7

Yuju baru saja mandi. Ia kembali ke kamar dalam keadaan bersih dan wangi. Tinggal memilih pakaian, berdandan sedikit, lalu ia bisa menata dupa serta sesaji di ruang meditasi. Membayangkan kesendirian yang menenangkan dalam ruangan itu saja sudah membuat Yuju semangat mengawali hari. Ia bertekad akan membuang Seokmin dan Hyejin dari pikirannya sampai malam.

Sayangnya, langit punya rencana lain. Baru juga Yuju menyematkan tusuk sanggul ke rambutnya, di luar mendadak gaduh. Terdengar lantang bunyi kelontang berulang-ulang. Bunyi itu kemudian menjadi latar belakang ratapan sumbang seorang anak.

"Oh, Yuju-nim, dengarlah permintaan pelayanmu, Lee Hyejin yang hina dina! Bebaskan Lee Seokmin dari tugas-tugas yang menyakitinya, serta hilangkanlah segala lelahnya!"

Lee Hyejin? Apa-apaan dia meratap di depan kamarku pagi-pagi begini?

Sembari menutup telinga, Yuju melangkah mengentak-entak menuju pintunya, lalu menggeser pintu sampai membentur kosen.

"Jangan berisik, Bocah!" seru Yuju, berusaha melawan kerasnya bunyi dandang yang dipukul oleh sudip kayu. Hyejin sempat kaget hingga berhenti saat dibentak majikannya, tetapi tanpa gentar lanjut meratap.

"Oh, Yuju-nim, kabulkanlah permintaan pelayanmu atau hukuman langit akan jatuh padamu! Tangisan ini akan terus bergema sampai para dewa mendengar, maka bebaskanlah hambamu dari penderitaan!"

Rahang Yuju mengatup rapat sampai giginya bergemeretak. Dia tahu dia semena-mena dengan memerintah Seokmin ini dan itu, tetapi untuk diratapi seperti seorang raja tiran? Yang benar saja. Ia yakin meladeni Hyejin akan membuat tingkah si anak makin menjadi, jadi dengan abai, dibantingnya pintu sampai menutup dari dalam. Ia kemudian membuka jendela, memanggil bangau terdekat yang melintas.

"Panggil Lee Seokmin. Suruh ambil anaknya yang sedang meratap-ratap di sini atau tugasnya akan kutambah!"

Seperginya si bangau, Yuju bersila di lantai dan memejam. Berbeda dengan Hyejin, Seokmin bukan seorang pembangkang. Ia akan segera menjemput putrinya, lalu Yuju bisa keluar dengan tenang menuju ruang meditasi. Sang murid Mago hanya perlu bersabar sedikit—dan ia pikir, mempertahankan kewarasan setelah tidak diluluskan Mago ke taman langit sudah membuktikan kesabarannya.

"Hambamu menangis demi segala persendian yang nyeri, demi tiap tidur yang tercuri, demi kasih seorang ayah kepada sang putri!"

Yuju mendengus. Tanpa ratapan sepenuh jiwa Hyejin ini, dia sudah tahu dirinya jahat, tetapi bukan berarti Seokmin benar-benar layak bebas dari hukumannya sekarang. Seokmin telah menganiaya Yuju tanpa sepengetahuan Hyejin, jadi 'penderitaan' yang diratapkan Hyejin itu—sesungguhnya—adalah pemurnian. Tanpa itu, Seokmin mungkin akan membawa dosanya kepada istri sampai mati.

Namun, jika memang bertindak benar, mengapa Yuju gelisah? Mengapa ia terus mencemburui Seokmin atau Hyejin untuk hal yang mereka lakukan untuk satu sama lain?

Nak, aku dulu lebih menderita dari ayahmu, jadi mengapa terus meratap untuknya dengan begitu pilu?

"Ayah telah menyerahkan kebahagiaannya demi nyawa saya, maka meski suara ini habis, meski tubuh ini layu, saya akan terus berjuang untuknya! Dengarkanlah, Yuju-nim, saya adalah bukti nyata kesewenang-wenangan Anda!"

Semakin lama, Yuju merengut. Ratapan Hyejin sangat fasih, seolah-olah ia terbiasa disewa pejabat desa untuk unjuk rasa dekat arak-arakan kerajaan. Dari mana dia mempelajari kosakata tingkat lanjut itu? Seingat Yuju, tetangga-tetangganya dulu tidak ada yang seorang peratap ahli.

Sabar, bisik Yuju pada diri sendiri sembari mencengkeram rok. Anak itu boleh mahir memilih kata-kata untuk menyentil orang yang berkuasa, tetapi meratap membutuhkan tenaga besar. Lihat saja seberapa lama ia bertahan.

Hanya ada satu orang yang meratap di luar kamar Yuju, itu pun dengan menabuh gong bohongan dari dandang, tetapi ramainya bukan main. Peratap memang luar biasa, mungkin karena kekuatan semesta sedemikian mendukung orang yang tertindas. Namun, Yuju masih menolak dibilang 'penindas'; sekali lagi, ia hanya membalas setimpal perbuatan Seokmin pada masa lalu. Anak perempuan yang sedang berkeluh-kesah itu tidak mengerti apa-apa.

Kapan, sih, Lee Seokmin datang mengambil anaknya? batin Yuju gusar, masih berupaya menulikan telinga. Penantiannya lambat laun berbuah. Suara Hyejin mulai serak; engahan napasnya mulai jelas terdengar. Dentang dandang yang dipukul menjadi jarang—dan Yuju tersenyum. Hyejin pasti sudah mencapai batas.

Begitu ratapan berhenti sama sekali, Yuju terkekeh penuh kemenangan. Ia bangkit dengan percaya diri dan membuka pintu. Dilihatnya Hyejin duduk sambil mengipas-ngipas leher dan berdeham-deham. Namun, begitu menangkap bayangan Yuju, anak itu kembali berdiri dan memukul-mukul pantat dandang.

"Oh, Yuju-nim murid Mago yang mulia, doa ini—uhuk—tidak akan terputus meskipun suara hambamu kering!"

Cih, ternyata belum menyerah!

Merasa tertipu, Yuju mundur, masuk ke kamar, dan menutup pintu. Wanita itu kembali menunggu dalam posisi bersilanya. Setelah Hyejin terdiam, Yuju yang dapat menduga kejadian berikutnya lebih dulu mengintip dari pintu, memastikan 'lawannya' sungguhan kehabisan tenaga. Begitu yakin tidak akan disambut bunyi dandang dan ratapan saat hendak keluar, Yuju pun berdiri dan membuka pintu—hanya untuk tertipu lagi.

Hyejin pantang menyerah, mengulang ratapannya walaupun dengan suara yang nyaris habis dan batuk yang lebih kerap. Yuju menanggapi persis seperti sebelumnya. Pola ini berulang beberapa kali sampai kedua pihak—ya, bahkan Yuju yang cuma maju mundur di kamar—capek sendiri.

Ujungnya, pintu kamar dibuka lebar oleh si empunya.

"Hei."

"Oh, Yuju-nim, bebaskanlah—whoa! Tolong lepaskan!" Hyejin tak dapat menyelesaikan kalimat karena Yuju mendahuluinya. Sang 'penyihir' mengarahkan ki-nya membentuk sulur-sulur yang mengikat si peratap, memisahkannya dengan dandang dan sudip kayu yang digunakan membuat kericuhan.

"Diamlah," desis Yuju sembari memijat pelipis. Ditariknya Hyejin mendekat menggunakan sulur ki, lalu disodorkannya secangkir air ke bawah hidung si gadis cilik. Tampaknya Hyejin sudah terlalu lelah untuk mempertahankan gengsinya; lihat saja geliatnya yang ingin meraih cangkir di depan mata. Tak pernah Yuju merasakan iba sekaligus ingin menyombong saat melepaskan Hyejin dari sulur ki-nya. Langsung saja anak itu menyambar cangkir dan minum dengan rakus.

"Mana ada peratap yang menerima bujukan penguasa begini gampangnya?" Yuju menggeleng-geleng angkuh, memerahkan wajah Hyejin. "Aku sudah memberimu minum, jadi berhenti mengacau di depan kamarku dan pergilah ke ayahmu."

"Tidak mau!"

Kontan Yuju mengumpulkan ki lagi di tangannya. "Dasar bocah keras kepala!"

"Silakan ikat lagi. Saya akan terus meratap sampai Ayah mendapatkan keadilan!"

Ditantang begitu, Yuju justru melakukan kebalikannya. Ia menyimpan ki-nya kembali, lalu bersedekap sambil bersandar ke kosen pintu. Karena dia diam saja sambil menatap si peratap cilik, Hyejin pun maju tanpa memutus kontak mata mereka. Kelancangan yang menggelitik; selama ini di Cheonwangbong, tingkat kelancangan yang sama hanya Halmang yang berani menunjukkan.

"Heran aku. Peratap biasanya tidak membawa-bawa masalah perorangan. Mereka meratap karena harga barang yang mahal, pajak mencekik, atau kesewenang-wenangan pejabat. Apa istimewanya kelelahan ayahmu dibanding kelelahan para bangau? Selain itu," Yuju menuding Hyejin tepat di hidung, "anak ingusan belum bisa berpikir matang, makanya mereka tidak meratap. Kau anak langka yang gemar melebih-lebihkan masalah dan seenaknya menuduh orang sebagai tiran."

"Saya tidak melebih-lebihkan. Anda tidak tahu, kan, bahwa nyeri otot telah memperlambat kerja Ayah? Saya yang memijat punggungnya setiap malam, jadi tahu kalau ototnya tegang sekali, jauh daripada saat bertani dulu." Hyejin dengan berani balik menuding Yuju. "Andalah yang melebih-lebihkan 'bayaran' atas nyawa saya!"

Yuju mendengus jengkel, tetapi entah mengapa tidak bisa melawan. Hati kecilnya membenarkan ucapan Hyejin dan ia membenci itu. "Kau benar-benar anak yang langka."

"Tentu saja," Hyejin menepuk dada bangga. "Anda harus tahu, saya dinamai Hyejin yang artinya 'cerdas dan langka'. Ayah dan Ibu mendoakan saya tumbuh menjadi orang yang istimewa, jadi saya akan memenuhi harapan mereka!"

Kontan Yuju mendelik, tidak menyangka Hyejin akan membawakannya kenangan yang satu ini. Hingga sekarang, Yuju percaya semua ingatan tentang keluarga kecilnya sama saja, tetapi ternyata, ada satu yang bisa mengguncangnya begitu hebat. Bagian mana dari kenangan itu yang membuatnya berbeda, Yuju sendiri tak yakin.

Hyejin menelengkan kepala bingung. Mata lawan bicaranya mendadak kosong, janggal. Baru ia mau bertanya ada apa, Yuju mendahuluinya.

"Kau punya ibu?"

"Apa? Saya pikir Anda akan menanyakan sesuatu yang lebih penting," ucap Hyejin meremehkan. "Tentu saja punya."

"Lalu mengapa," Yuju menelan ludah, sebenarnya sudah tahu jawaban pertanyaannya, "ayahmu seorang diri membawamu kemari? Anak-anak yang datang ke Cheonwangbong umumnya hanya dibawa ibunya, atau diantar oleh kedua orang tua. Ke mana ibumu?"

"Ibu sedang pergi belajar, tetapi beliau pasti akan kembali. Ayah bilang Ibu sangat menyayangi saya, pasti beliau tidak akan kuat pergi lama-lama!"

Mengapa kau begitu yakin? Sudut mata Yuju berdenyut-denyut; air matanya sudah mengancam untuk keluar. Hyejin tidak tahu bahwa orang yang dia tunggu-tunggu sedang berdiri di depannya.

"Tunggu. Harusnya kita tidak membicarakan ini!" Sadar bahwa topik pembicaraan sudah menyimpang, kembali Hyejin mengangkat dandang dan sudip kayu, siap membenturkan keduanya. "Saya beri satu kesempatan! Anda akan membebaskan Ayah atau saya akan—"

"Diam." Yuju mengacungkan satu tangan. "Aku mengerti. Suruh ayahmu beristirahat. Aku akan memenuhi permintaanmu."

"Eh, benarkah, Yuju-nim?" Kerutan-kerutan menuntut di wajah Hyejin lenyap seketika. "Anda akan membiarkan Ayah beristirahat sampai sembuh? Tidak akan memberinya pekerjaan berat lagi?"

"Ya, ya," suara Yuju semakin parau, "asal kau cepat pergi dari sini. Jangan ganggu aku seharian."

"Baik!" Buru-buru Hyejin menyisihkan alat-alat masaknya agar bisa bersujud kepada Yuju. "Terima kasih banyak, Yuju-nim! Saya akan beritahu Ayah!"

Seberlalunya si peratap bersama gong buatannya, Yuju mundur ke dalam kamar. Ditutupnya pintu dan jendela, tidak lupa digembok rapat. Setelahnya, ia mengurai sanggul dan rebah di tempat tidur. Tekadnya untuk bermeditasi serta melupakan ayah-anak Lee berubah; hari ini, ia hanya ingin berbaring tanpa bicara atau keluar selangkah pun dari kamar.

Air mata yang susah payah Yuju bendung akhirnya jatuh. Ingatan tentang nama Hyejin yang semula mampir sepotong-sepotong juga telah lengkap sekarang. Waktu itu, Yuju ditegur ibu mertuanya—untuk kesekian kali—karena terlihat enggan mengurusi putrinya yang baru lahir. Padahal Yuju masih berusaha memulihkan kemarahan dan kesedihan yang entah dari mana berasal setiap memandang bayinya, tetapi yang ia peroleh justru hujatan alih-alih dukungan.

Suatu malam, Seokmin meraih tangan Yuju, mengecup keningnya, membuatnya kembali merasa istimewa. Meski patuh pada sang ibu, Seokmin tidak pernah memaksakan kehendak perempuan itu pada istrinya. Dia menempatkan kedua wanita yang sering bersilang pendapat itu di singgasana berbeda dalam hati sehingga tidak ada yang merasa ditinggalkan. Inilah yang membuka pikiran Yuju, mengakhiri penantian si jabang bayi yang belum bernama.

"Hyejin."

"Hm?"

"Nama bayi kita Hyejin, 'hye' untuk cerdas dan 'jin' untuk berharga atau langka."

Sial. Yuju masih ingat kilau haru di mata Seokmin serta pujian lembut yang mengikutinya.

"Cantik sekali. Kau dengar, Putriku? Mulai sekarang, kami akan memanggilmu Hyejin. Hyejin-ah, kau suka?"

Masih berbaring, Yuju menutup muka dengan kedua belah tangan. Sekarang, ia bahkan bisa mengingat mata si bayi yang mengerjap lugu, disusul senyum lebar dan lengan yang bergerak-gerak semangat ketika Seokmin sekali lagi memanggilnya. Terbukti beberapa tahun kemudian, anak itu mencintai nama dari ibunya—dari Yuju—sampai-sampai menjadikan nama tersebut sebuah jalan hidup.

"Kau telah tumbuh menjadi gadis yang sungguhan cerdas dan berharga, Hyejin-ah ...."

***

Setiap murid Mago tidak pernah datang seorang diri ke Cheonwangbong. Selain bangau yang ditugaskan menjemput mereka, murid Mago akan masuk menara bersama murid-murid lain. Mereka biasanya akan lebih akrab dengan satu sama lain ketimbang dengan murid yang tiba lebih awal atau lebih lambat. Yuju sendiri datang bersama lima gadis muda, salah satunya adalah majikan yang dilayaninya sebelum menikah.

Sudah menjadi tradisi bagi murid-murid Mago untuk berbagi rahasia pahit kepada teman yang berbarengan datang pada malam pertama di Cheonwangbong. Setelah itu, mereka bisa menanggalkan nama lama mereka untuk 'membilas' masa lalu kelam tersebut dan memulai kehidupan baru sebagai wanita penyembuh. Beberapa orang memilih tetap menggunakan nama lahir selama di Cheonwangbong, tetapi orang-orang yang demikian sedikit sekali.

"Kak, kau sungguhan tidak mau ganti nama?" tanya Yuju terkejut pada seorang gadis yang sudah menyatakan keinginan ini, bahkan sebelum menceritakan kisah pahitnya. Yang ditanya meringis.

"Sayang soalnya. Aku kan ingin hidup kembali sebagai Yerin yang sehat." Gadis bernama Yerin ini rupanya sakit-sakitan sejak kecil sehingga tidak bisa melakukan apa-apa yang disenanginya. Mago bermurah hati memilihnya sebagai murid di penghujung hidupnya yang terlalu singkat semata karena semangat belajarnya yang tinggi.

"Yah, tidak masalah, sih. Kita harus menghormati harapan masing-masing, kan?" Majikan Yuju yang dulu bernama Sojung berucap, kemudian mendapat ide untuk menamai dirinya Sowon—harapan. Yuju tahu nonanya itu, sebagaimana perempuan lain dalam keluarga bangsawan, telah digariskan takdirnya bukan hanya oleh langit, tetapi juga keluarganya; harapannya tidak lagi bermakna. Dia menikah—dinikahkan—lebih dulu dibanding Yuju dan keluarga suaminya memilihkan pelayan baru untuknya. Pada malam perpisahan, Sojung berpesan pada Yuju untuk tetap belajar meski tanpanya.

Rupanya, seperginya Yuju, kehidupan Sojung diselimuti kegelapan. Suami yang tak mencintainya, bermain perempuan di belakangnya, melukainya setiap malam, hingga menularinya penyakit yang mengantarkannya ke gerbang maut. Yuju yang ikut terluka mendengar cerita nonanya lantas memeluk perempuan itu seerat mungkin.

"Laki-laki memang seenaknya. Mengapa, sih, mereka selalu diutamakan dalam sebuah keluarga?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top