07 | JINGAI - Uninhabited

Lukas terbangun di atas batu karang besar yang menusuk-nusuk kulitnya. Ini bukan tempat yang tepat untuk berjemur. Kulitnya terbakar. Rasanya menyakitkan. Dia belum pernah merasakan terik matahari sepanas ini sebelumnya. Lukas coba membuka mata. Namun, otot-ototnya menolak. Dia terlalu lemah untuk itu.

"Air." Bisikan itu keluar dari bibir Lukas yang kering dan pecah-pecah.

"Sekelilingmu adalah air." Seseorang menyahut. Lukas mulai ketakutan lagi. Entah sudah berapa lama dia ditenggelamkan dan dibawa ke permukaan saat matahari sedang terik-teriknya. "Di antara para siren, hanya aku yang mengerti bahasa manusia. Kau pasti terkejut karena kuculik. Awalnya aku justru ingin memakanmu."

Lukas memaksa kelopak matanya untuk terbuka. Silau menyakitkan membuatnya mengernyit.

"Rencana kami berhasil. Para siren telah meluluh-lantakkan sebagian daratan. Kami masih perlu Magoirie untuk membuat tsunami yang lebih besar lagi," lanjutnya. "Kau bertanya-tanya tentang alasan kami melakukannya. Sederhananya, kami mengembalikan apa yang kalian buang ke laut. Sekarang manusia tahu rasanya diterpa bencana. Ini masih belum apa-apa. Ketika Magoirie kami kembali, kami akan meyakinkannya untuk menenggelamkan seluruh daratan di dunia."

Sosok itu duduk membelakanginya. Bukan dalam wujud siren, melainkan wujud manusia. Dari belakang, dia tampak seperti lelaki muda berambut panjang. Setelah memenuhi paru-paru Lukas dengan air garam, sekarang dia dijemur bak ikan asin. Lukas keheranan, mengapa dirinya belum mati? Apa predator suka mempermainkan mangsanya dulu sebelum dimakan?

"Namaku Yila. Yara adalah kakakku. Dia termasuk siren yang terpenting dalam kawanan kami. Bagaimana kau mengenalnya?"

Makhluk ini sungguh tidak punya hati nurani. Dia berbicara denganku seolah aku tidak sedang sekarat! Lukas memaki dalam hati.

"Kau kesulitan bicara, ya?" Dia berdecak. "Manusia begitu lemah. Aku heran bagaimana mereka bisa membuat peradaban semaju sekarang. Peradaban yang menghancurkan makhluk selain mereka." Yila terus bicara selayaknya orang berpidato. Ngomong-ngomong, apa semua siren selalu telanjang bulat jika berubah wujud menjadi manusia?

Rambut hitam kusut Yila bergerak sedikit, menandakan kalau dirinya menegakkan kepala. "Sejujurnya aku sedang bingung. Apa yang harus kulakukan denganmu? Aku sedang tidak berselera makan jantung manusia selemah dirimu. Aku juga tidak ingin melepaskanmu begitu saja. Terlalu besar risikonya. Meninggalkanmu sampai mati di sini juga tidak bisa karena aku cemas Ronan datang sewaktu-waktu dan memutuskan untuk memusuhi kawanan kami. Well, sebetulnya kami memang sudah bermusuhan sejak dulu." Yila terkekeh pelan.

"Tolong, beri aku... air."

Yila mengulurkan tangannya ke tepian batu karang untuk mengambil air menggunakan telapak tangan. Itu air laut. Jika Yila merasa tahu manusia dapat bertahan hidup hanya dengan air laut, maka dia salah besar.

"Air... tawar..." Lukas berbisik sekeras yang ia mampu.

Lagi-lagi Yila berdecak. "Buka mulutmu, Manusia."

Cemas dengan keselamatan nyawanya, Lukas membuka mulut dengan pasrah. Air yang berasal dari telapak Yila tidak asin. Rasanya begitu menyegarkan bagai air dari pegunungan. Lukas terus meneguk sedikit demi sedikit. Kepalanya menengadah seolah tidak rela air itu tumpah selain ke mulutnya.

"Lagi..." Lukas meminta dengan suara yang lebih jernih.

Yila menggeleng dengan raut datar. "Aku memberimu cukup untuk bertahan sampai beberapa jam ke depan." Kemudian dia menyeringai. Barisan gigi hiunya tampak ganjil dalam wujud manusia. Dia monster.

"Apa yang kamu mau dariku?" tanya Lukas. Ia masih tak kuasa bergerak bebas selagi masih dipanggang di bawah matahari. "Di mana alatku?"

"Yang kau maksud adalah alat jelek yang membuat indera para siren kacau itu?" tanya Yila tanpa antusias. "Aku sudah membuangnya. Kalau masih menginginkannya, silakan menyelam lalu temukan sendiri di dasar samudera. Aku yakin alatmu itu masih teronggok di suatu tempat di sana."

Lukas menghela napas pasrah. "Lalu, mau sampai kapan kamu menyanderaku begini?"

Yila mengedikkan bahu. "Entahlah. Aku berencana memakanmu nanti sebagai camilan."

"Rasaku tidak seenak yang kamu kira."

"Oh, siapa bilang?" Lagi-lagi Yila menyeringai. "Ketakutan dan keputus asaan. Dua hal itu menjadikan organ-organmu lebih lezat saat disantap."

"Manusia menyebut orang-orang sepertimu sebagai psikopat."

"Jika artinya sama dengan predator, maka aku setuju."

Lukas batuk-batuk. Sinusnya terasa pedih akibat air garam yang tanpa sengaja masuk saat dia ditenggelamkan. Perutnya amat melilit dan dahaganya tak tertahankan. "Ini sudah hari ke berapa?"

"Empat malam setelah tsunami."

Lukas memejamkan matanya putus asa. "Benar-benar terjadi, ya?"

"Aku sudah mengatakannya padamu tadi. Kau saja yang tuli."

"Sebesar apa kalian membuatnya?"

"Cukup besar untuk menyapu bersih pesisir. Gempanya juga lumayan. Aku yakin pusat kota juga merasakannya. Kudengar semua bangunan di sana runtuh. Menyenangkan mengetahui kerja keras kami membuahkan hasil."

"Ya ampun!" desah Lukas putus asa. "Bagaimana kalian membuatnya?"

"Tanpa dua Magoirie yang menjaga tanah dan air, kami hampir melakukannya dengan mudah. Yah, tidak terlalu mudah juga, karena kami harus menggerakkan lempeng bumi. Gesekannya hanya terjadi sedikit, tapi pengaruhnya luar biasa bagi daratan."

"Dengan cara apa?"

"Kekuatan magis kawanan. Seluruh kawanan bersatu untuk menggerakkan lempeng dari dasar palung laut. Cukup rumit untuk dijelaskan dalam bahasa manusia."

Lukas mencoba untuk bangkit duduk meski matanya berkunang-kunang. Sebentar lagi dia akan disantap oleh predator ini. Sebaiknya dia gunakan waktunya yang tersisa untuk hal-hal bermanfaat. Menambah ilmu pengetahuan tentang kawanan siren, misalnya.

"Coba ceritakan padaku, berapa banyak yang sepertimu di lautan dan yang menyamar ke daratan?"

***

Ronan menatap sisa-sisa kehancuran yang tak dicegahnya dalam diam. Para siren merusak sebagian kecil daratan. Hanya setitik noda dari peta bumi. Ratusan orang dipastikan tewas. Ribuan masih dinyatakan hilang. Ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Ini bencana kecil yang dijanjikan para siren dan sudah dimulai.

'Apakah ini sudah bisa disebut kekacauan, Tuanku?' tanya sang pelayan setia dan satu-satunya. Ronan menumpukan dagunya di atas tangan yang bersandar pada singgasana. Rautnya datar-datar saja, tanpa ekspresi tertentu. 'Bukankah Tuanku telah berjanji akan mencegah tsunami yang dibawa oleh para siren?' Sang pelayan kembali bertanya.

'Kau mau dengar alasan sesungguhnya?' Salah satu alis Ronan terangkat. 'Magoirie tidak diberkahi visi untuk mengetahui masa depan. Mana kutahu kalau para siren akan menciptakan bencana dalam waktu sesingkat itu?'

'Mereka benar-benar hebat.'

'Ya, aku setuju. Belum pernah aku menyaksikan kawanan yang sekompak itu. Mereka menggunakan kesempatan dengan baik. Sejak Ahiga dan Keiko tiada, mereka bertindak semau-maunya.'

'Tidakkah Tuan ingin menghentikan mereka sebelum terlalu jauh?'

'Akan kupikirkan.'

'Bagaimana dengan Sentient?'

'Kita akan memberi dia waktu untuk berduka. Bagaimana pun, dia kehilangan seluruh anggota keluarganya. Dia yang memilih untuk mengabaikan saranku.'

'Tapi, Tuan merasakan energinya yang berpendar malam itu?'

'Tentu. Dan bukan hanya aku. Kuyakin Jorah dan Adjo juga merasakannya. Setelah ini dia akan diburu.'

'Tuan Adjo berpihak pada Tuan Jorah?'

'Tidak ada pihak-memihak. Sejak dulu, Adjo selalu netral. Namun, kali ini akan ada perubahan besar-besaran. Setelah Sentient mengekspos dirinya sendiri. Para pengikut Jorah dan Adjo akan berdatangan bagai ngengat menuju cahaya lampu. Lalu mereka akan terbakar habis karena tidak tahu siapa yang sedang mereka hadapi.'

'Menurut Tuan, Sentient sekuat itu?'

'Dia masih belum menyadari berkah yang dimilikinya. Makhluk bodoh itu.'

'Apabila Tuan bertindak benar, saya yakin Sang Dewi akan bangga pada Tuan.'

Mendengar nama Sang Dewi disebut, ujung bibir Ronan tertarik ke atas. 'Begitukah?'

Kepala sang pelayan mengangguk dua kali.

'Menurutmu aku benar-benar harus ikut campur kali ini agar dapat kesempatan bertemu Sang Dewi?'

Lagi-lagi kepala pelayannya mengangguk.

'Lalu,' lanjut Ronan. 'Kepada siapakah kita akan berpihak kali ini?'

'Saya rasa Tuan sudah punya jawabannya.'

'Ah, kau ini.' Ronan berdecak dengan mata menyipit curiga. 'Kau rindu petualangan, bukan?'

'Setiap hari bersama Tuan adalah petualangan bagi saya.'

Ronan mengulum senyumnya. 'Kalau begitu, kita harus mulai dari mana dulu?' Ia bangkit dari singgasananya sambil membentangkan dua sayapnya yang megah. Hanya di istananya ia dapat melakukan ini secara bebas. Tak ada benda apa pun yang menghalangi sayap-sayapnya untuk dibentangkan selebar mungkin. Kali ini, campur tangannya dimulai. Berkat saran siapa lagi kalau bukan pelayan elang yang setia?

***

Orang-orang lokal menyebutnya Dasht-i-Naumid atau gurun tanpa harapan, dan terkadang Dasht-i-Margo atau gurun kematian karena saking tidak layak huninya. Pemandangan yang membentang luas hanya dipenuhi tanah dan bebatuan oranye, terkadang dihiasi fatamorgana berupa udara yang bergerak seperti air. Suhu pada siang hari dapat menyentuh 76° celcius. Hanya serangga dan reptil saja yang mampu beradaptasi pada kerasnya ekosistem Gurun Lut. Dalam bahasa Persia, Lut mengacu pada tanah tandus tanpa air maupun tumbuhan. Tidak layak huni. Namun, Adjo sang Magoirie Api tinggal dengan nyaman di sana.

Ronan tidak terlalu menyukai tempat itu selayaknya Jorah si Pengendali Metal yang tak bisa mengunjunginya di angkasa. Tetapi kali ini, Ronan merasa harus berkunjung untuk membicarakan kabar satu sama lain. Di tengah teriknya cuaca sehari-hari di Gurun Lut, Ronan mendatangi pondok Adjo yang lokasinya berada di jantung gurun.

Ketika Ronan mendarat, Adjo keluar dari pondoknya.

"Suatu kehormatan dikunjungi Magoirie Udara," sambut Adjo dengan nada ramah.

"Salam, Magoirie Api."

"Salam untukmu, Ronan." Keduanya tersenyum, sebelum akhirnya Ronan mengernyit sedikit akibat jilatan terik matahari. "Pasti kurang nyaman bagimu berada di tengah cuaca panas ini. Silakan masuk ke pondokku yang sederhana, Ronan." Adjo berujar.

Ronan menyambut baik tawaran itu dengan bergegas masuk ke pondok Adjo yang terbuat dari tanah liat beratapkan dahan kering serta semak belukar. Sungguh tempat tinggal yang bersahaja bagi seorang Magoirie terkuat.

Adjo menyajikan segelas air dari entah sumber mata air yang mana. Ronan meminumnya karena penasaran dapat sesegar apa segelas air saat dinikmati di tengah gurun.

"Sepertinya aku belum pernah merasa sehaus ini sebelumnya," ujar Ronan.

"Gurun ini tidak pernah kebagian awan. Langit selalu biru dan cerah setiap harinya. Bukan berarti aku mengeluh. Tempat ini merupakan habitat alami buatku."

"Aku yakin begitu. Tidak ada manusia yang cukup gila untuk mendatangi tempat ini. Mereka bisa terbakar sampai mati."

"Aku pernah bertemu beberapa peneliti. Mereka hampir sekarat saat tersesat. Aku menunjukkan jalan keluar sehingga mereka dapat segera pulang. Jujur saja, aku tidak terlalu suka dikunjungi oleh manusia. Lain halnya jika seorang Magoirie yang datang."

"Kalau begitu, aku boleh berasumsi kalau dirimu hidup dengan nyaman dan tenang di sini," ujar Ronan.

"Begitulah." Adjo menimpali.

Secara alami, Magoirie biasanya dianugerahi saat usia mereka telah sangat dewasa. Contohnya seperti Jorah, Adjo, Keiko, atau Ahiga yang baru mendapat berkah ketika usia mereka 31 tahun. Setelah usia itu berlalu, maka mereka hidup abadi sebagai Magoirie. Lain halnya dengan Ronan yang menjadi Magoirie termuda baik dalam perhitungan usia manusia, maupun Magoirie. Meski begitu, tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak saling menghormati satu sama lain. Selama mereka hidup, pertemuan antar Magoirie semacam ini sangat jarang terjadi, kecuali jika mereka mengagendakan kekacauan yang biasanya berhasil dicegah lewat pemungutan suara terbanyak.

"Ada hal tertentu yang ingin disampaikan padaku, bukan?" tanya Adjo tanpa tedeng aling-aling.

"Tentu saja. Ada yang ingin kutanyakan."

"Kau bisa menanyakan apa saja."

"Bagaimana hubunganmu dengan Jorah belakangan ini?"

Terdapat perubahan ekspresi pada raut Adjo. Bukan ekspresi yang menyenangkan atau menenangkan. "Aku bertemu dengannya baru-baru ini. Sekitar dua dekade yang lalu. Bukan untuk tujuan yang baik."

"Ada sangkut pautnya dengan Ahiga?"

Adjo tampak terkejut sekilas. Namun, dia mampu mengendalikan ekspresinya untuk kembali netral. "Apakah Sang Dewi memberitahumu?"

Ronan menggeleng. "Mengapa semua orang berpikir kalau aku dapat berkomunikasi dengan Sang Dewi sesuka hati?" gerutunya.

Adjo hanya tersenyum kecil. "Kami mengira kau adalah Magoirie yang paling dekat dengannya mengingat kau membangun istanamu di angkasa."

"Tapi kenyataannya tidak begitu," sanggah Ronan sambil bersungut-sungut. "Jadi, apa yang terjadi belakangan ini antara dirimu, Jorah, dan Ahiga?"

"Untuk apa menanyakannya sedangkan kau merasakan sendiri bagaimana pedihnya saat Sang Dewi menarik berkah Ahiga?"

"Aku tahu bagian yang itu. Aku penasaran dengan alasannya serta apa yang terjadi pada jasadnya," timpal Ronan.

"Ahiga bersekutu dengan Keiko."

"Dasar tidak romantis!" balas Ronan sedikit gemas. "Mereka saling mencintai."

"Ya, dan romansa itu melahirkan seorang Sentient. Keiko berhasil menyembunyikannya selama dua dekade."

Ronan mengangguk. "Bagaimana dengan jasad Ahiga?"

Adjo menghela napas panjang. "Jorah memintaku untuk memusnahkannya. Dia bilang itu perintah dari Sang Dewi. Belakangan aku tahu kalau ternyata itu adalah atas inisiatifnya sendiri."

"Apa dia membuang abunya?"

Adjo menggeleng. "Entahlah. Aku pergi setelah apiku padam. Aku merasa sangat bersalah pada Keiko dan Sang Dewi karena bertindak tanpa konfirmasi."

"Lalu, apa yang terjadi kemudian?"

"Aku kembali kemari dan bertemu denganmu sekarang. Tidak banyak yang terjadi di gurun ini."

"Keiko tidak menemuimu?"

"Aneh sekali arah pembicaraanmu ini. Kau banyak bertanya."

Ronan hampir memutar bola mata. "Itu karena aku penasaran."

"Ah, Magoirie muda yang selalu penasaran. Jorah sering menyebutmu sebagai tukang ikut campur." Adjo kembali tersenyum.

"Jorah memiliki banyak julukan untukku. Dia tidak menyukaiku."

"Terkadang aku juga berpikir kalau kau sosok yang sulit untuk disukai."

"Ha!" pungkas Ronan. "Kau mengabaikan pertanyaanku."

"Aku tidak pernah bertemu Keiko selama lima abad. Begitu pun sebelum apiku membakar raga Ahiga atau setelahnya," ujar Adjo untuk menjawab pertanyaan Ronan sebelumnya. "Kudengar para pengikut Jorah menyebar ke seluruh dunia untuk mencari kabar tentang Keiko."

"Hmm," Kepala Ronan mengangguk-angguk. "Pengikutnya sudah semakin banyak. Apa dia membagikan berkahnya secara cuma-cuma kepada para pengikutnya itu?"

"Yang kutahu hanya beberapa."

"Beberapa?" Ronan tertawa. "Dia membagikannya begitu saja?"

Adjo berekspresi datar. "Setiap Magoirie punya kebebasan untuk memilih pengikut masing-masing dan bagaimana cara memperlakukan mereka. Jorah mengambil pengikut lewat kultus yang dia buat. Di mana dia menjadi satu-satunya dewa yang disembah karena memberi orang-orang tertentu sedikit kekuatannya."

"Caranya seperti meniru Sang Dewi."

Adjo tersenyum tipis. "Kita tidak punya hak untuk menghakiminya."

"Lalu... apa yang kau pikirkan tentang Sentient?"

"Sentient?" ulang Adjo dengan kilat kecil di matanya. Ronan hampir-hampir tidak menyadarinya.

"Jangan bilang kau tidak merasakan energinya yang berpendar ke mana-mana. Tanda eksistensinya sudah sejelas ini."

Adjo mengangguk setuju. "Kira-kira apa yang habis dilakukannya sampai pendar energinya begitu jauh terasa?"

"Sesuatu yang besar, yang hanya Sang Dewi yang dapat melakukannya."

"Adakah kemampuan semacam itu? Sentient memilikinya?"

"Maaf, aku tidak bisa menjawabnya karena aku sendiri tidak melihat."

"Menarik sekali," Adjo menganggukkan kepalanya sekali. "Sentient ini. Aku sempat berpikir untuk menemuinya walau sekali."

"Kau pasti akan menyesal. Penampilannya tidak secemerlang yang kita kira." Ronan hampir mendengkus. Lidahnya ingin menambahkan kalau Sentient yang mereka maksud sangat naif, bodoh, tanpa ambisi, dan di bawah standar biasa-biasa saja.

"Oh, kau sudah bertemu dengannya?" Kali ini Adjo tak dapat menyembunyikan raut heran bercampur kaget. Ronan hanya mengangguk. "Justru itu membuatnya makin menarik," komentar Adjo.

"Bagaimana dengan Keiko. Adakah kau merasakan energinya?"

"Mengapa bertanya padaku?" Adjo balik bertanya. "Kau sendiri dapat mencari tahu. Kudengar para siren membuat keributan kecil di daratan."

"Aku gagal menanganinya. Mereka bertindak serba mendadak. Saat aku sadar, pesisir itu sudah disapu oleh tsunami. Aku khawatir ini hanya permulaan."

"Hanya Keiko yang dapat membuat mereka tunduk. Kira-kira ke mana dia pergi?"

"Kukatakan pada para siren kalau Magoirie mereka telah musnah."

"Sungguh asumsi yang buruk." Adjo geleng-geleng kepala. "Perlukah kita mengadakan pertemuan untuk membahas ini serta nasib Sentient?"

"Kurasa juga begitu. Jika Keiko benar-benar musnah, bukankah Sang Dewi perlu menganugerahi Magoirie selanjutnya untuk menggantikannya dan Ahiga?"

"Kau benar. Akan kuusulkan ini pada yang Jorah. Lagipula, harus ada yang bertanggung jawab pada area Yellowstone. Gempa terus menerus terjadi di sana."

"Terima kasih, Adjo."

"Sebagai gantinya, kau harus membawa Sentient ke hadapan kami."

Ronan tersenyum. "Ya, tentu kalian perlu bertemu dengannya. Akan kuusahakan sebelum Sentient ditangkap oleh pengikut Jorah."

"Ah, sekarang aku mengerti maksudmu. Jorah ingin mendapatkannya lebih dulu, tapi kau Magoirie paling cerdik. Di balik sayapmu, kau punya 1001 trik untuk dicoba."

"Mengapa pujianmu terdengar seperti hinaan?"

Adjo tertawa.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top