejauhan.
"Mengapa kalian membenci manusia?" tanya Lukas lesu.
"Kami predator. Sedangkan manusia menganggap diri mereka berada di puncak rantai makanan. Kalian berjalan di atas dunia bagai pemilik segalanya." Mata Yila menyipit saat memandang Lukas. "Anggap ini kebencian yang kami timbun sejak manusia pertama kali ada."
"Jadi... karena menurut kalian, manusia itu sombong?"
"Bukan hanya sombong. Kalian berlaku seenaknya. Ini bukan dongeng pengantar tidur tentang kebajikan yang melawan keburukan. Kami membenci kalian sejak kami menyadari naluri kami. Insting yang datang bersamanya memberi kami kepuasan setelah kami memakan jantung kalian. Ketika menjadi santapan, kalian tidak lebih dari seonggok daging dan tulang."
"Ah, kurasa aku mengerti arah pembicaraan ini. Kalian sakit hati karena Sang Dewi memilih manusia sebagai... apa tadi sebutannya? Magoirie? Pengendali air? Begitu?" Kesenyapan di antara mereka menjawab rasa ingin tahu Lukas. Dia tertawa kecil. "Wow, itu dendam yang sangat lama. Tidak heran kalian semakin membenci manusia. Setan juga begitu. Mereka memberontak ketika Tuhan menyuruh mereka tunduk pada manusia yang notabene tercipta dari tanah."
"Makhluk apa setan itu?"
"Penghuni neraka. Mereka mungkin abadi."
"Di mana neraka itu?"
"Entahlah. Kita harus mati dulu untuk menemukan jawabannya. Setahuku neraka dipenuhi api. Mungkin Magoirie Api tahu jawabannya."
"Tuan Adjo?"
"Itu namanya?"
Yila mengangguk. "Mustahil kami bisa bertemu dengan Magoirie Api. Tuan Adjo hampir tidak pernah bertemu lautan. Kalau pun pernah, pasti kami merasakannya."
"Apakah ada Magoirie selain manusia?" Lagi-lagi keheningan yang menjawab pertanyaan Lukas. "Sepertinya Sang Dewi sangat mengistimewakan manusia."
Kedua tangan Yila terkepal. Rahangnya mengeras. Komentar itu menyulut amarahnya.
"Baiklah, maaf. Kapan kamu akan membunuhku?" Lukas mendesah lesu.
Yila membersihkan sela-sela giginya dengan kuku jari kelingking. "Aku masih kenyang. Mungkin nanti malam."
"Sebelum membunuhku, bisakah kamu membiarkanku bertemu Yara? Banyak yang ingin kubicarakan."
"Oh, ya? Seperti apa contohnya?"
"Predator sepertimu enggak akan mengerti. Aku menyukainya. Mungkin cinta pada pandangan pertama."
Yila tertawa. Cukup kencang sampai ia terpingkal.
"Cinta?" ulangnya sebelum tertawa lagi. "Dasar bodoh. Kau kira hanya dirimu yang pernah merasakan itu pada Yara?" ujarnya di sela-sela tawa. "Setidaknya ada ratusan manusia sebelummu yang jatuh cinta pada Yara, ujung-ujungnya juga dimakan. Lagipula, sebelum kau menyatakan cintamu, Azura akan mengunyah kepalamu lebih dulu."
"Jadi, Yara sudah punya pasangan."
"Kami tidak berpasangan, kecuali pada musim kawin. Usia Yara belum memasuki musim kawin, tapi Azura ingin membuat anak dengannya."
"Memangnya Yara setuju?"
"Untuk apa dia menolak? Tujuan kami saat musim kawin hanya untuk meneruskan keturunan. Kami tidak melibatkan perasaan."
"Itu barbar sekali," komentar Lukas setengah bergumam sebelum kesadarannya kembali hilang.
***
Dalam gelapnya lautan, Yila memanggil Yara lewat nyanyian siren. Nyanyiannya hampir sunyi, tapi getarannya bisa sampai bermil-mil dan dapat didengar oleh sang kakak. Mereka akhirnya berjumpa di dekat karang yang membentuk pulau yang tak dapat dihuni selain oleh burung-burung pemangsa ikan. Mereka berkomunikasi lewat bahasa yang tak dimengerti manusia. Jika diterjemahkan, kira-kira begini isinya:
'Mengapa mencariku?'
'Mangsaku ingin bertemu denganmu.'
Yara mendongak lalu berenang ke permukaan. Dari sini, bau manusia sangat jelas. Manusia yang kebetulan dikenal oleh Yara.
'Bagaimana dia sampai kemari?'
'Dia mencarimu dengan alatnya yang menyebalkan itu. Aku membuat kapalnya karam. Sekarang dia belum sadarkan diri. Mungkin sekarat.'
'Bodoh. Jika ingin memangsanya, lakukan saja seperti biasa. Untuk apa menyiksanya begini?'
'Mangsaku, urusanku.'
'Lalu, untuk apa dia ingin bertemu denganku?'
'Entahlah. Dia bilang dia mencintaimu.'
Yara memukul permukaan air cukup keras dengan ekornya. Air melompat ke mana-mana, termasuk mengenai wajah Yila. Kelihatannya Yara cukup emosional kali ini.
'Aku tidak punya waktu untuk ini. Jika ingin bermain-main dengan mangsamu, jangan libatkan aku, Yila.'
'Kau sudah tidak seasyik dulu. Tugas-tugas ini membuatmu jadi orang asing.'
'Dewasalah sedikit! Kita sedang berperang.'
'Perangku dengan manusia, bukan dengan Sang Dewi!'
Yara menatapnya marah. 'Kalau bukan karena Sang Dewi, manusia tak akan hidup selama ini. Ini perang kawananmu.'
'Seharusnya kau sadar kalau kita bukan tandingan bagi Sang Dewi.'
'Setidaknya kita telah memberi peringatan! Kawanan mampu membuat bencana yang lebih besar-'
'Kekuatan kawanan tidak sebesar Magoirie!'
'Oleh karena itu-'
'Jika melawan Sang Dewi, lalu bagaimana Sang Dewi akan memercayai para siren untuk menjaga lautan?'
'Itu bukan urusanmu untuk dipikirkan, Yila!'
'Kau selalu memperlakukanku seperti anak kecil!'
'Kau memang tidak dewasa!'
Mereka saling menunjukkan gigi masing-masing. Jika argumen ini berakhir dengan pertempuran, Yila bertekad tak akan mau mengalah. Sebelum keduanya benar-benar bertempur, Yara mengubah ekspresinya menjadi lebih lembut. Dia mengalah. Bertempur dengan sang adik hanya membuang-buang waktunya.
***
Lukas terbangun karena siraman air laut di kepalanya. Matanya terasa amat pedas. Dia megap-megap lalu terbatuk. Bibirnya yang kering dan terkelupas berdarah ketika ia membuka mulut.
"Kenapa... mencariku?"
Yara. Itu suara Yara. Yara. Dewi Kematiannya.
"Yara?"
Gadis itu duduk di sebelah Lukas, dengan kemeja lusuh yang sama untuk menutupi bagian tubuhnya yang telanjang. Tidak ada ekor. Hanya kakinya yang jenjang dan pucat.
"Aku Yara. Kenapa mencariku?"
Lukas tersenyum lega. "Aku merindukanmu."
Yara menelengkan kepalanya sedikit. "Rindu?"
"Aku sekarat. Hal terakhir yang ingin kulihat adalah dirimu."
"Kamu tidak seharusnya... berada di sini."
"Yah, adikmu yang kejam itu menyiksaku di bawah terik matahari seperti ikan asin. Entah ini sudah hari ke berapa."
"Yila bilang... ini sudah hampir enam malam."
"Wow," gumam Lukas setengai terpukau pada daya tahan tubuhnya sendiri. "Aku lebih kuat dari yang kukira."
"Jantung orang sekarat tidak akan enak." Yara berkomentar. "Aku bisa mengembalikanmu ke daratan. Dengan satu syarat."
Lukas betah mendengarkan Yara berbicara dengan nadanya yang patah-patah itu. Yila lebih luwes menggunakan bahasa manusia daripada Yara.
"Adikmu bilang dirimu termasuk penting dalam kawanan. Apa peranmu?" tanya Lukas. Dia mengabaikan pertanyaan Yara sebelumnya.
"Yila bicara omong kosong. Bagaimana dengan penawaranku tadi, Manusia?"
Lukas terkekeh. "Aku sekarat. Daratan terlalu jauh dari sini."
"Kalau begitu, apa yang kamu inginkan?"
"Kamu. Aku ingin cintamu." Kemudian Lukas tertawa. "Aku sudah terbius sejak melihatmu pertama kali."
"Tidakkah kamu punya kawanan yang mencarimu? Keluarga? Teman?"
"Ya, mereka semua pasti panik mencariku. Ibuku orang yang mudah panik. Aku heran belum mendengar ada helikopter SAR yang lewat sini."
"Tempat ini... jauh dari daratanmu. Seperti yang kamu bilang."
Mata Lukas terpejam sesaat, dia hampir hilang kesadaran. "Yara," panggilnya.
Gadis penuh aura misterius itu menoleh. Sosoknya begitu indah di bawah sinar bulan. Kulitnya yang pucat. Rambut kusutnya yang hitam legam. Wajahnya yang jelita, tapi sedikit bengis jika dilihat-lihat. Kilatan matanya memancarkan bahaya.
"Jika aku memohon untuk dibawa pulang, bisakah kamu melindungiku dari adikmu yang kejam itu?"
"Sudah berubah pikiran?"
"Entahlah. Pikiranku sedang kacau. Aku tidak tahu apa yang kuinginkan. Tapi sepertinya... aku ingin pulang."
Yara berpikir sebentar, lalu dia mengangguk. "Dengan satu syarat."
"Apa itu?"
"Bawa aku bersamamu ke daratan. Bagaimana pun, aku adalah penyelamatmu."
"Apa pun yang kamu inginkan, Yara, akan kupenuhi." Lagi-lagi mata Lukas terpejam. Pembicaraan dengan Yara bagaikan mimpi.
***
Tukang ikut campur.
Itu adalah julukan yang disematkan Jorah padanya. Namun, Ronan punya alasan melakukannya. Di antara lima Magoirie yang lain, hanya dia yang tidak punya pengikut. Dia sering dilanda kebosanan, tapi tidak ingin merekrut pengikut seperti yang lain. Baginya, memiliki pengikut amat merepotkan. Bagaimana mereka akan mengadakan perkumpulan jika hanya dia yang memiliki sayap?
Di beberapa tempat di bumi, sosoknya memang dipuja layaknya dewa. Akan tetapi, pujian tidak pernah membuatnya bahagia. Kecuali jika datangnya dari Sang Dewi. Untuk itu, kali ini Ronan ingin bertindak sesuai dengan julukan Jorah padanya. Ketika Ronan mendarat di tengah jalan beraspal yang sepi, mobil yang melaju kencang hampir menabraknya. Namun, sang pengemudi cukup gesit untuk menginjak rem. Para penumpang turun dari mobil itu. Jumlahnya dua orang.
"Tuan Ronan," sapa mereka hampir bersamaan dengan kepala menunduk.
Ronan membalas dengan mengangguk samar. "Boleh kutahu ke mana tujuan kalian, Pengikut Magoirie Metal?"
"Mohon maaf. Kami menolak menjawab. Tuanku tidak ingin misi kali ini gagal lagi."
"Ahh... aku mengerti. Dugaanku tepat. Kalian mencari Sentient."
Keduanya saling pandang.
"Asal kalian tahu, Sentient berada dalam pengawasanku," sambung Ronan. Ia membentangkan kedua sayapnya sehingga dua manusia di depannya tampak terimidasi.
"Meski anda adalah seorang Magoirie, kami tak segan melawan anda. Tuan kami sudah memberi izin."
Ronan tertawa. "Tipikal manusia. Arogan sekali."
Kedua orang itu bernama Lyon dan Vesuvius. Merupakan salah dua pengikut Jorah sejak awal zaman. Jorah menjanjikan mereka kekekalan selama hidup berbakti padanya.
"Kembalilah, Mundane. Kalian tidak kuizinkan menyentuh Sentient."
Vesuvius mengumpulkan air di tangannya dari udara sekitar hingga membetuk gumpalan es yang lama-kelamaan menjadi bongkahan es berujung tajam. Ia melemparkan es itu ke arah Ronan, tetapi berhenti di udara sebelum mengenainya. Es tersebut mencair dalam sekejap.
Ronan mengibaskan satu sayapnya ke arah mereka hingga menimbulkan angin topan yang menghempaskan tubuh mereka beserta mobil yang mereka kendarai. Pepohonan miring ke arah angin berembus. Dalam sekejap, kerusakan terjadi.
Seekor elang mendarat di bahu Ronan.
'Mereka terhempas cukup jauh.'
"Itulah akibatnya jika meremehkanku. Padahal mereka hanya seonggok daging dan tulang yang dipinjami kekuatan kecil." Ronan geleng-geleng kepala. "Sekarang aku penasaran bagaimana Jorah meminjami mereka kekuatan untuk mengendalikan elemen seperti Keiko. Aku cemas Jorah melakukan ritual-ritual yang berdampak pada keseimbangan elemen. Apa yang kau tahu tentang ini?"
'Saya mendengar desas-desus. Magoirie Metal membangun sebuah laboratorium rahasia di tambang metal terbengkalai. Saya masih mencari tahu lokasinya.'
"Laboratorium, ya?" Ronan tersenyum sinis. "Dia membenci manusia, tapi mempekerjakan mereka demi mendapat apa yang dia mau. Ironik."
'Bukankah ini saatnya Tuan menemui Magoirie Metal untuk menegurnya?
Ronan menggeleng sekali lagi. "Jika para pengikutnya mati oleh anginku, biarkan itu menjadi peringatan baginya."
'Tuan benar-benar bijak kali ini.'
"Tidak juga. Ini tabuhan genderang perang. Dia memicu kekacauan."
'Maksud Tuan, kiamat akan terjadi?'
"Jika dia tetap bersikeras."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top