42 - TAMAT
"Kasih membuat Anda istimewa, tetapi dalam usaha membahagiakan orang lain, Anda kehilangan kebahagiaan Anda sendiri." Sowon menyuapkan sepotong persik lagi kepada Mago. "Tolong katakan, apa yang membuat Anda bahagia?"
"Apa yang membuatku bahagia?" Saat ini, terhapusnya penjajahan, agar setidaknya satu halangan untuk membahagiakan wanita-wanita Joseon tersingkirkan, Mago meneruskan dalam hati. Ia tak mengungkapkan itu karena kedengarannya sok mulia, tidak 'seperti dia', maka direnungkannya kembali hal yang betul-betul membahagiakannya.
Bangun tepat waktu. Mandi pagi dengan air hangat, kalau bisa dengan susu. Setelah segar, ia mengenakan pakaian terbaiknya, mengoleskan wewangian zaitun manis secukupnya, dan berdandan tipis-tipis. Ia akan menyiapkan sarapan dengan penuh semangat, memastikan ada menu telur kesukaan putrinya di atas meja. Setelah semua siap, waktunya membangunkan suami dan anaknya. Mereka mandi dengan air hangat dan susu yang sudah ia siapkan, lalu bersantap dengan lahap, memuji masakannya berkali-kali. Setelah itu, ia akan melepas suaminya bekerja, sementara ia dan putrinya belajar membuat obat untuk dibagikan ke tetangga yang membutuhkan. Kalau ada waktu, mereka berdua akan membaca novel percintaan yang manis ....
"Jadi, apa jawaban Anda, Mago-nim?"
Selaan Sowon yang ragu-ragu membuyarkan mimpi siang bolong Mago.
Sial, aku terbawa perasaan sampai lupa kalau sedang mengobrol. Jawab apa, sebaiknya?
Sekonyong-konyong, Mago tersadar bayangan kebahagiaannnya tadi kurang satu tokoh. Ia mendapat inspirasi dari sana dan tersenyum lebar.
"Hal yang membahagiakanku, mungkin, adalah menikahkan Hyunseok."
Sowon tertawa bahkan sebelum bibir Mago terkatup sempurna. Mago yang tersinggung mendorong pelayannya sampai hampir terjungkal dari gazebo. "Mengapa kau menertawakanku?"
"Tidak, saya ha-hanya heran." Ucapan Sowon terpotong-potong oleh kekehannya. "Ternyata, keinginan terbesar seorang dewi adalah punya menantu?"
"Apa yang salah dari itu?" balas Mago sengak. "Lagi pula, Hyunseok, bukannya kau sedang mabuk kepayang belakangan ini?"
Sowon mengerjap bingung, sementara dari kejauhan, terdengar suara kesiap. Pelayan setia Mago melongok melewati gazebo. Di seberang, sejalan dengan ucapan Mago yang kini memejam santai, 'pangeran' taman Mago berdiri canggung. Seketika Sowon bangkit dan membungkuk hormat, begitu pula dengan para pelayan Mago yang kebetulan melihat si pemuda. Mereka dibalas dengan anggukan yang santun lagi malu-malu, lalu si pemuda memasuki naungan gazebo. Ia balik membungkuk hormat pada Mago.
"Ibunda, saya tidak sedang mabuk kepayang."
Terhibur, Mago membuka mata dan berbaring miring, menghadap putra yang dilahirkannya beberapa waktu setelah tiba di Nirwana. Hyunseok bertubuh jangkung, seperti Mago dan suami manusianya. Rambut ikal pemuda itu menyerupai sang ayah, tetapi hampir keseluruhan wajahnya menitis dari Mago. Dada dan punggungnya tak terlalu bidang, kulitnya pun pucat seperti sang ibu. Namun, sifat rendah hati dan pengasihnya tak dapat dimungkiri menurun dari sang ayah. Kalau sifat pemalunya, Mago juga tak yakin didapat dari siapa.
Padahal kakaknya sangat urakan, Mago kembali terkenang anak perempuannya.
"Bohonglah lagi pada ibumu," tantang Mago sambil bercanda. "Kau selalu tersenyum santun dan menyapa penuh hormat semua pelayanku, kecuali satu. Di depan gadis itu, kau pasti akan diam dan gagap, lalu seperginya dia, kau akan senyum-senyum sendiri. Kaupikir aku tidak tahu?"
Paham ini merupakan waktu penting antara ibu dan anak, Sowon mohon diri setelah meletakkan sepiring persik hasil kupasannya di antara Mago dan Hyunseok. Ia pura-pura tidak melihat wajah Hyunseok yang bersemu merah.
"Sowon sudah pergi. Sekarang, kau bisa lebih jujur padaku." Mago mencomot lagi sepotong persik. "Oh, dan makanlah ini. Rasanya segar. Mungkin setelah memakannya, kau bisa lebih santai."
"Baik, Ibunda."
Hyunseok menggigit persik dalam diam. Satu lagi. Satu lagi. Mago jadi gemas sendiri. Putranya merupakan satu-satunya pria penghuni asli taman Mago, sudah begitu wajah dan tingkah lakunya manis, wajar menjadi buah bibir seisi taman. Sayang sekali, kalau soal perasaan, Hyunseok menyimpan banyak rahasia, entah karena sulit mengungkapkan atau tak bisa menamai. Biarpun sudah cukup lama tinggal di Nirwana sehingga akhirnya tumbuh menjadi remaja, Hyunseok jelas masih asing dengan kata cinta.
Tiga potong persik kemudian, Mago menyerah. Diamnya Hyunseok menunjukkan bahwa ia sedang tidak ingin membicarakan hal yang ibunya ingin bicarakan, jadi Mago mencoba membuka topik baru.
"Hyunseok, belakangan kamu jarang muncul di taman. Ke mana kamu pergi?"
Ditanya begitu, Hyunseok tergeragap, seolah ketahuan melakukan kejahatan besar. Alis Mago terangkat.
"Ke ... Ke Kerajaan Yang Mulia Yeomra," jawab Hyunseok.
"Yeomra?" Mago terkejut. "Buat apa?"
Hyunseok tertunduk makin dalam—dan ini cukup untuk membuat Mago cemas. Ia bangkit dari bantalnya, duduk, lantas menangkup tangan putranya lembut, menegaskan kepada Hyunseok bahwa ia bisa dipercaya. Yeomra menguasai dunia bawah, tempat pengadilan sesudah mati dan Neraka berada. Sebuah tempat yang pengap menyesakkan; Hyunseok jelas tidak pergi ke sana untuk sekadar menghabiskan waktu luang. Suatu rahasia besar telah mendorong Hyunseok ke sana—dan Mago harus tahu apa itu.
"Ibunda," Hyunseok perlahan membebaskan tangannya dari genggaman Mago, "jangan khawatir. Saya hanya belum siap menceritakannya. Tolong beristirahatlah lagi."
"Bagaimana aku bisa beristirahat dengan tenang kalau ada sesuatu yang mengusikmu?" tanya Mago lirih sembari mengusap pipi Hyunseok. Tak disangka, pemuda itu mendadak menariknya dalam sebuah pelukan. Erat sekali; Mago tak dapat bergerak selama beberapa detik.
"Kalau memang kedatangan saya ke Kerajaan Yang Mulia Yeomra membuat Ibunda cemas, saya akan menceritakannya. Namun, ini—saya—uh," Hyunseok tergagap-gagap, "saya sebetulnya malu menceritakannya. Tolong ... dengarkanlah cerita ini sembari memejam."
Mago membelai puncak kepala Hyunseok, mencoba menghilangkan ketegangannya. "Mengapa begitu?"
"K-Karena Ibunda selalu menertawakan wajah gugup saya. D-Dan menceritakan ini pasti akan membuat saya gugup."
Itu sajakah?
Beban kekhawatiran dalam dada Mago berkurang sedikit ketika ia lepas dari dekapan Hyunseok. Mungkin masalah yang putranya hadapi tidak sebesar yang ia takutkan. Mago kembali berbaring telentang dengan kepala bersanggakan bantal, tetapi tangannya masih memegangi tangan anak lelakinya.
"Berceritalah," Mago memejam, "akan kudengarkan."
Butuh jeda yang agak panjang untuk Hyunseok memulai kisahnya.
"Ibunda, gadis pelayan itu namanya Minhee. Tolong panggil dia begitu mulai hari ini."
Mengejutkan. Mago kira Hyunseok tidak akan menyinggung soal kehidupan asmaranya karena tadi mereka sepakat untuk membahas tentang alasan Hyunseok ke dunia bawah. Gadis pelayan di taman ini sangat banyak; jika Mago atau Hyunseok memanggil seseorang dengan nama, itu berarti ia sangat istimewa. Senyum geli Mago terkembang tipis.
"Minhee, ya? Aku akan mengingatnya. Apa gadis itu ada hubungannya dengan Kerajaan Yeomra?"
Walaupun tidak melihat, Mago bisa menduga bahwa Hyunseok mengangguk singkat dalam jedanya.
"Tidak secara langsung, tetapi ada ... karena darinya, saya belajar bagaimana perasaan rindu itu. Saya menjadi sulit tidur karena terbayang wajahnya, begitu tidak sabar bertemu dengannya esok paginya. Ketika mengunjungi taman ini di pagi hari, hal yang pertama saya cari adalah dirinya. Saya sangat lega ketika Minhee menyapa saya, sampai-sampai kaki saya seperti melebur, tidak bisa mengatakan apa-apa ....
"Perasaan ini seperti penyakit yang obatnya hanya sebuah pertemuan," desah Hyunseok, "lalu saya mendadak kepikiran Ibunda."
Senyum Mago memudar. "Aku?"
"Ibunda merasakan ini untuk Ayahanda," tegas Hyunseok, membuat Mago tercekat. "Setelah merasakan sendiri bagaimana pedihnya rindu, saya jadi bisa mereka perasaan Ibunda. Hati saya ikut sakit karenanya. Saya tidak ingin Ibunda terus-menerus terluka ...."
"Aku baik-baik saja," sahut Mago. "Aku sudah berkawan dengan rasa sakit ini. Toh, aku dan ayahmu tidak akan berpisah selamanya. Durumi-daegyo bisa membentang ke dunia manusia kapan pun aku mau. Kami juga akan bertemu secara langsung suatu hari nanti, jadi aku hanya perlu menunggu."
Saat baru pertama kali menjadi dewi, Mago berkali-kali menggunakan permukaan jernih Eliksir Kehidupan untuk menunjukkan wajah kekasih hati dan putrinya. Rindu menumpahkan tangisnya, memperderas aliran Eliksir Kehidupan ke seantero Nirwana. Namun, menyaksikan mereka hidup sejahtera tanpa dirinya, lama-lama Mago bisa tersenyum kembali, bahkan mencoba untuk melepaskan mereka. Ia jalani kehidupan baru yang lambat di Nirwana, berasumsi bahwa keluarganya kemungkinan besar tidak dikecualikan Yeomra dari pengadilan—bahwa alih-alih dinaikkan ke Nirwana, mereka langsung memasuki lingkaran kehidupan berikutnya.
Mago, sayangnya, tidak bisa berbohong kalau ia pernah menderita karena khayalannya sendiri. Mereka bertiga—ia, suami, dan putrinya—pernah menjadi satu keluarga yang utuh meskipun sebentar. Setiap membayangkan diri menyaksikan ayah-anak itu terpisah, lalu menjalani kehidupan lain di mana jalan mereka tak pernah bersinggungan, Mago menjadi nelangsa, terlebih ia sadar keberadaannya bukan semakin tegas, malah melenyap bersama tiap tetes Eliksir Kehidupan.
"Ibunda, itulah mengapa saya pergi ke Kerajaan Yang Mulia Yeomra. Atas seizin-Nya, saya mencari tahu siapakah Joseung Saja—dewa kematian—yang bertugas untuk menjemput Ayahanda dan Kakanda dari kehidupan fana."
Nyaris saja Mago membuka mata saking terperanjatnya, tetapi ia tidak mau mengingkari janji kepada pangerannya.
"Lalu," Mago berdeham, "apa yang kaudapatkan?"
Keheningan menggelayut lama tanpa jawaban, tetapi cahaya yang menyisipi kelopak mata Mago yang tertutup berkurang jumlahnya.
Kecup. Satu di kelopak mata kanan, yang lain di kiri. Jantung Mago terlompat, napasnya tertahan. Berapa puluh, berapa ratus tahun terlewat pun, ciuman hangat menyengat yang mengebaskan seluruh tubuh ini akan selalu diingatnya. Itu karena seseorang memintanya mengingat, seseorang yang pernah menyelipkan setangkai cempaka ke telinganya ... seperti saat ini.
"Apa yang Hyunseok dapatkan adalah aku."
Suara berat ini, astaga. Mago melebur sebagaimana putranya meleleh karena sapaan sederhana seorang pelayan. Bukan suara itu sendiri yang menyebabkan, tetapi dari mana suara itu berasal. Mengapa kedengarannya begitu nyata? Sihir apa yang Hyunseok gunakan atasnya?
Tak tahan, Mago membuka mata. Wajah seorang pria yang sangat, sangat akrab dalam ingatan membayanginya, membelakangi matahari. Kulit pria itu gelap akibat bertahun-tahun bertani. Rambutnya ikal, satu tahilalat menghias bawah mata, rahang serta lehernya kokoh. Ia tercium seperti racikan ganja istimewa kesukaan Mago.
Mengulurkan tangan, Mago menyentuh wajah pria yang tampak seindah lukisan. Hangat, sedikit kasar, nyata. Laki-laki itu menahan tangan Mago di pipinya, menatap sendu kendati bibirnya mengulas senyum.
"Yuna."
Si lelaki memanggil Mago dengan nama yang diberikannya dahulu, nama yang mengubah identitas sang dewi dari 'bayi terbuang di tengah hutan' menjadi 'seorang perempuan'. Mago adalah gelar mulia, tetapi hanya nama manusianya yang mampu memetik dawai-dawai dalam jiwa sang dewi, membumbungkan air matanya sampai ke pelupuk.
"Aku pulang."
Suara si lelaki selirih bisikan, tetapi gemanya mengisi seluruh relung yang kosong dalam diri Mago. Rindu yang dipendam-pendam menyeruak dengan brutal, maka sebelum membanjir keluar, Mago menyegelnya dengan ciuman. Tengadah, ia menyongsong bibir kekasihnya penuh damba selagi air matanya menuruni pelipis.
Mago tahu kisah cintanya adalah lingkaran tanpa batas, tersusun dari serangkaian pertemuan dan perpisahan berulang-ulang, jika memilih terus bersama lelaki ini. Namun, ketika ciuman panjang yang menyita napas itu diakhiri, gelombang dalam dada Mago tak lagi menyisakan apa-apa, riak sekalipun. Dari situ ia tahu, cuma kepada lelaki ini perasaannya harus selalu bermuara.
Jadi, setelah menemukan suaranya kembali, Mago mengucapkan salam, menerima takdirnya.
"Selamat datang kembali, Seokmin."
TAMAT
.
.
.
.
.
with this, Mago's Last Apprentice is officially finished! 🎉🎉🎉🎉 congrats me *coret* us for finishing the story! 🎉🎉🎉🎉
Terima kasih sebesar-besarnya untuk semua pembaca, yang komen, yang vote, #angelvoice shippers, for supporting me till this day, i heart uuuuuu
Sampe ketemu di kisah2ku yg lain yaaaa... Specifically this one 👇 기다려 주세요!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top