30
"Ibu akan masak apa pun yang mau kumakan?" tanya Hyejin, hampir berteriak saking girangnya. Yuju mengiakan dengan salah satu kelingking masuk telinga. "Kalau begitu, masak telur, Bu! Aku suka telur!"
"Telur? Baiklah, kalau begitu gyeranjjim. Untuk sayurnya muchim tahu-bayam, lalu kita hidangkan dengan nasi merah." Yuju tersenyum bangga dengan idenya sendiri. "Bagaimana kedengarannya?"
"Lapar!"
Aku tanya bagaimana kedengarannya, dia malah jawab apa. Yuju menggeleng-geleng geli. "Kalau begitu, ayo mulai."
Sudah lama Yuju tidak memimpin dapur. Dulu, sebelum lulus, gadis-gadis Mago termasuk Yuju bergantian ditunjuk untuk mengetuai tim memasak. Dengan sebegitu banyak penghuni dan selera berbeda-beda, memasak menjadi tantangan yang sama istimewa dengan meracik obat. Meskipun sebelumnya menggerutu kalau kena tunjuk, Yuju selalu memimpin tim dengan baik, menyebabkannya ditunjuk beberapa kali oleh kawan-kawannya. Sekarang, ia mensyukuri hal yang ia gerutukan itu sebab seringnya mengepalai dapur membuatnya belum kehilangan sentuhan saat ini.
Yuju sengaja mengambil tugas membuat gyeranjjim karena ingin memasakkan hidangan yang paling Hyejin suka di hadapan anak itu. Sambil mengaduk telur bersama kaldu, ia juga mencicipi kuah doenjang, menegur apabila ada bayam yang dicuci kurang bersih, dan menyelamatkan saus muchim yang keenceran atau hambar. Tak lupa ia memastikan keamanan Hyejin ketika membantu para bangau, sesederhana menuang bubuk wijen ke saus muchim sekalipun.
Setelah hidangan-hidangan dibawa para bangau dengan meja rendah ke ruang makan, Yuju mengusap keringat di dahinya, puas. Hyejin yang bekerja sama kerasnya meniru, lalu berbalik pada ibunya dengan mata berbinar-binar.
"Ibu! Tadi benar-benar keren! Ibu seperti seorang raja, tapi di dapur!"
Yuju mendengus dalam senyum gelinya. "Aku bahkan tak mengerti apa maksudnya itu. Memangnya kau pernah lihat bagaimana raja bekerja?"
"Tidak, tapi pasti seperti Ibu. Menyuruh-nyuruh, tapi juga bekerja, dan semua pekerjaan kelompoknya selesai dengan baik! Pokoknya keren!"
Akhirnya, tawa yang Yuju tahan-tahan lolos juga. Ia mengusap kepala Hyejin sekali sebelum berlutut untuk mengambil meja rendah terakhir. Di atasnya sudah tersaji lengkap nasi merah, sup doenjang, gyeranjjim, dan muchim untuk satu orang. Porsinya lumayan besar; jelas bukan Yuju sendiri yang akan memakannya, apalagi Hyejin.
"Terima kasih untuk pujiannya, Hyejin-ah. Kamu pun sangat hebat pagi ini. Aku tertolong," ucap Yuju, meronakan pipi Hyejin. "Nah, menurutmu, apakah Ayah akan memuji kita juga untuk memasak semua makanan enak ini?"
"Harus! Kalau tidak, akan kupaksa memuji! Capek, tahu, memasak semua ini!"
Untung Yuju sedang membawa meja rendah karena kalau tidak, ia pasti akan tergelak sampai terjungkal.
Secepat debar antisipasi muncul dalam dada Yuju, secepat itu pula kekecewaan membayangi wajahnya (dan Hyejin) ketika Seokmin tak terlihat di penjuru ruang makan. Mengira sang suami masih tidur, Yuju mengecek ke kamar mereka: nihil. Alas tidur serta selimut sudah terlipat rapi; Seokmin pasti pergi ke suatu lantai di Cheonwangbong.
"Yuju-nim," seekor bangau pelayan menyampaikan, "sepertinya Lee Seokmin pergi ke kebun atas untuk panen bersama beberapa bangau. Ada rimpang-rimpang dan bebuahan yang sudah matang."
'Kebun atas' merupakan salah satu wilayah kerja Seokmin sebagai pelayan Yuju. Memang ada beberapa lantai di tingkat teratas Cheonwangbong yang seluruh permukaan lantai dan dindingnya dialihfungsikan menjadi lahan serbaguna. Di sana, tanaman obat, sayur, dan buah dapat tumbuh sepanjang tahun tak peduli musim berkat kekuatan suci Mago. Bahkan ketika Yuju tidak lagi mewajibkannya mengawasi tanaman-tanaman di sana, Seokmin masih bekerja dengan rajinnya.
Ini baru hari pertama setelah pernikahanmu, santailah sedikit, dumel Yuju, tidak sadar dirinya sama rajin. Malas sekali kalau harus terbang ke atas dan mencarinya di setiap lantai yang berkebun ....
Saat sedang kebingungan begitu, sebuah kenangan tiba-tiba terlintas di benak Yuju. Sebelum menikah dulu, ketika jam istirahat siang di kediaman Kim, ia diberikan Sojung kebebasan untuk membawakan Seokmin makanan. Pergilah ia ke sawah—hanya untuk mendapati sangat banyak petani berpenampilan selusuh Seokmin sehari-hari, bekerja di satu lahan. Penampilan Seokmin yang tak mencolok menyusahkannya; selain itu, Seokmin belum terbiasa dengan kedatangannya tiap makan siang sehingga tidak mendatanginya sebagaimana para suami di lahan itu yang menyongsong istri mereka. Kadang-kadang, sudah menyadari kedatangannya pun, Seokmin tak langsung datang karena 'tanggung, sedikit lagi'.
Apa yang Yuju lakukan kemudian?
"Hyejin-ah," kembali ke masa kini, Yuju menarik putrinya mendekati jendela; tampangnya jahil, "ayahmu dari dulu kalau sudah bekerja bisa sampai lupa makan, tapi ada satu cara agar ia mau meninggalkan pekerjaan."
"Bagaimana?"
"Dengan meneriakinya." Yuju memutar tubuh Hyejin dengan kedua tangan menempel di bahu mungil itu. Wajah keduanya kini menghadap jendela. "Kita buat dia panik dan malu karena berisiknya kita, lalu dia pasti akan turun. Aku akan memberimu aba-aba, selanjutnya teriakkan nama lengkap ayahmu selantang-lantangnya, sampai seluruh Gunung Jiri dengar. Siap?"
Kedengarannya seperti sebuah permainan bagi Hyejin. Anak itu mengangguk nyaris seketika. "Panggil 'Lee Seokmin' begitu, ya, Bu?"
"Benar," angguk Yuju, tiba-tiba merasakan desir menyenangkan dalam darahnya, seperti gugupnya anak kecil saat mengenal permainan baru. "Aku akan berteriak bersamamu."
Demikianlah anak-beranak itu kemudian menarik napas panjang. Yuju menghitung dengan jarinya, lalu—
"LEE SEOKMIN! KAU DI MANA?"
"LEE SEOKMIN, WAKTUNYA SARAPAN!"
Teriakan Yuju dan Hyejin begitu lantang sampai para bangau yang bekerja di luar dan dalam menara sejenak terpaku. Namun, orang yang dipanggil tidak segera menanggapi, maka sambil tertawa-tawa, Yuju dan Hyejin berteriak lagi.
"YA, YA, AKU TURUN! SEBENTAR! TUNGGU!"
Nah, itu dia suara panik yang Yuju dan Hyejin nantikan. Badan Seokmin menjulur keluar dari jendela lantai atas, sekitar sepuluh lantai di atas kepala Yuju dan Hyejin. Teriakannya diselingi tawa kecil walaupun ada sedikit kekesalan di sana. Yuju tahu suaminya hanya malu—seperti dulu.
Aku yakin dia sudah lama tidak berteriak sekeras itu, batin Yuju, mengingat sosok Seokmin di Cheonwangbong jauh lebih tenang, cenderung muram. Selain putri yang sakit dan ibu yang menghilang, pasti ada lebih banyak beban yang mencegah tenggorokan itu dari mengungkapkan isi hati, dengan suara lemah sekalipun.
"Kalian bisa meminta para bangau untuk mencariku daripada menyakiti leher kalian," adalah komentar Seokmin begitu menginjakkan kaki ke ruang makan. Tangan dan kakinya basah, pasti baru saja membersihkan diri setelah panen. Sayang, corengan tanah di wajahnya terlewat dari basuhan air sehingga Yuju-lah yang harus menghapusnya.
"Sup doenjang-mu tidak mau dimakan dingin. Aku cuma menuruti maunya, jadi jangan marah padaku." Yuju mengedikkan bahu.
"A-Aku tidak marah!" Seokmin berjalan cepat menuju meja makan—dan begitu aroma sup doenjang menyapa hidung, ia melunak. "Malah, aku berterima kasih ...."
"Apa?" goda Yuju sembari menaburkan sedikit wijen di mangkok nasi Seokmin. "Tidak dengar."
Pipi Seokmin memerah saat mengeraskan suaranya. "Terima ka—"
"Ya, sama-sama. Aku mendengarmu dengan jelas, kok."
Mendengar tanggapan ibunya dan reaksi menggelikan ayahnya—yang seperti ingin kesal tapi gagal—Hyejin tertawa. "Ayo, kita makan, Ayah! Tadi aku membantu menuang doenjang dan mengaduk muchim, lho!"
"Hm, benarkah? Ayah tidak sabar!"
Namun, Seokmin, Hyejin, dan para bangau tahu lebih baik untuk bersabar menyentuh makanan mereka. Seperti biasa, mereka terlebih dahulu harus memanjatkan puji syukur kepada Dewi Perawan Mago, pelindung menara Cheonwangbong yang memberikan mereka kelimpahan bahan makanan. Yuju memimpin acara doa itu cepat saja, bukan karena ingin segera makan, melainkan ingin cepat mengetahui bagaimanana penilaian Seokmin terhadap masakannya.
Tidak disangka, Yuju malah terlena begitu makan masakannya sendiri.
Apa aku jenius? Nasi ini pulen sekali. Kuah doenjang-nya gurih, tetapi sawi dan daun bawang membuatnya agak manis. Kelembutan telur kukus serta kaldu ayamnya, juga rasa asin yang segar dari muchim, semua sesuai dengan seleraku .... Harusnya aku masak sarapanku sendiri dari dulu!
"Bu, enak!" Sendok Hyejin dengan segera menjadi sibuk, terutama ketika memotong gyeranjjim. "Aku paling suka telur ini!"
"Pelan-pelan makannya, Nona Kecil." Meskipun terhibur, Yuju tetap memperingatkan putrinya, tidak mau anak itu sakit perut. Lama-lama, mereka berdua berbincang sendiri, memilih hidangan yang paling lezat. Semangkok kecil kimchi dengan potongan udang kemudian menyusul di tengah acara makan, memeriahkan sarapan. Yuju sampai lupa pada suaminya yang diam-diam juga membersihkan seisi mangkok.
Yuju baru ingat Seokmin makan bersamanya ketika pria itu menyodorkan mangkok nasi yang kosong.
"Astaga, sudah habis, ya?" Mangkok-mangkok Yuju sendiri masih ada isinya sedikit. "Akan kubereskan setelah aku selesai—"
"Tidak, Yuna, itu ..." Seokmin mengangsurkan mangkok sup doenjang-nya juga—yang menyisakan sedikit kuah tanpa isi—dengan canggung. "Aku boleh tambah lagi? Sedikit saja ...."
Giliran wajah Yuju yang memanas. Seokmin diam saja dari tadi, jadi siapa yang tahu dia menikmati hidangan sebesar ini?
"Ayah kenapa malu-malu? Kita tidak bisa makan banyak kalau tidak di sini, apalagi ini masakan Ibu!" Hyejin mengambil mangkok kosong Seokmin. "Aku ambilkan nasi dulu, lalu aku kembali untuk mengambilkan supnya, ya!"
"Tidak perlu, Hyejin-ah, Ibu saja." Cepat-cepat Yuju mengambil alih mangkok Seokmin, baik yang dipegang Hyejin maupun di meja, dan pergi ke kuali besar di tengah ruangan. Tangannya berhati-hati untuk tidak menyendok terlalu banyak—sebab jika menuruti kehendak hati, ia ingin mengisi mangkok itu penuh-penuh. Mereka tidak pernah punya cukup nasi dan sup untuk satu porsi selama hidup di desa; keberlimpahan mendorong Yuju sangat kuat untuk memanjakan Seokmin kali ini, tetapi ia tahan.
Setengah porsi saja—atau dia tidak bisa bekerja sama sekali karena kekenyangan.
Seokmin mengungkapkan rasa terima kasihnya secara langsung saat menerima mangkoknya, juga secara tidak langsung melalui berbagai pujian.
"Ibumu hebat sekali, bukan, Hyejin-ah? Dia membuat kita makan seperti raja setiap hari," ucap Seokmin dengan senyum riang yang tulus. Ia menghirup supnya sampai berbunyi dan mendesah puas tanpa malu-malu setelah menelan. "Aduh, enaknya. Aku tidak bisa berhenti makan ini."
"Ayah, kalau kau tidak berhenti, perutmu akan meledak." Hyejin memperingatkan dengan serius—dan Seokmin tertawa, yang pada gilirannya menerbitkan tawa putrinya juga. Yuju menyaksikan ini semua sembari menggigit dalam pipinya. Tiba-tiba, ambisinya untuk lulus dari ujian Mago padam terdesak ambisi baru.
Gawat, aku sangat bahagia sampai melupakan tujuan utamaku. Apa ini boleh?
"Seokmin, Hyejin," panggil Yuju impulsif, menolehkan kepala suami dan anaknya yang berpipi penuh, "katakan apa yang mau kalian makan nanti malam. Akan kumasakkan yang paling lezat untuk kalian."
Tentu saja tak butuh waktu lama bagi anak-ayah Lee untuk menyebutkan satu menu yang ingin mereka santap, mencerahkan Yuju. Dari kejauhan, Halmang yang tengah mematuki nasi jagungnya mengamati keluarga pengantin baru itu dengan saksama—dan hati yang waswas.
Usai sarapan dan membersihkan peranti makannya, Seokmin langsung pamit pada Yuju, dengan bersemangat izin memanen rimpang bersama para bangau. Sementara itu, sesuai janjinya saat mandi, Yuju mengajak Hyejin meracik lulur sebagai 'pelajaran' hari ini.
"Sekarang juga kita membuatnya? Apakah kita bisa memakainya besok?" tanya Hyejin semringah.
"Mengapa tidak? Lulur beras dan madu mudah dibuat. Kita bisa simpan itu, lalu membuat yang lain untuk mengisi cepuk meja rias. Bedak atau gincu, misalnya?"
"Asyik! Bahannya apa—"
"Yuju-nim."
Panggilan Halmang yang berdiri tegang di depan ruang makan mengalihkan Yuju dari anaknya yang bahkan belum selesai bertanya.
"Ada apa, Halmang-nim?" balas Yuju, sedikit terganggu, sebelum kembali tersenyum pada anaknya. "Tolong siapkan segenggam beras, tiga sendok madu, dan sebotol minyak kelapa di ruang meracik. Pergilah."
Seperginya Hyejin, Yuju mendekati kepala pelayannya.
"Saya tak akan basa-basi: semua kebahagiaan ini, janganlah membuat Anda lupa mengabdi pada Mago-nim." Halmang memperingatkan. "Memang Anda baru menikah kemarin, tetapi pernikahan ini dijalin untuk diakhiri sebentar lagi. Sadarkah, sejak kembali jatuh cinta pada keluarga itu, Anda semakin jarang bermeditasi, berdoa, dan belajar?"
Kau tak perlu mengingatkanku, Bangau Tua.
"Saya sadar itu, Halmang-nim. Maafkan saya."
"Selain itu, sampai sekarang, saya yakin Lee Hyejin masih menganggap keluarganya akan bertahan selamanya. Tolong jangan menghindari kewajiban memberitahukan kebenaran padanya."
"Keluarga ini akan bertahan selamanya." Yuju menekankan. "Tidak secara jasmani, memang. Sihir pelindung Cheonwangbong juga akan membuat mereka melupakan saya kelak, tetapi itu tidak menjamin saya akan sepenuhnya hilang dari benak mereka. Pecahan-pecahan kenangan mereka sebagai keluarga utuh bersama saya pasti akan tertinggal, entah apa bentuknya."
Halmang diam, menatap majikannya lurus-lurus—dan Yuju baru sadar napasnya memburu. Ia tutupi emosinya yang memuncak dengan membungkuk hormat pada Halmang.
"Dahulu, saya memang datang ke Cheonwangbong semata karena ketidakberdayaan. Sekarang, menjadi salah satu wanita penjaga Eliksir Kehidupan di Nirwana adalah pilihan saya, jadi jangan khawatir, Halmang-nim." Selanjutnya, Yuju menegakkan tubuh dan berbalik. "Terima kasih atas perhatian Anda." []
Catatan kaki:
Gyeranjjim: hidangan yang dibuat dengan telur dan kaldu dikocok menjadi satu, lalu dikukus
Muchim: sayuran dan bahan tambahan direbus hingga lunak, lalu ditiriskan dan dibumbui kecap serta bubuk wijen
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top