39

"Ah, sialan! Si Dandang kabur lagi dari rumah. Pakai bawa-bawa Yeongeun lagi. Kalau ketemu, akan kukurung dia di kamar."

Suatu siang, Seokmin mendengar gerutuan ini dari seorang petani seumur cucunya. Itu merupakan hal terakhir yang ingin ia dengar; pada hari panen besar yang melelahkan, Seokmin tidak mau ditambah lelah dengan omongan orang. Petani berbadan besar ini memang terkenal suka cari masalah, termasuk (dan terutama) dengan istrinya sendiri. Perilaku kasarnya sudah sering jadi sasaran peringatan Seokmin dan petani-petani tua lain; kasihan istri si petani yang saban hari selalu dapat bilur baru. Namun, bukannya memperbaiki diri, ia malah makin bangga kalau berulah. Baguslah kalau memang istri si petani kabur dengan membawa bayi mereka, Yeongeun; semoga perempuan itu menemukan tempat yang aman.

Baru kali ini Seokmin sangat ingin memukul seseorang untuk menegurnya keras; putrinya sendiri saja tak pernah ia hukum begitu rupa. Laki-laki menjadi kuat bukan untuk menindas, melainkan untuk melindungi siapa pun yang bernaung di bawah atap mereka. Apa yang dilakukan petani muda itu sudah melanggar prinsip Seokmin sampai tahap berbahaya, tetapi Seokmin menghargai batasan setiap rumah tangga. Lagipula, Seokmin sudah pernah kena pukul 'bocah' kurang ajar itu dan sampai sekarang—tiga bulan kemudian—masih sering merasakan nyeri punggung tajam, membuatnya tak bisa berjalan tegak kalau kambuh.

"Kurung istrimu kalau berani. Kami akan menyeretmu ke lapangan desa dan melemparimu dengan batu."

Sebuah suara datar menanggapi si petani besar, berasal dari laki-laki tirus yang Seokmin kenal baik. Untuk ukuran pria kurus yang cuma menang tinggi dengan lawannya, itu ancaman yang agak gegabah. Namun, mendengarnya juga melegakan Seokmin yang sedari tadi diam menahan jengkel.

"Jangan main gertak sambal saja. Datang ke rumah ramai-ramai, akan kulumat kalian semua pakai bogemku!" Si besar tertawa meremehkan—dan Seokmin diam-diam menggenggam sabit yang digunakannya memotong rumpun padi.

"Oh," si kurus lanjut menyabit rumpun padi kuning dengan kecepatan tinggi, tanpa mengacuhkan raksasa dungu yang sudah berdiri menghadapnya, mengintimidasi, "kalau begitu, kami akan pastikan tanganmu terpotong dulu sebelum menyeretmu ke lapangan."

"Apa katamu? Bilang lagi, biar kupatahkan hidungmu!"

Kerah baju petani kurus direnggut, tetapi ekspresinya tak berubah. Keduanya sama-sama memegang sabit dan membuat Seokmin berdebar-debar ketakutan. Bagaimana jika sampai ada pertumpahan darah?

Beruntung, alih-alih menggunakan sabit, si kurus menyerang si besar dengan segenggam rumpun padi yang masih digenggamnya. Dalam keadaan biasa, Seokmin akan menegur si kurus karena memperlakukan tanaman padi yang memberi makan mereka di luar peruntukannya, tetapi saat ini, ia pikir itu perlu untuk mengamankan diri. Batang padi dan bulir-bulirnya yang berat akan menyakitkan jika dipukulkan seikat sekaligus; tidak akan melumpuhkan, tetapi bisa membuat ruang. Si besar refleks melepaskan si kurus dan mengaduh-aduh sembari menutup mata, sementara si kurus terjajar mundur. Sabit si besar jatuh ke tanah, sementara si kurus masih menggenggam sabit dan rumpun padi yang digunakannya menyerang.

"Ah, bangsat! Akan kubunuh kau, Geon! Sialan, aku tak bisa melihat!"

Si besar menyerang membabi buta, tetapi si kurus—yang dipanggil 'Geon'—menghindar dengan mudah. Ia menendang belakang lutut si besar, mengganggu keseimbangan lawan. Jatuhlah si badan besar ke sisa pangkasan rumpun padi, menimbulkan debam dan serangkai makian yang cepat ditanggapi petani-petani lain dengan tali. Beramai-ramai mereka menyeret si badan besar yang untuk kesekian kalinya mengacau, lalu mengikatnya di pohon dengan muka bosan. Sudah berulang kali ini terjadi sampai para petani itu tidak lagi takut bergerak bersama untuk menghentikan si besar yang mengganggu kerja mereka.

Seokmin dan Geon tidak ikut mengikat si badan besar ke pohon. Mereka melanjutkan pekerjaan memotong padi.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Seokmin cemas pada Geon. Lelaki itu sedang membenahi pakaiannya yang kusut karena ditarik si badan besar tadi.

"Tidak apa-apa," ucap Geon. "Justru aku yang harusnya tanya, Ayah tidak apa-apa? Udaranya hari ini lembap dan gerah sekali."

Melewati dekade ketujuh hidupnya, memang Seokmin tidak bernapas sebaik sebelumnya. Terlalu dingin, terlalu panas, terlalu lembap, terlalu kering, semuanya bisa memicu sesak yang belakangan makin sering kambuh. Hyejin sudah menyuruhnya memperbanyak istirahat. Toh saat ini, baik Hyejin dan Geon sudah mencukupi kebutuhannya tanpa ia harus turun ke sawah. Namun, benar kata orang: semakin tua, manusia akan kembali sebandel anak-anak. Ada saja alasan Seokmin untuk tetap bertani: "badanku tambah pegal kalau diam saja", "kasihan Geon kalau kerja sendiri", dan sebagainya, dan seterusnya. Akhirnya, Hyejin hanya bisa menitipkan ayahnya pada Geon, meminta sang suami untuk mengawasi ketat pria tuanya.

Seokmin tersenyum hangat, senang diperhatikan Geon. Ia lantas menegakkan badan yang sudah membungkuk lumayan lama. Seiring dengan keretak halus yang melegakan dari punggung bawahnya, nyeri di sana berkurang, lalu perlahan-lahan, ia kembali membungkuk. Ia memicing ketika nyeri tajam tadi muncul lagi, jadi ia meletakkan sabit dan beranjak ke pematang sambil tertawa canggung.

"Paru-paruku baik, tetapi punggungku sepertinya tidak."

"Istirahatlah dulu," kata Geon, "setelah itu pulang."

Duduklah Seokmin di pematang sawah; anak matanya beredar ke sekitar. Kebanyakan petani di lahan itu lebih muda dari Geon, sebagian lagi seumuran Geon, dan yang paling sedikit adalah sebaya Seokmin. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang duduk seperti Seokmin sekarang; rasanya sungkan beristirahat duluan dari yang lain.

"Apa maksudmu pulang, Geon? Pekerjaan kita masih banyak."

"Jangan memaksakan diri. Tidak ada yang menuntutmu bekerja keras. Sudah waktunya Ayah berhenti dan kami yang muda akan mengambil alih semuanya."

Tumpukan padi siap panen yang Geon bangun dengan cepat bertambah tinggi. Dengan tenaganya yang sekarang, Seokmin tidak akan mampu mengejar ketertinggalan itu. Ia akhirnya menyadari betapa jauh kekuatannya berkurang dan tidak lagi melawan sang menantu. Namun, begitu berhenti bekerja, ia jadi sedikit murung. Geon tidak melewatkan itu.

"Kalau masih ingin bekerja, mungkin Ayah bisa merontokkan padi saja," tunjuk Geon. Di sana, sekelompok petani—kebanyakan perempuan—sedang memukul-mukulkan seikat padi ke batang kayu, merontokkan bulir-bulirnya. Beberapa yang lain menyatukan bertumpuk-tumpuk batang padi, menyiapkan mereka untuk dijadikan jerami. Pekerjaan itu lebih ringan daripada menyabit; Seokmin mungkin lebih bisa melakukannya.

Masalahnya, punggung Seokmin masih kram. Ia terpaksa menolak halus pekerjaan yang Geon tawarkan meskipun ingin mengerjakannya.

"Tapi, aku kagum. Kamu sebelumnya tidak pernah menawariku pekerjaan, seperti Hyejin yang cuma menyuruhku duduk seharian," kekeh Seokmin. "Apa kamu tahu kalau aku ingin tetap berguna buat kalian? Kamu anak baik, Geon."

Meskipun samar, Seokmin bisa melihat Geon menjadi salah tingkah. Pria kurus itu selamanya tak akan terbiasa dipuji, sebanyak apa pun Seokmin dan Hyejin melakukannya. Seperti kebanyakan orang Joseon, ia terlahir dalam keluarga serba kekurangan yang tak pernah menghargai pencapaian seseorang, kecuali yang besar sekali.

"Hyejin mungkin akan melakukan hal itu juga." Sabit Geon bergerak lebih cepat, mungkin untuk menutupi rasa malunya. "Ayah, kau jadi sering melamun belakangan, lebih-lebih kalau sedang tidak bekerja. Sesuatu mengganggu pikiranmu."

Geon tidak bertanya, ia menyatakan. Seokmin agak kaget dengan kepekaan menantunya, tetapi mungkin ini buah latihan dari Hyejin setelah berpuluh-puluh tahun pernikahan. Mengembuskan napas panjang, Seokmin lantas tersenyum getir.

"Belakangan ini, dadaku rasanya berat sekali."

Geon meletakkan sabitnya, betul-betul berhenti menyabit demi mencari tanda nyeri pada raut Seokmin. Sadar dirinya memicu kekhawatiran yang terlalu besar, Seokmin tertawa, berusaha tampak santai.

"Tidak betulan sakit, kok, hanya ... berat." Suara Seokmin melirih. "Aku, entah mengapa belakangan ini, merindukan ibumu lebih dari sebelumnya."

Geon paham bahwa 'ibumu' yang Seokmin maksud bukan ibu kandungnya, melainkan ibu mertua yang tak pernah dilihatnya. Sosok itu seperti legenda dalam rumah mereka: tidak pernah tampak, tetapi sangat dicintai dan berpengaruh besar. Menyebut namanya dapat memancing beragam perasaan intens dari Seokmin dan Hyejin, bahkan walaupun Hyejin tidak pernah melihat sosok sang ibu. Lama-lama, Geon juga tergetar jika sosok itu disebut—seperti saat ini.

"Geon, jangan biarkan cerita orang tua ini menghentikanmu bekerja. Lanjutkanlah menyabit." Keriput di sudut mata Seokmin melekuk dalam; ia tidak sesedih itu hingga butuh seseorang duduk diam untuk menyimak kisahnya.

Ragu-ragu, Geon mengambil sabitnya lagi. "Ayah, aku masih akan mendengarkanmu."

Seokmin mengangguk. Geon lantas melanjutkan pekerjaannya dengan lebih lambat, tidak ingin kerisik daun yang dipangkasnya mengalahkan suara ayah mertuanya.

"Geon, kau memiliki sifat yang sangat berbeda denganku, tetapi kita menjadi orang yang sama ketika sedang mencintai seseorang," mulai Seokmin. "Hyejin bukan perempuan yang mudah ditaklukkan. Ia berpegang sangat teguh pada cita-cita dan prinsipnya sampai aku pun kadang ingin menyerah dengannya. Banyak laki-laki yang semula menginginkannya langsung mundur begitu mendengar batasan-batasan yang ia tetapkan. Namun, kau bertahan, Geon, dan bukan cuma itu, kau mendukungnya. Sebegitu besar dukungan itu sampai Hyejin jadi lebih mencintaimu ketimbang mencintai asanya sendiri.

"Meskipun awalnya bercita-cita bersekolah di Hanyang agar bisa menjadi tabib, Hyejin melepas mimpi itu dan merasa cukup menjadi dukun bersalin di desa demi bisa bersamamu. Dia tinggal demi seorang pria tanpa perlu ditahan. Itu keputusan yang kupikir tak akan pernah ia ambil seumur hidup, keputusan ... yang kukira juga tak akan pernah Yuna ambil demi pernikahan kami dulu."

Sabit Geon bergerak lebih lambat lagi. Pria itu, rupanya, sedang memasang telinga baik-baik untuk memperhatikan Seokmin.

"Ketika tidak sedang bekerja, aku punya banyak waktu luang untuk merenungkan ini. Andai Yuna tidak menerima lamaranku saat itu, mungkinkah sekarang ia menjadi tabib atau guru di Hanyang? Apakah ia akan menjadi wanita yang lebih hebat lagi, mengingat ia sudah menamatkan berbagai judul buku dan melakukan pengobatan sederhana di usia belia?" Seokmin menunduk. "Kalau ia tidak bersamaku, mungkinkah ... saat ini ia masih hidup dan meraih mimpinya? Apakah melahirkan Hyejin benar-benar membawa kebahagiaan untuknya meskipun itu mengantarkannya pada kematian?"

Napas Seokmin memburu. Ia menyalahkan udara siang itu yang lembap lagi gerah.

"Aku bisa melihat sedikit kecemburuan Hyejin ketika mengantarkan Heeyoung," cucu termuda Seokmin, "bersekolah sebagai sejarawan ke Hanyang kemarin. Namun, ketika menatapmu, matanya berbinar penuh cinta. Dia bilang bangga pada putri kalian, merasa beruntung karena menikahimu yang memberinya segalanya, dan ingin bekerja lebih keras lagi untuk anak-anak kalian meskipun mereka sudah mampu berdiri di atas kaki sendiri.

"Yuna hampir selalu menatapku seperti itu. Dia tak bicara sebanyak Hyejin, tetapi dia tak pernah melewatkan kesempatan untuk menyatakan cinta. Untuk itu semua, aku selalu merasa kurang membalasnya. Sebelum sempat membalasnya secara layak, dia pergi—dan mengingatnya sekali lagi memurukkanku ...."

Seokmin menarik napas keras sebelum menyembunyikan wajah ke balik satu telapak tangan.

"Ah, aku harus minta maaf karena telah menyamakan diriku denganmu. Kau bekerja cukup keras untuk Hyejin, sedangkan aku tidak." Di balik jemarinya yang kurus mengapal, Seokmin menyimpan genangan air matanya. "Aku tidak pernah berusaha cukup keras untuk Yuna hingga akhir hayatnya. Mengapa ia harus pergi begitu cepat? Coba aku bisa memberinya kebahagiaan sebesar yang kauberikan pada Hyejin ...."

Saat menangkap getar pada suaranya sendiri, Seokmin berhenti bicara dan Geon berhenti menyabit.

"Aku yakin Ibu merasa sangat cukup dengan apa yang Ayah berikan semasa ia hidup." Suara Geon—juga kehadirannya—Seokmin rasakan mendekat. "Kau mengenangnya sebagai perempuan cantik yang bahagia. Itu cukup untuk membuktikan keberhasilan usahamu."

Geon duduk di pematang, lantas mengusap-usap punggung bungkuk di sisinya. Dulu, Geon pasti rikuh melakukan ini di depan umum, tetapi Hyejin mengajarinya untuk mengungkapkan perasaan dengan baik. Selain itu, ayah mertuanya adalah pria perasa; sedikit gestur lembut seperti ini sangat bisa menenangkannya selama dilakukan sepenuh hati. Ditambah, orang saat ini mungkin cuma akan melihatnya sebagai anak yang mencoba meredakan sesak napas sepasang paru-paru tua; tidak ada yang memalukan dari itu.

Di sisi lain, Seokmin bersyukur menemukan pertemanan dalam diri menantunya, yang kesan pertamanya di hadapan Seokmin dulu kurang baik. Geon tak ubahnya batu besar penyusun gapura desa, diam saja meskipun hujan-angin menerpa. Sekarang, ia menjadi sahabat terbaik Seokmin, menyembuhkan luka perpisahan Seokmin yang kadang terbuka lagi. Bukan berarti ia tak suka cara Hyejin mengasihinya selama ini, hanya cara Geon lebih nyaman, sederhana. Dalam diam mereka sekarang, Geon membangun ruang di mana Seokmin dapat leluasa meneteskan air mata rindunya, di pinggir sawah, di sela bekerja sekalipun.

"Ayah," tumben sekali, Geon menjadi yang pertama memecah keheningan, "malam ini Chilseok."

Seokmin menunggu, tetapi Geon tidak meneruskan, jadi ia menoleh dan mendapati menantunya tersenyum. Raut itu pun ia terjemahkan sendiri.

Kau mungkin bisa bertemu Ibu.

... karena hari tujuh bulan tujuh adalah hari terbentangnya jembatan burung gagak dan kucica, di mana pasangan yang terpisah ratusan bintang pun dapat bertemu kembali. Seokmin terharu; Geon bukan jenis orang yang akan memaknai Chilseok lebih dari 'satu lagi hari raya'; setidaknya dulu sebelum mengenal Hyejin. Kepraktisan pria itu rupanya sudah semakin terkikis seiring berjalannya waktu.

"Benar, malam ini Chilseok," sepasang lengan gembil yang hangat tahu-tahu memeluk Seokmin dari samping, "jadi kalau kita rindu Ibu, kita tinggal berdoa pada bintang saja." []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top