02 | KAZOKU - Family
"Tadaima!" Aoki mengucapkan salam dengan setengah hati sembari melepas sandalnya di genkan -undakan kecil pada beranda dalam sebagai tempat mengganti sepatu dengan sandal rumah.
"O-kaeri!" balas ibunya. "Tumben banget keluar pagi-pagi?"
"Abis joging. Aoki tidur dulu, Mah!" Ia menyebrangi ruang keluarga seluas 17 tatami -1 tatami berukuran 1,6meter persegi- yang disekat oleh pintu geser untuk memisahkannya dengan dapur. Tangga menuju lantai dua berada di sebelah rak dinding yang memajang buku serta sebuah lemari butsudan milik ayahnya. Lemari itu berisi benda keagamaan Buddha dan hanya dibuka di saat-saat tertentu untuk beribadah.
"Tunggu, Aoki! Tunggu sebentar!" Bu Melati mencegah putranya yang hendak naik ke kamar. "Tolong antar ini ke rumah Pak Rudolf." Ibunya menyerahkan mangkuk porselen tertutup yang berisi omurice.
Aoki mengerang. "Suruh Rin-chan aja yang ke rumah."
"Eeh, mana bisa begitu? Sudah, bawa aja ke sana! Cepat, keburu dingin!"
Masih dengan setengah hati Aoki menerima mangkuk porselen itu untuk diantar ke seberang rumah. Langkahnya gontai. Yang dia inginkan hanya segera berbaring dan tidur.
Pagar hidup yang mengelilingi rumah keluarga Tjiptobiantoro tampak menyegarkan matanya yang berat. Tanaman hijau masih diselimuti tetes-tetes air bekas embun pagi tadi. Aoki tidak tahu jenis tanaman apa yang dirawat Rinjani dengan sepenuh hati hingga bisa tumbuh lebat dan rapi seperti ini. Berbeda dengan rumahnya sendiri yang didesain Papa seperti rumah masyarakat Jepang pada umumnya, rumah keluarga Tjiptobiantoro lebih modern. Minimalis lebih tepatnya. Rumah itu ditinggali empat orang termasuk Rinjani. Sepeninggal Bu Citra -mama Rinjani- bertahun-tahun lalu, Pak Rudolf tidak pernah menikah lagi. Beliau membesarkan tiga orang anak seorang diri sampai mereka dewasa seperti hari ini.
"Permi-"
"Oii, Kapten!"
Belum sempat Aoki mengucapkan salam, abang nomor dua Rinjani tiba-tiba membuka pintu. Sosok yang dikenal memiliki kepribadian berkebalikan dengannya itu tampak senang melihat Aoki muncul di undakan depan rumah.
"Val!" sapa Aoki ringan. Mereka berdua berada di tim e-sport yang sama. Hari ini merupakan hari pertama jadwal kunjungan semester mereka. Dalam tim Apollyon 1 yang berisi Valentino, Yuza, Gideon atau sering dipanggil Ion, dan Wanda, Aoki punya sebutan Kapten karena dia adalah kapten di tim tersebut. Valentino sendiri mengisi posisi atau peran utama sebagai Carry. Sedangkan Aoki menjadi Midlaner yang sering dianggap paling sulit dan rumit karena memerlukan ketangkasan serta pemahaman mendalam tentang kemampuan setiap peran di tim lawan.
"Rin-chan baru berangkat!" Tanpa tedeng aling-aling Valentino menebak siapa yang dicari Aoki setiap kali datang, selain dirinya tentu saja.
Aoki menarik senyum simpul karena ledekan Valentino yang meniru nama panggilan Rinjani. "Omurice buat Bang Mika."
"Souka!" Valentino meniru aksen Aoki saat mengucapkan 'begitu, ya' dalam bahasa Jepang. "Orangnya udah berangkat sejak jam enam."
"Ya, sudah. Kamu aja yang makan!"
"Ya, masuk kalau gitu!"
"Kamu sendiri ngapain keluar?"
"Eh?" Valentino melihat sekeliling. "Cari angin. Suntuk di dalam."
Aoki mengernyit, tapi memutuskan untuk tak ambil pusing. Yang tidak dia tahu, obrolan di meja makan Tjiptobiantoro telah meninggalkan kesan kurang baik di antara anggota keluarga. Menurut Valentino, Aoki tidak perlu tahu itu.
Berbeda dengan rumah Aoki yang tidak memiliki ruang tamu, rumah keluarga Rinjani memiliki ruang tamu yang langsung terhubung dengan ruang keluarga tanpa sekat. Ukuran ruang keluarganya jauh lebih luas dari ruang tamu. Apalagi dapurnya. Karena Pak Rudolf adalah seorang tukang roti, dapurnya memiliki luas hampir 20 tatami dalam satuan Jepang. Isinya lengkap. Berbagai macam oven dan ruang pendingin tersedia untuk mendukung kinerja Pak Rudolf membuat roti, kue, dan pastry sebelum didistribusikan oleh para karyawan ke dua toko yang masih bertahan di tengah pandemi. Dua tahun belakangan telah menjadi tahun buruk bagi bisnis hampir semua orang. Banyak yang diPHK atau disuruh mengundurkan diri dengan alasan pengurangan karyawan. Toko roti Tjiptobiantoro hanya salah satu di antaranya. Untungnya, beberapa bulan ini usaha mereka mulai bangkit kembali setelah pandemi dan himbauan isolasi mandiri mereda.
Aroma roti yang baru saja keluar dari oven langsung tercium begitu Aoki masuk. Dia selalu menyukai aroma ini. Setiap kali rindu rumah, Aoki sering berkeliling toko kue di sekitar asrama demi mencium aroma semacam ini. Rasa rindunya terobati kala mengingat aroma rumah Rinjani.
"Aoki!" sapa Pak Rudolf yang berusia lebih dari setengah abad, tapi tetap tampak bugar itu. Beliau mengelap kedua tangan di celemek dan menyambut Aoki di pintu masuk istananya, alias dapur.
"Mamah buat omurice buat sarapan."
"Wah, Mika sudah pergi kerja. Kalau Jani... tadi Om suruh ngajak Mono jalan-jalan." Mono adalah nama seekor anjing Golden Retriever milik Mikael. Biasanya, Rinjani memang bertugas untuk mengajak anjing itu jalan-jalan setiap pagi dan sore. Kalau akhir pekan, si pemilik lah yang bertugas melakukannya.
"Tadi pagi udah ketemu Rin-" Aoki lekas-lekas menggeleng. "-Jani di kafe temennya."
"Ooohh," balas Pak Rudolf. Papa Rinjani itu memang pendiam dan jarang basa-basi. Sifat pedulinya hanya diketahui segelintir orang saja, termasuk keluarga.
"Jangan langsung pulang!" Pak Rudolf mengambil alih mangkuk omurice dari tangan Aoki. "Sarapan dulu. Om baru buat garlic bread."
Teringat akan cerita Rinjani tadi pagi tentang roti-roti yang tak laku membuat perasaan Aoki trenyuh. Tanpa pikir panjang, Aoki menarik kursi di sebelah Valentino yang telah menanti omurice untuk sarapan ronde dua. Pak Rudolf tersenyum melihat anak-anak itu berkumpul lagi setelah sekian lama.
***
Rinjani bukan anak terpintar di keluarganya. Dari SD sampai SMA, dia tidak pernah masuk sepuluh besar anak terpintar di kelas. Hidup Rinjani hanya penuh dengan keberuntungan. Meski bukan juara kelas, Rinjani populer semasa SD, SMP, dan SMA. Wajahnya imut dan kekanakan. Sifat ramah dan cerianya disukai semua orang. Saat dia dalam kesulitan, orang lain yang berpapasan dengannya selalu sigap membantu karena mengira dirinya remaja kecil yang perlu dibantu.
Ketika mendaftar universitas negeri pun –atas saran dan nasehat Mikael, nama Rinjani menjadi calon terbawah yang lolos. Namun, dengan cepat terdepak oleh calon mahasiswa yang kenal orang dalam. Karenanya, Rinjani jadi masuk universitas swasta yang menyediakan kelas malam dengan jurusan yang sesuai dengan saran papanya sehingga dia tidak perlu menguras otak untuk mengikuti mata kuliah memusingkan di jurusan yang disuruh Mikael. Dengan begitu, dia bisa membantu Pak Rudolf saat siang, dan belajar saat malam. Sewaktu Ospek, Rinjani sakit tifus sehingga tidak merasakan betapa galaknya kakak-kakak tingkat. Hal yang sama terjadi pada saat sidang skripsi. Semua dosen penguji tidak memberinya banyak pertanyaan dan meluluskannya tanpa ba-bi-bu. Rinjani merasa hidupnya mulus seperti jalan tol karena faktor keberuntungan.
Hari sudah mulai terik. Rinjani sedang duduk-duduk di bangku taman lansia. Berhubung para penduduk komplek usia lanjut hanya keluar pada sore hari, taman ini jadi begitu lengang. Rinjani memilih tempat berteduh di bawah pohon besar selagi mengawasi Mono bermain sendirian di taman. Tak berapa lama, Mono berlari ke arahnya dengan membawa sebuah ranting di mulut. Anjing itu ingin main lempar tangkap.
"Aduh, ini panas banget, Mono. Pulang aja, yuk!"
Seolah mengerti apa yang dikatakan Rinjani, Mono malah duduk di tanah sambil mengibaskan ekor. Ia meletakkan ranting itu di dekat kaki Rinjani lalu mulai menggonggong. Dia tahu Rinjani paling tidak betah mendengarnya menggonggong.
"Oke, oke! Ssstt! Jangan berisik!" Alhasil, Rinjani mengalah. Ia memungut ranting kering bercabang dua itu dan melemparnya sejauh yang ia bisa. Mono berlari kencang mengikuti arah ranting pergi. Untuk sementara, Rinjani menikmati keheningan dan embusan angin sepoi-sepoi di bawah pohon rimbun. Sesaat lamanya Rinjani merasa dirinya hampir tertidur, sampai ia mendengar gongonggan yang tak asing.
Kesadarannya kembali. Ia celingukkan mencari Mono. Anjing itu ada di seberang taman, sedang menggonggong heboh, seakan sedang menggonggongi sesuatu atau seseorang. Rinjani berlari ke arahnya, cemas Mono digigit hewan berbahaya seperti ular berbisa atau kena sengat lebah yang sering terlihat beterbangan di sana.
"Mono kenapa?"
Anjing itu terus menggonggong meski Rinjani telah tiba. Ia terus melihat tanah, tepatnya pada tanaman aneh yang tumbuh melengkung ke dalam tanah. Daunnya masih hijau muda dan kecil-kecil bagai baru saja tumbuh. Rinjani ingat pada ranting yang ia lempar agar ditangkap Mono. Bentuknya juga melengkung dan bercabang dua. Persis dengan tanaman ini.
Ah, mana mungkin itu ranting yang sama, pikir Rinjani.
"Ayo, pulang, Mono! Udah siang." Ia mengaitkan tali kekang Mono dan menariknya menjauh dari tanaman aneh itu.
Di luar pengamatan Rinjani, ranting itu memang terus tumbuh. Akarnya kuat menembus tanah. Daun-daunnya semakin hijau dan bergerak tumbuh menuju cahaya matahari. Dalam waktu singkat, ranting itu menjelma menjadi sebuah pohon muda. Tak ada yang menyadari sejak kapan pohon muda itu tumbuh di sana. Kehadirannya tidak mencolok di antara pepohonan yang serupa di taman para lansia.
***
"O-kaeri, Rin-chan!"
Yamazaki-san -ayah Aoki- membalas salam Rinjani. Bersama istrinya, Bu Melati, mereka sengaja menanti Rinjani untuk makan malam bersama, mengingat Pak Rudolf selalu pulang larut malam. Valentino datang bersamanya. Tak berapa lama, Aoki menyusul turun dari kamarnya di lantai dua.
Menunya sederhana saja. Di masing-masing mangkuk nasi diletakkan sebutir umeboshi atau asinan buah plum. Umeboshi dipercaya dapat meningkatkan nafsu makan setelah seharian lelah beraktivitas. Selain itu, setiap set menu makan malam mereka dilengkapi semangkuk sup miso, ikan kembung panggang, telur gulung, tumis daging tipis dan kol. Semuanya masih panas dan siap disantap.
"Itadakimasu!" Keluarga Yamazaki mengucapkannya hampir bersamaan.
Sedangkan Rinjani dan Valentino menangkupkan kedua tangan di depan dada saling menggenggam sambil memejamkan mata untuk mengucap syukur. Tak lama kemudian, mereka menikmati makan malam bersama. Mereka makan dalam keheningan yang menenangkan. Seusai makan malam, Bu Melati menghidangkan sepiring mochi -kue beras berisi pasta kacang merah manis- sebagai hidangan penutup.
"Tanjoubi omedetougozaimasu!" ucap Yamazaki-san sambil mengatupkan kedua tangan di depan dada.
"Selamat ulang tahun, Rin-chan!" sahut Bu Melati riang.
"Ah, masih terlalu awal, 'kan?" Ulang tahunnya masih besok. Dia tidak mengerti alasan keluarga Yamazaki selalu merayakan sehari sebelumnya dengan cara memberi kue mochi alih-alih kue ulang tahun. Menurut Yamazaki-san, keluarganya di Jepang selalu menyajikan ini saat ada anggota keluarga berulang tahun. Kebiasaan itu dibawa sampai ke kampung halaman sang istri.
"Souka! Kita melakukan kesalahan lagi?" Yamazaki-san bertanya-tanya sambil menatap putra dan istrinya bergantian.
Bu Melati mendesah kecil. "Kami selalu salah melingkari tanggal."
Aoki menunduk. Dirinya juga tidak sadar telah memberi kado sehari sebelum hari ulang tahun sesungguhnya. Nasi telah menjadi bubur. Kado itu sudah dibuka oleh si penerima. Pantang diambil kembali.
"Saya tidak terlalu paham bagaimana budayanya di sini, tapi di Jepang, orang-orang dewasa biasanya merayakan ulang tahun tidak selalu tepat pada tanggal. Wakarimasu ka?" Semua orang mengangguk sebelum Yamazaki-san meneruskan. "Jadi, sah-sah saja bagi Rin-chan untuk merayakannya hari ini atau besok lusa. Atau bahkan di akhir minggu. Terserah yang berulang tahun saja. Dan tentu sah bagi kita untuk makan mochi buatan istri saya tercinta ini sehari sebelum hari ulang tahun Rin-chan yang sesungguhnya," ungkap Yamazaki-zan panjang lebar.
"Daijoubu, daijoubu!" Valentino berujar 'tak apa-apa' meniru aksen Aoki selama ini. "Kita ngerayain dua kali. Sekali di sini. Besok lagi. Apa saya boleh ikut makan mochi enak buatan Tante?"
"Silakan, Val!" Bu Melati mengambilkan sebutir mochi dengan sumpit lalu meletakkannya di piring Valentino.
Rinjani tersenyum, padahal pikirannya kembali ke taman lansia, di mana pohon yang paginya dia lihat telah tumbuh menjadi pohon dewasa sewaktu dia dan Mono kembali pada sore harinya untuk berjalan-jalan. Mengapa bisa begitu? Apakah itu ranting yang sama? Rantingnya yang ajaib atau tanahnya, ya?
Tanpa sadar ia mengamati telapak tangannya sambil dibolak-balik.
"Ada apa?" tanya Valentino dengan mulut penuh mochi bertabur tepung.
Rinjani buru-buru menggeleng dan menurunkan kembali tangannya ke pangkuan.
Makan malam hari itu berakhir dengan Bu Melati membungkuskan lauk-pauk dan nasi untuk Pak Rudolf dan Mikael. Rinjani mengucapkan banyak terima kasih karena keluarga Yamazaki merayakan ulang tahun lebih awal bersamanya. Dia juga memberi Aoki senyum tulus super lebar karena repot-repot menyiapkan kado. Lelaki itu membalasnya dengan menguap karena mengantuk. Jatah tidurnya belum terpenuhi.
***
"Aku mau mencoba sesuatu." Rinjani berujar pada Mono yang pagi itu duduk di tanah taman lansia. Lokasinya tepat di sebelah pohon dari ranting ajaib. Rinjani membawa sebiji jeruk dari rumah, memakannya dengan cepat, lalu melemparkan satu bijinya ke tanah. Ia berjongkok di sebelah Mono, memerhatikan apa yang terjadi.
Di luar dugaan, biji itu diserap oleh tanah, dan berganti dengan tunas kecil.
"Woah, tanahnya yang ajaib!" seru Rinjani takjub. Dia buru-buru menghubungi ponsel Aoki untuk menyuruhnya cepat datang ke taman lansia. Sekitar lima belas menit kemudian, Aoki muncul dengan langkah gontai dan rambut acak-acakan. Tampaknya dia memaksakan diri turun dari ranjang demi memenuhi panggilan Rinjani yang bawel.
"Jangan buat aku menyesal datang ke sini dengan mengorbankan jatah tidurku!" ujarnya ogah-ogahan.
Rinjani menarik lengannya mendekat. "Lihat ini!" Ia melempar biji jeruk ke tanah seperti sebelumnya lalu mengajak Aoki berjongkok untuk memerhatikan.
Biji jeruk yang begitu kecil dan tersembunyi di rerumputan tiba-tiba menghilang ditelan tanah. Sebagai gantinya, tanah menumbuhkan tunas yang sama. Awalnya satu senti. Ketika waktu berlalu, tunas itu menjelma jadi pohon muda.
Aoki menonton tanpa berkedip. Begitu pun dengan Rinjani.
"Nani?" gumam Aoki. "Aku minta jeruknya." Dia menengadahkan tangan pada Rinjani.
"Ini tanah ajaib. Kita bisa menanam apa aja di sini. Mau coba nanem koin?"
"Mana jeruknya?" tagih Aoki.
"Oh," Rinjani memberi sepotong jeruk untuk dibongkar bijinya pada Aoki. Tanpa pikir panjang, Aoki meletakkan biji itu di atas tanah. Ia sengaja mencabut rumput di sekitarnya demi dapat melihat lebih jelas proses pertumbuhan.
Sepuluh detik berlalu. Namun, tak ada yang terjadi.
Mereka saling berpandangan. Kemudian Aoki menyuruh Rinjani melakukannya lagi. Seperti yang diduga, biji milik Rinjani tumbuh subur di sebelah biji jeruk yang Aoki letakkan.
"What the fvck?"
Aoki meraih tangan Rinjani dan membolak-baliknya. "Bukan tanah atau bijinya yang ajaib. Tapi tanganmu!"
"Ha, benarkah?"
Aoki mengangguk antusias. Kabut kantuk sudah lenyap tak berbekas.
"Kemarin aku melempar ranting untuk main lempar tangkap dengan Mono. Yang itu!" Rinjani menunjuk pohon dewasa berumur sehari tak jauh dari tempat mereka berjongkok. "Kenapa bisa begitu, ya?"
"Kamu punya bakat berkebun. Itu satu hal. Tapi, jika menumbuhkan tanaman secepat ini, namanya sihir! Kamu bisa sihir?"
Rinjani menyemburkan tawa. Sesaat kemudian, senyumnya luntur. "Mana mungkin? Memangnya suku Navajo bisa menyihir tanaman?"
"Coba kamu sihir Mono jadi tanaman!" desak Aoki.
"Hah? Nggak mau! Kalau betulan jadi tanaman, gimana? Bang Mika pasti ngamuk!"
"Ya, sudah. Coba sihir aku jadi tanaman!"
Aoki terdengar tak masuk akal. Rinjani menyembunyikan tangannya di balik punggung, ekspresinya ketakutan. "Seandainya kamu jadi tanaman, bagaimana cara mengembalikanmu seperti semula? Jangan ngawur, deh!"
Aoki mengangguk takzim. Kelihatannya dia baru sadar kalau ucapan Rinjani ada benarnya. "Kita tidak boleh gegabah, apalagi ceroboh. Aku ada pertandingan bulan depan. Kalau aku jadi tanaman, anggota timku bisa kehilangan kapten," gumamnya. Rinjani terlanjur mendengar.
"Aku jadi takut. Ayo, kita pulang aja!" ajak Rinjani setengah mendesak.
"Bukankah ini kebetulan yang aneh?" tanya Aoki, tak memedulikan rengekan Rinjani. "Kemarin papamu membahas asal-usulmu sebagai anak dari suku Navajo. Hari ini kamu bisa sihir. Apa ada hubungannya dengan darah Navajo di tubuhmu?"
"Aoki, sekarang aku sedang bingung. Jangan menambahi beban pikiranku lah!"
"Kita harus menanyakannya pada papamu."
Rinjani buru-buru menggeleng. "Enggak ada yang boleh tahu!" Jika keluarganya mengetahui ini, Rinjani khawatir keluarganya menganggapnya aneh dan mengasingkannya. "Selain Aoki, nggak ada yang boleh tahu. Kita selidiki sama-sama. Tapi, bukan sekarang. Ini terlalu ... mengejutkan." Rinjani melanjutkan dengan setengah bergumam. "Setidaknya bagiku."
"Pasti ada penjelasan ilmiahnya."
"Kupikir juga begitu, tapi... apa, ya? Ini nggak masuk akal. Mana ada pohon tumbuh sendiri dalam hitungan jam?"
"Kalau kamu benar-benar penyihir, bagaimana?" Ekspresi Aoki benar-benar antusias, tidak seperti dia biasanya.
"Aku nggak mau dianggap aneh." Rinjani menggeleng muram. "Kita rahasiakan ini untuk sementara, oke?"
"Oke. Tapi, aku mau kamu mencoba sesuatu. Maksudku... kita pakai biji lain. Koin, misalnya. Apa bisa tumbuh pohon uang?"
Mereka saling berpandangan. Ide itu layak dicoba. Namun, taman lansia bukan tempat yang tepat untuk menanam uang. Mereka harus mencari lahan yang bebas dari tatapan publik. Halaman belakang Rinjani, contohnya.
***
Jadi, udah klik belum nih sama Rinjani + Aoki?
See you next week, my folks!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top