35

[CW: sexual content!]

"Tampaknya ki-mu sudah pulih, Cantik."

'Cantik', katanya. Yuju merangkul Seokmin dan menyandarkan wajahnya ke bahu bidang itu.

"Ya, energiku sampai meluber karena kauisi terlalu banyak," ujar Yuju goyah. "Terima kasih ...."

Tiba-tiba, Yuju merasakan tubuhnya terangkat dan memekik panik. Untung lengan Seokmin menyangganya dengan aman sampai ia dibaringkan di atas tempat tidur berdipan yang lembut. Begitu kedua lututnya naik ke tempat tidur, Seokmin menarik tali-tali yang mengikat tirai tempat tidur. Tirai-tirai tipis menyerupai asap ganja itu pun menutup, melindungi kedua pasangan di dalam.

Seokmin melepas pakaiannya sebelum menghujani wajah Yuju dengan kecupan-kecupan jahil. Daripada ciuman, sentuhan itu lebih menyerupai gelitikan atau embusan napas saja. Yuju mengerang tak sengaja, lalu cepat-cepat menutup mulutnya dengan punggung tangan.

"Kamu suka itu?" Seokmin tersenyum, kini membelai leher Yuju dengan ujung hidungnya yang mancung. Aroma zaitun manis bercampur peluh merasuki penciumannya.

"Suka, tapi bisa tidak ... cium aku lebih dalam?" Yuju menggeliat, refleks atas gelitikan hidung Seokmin di lehernya.

"Sabar, nanti ki-mu habis lagi."

Namun, Seokmin justru mencumbu dada Yuju, satu titik yang lumayan dekat dengan degup jantung, sampai bekas keunguan tertinggal di sana. Yuju merengek, memanggil Seokmin mengiba, tetapi pria itu tetap asyik mencecapi kulitnya. Bergantian, ia menanam kecupan, mencumbu, dan mengisap sampai memerahkan kulit. Puting yang berkerut-kerut berwarna gelap di puncak payudara Yuju disapa oleh bibir, jari, serta lidah Seokmin, kadang satu-satu, kadang bersamaan. Seokmin mengelus-elus pinggang dan pinggul Yuju sambil menebar tanda di perut perempuan itu, sesekali membisikkan pujian ke tubuh indah di bawah kurungan lengannya.

Ah, tidak bisa .... Terlalu nikmat, aku akan meleleh ....

Sejalur liur mengalir dari tepi bibir Yuju yang tak henti-henti mendesah. Pinggulnya naik-turun dalam irama yang kacau, sedangkan kakinya terbentang makin lebar. Kapan Seokmin akan mengambil hadiah terbesarnya? Tidak masuk akal bagaimana Seokmin menahan aliran yang-nya sebegitu lama.

"Seokmin, di sana .... Benar, sedikit lagi ...." rintih Yuju saat Seokmin mencium garis terbawah perutnya, tetapi pria itu sekali lagi mengelabuinya.

"Tengkurap, Yuna."

"Eh?" Yuju mengerjap lemah. Sebaliknya, Seokmin mendengus, tak ada senyum di wajahnya. Ia tampak terburu-buru dan tak acuh dengan kebingungan istrinya.

"Tengkurap."

Tiadanya kompromi dalam perintah Seokmin membalikkan tubuh Yuju tanpa perlawanan. Yuju bersyukur sikap Seokmin berikutnya kembali lembut, terlalu lembut sampai-sampai Yuju mendesah panjang.

Seokmin mengecupi tengkuk Yuju. Bahu, punggung, menggigit-gigit kecil. Pantat perempuan itu diremas lagi, kemudian Seokmin melompat ke ibu jari, tumit, betis, dan paha dalam. Di setiap titik, bibir Seokmin melekat cukup lama, tetapi tidak cukup dalam untuk meninggalkan bekas.

"Cu-Cukup, Seokmin ...." pinta Yuju berulang-ulang; punggungnya melengkung dan tangannya menggenggam seprai sampai kusut. "Tidak tahan lagi .... Perih ...."

Seokmin menelentangkan Yuju dan membentangkan kedua paha wanitanya, menampakkan liang sanggama yang bengkak mengilat. Cairan kewanitaan membentuk benang tipis rapuh yang segera putus saat paha Yuju dibentangkan. Punggung telunjuk Seokmin mencolek tempat yang tak senonoh itu, membuat tubuh Yuju mengejang. Perempuan itu memejam rapat dan membungkam mulutnya dengan kedua tangan. Ketika membuka mata, ia melihat Seokmin menjilat punggung jari yang baru saja menjadi licin. Hasrat menggelapkan kedua mata hitam yang tajam sorotnya.

"Kurasa ini cukup," ucap Seokmin parau, terengah. "Maaf menunggu, Yuna. Karena kau akan segera menjadi dewi, aku lebih dulu berdoa di atas tubuh sucimu ... tubuh yang harusnya tak dinodai pria desa miskin sepertiku."

Yuju menggeleng-geleng. "Kumohon, kumohon, Seokmin, aku—ah!"

Kalimat Yuju tak selesai. Seokmin mengangkat kedua tangan perempuan itu, menyatukannya di atas kepala agar seluruh tubuh istrinya terdedah untuknya.

"Tentu lain cerita," Seokmin berbisik panas ke telinga Yuju yang disisipi cempaka; ia hampir mencapai batas pula, "kalau sang dewi sendiri yang meminta pria ini datang padanya."

Yuju merintih, tetapi juga berpasrah. Terkadang, ada hal yang harus dikorbankan dalam sebuah pemujaan—dan ia tengah mengorbankan kehendaknya untuk segera dipuaskan demi kepuasan Seokmin. Lagi pula, ia mendapat balasan sepadan: tidak setiap hari kehadiran Seokmin begini membuatnya kewalahan, melingkupinya sampai menyesakkan. Tidak biasanya pula Yuju menjadi rentan, tetapi di saat bersamaan juga merasa aman di antara kedua lengan Seokmin.

Yuju tersenyum letih saat membelai wajah Seokmin dari kedua sisi.

"Datang padaku, Seokmin .... Setidaknya malam ini, meski masih berada di bawah atap Dewi Perawan Mago, aku adalah milikmu."

Mata Seokmin berkilapan. Pria itu mencium takzim kening Yuju, sementara kaki Yuju melingkari pinggulnya, sangat siap untuk tahap berikutnya yang entah akan menyakitkan atau membuatnya melayang.

Yang terjadi merupakan gabungan keduanya. Seokmin menyatukan tubuh mereka dalam satu entakan yang mantap tapi hati-hati. Air mata Yuju menitik satu; ia melebur di bawah Seokmin yang membisikkan satu lagi kata cinta hanya untuknya.

Semesta menjadi sunyi, tetapi di balik tirai tempat tidur, terdengar desis-erang, decap mesra dari kedua tubuh, dan ungkapan perasaan yang tak lagi terkekang.

Lebih kuat lagi, jangan lepaskan, sangat cantik, aku suka ini, berbahagialah, bahagialah orang kesayanganku ini ....

"Aku mencintaimu, Yuna."

Menjelang pelepasannya, suara Seokmin menjadi sedikit sumbang saking dipaksakannya melawan tekanan intens di bawah sana. Yuju cepat melumat bibir ranum itu sebelum mencapai puncak—yang kedua—sebagai isyarat bahwa Seokmin tak perlu lagi bicara, hanya perlu merasa.

Aku pun mencintaimu, Seokmin. Sangat cinta. Kuharap kenangan malam ini menyertaimu selamanya sebagaimana doa-doa baikku untukmu dan putri kita.

Beberapa hari yang tersisa untuk membulatkan 108 hari 'bayaran' Seokmin, Yuju lewatkan sebagai ibu dan istri yang baik. Nyaris tidak ada perselisihan pada waktu-waktu ini, hanya kehidupan sebagai keluarga bahagia yang seakan tidak pernah berakhir. Bahkan dalam sesuatu sesederhana duduk bersama untuk minum teh di sore hari, berkebun, atau mendongeng sebelum tidur, Yuju menemukan kegembiraan luar biasa. Saking intensnya perasaan itu, Yuju terkadang meyakini kenangan tersebut pasti akan meninggali benak Seokmin dan Hyejin sekeluarnya dari Cheonwangbong, seujung kuku sekalipun. Namun, ketika gejolak kegembiraan itu surut, akal sehat Yuju kembali menyadarkannya akan tak adanya perkecualian hukum Mago.

Satu langkah keluar Cheonwangbong—dan segala waktu menyenangkan yang dihabiskan keluarga Lee bertiga akan musnah dari ingatan Seokmin serta Hyejin.

Pada hari-hari terakhir Seokmin dan Hyejin di Cheonwangbong, Yuju mulai dapat merelakan mereka. Ia meluangkan lebih banyak waktu untuk bersembahyang dan meditasi, menyeimbangkan porsi jiwanya untuk keluarga dan dewi pelindungnya. Ketika ketenangan tercapai, Yuju menjadi lebih jarang menangisi masa depan keluarganya yang muram. Kekuatan barunya ini pada gilirannya mengokohkan keputusan Seokmin untuk mendukungnya menuju Nirwana, juga mengurangi nelangsa Hyejin yang sekali lagi akan ditinggal sang ibu.

Pagi itu, di lantai dasar Cheonwangbong, Yuju mengenakan pakaian terbaiknya, gaun serba hitam bersulamkan beragam bunga semerah bibir dan riasan matanya. Mata itu sendiri memancarkan perbawa, mendekati keangkuhan; sejenak Yuju menanggalkan jati dirinya sebagai istri Seokmin dan ibu Hyejin, lalu menjadi sosok murid Mago yang dingin, yang menyambut ayah-anak Lee 108 hari lalu. Mengapa demikian, itu karena hari ini adalah hari lunasnya tagihan pengobatan Hyejin; Yuju mesti berperan sebagai murid Mago sepenuhnya untuk menyatakan tertunaikannya kewajiban Seokmin sebagai pihak pembayar.

Saat Yuju memasuki lantai pertama, suami dan anaknya telah duduk tegak dengan tungkai terlipat di bawah paha. Tegang benar, batin Yuju geli ketika melihat keduanya dari kejauhan, tetapi ia tak bisa tersenyum sekarang. Rasa gelinya masih kalah dengan duka perpisahan yang mesti disembunyikannya.

Meskipun kelihatannya Seokmin dan Hyejin belum melemaskan punggung mereka dalam beberapa menit terakhir, mereka masih membenahi posisi ketika Yuju datang. Seolah-olah, mereka akan menyambut orang asing yang mulia, pada siapa mereka berutang budi besar, padahal semalam ketiganya masih tidur berpelukan.

Yuju tidak menolak ketika Seokmin dan Hyejin memberi hormat sampai nyaris bersujud kepadanya.

"Aku Yuju, murid terakhir Dewi Kesembuhan dan Keabadian Mago yang meninggali Menara Cheonwangbong ini," mulai Yuju. "Seratus delapan hari yang lalu, kau—Lee Seokmin—datang padaku untuk mengobatkan putrimu—Lee Hyejin—yang sakitnya cukup parah hingga tak satu pun manusia biasa dapat menyembuhkannya. Harapan besar dan kesucian hati membuatmu dapat menemukan Cheonwangbong, yang di dalamnya tersimpan kekuatan suci Dewi Mago. Aku semata-mata adalah perantara; Dewi Mago dengan berkah-Nyalah yang telah menyembuhkan Lee Hyejin.

"Dewi Mago tak membutuhkan apa-apa; dia adalah dewi mulia yang memiliki segala di sisi-Nya, tetapi tidak dengan murid-muridnya yang awalnya juga manusia biasa seperti kalian. Oleh karena itu, Dia menghadiahkan sebuah hak kepada para murid-Nya untuk mengambil apa yang berharga dari pendaki-pendaki Cheonwangbong sebagai milik mereka.

"Kita telah melakukan pertukaran, Lee Seokmin. Aku mengalirkan kekuatan suci Dewi Mago untuk menyelamatkan putrimu, lalu kuambil 108 hari hidupmu untuk melayani Dewi Mago dan memuliakan Menara Cheonwangbong. Selama 'membayar', kau tidak pernah melakukan cedera janji, seperti mencoba kabur dari menara ini ataupun merendahkan nama sang dewi.

"Hari ini, 108 hari telah terlewati tanpa kecacatan dari sisimu, maka hari ini pula, Lee Seokmin, aku menyatakan kau telah membayar lunas pengobatan Lee Hyejin. Kalian berdua dapat kembali ke tempat tinggal kalian; semoga berkah Dewi Mago selalu menyertai."

Seperti yang sudah dilatihkan, Seokmin dan Hyejin menangkupkan kedua tangan mereka di lantai, di depan pangkuan, lantas membungkuk begitu dalam.

"Segala puji bagi Dewi Kesembuhan dan Keabadian Mago yang telah menyelamatkan putri kami, Lee Hyejin, dari penderitaan dan kematian. Tidak cukup rasa syukur kami ungkapkan dengan kata-kata. Dengan ini, kami mohon diri untuk meninggalkan naungan menara suci Cheonwangbong ke tempat kami berasal," ucap Seokmin takzim, masih membungkuk. Ia kemudian menengadah dan menatap lurus pada Yuju—yang agak mengejutkan karena ini tidak ada di latihan. Pandangan Seokmin harusnya tetap tertambat ke lantai sampai Yuju mengantarkannya ke luar menara.

"Terima kasih sebesar-besarnya juga kami sampaikan untuk kehadiran Anda, Yuju-nim."

Ucapan Seokmin ini tidak muluk-muluk, tetapi caranya tersenyum saat mengucapkan hal tersebut, juga spontanitasnya, menunjukkan betapa besar penghargaan pria itu untuk Yuju sampai berani menyalahi latihan prosesinya. Memikirkan hal ini saja, pipi Yuju memanas sedikit, tetapi ia mencoba bertahan dengan perannya.

"Aku hanya perantara yang mengantarkan anugerah Dewi Mago kepada orang-orang pilihan-Nya," ulang Yuju seolah menolak ucapan terima kasih itu dengan mengecilkan maknanya dalam kesembuhan Hyejin. Meskipun begitu, ia tidak menolak secara tersurat karena ia sebetulnya masih ingin menerima rasa terima kasih Seokmin. Masa bodoh dengan fakta bahwa lakinya sudah mengucapkan terima kasih berkali-kali pada hari-hari terakhir 'pembayaran'.

Menghela napas dalam sekali, Yuju meminta Seokmin dan Hyejin berdiri. Gadis kecil Yuju sedikit oleng ketika bangkit, mungkin jatuh kalau sang ayah tidak segera menggenggam tangannya. Diam-diam, Yuju menggigit bibir. Ia belum bisa menggandeng tangan mungil itu di bawah pengawasan Halmang dan bangau-bangau pelayan lain yang berdiri melingkari Cheonwangbong. Tidak selama ia masih memerankan murid Mago.

Sebaiknya aku bergegas.

Akhirnya, dengan telapak tangannya, Yuju menunjuk pintu masuk Cheonwangbong yang terbuka lebar. Cahaya matahari yang menyilaukan berkelimpahan dari sana, melambangkan kebebasan Seokmin dan Hyejin dari keterikatan dengan Yuju. Telapak tangan Yuju bergetar halus ketika menyadari hal itu.

"Songsong masa depan kalian melalui pintu itu, para pendaki. Selamat jalan."

Seokmin dan Hyejin sekali lagi membungkuk tanpa suara kepada Yuju. Selanjutnya, mereka berbalik dan berjalan menuju pintu. Setengah mati Yuju menahan diri agar tak berlari dan menarik bagian belakang pakaian mereka. Terngiang di telinganya, pembicaraannya dengan Hyejin dan Seokmin kemarin malam.

"Tapi, Bu, Hyejin-ie ingin peluk Ibu sebelum pulang. Kalau melakukan sesuai upacara, berarti kita tidak bisa berpelukan, dong?"

"Bisa, Nak. Selesai upacara yang resmi, kalian akan keluar Cheonwangbong. Nah, setelah kalian sampai di halaman menara, baru Ibu dapat memeluk kalian dan bicara seperti biasa sebagai ibumu."

"Nah, Hyejin, kalau sudah tahu begini, kamu tidak boleh merengek dan mengacau saat upacara. Tahan dirimu sampai di halaman, baru bisa peluk Ibu seerat-eratnya sesampainya di halaman."

Yuju menarik napas dalam. Hyejin sudah dekat dengan pintu keluar sekarang dan gadis kecil itu sangat baik menahan diri. Tentunya, ibunya dapat menahan diri lebih baik lagi. Bersabar, Yuju mematung di tempatnya tanpa bergeser sedikit pun, menanti keluarganya keluar dari menara.

Satu langkah. Tubuh Seokmin dan Hyejin akhirnya sepenuhnya berada di luar Cheonwangbong, tetapi mereka terus berjalan ke arah jalur pendakian. Hati Yuju mencelus. Lupakah mereka akan rencana yang disusun semalam?

Kumohon, berbaliklah. Itu satu-satunya isyarat agar aku bisa beranjak dan melepas kalian sebagai bagian keluarga ....

Tepat setelah Yuju memohon, Seokmin dan Hyejin berhenti, agak jauh di tengah hamparan ilalang yang menguning. Mereka kemudian berbalik; Seokmin membentangkan sebelah lengannya untuk memanggil, sementara Hyejin melambai tinggi-tinggi.

"Ibu, Ibu, kemarilah!"

Tak mampu lagi Yuju menahan senyum. Tinggal kecepatan langkahnya yang terkendali, tetapi begitu selangkah melewati pintu Cheonwangbong, Yuju berlari. Roknya ia angkat sedikit agar tak menghalanginya membelah angin. Ia berhenti dan langsung berlutut di depan Hyejin untuk merangkul sang putri, mengotori gaun hitamnya dengan tanah serta ilalang.

"Ibu sayang sekali pada Hyejin. Tumbuhlah jadi gadis cantikdan pandai, ya. Jatuh cintalah. Raih semua mimpi-mimpimu. Ibu akan selalumendoakanmu ...." []

edisi minim edit bikos GOD TELAT SEHARI

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top