5

Sebenarnya, 'ujian menjadi pelayan' hanyalah omong kosong. Yuju murni ingin menakut-nakuti Seokmin saja, memanfaatkan salah satu kenangan yang menghampirinya dalam mimpi.

"Aku dulunya hantu? Pft, jangan bercanda!"

"Mengapa kau tidak percaya? Untuk membuktikan bahwa aku bukan penakut, teman-temanku menyuruhku datang ke gubuk ini. Mereka bilang sering ada suara tangisan hantu, jadi aku ditantang untuk menyalakan dupa di sini. Saat aku masuk, ternyata aku mendengar tangisan itu!"

"Lalu apa? Kau kencing di celana seperti waktu kukageti dulu?"

"Hei, tentu saja tidak! Aku melawan ketakutanku dan mencari sumber suara itu. Begitulah caraku menemukanmu di belakang gubuk ini! Oh, aku berhasil menyalakan dupanya, omong-omong, juga mengubah rumah hantu ini jadi tempat bermain baru sekaligus rumahmu."

"..."

"Katakan sesuatu, Yuna."

"Begini. Kau menemukanku yang masih bayi, merawatku di gubuk ini, dan mengajak teman-temanmu untuk merawatku juga. Bukankah itu berarti kau ... seperti ayahku?"

"Tidak! Maksudku, ya, hanya 'seperti', tetapi bukan. Uh, aku kedengaran sangat tua! Lagi pula, ayah mana yang melamar anak gadisnya sendiri?"

Dari cerita Seokmin itu, ingatan Yuju yang lain bermunculan. Saat mereka masih tinggal serumah, Seokmin sangat takut kegelapan, juga bebunyian aneh yang berasal dari lubang-lubang di rumah. Pria itu juga memercayai keberadaan arwah jahat walaupun tidak dapat melihatnya seperti Yuju, jadi dulu, Yuju-lah yang menenangkan Seokmin jika mulai ketakutan. Karena menyadari kewajibannya melindungi istri, ketakutan Seokmin pun berkurang sedikit-sedikit hingga hampir tak terlihat.

Sekarang, dia malah cuma tinggal dengan anak yang tak bakal bisa meredam ketakutannya. Walaupun kecil kemungkinan dia masih sepenakut dulu, arwah-arwah di ruang belajar lama lumayan seram untuk penghuni baru. Yuju menyeruput sup langsung dari cawan kecilnya, mengenang bagaimana ia juga bergidik saat pertama kali memasuki ruang belajar lama. Aku tidak sabar mempermalukanmu seperti kau mempermalukanku dulu, Lee Seokmin.

Sebenarnya, Yuju gemas ingin tahu apa yang terjadi di ruang belajar lama, tetapi ia tahan-tahan keinginannya memeriksa ke sana sampai langit benar-benar gelap. Supaya makin mencekam, menurutnya. Selain itu, ia juga menunggu laporan bangau yang tadi disuruhnya mengatur para hantu untuk menakuti Seokmin, yang entah mengapa tidak datang-datang.

Asalkan berhasil menakuti Lee Seokmin sampai melakukan hal memalukan, aku sudah cukup puas. Dengan begitu, ikatan kami akan putus di sini!

Meskipun Yuju berencana untuk pergi ke ruang belajar lama setelah makan malam, tatapan-tatapan ngeri para bangau pelayan yang makan bersamanya mengubah rencana itu. Sumpit Yuju mengambang di udara.

"Mengapa kalian ini?"

"Itu, Yuju-nim, jangan dimakan .... I-Itu ...." Para bangau menjawab terbata-bata; sayap mereka yang gemetar menunjuk sumpit majikan mereka. Penasaran, Yuju melirik ke bawah.

"AH!"

Sumpit terlempar ke dinding dalam kecepatan tinggi hingga menancap. Itu karena nasi di ujungnya telah berubah menjadi segumpal cacing—dan bukan cacing biasa. Begitu sumpit yang Yuju lempar menancapi tembok, cacing-cacing itu menjelma berupa-rupa hantu yang beterbangan di ruang makan. Ada yang tak berkepala, kepala saja, terbuka badannya hingga menampilkan organ dalam, atau organ dalam itu sendiri yang berhamburan tanpa pemegang. Bangau-bangau berlari ketakutan, tetapi Yuju—yang lebih cepat menguasai diri—langsung berseru.

"Hentikan atau kukurung kalian selamanya dalam kendi obat!"

Para makhluk gaib yang semula melayang-layang mengerikan langsung kembali ke wujud yang lebih 'jinak': wujud manusia utuh pemilik masing-masing anggota badan. Mereka berlutut di depan sumpit yang masih tertancap. Giliran mereka yang kini menunduk takut karena Yuju.

Bangau-bangau berkumpul lagi di tengah ruangan saat Yuju berdiri dan menghampiri para hantu. Perempuan itu berkacak pinggang sambil menatapi roh-roh yang ketakutan satu per satu. Setiap kali ditatap, masing-masing hantu menghindar sehingga mengesalkan sang murid Mago.

"Mengakulah." Yuju menarik sumpit dan menunjuk hantu yang di tengah. "Siapa di antara kalian yang punya ide kabur dari ruang belajar lama?"

"A-Anu .... Anu ...." Hantu yang di tengah menoleh pada teman-temannya yang di samping, tetapi mereka cuma menggeleng atau mengalihkan pandang. Malas dihindari terus, Yuju lantas mengalirkan ki-nya ke sumpit, membentuk belati menggunakan tenaga dalamnya. Para hantu bergidik; makhluk halus bisa disentuh dengan ki, jadi belati itu dapat melukai mereka sekalipun mereka cuma arwah.

"Kuhitung sampai tiga," ancam Yuju. "Satu—"

"Saya yang menyuruh mereka untuk melawan Yuju-nim!"

Bukan para hantu, jawaban cempreng ini bersumber dari ambang ruang makan, menolehkan semua kepala ke sana. Yuju melotot ketika mendapati Hyejin dengan alis bertaut marah dan tubuh ditegakkan semampunya di atas kaki yang pincang.

"Saya," tuding Hyejin tanpa ragu-ragu pada Yuju, "akan menghukum Anda karena menakut-nakuti Ayah, membuat Pak Bangau pingsan, dan mengurung para hantu di ruang belajar! Orang yang kuat akan kalah dengan orang baik!"

Seharusnya, omongan sok pahlawan Hyejin menyulut murka Yuju. Jika ucapan Hyejin benar, berarti keisengan kecil Yuju telah digagalkan oleh anak itu. Alih-alih, sang murid Mago merasa geli dan—sedikit—kagum.

"Apa benar yang dikatakannya?" tanya Yuju kepada para hantu.

"Be-Benar, Yuju-nim! Dia memberitahu kami untuk keluar karena katanya kami sekarang bisa membalas dendam pada Anda—wah!" Hantu yang menjelaskan ini menjerit begitu Yuju menodongnya dengan sumpit.

"Lupa mengapa kalian dikurung, hah? Kalian arwah para penjahat harusnya bersyukur tidak dikirim ke Pengadilan Hwangcheon oleh Mago-nim. Berani-beraninya berusaha balas dendam padaku! Kembali ke ruang belajar lama, sekarang!"

Ki di sumpit mengular, mengikat para hantu menjadi satu. Yuju menanam mantra ke selembar segel kertas, lalu melemparkannya pada salah satu bangau di ruangan.

"Lekatkan itu ke pintu baja setelah para cecunguk kembali ke penjara mereka," perintahnya. Bangau yang disuruh segera mendorong para hantu keluar ruangan, ditemani beberapa bangau lain. Yuju lantas berpaling pada si gadis kecil.

"Sekarang, apa yang sebaiknya kulakukan padamu, Lee Hyejin? Kau mestinya bersikap setia pada majikanmu untuk menebus nyawa, tetapi kau malah membuat dosa lain."

"Melindungi orang yang saya sayangi bukan dosa! Ayah yang mengatakannya! Orang jahat harus dilawan!" teriak Hyejin sampai tubuh mungilnya yang pincang sejenak oleng. "Pak Bangau ketakutan sampai pingsan. Ayah saya menjadi lemas. Hantu-hantu itu juga sudah bosan dikurung—dan itu semua karena Anda! Mengapa Anda melakukan semua ini pada kami?"

Yuju mendelik. Tidak pernah ada pasiennya yang sebegitu enggan membayar nyawa mereka seperti Hyejin. Pasien Yuju lazimnya tidak mempertanyakan mengapa harus ini dan bukan itu yang diinginkannya sebagai bayaran. Namun, anak Seokmin persis orang tuanya, berdiri tegak meski gemetaran demi melindungi kebenaran dan orang kesayangan.

"Kau sudah tahu soal hantu-hantu itu. Mereka dulunya penjahat: pembunuh, pencuri, penipu, dan lain sebagainya. Mago-nim telah menyelamatkan mereka dari Pengadilan Hwangcheon yang dapat merobek kulit dan mendidihkan daging. Kehidupan mereka dalam ruang belajar lama jauh lebih baik dari hukuman yang abadi; membebaskan merekalah yang salah."

Tangan Hyejin mengepal di sisi tubuh. Yuju menemukan dirinya yang masih belia dalam sosok pincang itu: sosok yang tidak suka kalah.

"Kalau memang ini soal penjahat, mengapa Ayah juga Anda perlakukan dengan buruk? Beliau tidak jahat, juga tidak pernah mengeluh walaupun kelelahan dan ketakutan sampai tak kuat berjalan. Untung saya muncul dan membantu!

"Ayah sudah pucat dan lemas ketika saya datang, tetapi—tetapi ruangan tempatnya berada bersih mengilap." Mata Hyejin berkaca-kaca. "Walaupun Ayah seorang pekerja keras, dia tidak pantas Anda perbudak dengan alasan apa pun!"

Namun, yang tidak Yuju temukan dalam dirinya dari sosok Hyejin adalah cinta yang besar pada Seokmin. Cinta itu mampu menembus keseganan Hyejin sehingga berani melawan penolongnya sendiri berkali-kali, juga menimbulkan kekuatan yang hampir mustahil dimiliki seorang anak pincang. Bahkan Yuju yang dulu tidak lantas menjadi sehebat Hyejin semata dengan cinta.

"Hyejin, sudah, Nak."

Tertatih-tatih, Seokmin memasuki ruang makan. Sesuai ucapan Hyejin, wajahnya pucat, bahkan sedikit menghijau. Kakinya menggigil hebat sehingga ia mesti berpegangan pada sesuatu saat berjalan. Ini menjadi sulit karena ia juga memapah bangau yang tadi Yuju kirim untuk mengatur para hantu; keadaan bangau itu sama buruk.

"Ayah! Pak Bangau!" Hyejin berlari ke ambang pintu diikuti beberapa bangau yang ingin menolong teman mereka. Ketika bangau yang nyaris pingsan ganti dipapah sesamanya, Seokmin melemas, tetapi masih sanggup menahan diri dari menjatuhi putrinya. Sayang sekali, meskipun Hyejin amat mencemaskan sang ayah, Seokmin justru bicara pada majikannya.

"Yuju-nim, ruang belajar lama telah saya bersihkan," lapor Seokmin seraya tersenyum letih, lalu membungkuk hormat. "Saya permisi. Ayo, Hyejin-ah."

Sekali lagi, ayah dan anak Lee membuat Yuju begitu kalut hingga cuma bisa mematung. Bukan hanya kesal karena gagal lagi menyusahkan mereka, Yuju juga membenci Seokmin yang—lagi-lagi juga—meminta Hyejin berhenti melawan. Hati yang berat seakan-akan mengosongkan kepalanya.

Setelah mengambil sumpit baru, Yuju menduduki tempatnya semula.

"Semuanya, lanjutkanlah makan. Lee Seokmin, Lee Hyejin, kalian bisa mengambil jatah kalian di sana." Tanpa menoleh, Yuju menunjuk sebuah sudut di mana kuali-kuali dan kendi air yang hampir kosong berada. Ia melanjutkan bersantap tanpa mengacuhkan ucapan terima kasih Seokmin.

"Ayah, aku tidak mau makan."

Yuju melirik Hyejin yang baru saja menolak ajakan Seokmin. Ruangan itu sedang hening, hanya diisi beberapa bunyi sandal jerami dan kepakan sayap bangau yang baru kembali ke meja masing-masing. Karenanya, suara lirih Hyejin masih tertangkap rungunya.

"Mengapa, Hyejin-ah? Kalau tidak makan, nanti kamu—"

"Padahal aku sudah berjuang untuk Ayah." Hyejin menunduk. "Aku sudah membantu Ayah membersihkan ruang belajar yang menakutkan itu. Aku juga mengajak para hantu untuk menyerang Yuju-nim supaya dia tidak jahat kepada Ayah, tetapi mengapa Ayah terus membelanya?"

Gerak sumpit Yuju melambat. Dia masih tidak berpaling dari mangkok, tetapi perhatiannya telah tersedot oleh dua orang di ambang pintu. Sementara itu, Seokmin mendesah pelan, lalu berlutut agar matanya sejajar dengan Hyejin.

"Hyejin-ah, kita bisa berada di sini dalam keadaan sehat dan aman berkat Yuju-nim—"

"AKU TAHU!"

Kini, sumpit Yuju benar-benar tak bergerak. Sejak masuk ke menara Cheonwangbong, ia tidak pernah lagi menemui anak yang membentak orang tuanya. Ia akhirnya menoleh pada Hyejin yang sudah berurai air mata di depan ayahnya yang terguncang.

"Aku tahu aku harus berterima kasih, tetapi aku juga peduli pada Ayah .... Aku tidak mau Ayah terus menderita karena Yuju-nim, karena aku! Kalau berterima kasih pada Yuju-nim membuat Ayah terus-terusan sengsara, lebih baik aku mati saja kemarin!"

"Ayah mohon," Seokmin langsung memegangi kedua pundak putrinya; suaranya goyah seakan nyaris menangis, "jangan bicara seperti itu, Hyejin-ah ...."

Namun, emosi Hyejin tak lagi terbendung. Anak itu menepis tangan Seokmin dan berlari keluar ruangan, entah ke mana tepatnya. Segera Seokmin bangkit, ingin memastikan putrinya baik-baik saja, tetapi sebelum ia keluar, pintu kayu sudah tergeser menutup sendiri. Yuju yang menutup pintu tersebut menggunakan ki-nya.

"Isi perutmu dulu. Kau akan pingsan di selasar dan menyusahkan kami kalau mengejarnya sebelum makan."

"B-Baik, Yuju-nim."

Saat Seokmin mulai mengambil nasi, Yuju menyambung, "Jangan terlalu memanjakan anak, apalagi gadis. Dia bisa tumbuh menjadi perempuan liar. Sesekali peringatkanlah dia dengan keras."

Diam sejemang, Seokmin kemudian menanggapi dengan hati-hati, tersenyum ke arah Yuju yang tidak melihat.

"Saya minta maaf apabila keliru, tetapi pengalaman mengajarkan bahwa itu bukan cara terbaik mendidik seorang perempuan."

***

Meskipun menara Cheonwangbong menawarkan pemandangan malam bertabur bintang, tempat itu punya kekurangan, yaitu keheningannya setelah para penghuni tertidur. Desau angin dari satu-satunya jendela menara yang terbuka bukannya meruntuhkan kesenyapan itu justru melipatgandakannya. Dulu saja, saat masih meninggali rumah lamanya, setidaknya Yuju akan menemukan kerik jangkrik atau lolongan anjing liar.

Keheningan Cheonwangbong mengizinkan banyak pikiran tak perlu menjejali kepala Yuju. Ia iri sekali pada Halmang yang sudah menekuk leher dan sayapnya di atas tikar, tidur nyenyak. Memang setelah makan malam tadi, Halmang dimintanya masuk ke kamar untuk diajak berdiskusi tentang metode meditasi terbaik. Tanggapan pelayan tua itu bukan yang paling memuaskan, tetapi selalu memutar otak Yuju.

"Anda terusik dengan cara Lee Seokmin menyikapi Lee Hyejin, bukan? Mengapa tidak membicarakan itu dulu? Siapa tahu ketegangan Anda terurai sehingga Anda bisa tidur lebih lelap?"

Entah bagaimana, Yuju kali ini patuh mengikuti arus diskusi Halmang.

"Tumben sekali tadi aku kesal karena Lee Seokmin membelaku, padahal biasanya aku senang melihat Lee Hyejin menahan kemarahannya padaku. Mengapa bisa begitu?"

"Entah bagaimana dengan Anda, tetapi perasaan Lee Hyejin lebih mudah ditebak."

"Oh, ayolah. Dia memang selalu marah—"

"Kali ini, dia bukan hanya marah karena Anda, melainkan karena Lee Seokmin tidak mengakui usahanya. Lee Hyejin masih kecil; dia berupaya terlalu keras untuk ukurannya. Jika orang dewasa saja kecewa jika 'kerja kerasnya' tidak dianggap, apalagi anak-anak yang memperjuangkan orang tuanya, kan?"

Yuju melotot. Halmang sudah mengangkat sayapnya defensif, takut dilempari sesuatu, tetapi rupanya sang majikan tidak marah. Ia baru saja tercerahkan. Pencerahan inilah yang membuatnya merenung usai Halmang tertidur.

Jadi, aku kesal bukan karena Lee Hyejin, melainkan untuknya. Yuju membakar tembakau dalam pipa, lalu mengisap dan mengembuskan asapnya perlahan-lahan. Aku ingin Lee Seokmin melihat usaha keras Lee Hyejin walaupun anak itu terang-terangan memusuhiku. []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top