26

"—na ...."

Yuju terkesiap, mengira Seokmin terbangun karena kecupan di tangannya. Segera diletakkannya tangan itu kembali ke sisi badan Seokmin, lalu mengamati si pria lekat-lekat. Di wajah Seokmin muncul kerutan-kerutan tak nyaman, makin lama makin dalam disertai rintihan parau.

"Yuna .... Uh—"

Apa yang dia impikan sampai merengek begitu? Yuju serta-merta membelai pipi Seokmin dan memanggilnya.

"Aku di sini, Seokmin. Bangunlah."

Kelopak mata Seokmin lambat sekali membuka, seakan-akan ada beban menggelantungi masing-masing bulu matanya. Mata yang berkabut itu masih dibingkai kerut dahi ketika pertama membuka penuh, tetapi kerut itu berangsur memudar. Setelah mengenali Yuju dan senyumnya yang hangat, Seokmin merangkul perempuan itu.

"Mimpi buruk, Bayi Besar?" canda Yuju.

"Aku melihatmu pergi," sahut Seokmin, menghilangkan keinginan Yuju untuk lanjut bercanda. "Mimpi ini sudah datang berulang kali sejak kau menghilang, tetapi mengapa sekarang menjadi lebih menyakitkan?"

Yuju tak ingin menjawab itu. Ia ada di sini untuk Seokmin, detik ini; apa yang terjadi pada masa lalu, masa mendatang, dan masa yang tak nyata tidaklah penting. Harusnya Yuju bisa menikmati kebersamaan mereka—jika ia tidak mendadak teringat hari hukuman Seokmin yang hampir habis.

"Mungkin," Yuju mengutarakan jawaban yang berlawanan dengan kehendaknya, "mimpi itu jadi menyakitkan karena kau menyadari betapa sedikit waktu yang kita punya, padahal perasaan kita baru saja bersemi lagi."

Tatapan Seokmin menyendu. Hati Yuju mencelus dibuatnya. Untuk memilih kata-kata penghibur saja, ia tak sanggup. Namun, Seokmin mendadak menepuk pipi sendiri keras-keras sampai Yuju melotot.

"Apa yang kaulakukan, tiba-tiba?! Wajahmu jadi merah begini!" Yuju menangkup pipi Seokmin yang agak panas saking kerasnya ditampar. "Sakit, ya?"

"Tidak, tidak apa. Aku sengaja melakukannya. Satu rasa sakit bisa mengalahkan sakit lainnya, kan? Selain itu," Seokmin menggenggam kedua tangan Yuju, "waktu kita yang sedikit harus diisi kebahagiaan sebanyak mungkin, seperti yang kita bicarakan semalam!"

Cara mewujudkan kebahagiaan itu, secara garis besar, adalah melakukan apa pun yang bisa dilakukan keluarga normal, sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat. Ide kegiatannya sebagian besar berasal dari Seokmin, yang Yuju setujui, tetapi ada satu langkah besar yang pertama-tama harus diambil.

Yuju perlahan menarik tangannya, keluar dari genggaman Seokmin. Ia lantas duduk dan mengambil atasan Seokmin. Baju itu ia gelar menutupi badan atas Seokmin yang telanjang.

"Kalau begitu, mari bersiap. Kenakan pakaianmu dan jemput Hyejin supaya dia tidak bingung mencarimu. Aku akan membersihkan diri," Yuju menyibak selimut, lalu melipatnya, "lalu kita akan mengejutkan Hyejin bersama."

Hyejin masih belum sepenuhnya bangun ketika Seokmin—sambil menyiapkan pakaian ganti terbersih dan pita rambut cantik pemberian Yuju—menyuruhnya mandi. Seokmin juga memilih baju terbaik untuk diri sendiri, dalam artian: jeogori sederhana yang jahitannya tak mencuat dan warnanya masih segar. Bukan durumagi; merasakan kemewahan jubah bangsawan, baginya, cukup sekali seumur hidup.

"Ayah, memangnya ada perayaan apa lagi? Chilseok, kan, sudah selesai?" tanya Hyejin saat Seokmin mengepang rambutnya.

"Ini hari raya, tetapi khusus untuk kita bertiga," terang Seokmin dengan wajah berseri-seri.

"Bertiga?" Hyejin mengerjap-ngerjap cepat. "Kita dan Yuju-nim?"

Hampir saja Seokmin mengiakan, tetapi urung. Ia penasaran mengapa Hyejin langsung mengaitkan mereka berdua dengan Yuju.

"Soalnya Yuju-nim sekarang baik sekali pada kita berdua!" jawab Hyejin riang. "Beliau memasakkan kita gujeolpan, mengajak kita ke durumi-daegyo, terus mengajak Ayah menonton ritual panen ganja .... Aku yakin, berikutnya pasti akan ada hadiah lagi!"

Hadiah besar, jantung Seokmin berdegup tak karuan. Ia sembunyikan kegugupan itu di balik tawa.

"Tebakanmu tepat sekali. Nah, mari kita bergegas. Kau pasti tak sabar menerima hadiah dari Yuju-nim, kan?"

"Ayo, ayo!" Hyejin menyambut uluran tangan ayahnya, sedikit berjingkat. Anak-beranak itu pun berjalan bergandengan, menyusuri koridor sampai menemukan satu jendela, di mana dua bangau pelayan telah menunggu. Seokmin membantu putrinya menunggang bangau lebih dulu, menaiki bangaunya sendiri, lalu keduanya meluncur turun ke lantai dasar. Sesampainya di sana, Hyejin berterima kasih secepat mungkin pada bangau yang mengantarnya dan langsung berlari pada Yuju.

"Hyejin-ah, jangan lari-lari!" Seokmin memperingatkan dari jauh meskipun tahu putrinya tak akan mendengarkan. Kelakuan Hyejin seolah-olah tidak pincang saja. Sudah begitu, bukannya memberi salam, bocah itu langsung menadahkan tangan di muka Yuju.

"Yuju-nim, saya mau hadiahnya!"

Seokmin hampir menepuk wajah saking malunya. Yang menghentikannya dari melakukan hal itu adalah cara Yuju membalas permintaan tak tahu malu Hyejin. Perempuan yang dulu amat dingin dan angkuh, kini terkekeh sambil memencet gemas hidung mancung murid mudanya.

"Dasar. Siapa yang memberitahumu aku akan memberi hadiah?" Yuju baru melepaskan Hyejin ketika si gadis cilik meronta-ronta. "Jadinya aku gagal mengejutkanmu."

Seokmin merasa lemah. Ia sudah sering melihat Yuju dan Hyejin bersama selama di Cheonwangbong, tetapi itu sebelum Yuju mengakui identitas Yuna-nya. Setelah peristiwa mengharukan semalam, kebersamaan ibu dan anak itu menjadi lebih meleburkan lagi.

Begini saja, aku sudah ingin memeluk mereka erat. Bagaimana nanti setelah Yuna mengatakan yang sebenarnya pada Hyejin? Aku bisa melakukan hal yang lebih norak lagi.

Seokmin berdebar-debar ketika Yuju memberinya isyarat untuk mendekat, sementara Hyejin cuma memandang sang ayah bingung. Mengapa Yuju tidak langsung memberinya hadiah dan harus menunggu Seokmin datang?

Apa yang akan Yuju lakukan bukan hal sembarangan. Belum-belum, ia sudah tegang duluan. Karena butuh dukungan, maka begitu Seokmin duduk menyebelahinya, Yuju diam-diam meraih tangan pria itu dan menghela napas. Telapak tangannya terasa dingin dan lembap di atas punggung tangan Seokmin, jadi Seokmin segera memutar pergelangan, menelentangkan telapaknya, dan mengaitkan jemari dengan Yuju. Ketika mereka bersitatap, Seokmin mengangguk pelan.

Semua akan baik-baik saja. Mulailah.

Demikian Yuju menerjemahkan gestur sederhana Seokmin.

"Yuju-nim, ada apa?"

Aku telah membuat anak ini cemas. Yuju kembali memandang lawan bicaranya dengan rasa bersalah. Tidak, bukan 'anak ini', melainkan anakku. Aku tak boleh berlama-lama.

Satu helaan napas kemudian, Yuju buka suara.

"Lee Hyejin, ibumu telah pergi semenjak kau bayi, tetapi ayahmu selalu bercerita tentangnya hingga kau bisa mengenalnya walaupun tidak pernah bertemu. Apa kau masih menyayangi dan merindukannya hingga sekarang?"

"Ya! Sayang sekali dan kangen sekali! Akan selalu begitu sampai selama-lama-lama-lamanya!" seru Hyejin sebelum bibir Yuju betul-betul terkatup. Ia lantas menyadari sesuatu. "Jangan-jangan ... Yuju-nim akan mengajak saya bertemu Ibu? Yuju-nim tahu di mana Ibu berada?"

Belum Yuju menjawab, Hyejin sudah berseru kegirangan. Yuju sampai harus memegangi bahunya agar diam, lalu mendudukkannya lagi. Kali ini, Yuju menatap putrinya lurus-lurus, serius, dan Hyejin terpaku.

"Ibumu," mulai Yuju, "sebetulnya tidak benar-benar pergi untuk belajar, melainkan karena malu, sedih, dan ketakutan."

Hyejin mengerjap-ngerjap tak mengerti, sementara segumpal ludah yang kelat menyangkut di tenggorokan ibunya, ditelan susah payah.

"Tahukah kau mengapa kau pincang?"

"Tahu." Hyejin menjawab lirih. "Saya jatuh dari timangan saat masih bayi."

Yuju menggeleng. "Kau dijatuhkan. Ibumu yang melakukannya."

Mata Hyejin membulat lambat, masih mencerna kenyataan yang sulit diterima ini. "Mengapa? Ibu sayang pada saya."

"Pernahkah kau mendengar dari ayahmu," rasa bersalah yang terus membumbung memaksa Yuju menyambung, "bagaimana ibumu tidak mau menyusuimu?"

"Ibu mau menyusui saya!" Mata Hyejin berlinang-linang saat berdiri dan membentak Yuju. "Mau mengantuk dan capek pun, Ibu akan datang kalau saya menangis! Itu yang Ayah katakan!"

"Aku kenal ibumu," timpal Yuju. "Dia perempuan yang lebih mencintai buku ketimbang keluarganya. Dia biarkan bayinya kelaparan karena ketakutan yang tak berdasar. Dia tinggalkan ayahmu untuk sebuah kesalahan kecil dan enggan memberi maaf sampai bertahun-tahun. Dia bersenang-senang sendiri di Cheonwangbong sebagai murid Mago kendati kau dan ayahmu menderita. Perempuan yang menjijikkan itu—ya, itu ibumu, Lee Hyejin."

"Tidak! Bohong! Yuju-nim pembohong! Wah!" Dengan air mata berderai, Hyejin mengangkat kepalan tangannya yang kecil dan mengayunnya ke arah Yuju. Pukulan Hyejin akan mengenai kepala perempuan itu andai Seokmin tidak merangkulnya dari samping. Pria itu menatap Yuju tak habis pikir.

Mengapa Yuna tidak langsung memperkenalkan dirinya? Mengapa pula menjelek-jelekkan dirinya sampai seperti itu? Dia tidak pantas menerima olok-olok itu, bahkan dari diri sendiri ....

Sekilas, Yuju tampak sekeras batu karang, tetapi dari parasnya yang beku, jatuh setetes air mata. Ia telah mengakui semua dosanya pada Hyejin—dan jelas sekali, Hyejin tidak bisa menerima sosok itu sebagai ibunya. Penjahat yang Yuju ceritakan tak punya kesempatan.

"Yuju-nim tidak tahu apa-apa! Anda tidak kenal siapa Ibu! Saya yang tahu!" tangis Hyejin.

"Benarkah? Kalau begitu," tantang Yuju, "beritahu aku, bagaimana rupanya."

Hyejin sontak berhenti menangis. Direka-rekanya sosok Ibu dalam kepala. Wanita itu pasti tinggi—ataukah pendek? Dia harusnya cantik, tetapi cantik yang bagaimana? Seharusnya juga, dia kurus, tetapi sekurus apa—atau dia segemuk bibi tetangga yang punya tiga anak?

Tangis yang sudah mereda, lambat laun mengemuka lagi, lebih lirih karena teredam dada Seokmin, tempat Hyejin menyembunyikan muka. Gadis kecil itu malu dan frustrasi, menolak mengakui bahwa ia betul-betul tidak tahu bagaimana rupa ibunya. Sosok itu sama jauh dengan tokoh-tokoh dongeng yang Seokmin ceritakan saban malam—mungkin sama tidak nyatanya.

Hati Yuju sakit menyaksikan anak semata wayangnya menangis.

"Tapi, jauh dalam hatinya," sambung Yuju lembut, sedikit goyah, "perempuan itu ternyata menyayangimu .... Ia hanya terlambat menyadari perasaannya sendiri. Tidak ada ilmu yang lebih berharga dari kasih seorang anak, dan itulah yang ingin membuatnya kembali padamu, juga ayahmu."

Yuju menarik napas lagi dan beringsut mendekati Hyejin yang sedang dirangkul Seokmin, lantas bicara cukup dekat dengan telinga Hyejin, dengan suara yang cukup keras untuk didengar Hyejin seorang.

"Maaf telah meninggalkanmu begitu lama, Hyejin-ah. Aku ibumu."

Secepat kilat, Hyejin menarik diri dari pelukan Seokmin dan menoleh pada perempuan yang dulunya majikannya. Mata sembap itu menelusuri wajah Yuju, naik-turun-naik lagi, lalu berhenti di mata Yuju yang keduanya tergenang.

"Yuju-nim ... adalah ibu saya?"

Yuju mengangguk, berat. Hyejin kini memutar badannya menghadap Yuju, dengan masih terisak-isak dan mata dikucek-kucek mengamati Yuju lebih dalam. Seokmin membelai puncak kepala putrinya.

"Benar, Hyejin-ah. Ibu yang bangun malam untuk menyusuimu saat kamu lapar, Ibu yang menimangmu sampai tidur, Ibu yang cantik dan suka belajar," Seokmin mematahkan olok-olok Yuju pada diri sendiri sebelum ini, "Ibu Yuna-mu, itu Yuju-nim."

Keheningan yang diisi sisa-sisa isakan Hyejin bukannya mereda malah semakin mengisi ruang. Yuju sampai tak sadar berkedip lebih cepat, gugup menanti tanggapan Hyejin atas pengungkapan mengejutkan ini. Seokmin sama saja; meskipun berusaha menenangkan diri dengan membelai-belai rambut putrinya, dadanya masih bergemuruh.

Hyejin-ah, kumohon dengan sangat, doa Yuju, terimalah aku kembali sebagai ibumu. Berilah aku kesempatan menebus dosa dalam waktu yang tinggal sedikit ini ....

"Yuju-nim bukan ibu saya." Hyejin mencebik dan jantung Yuju seolah merosot ke perut. "Bukan Ibu ....Bukan ibu saya .... Wah!!!"

Setelah hatinya dilukai, Yuju dibuat panik oleh tangis Hyejin yang parau lagi sumbang.

"Bukan Ibu .... Ibu Yuna tidak galak dan mengajak belajar terus .... Ibu Yuna suka memelukku dan Ayah, tidak suka menyuruh-nyuruh .... Ibu Yuna—" Satu demi satu sifat 'Yuju' yang berlawanan dengan 'Ibu Yuna' Hyejin sebutkan. Yuju tidak lari, sepedih apa pun dibanding-bandingkan sang anak dengan wujud khayal dirinya. Mau bagaimana lagi? Pasti sulit menerima wanita sok majikan seperti Yuju sebagai ibu.

Mengapa aku begitu serakah, mengharapkan maaf dari putri yang kutelantarkan?

Namun, satu tangan mengeringkan pipi Yuju. Memang telapak Seokmin bertahan di atas kepala Hyejin, tetapi tangannya yang lain bekerja, mencoba membendung kesedihan sang istri.

Yuna, tidak apa-apa.

Demikian bibir Seokmin bergerak, bicara tanpa suara, dan Yuju kembali berharap.

"Yuju-nim tidak tahu kapan aku lahir ...." isak Hyejin, masih menyangkal, tetapi perempuan di depannya bergumam.

"Tahun kuda, bulan sepuluh tanggal dua."

Tepat. Hyejin sejenak terlihat kaget, tetapi kemudian meneruskan. "Yuju-nim tidak tahu arti namaku ...."

"Gadis cerdas dan berharga." Yuju menjawab cepat. Selain karena Hyejin pernah keceplosan bercerita suatu hari, memang Yuju yang memilih huruf serta nama untuk anak itu. Tentu saja ia akan ingat makna dan doa yang ia sematkan pada diri Hyejin.

"Y-Yuju-nim tidak tahu lagu yang membuatku cepat tidur ...."

"Lagu petani Goseong dan lagu ganggangsullae." Yuju tersenyum dengan bingkai air mata. Ia ingat meninabobokan bayi Hyejin di halaman, berteman gadis-gadis desa yang menari dalam lingkaran di bawah purnama. Si bayi bukannya terusik oleh suara berisik permainan ganggangsullae, justru jadi cepat tidur. Wajah pulas yang bulat itu seringkali menulari Yuju si ibu muda dengan rasa kantuk pula.

Sekarang, situasinya jadi sedikit konyol. Hyejin terus menyebutkan hal-hal yang harusnya cuma diketahui ibunya, tetapi Yuju menjawab benar semua 'pertanyaan'. Wajah Yuju semakin cerah, tangisnya menyusut dan kering. Hyejin kehabisan rahasia untuk 'menantang' Yuju, sementara Seokmin mendengarkan pertukaran itu dengan senyum tipis, geli.

Ketika akhirnya Hyejin tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan lagi, bibirnya terkatup rapat membentuk satu garis lurus.

Apa lagi yang akan kautanyakan, Hyejin-ah?

"Aku tidak percaya!" Tak lagi menggunakan bahasa yang santun, Hyejin mengajukan tantangan final pada wanita yang mengaku sebagai ibunya. "K-Kalau Yuju-nim benar ibuku, kau harusnya menikah dengan Ayah! Mana buktinya?" [] 

terima kasih atas komen2nya yg pada on fire di bab sblmnya ^^ brb balesin komen. also ... lagu kambek yuna kayaknya bakal angsty. sounds tasty for this book's bgm? omong2 soal bgm, mago's last apprentice ada playlistnya di spotify, look it up!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top