25

"Jangan khawatir! Aku tidak akan mencambukmu. Aku cuma menceritakan asal mula peribahasa 'Mago menggaruk punggungmu', yang berarti 'segalanya berjalan sesuai rencana'. Duduk lagi yang rileks dan kembalilah merokok."

Seokmin mau tak mau kembali menyandari kursinya, tetapi posturnya sedikit lebih tegang. Ia pun mengisap pipa untuk menghilangkan rasa tidak nyaman.

"Menjadi seorang bangsawan gadungan yang menikmati satu malam bebas pikiran tidak ada dalam rencana saya," kata Seokmin.

"Tapi, ada dalam rencanaku," tukas Yuju sembari berbalik ke arah Seokmin. "Seperti bangsawan yang dijamu Mago-nim itu, kau kuuji dengan kesulitan demi kesulitan di Cheonwangbong dengan dalih menebus obat putrimu. Kau menyelesaikan serangkaian ujian itu dengan teramat baik, maka pantaslah kau mendapatkan hadiah. Meski bukan keabadian, malam seperti ini harusnya cukup bagimu, bukan?"

Seokmin, lagi-lagi, menatap Yuju seperti orang mabuk. Di balik tirai asap, wajahnya menyendu.

"Saya telah gagal karena serakah dalam ujian terakhir."

Yuju mengernyit. "Apa maksudmu?"

Masih dengan tatapan menerawangnya, Seokmin menjawab. "Seperti yang Anda katakan, malam ini seharusnya sudah cukup memuaskan saya. Namun, saya menginginkan lebih ... sebuah harapan yang mustahil saya katakan."

Tertarik, Yuju beringsut mendekati kursi Seokmin, tak tahu gerakan sederhana itu berdampak besar bagi lawan bicaranya. "Selama tidak menyakitiku, katakanlah."

"Saya ingin," jeda; Seokmin menarik napas dalam dan tangannya yang memegang pipa melampai di sisi badan, lalu ia melanjutkan dengan suara gemetar, "istri saya hadir di sini alih-alih Anda. Saya juga ingin dibelai dengan jemarinya yang seramping cakar burung itu. Saya," Seokmin memalingkan muka, "ingin dia kembali dalam pelukan saya. Setelah saya menghujaninya dengan kasih sayang, barulah malam ini akan terasa sempurna.

"Seperti itulah harapan lancang saya. Sekarang, apakah saya akan dicambuk seperti pria dalam dongeng Anda?" Seokmin terkekeh, tetapi senyumnya tak mencapai matanya. "Silakan cambuk saya, tetapi saya tak akan menarik kata-kata tadi."

Ini dia. Seokmin telah menyebut 'istri' dalam bagian harapannya. Yuju menggigit bibir; ia yakin Seokmin baru saja memanggilnya secara tersirat. Pria itu juga pasti tahu Yuju—Yuna—akan datang jika ia memohon dengan demikian sungguh-sungguh.

Ganja telah membuatnya berani. Bagus. Langkahku berikutnya akan lebih mudah.

Yuju menyisihkan pipanya dan berdiri.

"Lee Seokmin, tidak seperti Mago-nim, aku tidak setengah-setengah dalam memberi hadiah. Perhatikan baik-baik. Jangan berpaling, jangan mengatakan apa-apa; cukup nikmati rokokmu. Mimpi ganjamu akan segera menjadi nyata."

Seirama dengan napas dan embusan asap rokok Seokmin, Yuju bergerak seakan kakinya menggelincir di atas lantai. Ia menuangkan air dari bejana perak di sebelah tempat tidur ke piring, lalu menepukkan selembar kain ke sana sampai cukup basah. Selanjutnya, ia menyapukan kain itu ke sesisi wajahnya.

Dengan sekali sapu, separuh wajah Yuju telah bersih dari riasan, menyuguhkan dua nuansa dalam satu raut. Seokmin berdebar. Ia menemukan majikan dan istrinya dalam satu tubuh.

Yuju sempat melirik Seokmin sebentar sebelum menghapus riasan di sisi lain.

Setelah menanggalkan keagungan di wajahnya, Yuju mengurai simpul pada atasannya dengan amat perlahan. Ia menikmati tatapan memuja sekaligus frustrasi milik Seokmin dari balik beberapa lapis tirai asap. Bunyi gesekan kain yang satu per satu berkumpul di kaki Yuju sama meresahkan dengan baju dan rok tipis serbaputih yang Yuju kenakan di balik pakaian mewahnya.

Yuna sehari-harinya mengenakan pakaian seperti itu karena tak sanggup membeli kain tebal. Namun, suaminya tak pernah tampak sebegini terpesona.

Berikutnya, Yuju melepas tusuk sanggul dan jepit rambutnya yang bertatahkan batu giok serta mutiara. Perhiasan-perhiasan bagus itu dibuang begitu saja ke lantai, menyusul pakaian-pakaian yang sudah lebih dulu berjatuhan. Kepangan Yuju yang mulanya tergelung rapi, kini terurai, menuruni punggungnya dalam satu garis tebal. Rambut palsu yang ia gunakan untuk memadatkan sanggul pun jatuh dan menggelinding menjauh. Alih-alih menghiraukannya, Yuju justru memilin kepangannya ke atas, mengelilingi kepala, dan mengikatnya di sisi kanan. Jadilah sebuah ko meori yang mengguncang Seokmin pada hari pertama rangkaian perayaan Chilseok.

Bagi Yuju, mempersembahkan diri sebagai Yuna secara langsung begini amat menggetarkan. Meskipun sebelumnya sudah pernah menjadi 'Yuna', ia menyiapkan segalanya di belakang layar. Namun, sekarang, ia seperti menelanjangi diri sendiri di bawah pandangan Seokmin—dan ia merasa begitu rentan. Atribut Yuju yang kuat dan berkuasa tak lagi melekat untuk 'melindunginya', semua demi memberikan hadiah terbaik untuk pria yang ia dambakan.

Seokmin tak sengaja menjatuhkan pipanya yang tinggal berisi abu ganja. Ia bahkan tak sadar telah melakukan itu. Matanya mulai tergenang.

"Selanjutnya," Yuju duduk di samping Seokmin, "sesuai keinginanmu, aku akan membelai wajahmu."

Panas kulit pipi Seokmin membakar telapak tangan Yuju, tetapi wanita itu justru merasa nyaman dengannya. Yuju menggerakkan telapak tangan kanannya naik-turun dan membelai tulang pipi Seokmin dengan ibu jari.

Seingatku, dulu dia tak sekurus ini. Harusnya setelah masuk Cheonwangbong, dia bisa makan lebih baik, bukan? batin Yuju saat merasakan keras tulang di bawah kulit, tetapi ia lantas teringat. Benar juga. Aku membuatnya bekerja begitu keras untuk balas dendam; pasti karena itulah dia tidak dapat makan dengan baik.

Sementara itu, Seokmin memejam, ingin lebih dalam lagi menghayati sentuhan wanitanya. Betapa lembutnya tangan itu. Betapa ramping dan menggelitik jemari Yuju di atas kulitnya yang kasar. Betapa harum telapaknya dan betapa memanjakan sentuhannya. Sudah begitu, tangan kiri Yuju yang semula menganggur kini mengikuti yang kanan, menangkup dan membelai wajah Seokmin. Wanita itu melakukannya dengan perlahan, entah untuk menggoda, mengagumi, atau memuaskan diri sendiri. Yang jelas, setelah itu air mata Seokmin mengalir tiada henti. Tangan pria itu tahu-tahu bergerak naik, menggenggam tangan kiri Yuju, dan mencium takzim bagian dalam telapak itu.

"Saya pasti ... sudah terlalu banyak mengisap ganja." Seokmin bersusah payah menahan isak, tetapi suaranya terlanjur sengau. "Kalau ini mimpi, saya tak ingin bangun selamanya."

"Kau bahkan tidak tidur. Seokmin," Yuju melekatkan keningnya hati-hati ke kening orang yang ia panggil, lantas berbisik dalam senyuman, "ini aku, Yuna, telah kembali kepadamu. Sesuai keinginanmu, bukan?"

Seokmin tak sanggup lagi. Isakan lirihnya pun lepaslah, lantas ia memeluk Yuju erat-erat. Sesak dari kedua lengan Seokmin yang melingkari tubuhnya, bagi Yuju justru menghanyutkan. Untuk sejenak, ia berpasrah dalam dekapan yang mencuri napas itu, tak bergerak sedikit pun karena kewalahan dibanjiri rasa rindu Seokmin.

"Yuna ...." Seokmin menangis hingga mukanya berkerut-kerut. "Aku tahu kau ada di dalam sana .... Akhirnya, kau datang padaku ...."

Setelah beberapa waktu, Yuju baru menemukan kekuatan untuk merangkul balik suaminya dan mengusap punggung Seokmin dalam lingkaran-lingkaran kecil. Ia menelan segumpal tangis haru yang mengancam keluar, lalu menggantinya dengan kekehan.

"Kalau kau tahu, mengapa tidak memanggilku?"

"Karena," Seokmin melepaskan pelukannya, ganti membelai wajah Yuju dan bicara terbata-bata, "aku tidak mau memaksamu untuk kembali padaku. Selain itu, dengan mengaku sebagai suamimu, aku bisa saja mengingatkanmu pada ... kenangan-kenangan buruk tentang kita. Kau berhak hidup dengan nama yang kaupilih, dengan jalan yang kautentukan sendiri tanpa campur tanganku. J-jadi, aku—"

"Kalau begitu, aku berhak menjadi Yuna, istri Lee Seokmin kembali, bukan?" Yuju meletakkan ibu jarinya di bibir Seokmin, membungkam pria itu seketika. "Berkali-kali menipu diriku, berkali-kali meyakinkan bahwa hidup sebagai murid Mago-nim merupakan impianku, tetapi aku tak pernah merasa genap ... mungkin karena rinduku dikaburkan dendam yang tak perlu.

"Seokmin, aku ternyata masih mencintaimu. Boleh aku menciummu untuk memulai kembali kisah kita?"

Tanpa kata-kata, Seokmin membalas Yuju dengan menciumnya duluan. Seperti sekujur tubuhnya yang mulai berkeringat, bibir itu pun panas meleburkan. Sentuhan yang tiba-tiba ini menyengat Yuju sampai ubun-ubun, memberatkan napasnya, tetapi tidak mencegahnya menuntut lebih banyak. Seokmin telah melumat bibirnya dengan haus, tetapi Yuju masih mendorong tengkuk lelaki itu dari belakang, memperdalam ciuman mereka. Bibir mereka terpisah hanya sebentar-sebentar, entah untuk mengambil napas sebelum melanjutkan, mengeluarkan suara nikmat halus, atau—untuk Seokmin—membisikkan 'aku mencintaimu' di bibir Yuju, seakan memantrai bibir itu.

Mengungkapkan seluruh isi hati bukannya menyurutkan cinta dalam hati Yuju, malah semakin menyalakannya. Ia baru sadar bahwa dirinya sangat menginginkan Seokmin. Menjadi serakah, Yuju mengalungkan kedua lengannya ke leher Seokmin dan membawa tubuh lelaki itu jatuh ke sisi lain kursi panjang selagi masih bercumbu.

Namun, Seokmin mendadak terbatuk sehingga ciuman yang Yuju kira akan panjang terputus begitu saja. Pria itu telah mencapai batas setelah sekian lama tidak berkontak intim dengan wanita, apalagi ini Yuju yang begitu mudah membuatnya lepas kendali. Seokmin memalingkan muka, terus batuk-batuk sambil menutup mulut, membuat cemas Yuju yang berbaring di bawahnya.

"Seokmin ... uh, kau baik?" Kali ini, Yuju mengusap-usap punggung Seokmin dengan bingung, berharap itu cukup untuk menghentikan batuknya. Berhasil; Seokmin akhirnya bisa mengambil napas lega, tetapi karena malu, ia membenamkan wajah ke ceruk leher Yuju.

"Aduh, geli" tawa Yuju sebelum menepuk-nepuk lembut kepala Seokmin. "Sebaiknya, kita memang tidak berciuman sambil menangis."

"Maafkan aku, Yuna. Tenggorokanku mendadak kering ...." Seokmin mengerang kecewa dan bicara pada dirinya sendiri. "Ah, mau ditaruh di mana mukaku ini ...."

"Mungkin masih terlalu dini untuk kita." Yuju tak menyebutkan 'terlalu dini' untuk apa, tetapi kelihatannya Seokmin mengerti. "Mau pindah ke tempat tidur? Kita harus bicara banyak."

Seokmin mengiakan dan beranjak dari tubuh Yuju. "Benar. Aku harus minta maaf banyak-banyak padamu."

"Kau gila. Aku tidak mau mendengarkan permintaan maaf saja malam ini. Aku mau dengar apa yang terjadi di rumah selama aku pergi: bagaimana Hyejin bertumbuh menjadi gadis yang begitu berisik, berapa lama kau meratap setelah kehilanganku ... termasuk apa yang terjadi dengan Ibu." Yuju bangkit dan mengurai simpul yang menutupkan durumagi Seokmin. "Akan lebih baik jika tanggalkan dulu baju bagus ini dan kembali menjadi suami istri petani biasa, bukan begitu?"

"Tidak, tidak, kumohon dengarkan aku .... Aku, aku memang salah karena tidak mengawasi Hyejin, t-tapi aku sudah mencoba mengurangi sakitnya dengan racikan—"

"Apa kaupikir racikan itu bisa menyambung kaki yang patah? Kau membuat Hyejin cacat seumur hidup demi membaca buku-buku sampahmu itu!"

"Maafkan aku, sungguh maafkan aku .... Aku tak akan pernah meninggalkan anak itu lagi, aku akan menjaga Hyejin agar dia bisa hidup seperti anak lainnya—"

"Omong kosong. Kau sejak awal tidak pernah menginginkan anak, bukan? Kau ingin anak itu pergi, kan? Mengakulah! Kau bahkan tidak mau menyusui anak itu!"

"Aku mau menyusuinya! Dulu, aku memang gila dan bodoh menelantarkan putriku sendiri, tetapi kini aku menyayangi Hyejin! Sebesar aku mencintaimu! Akh, sakit! J-jangan jambak rambutku!"

"Tidurlah di lumbung mulai malam ini."

"Apa ... jangan seperti ini, aku mohon .... D-Di sana dingin, gelap, dan banyak serangga—aku—"

"Kau mengabaikan Hyejin. Mengapa sekarang aku harus peduli padamu?"

"Tidak. Tidak! Seokmin, Seokmin, buka pintunya! Seokmin, aku tak bisa melihat apa pun, tolong! Maafkan aku, aku janji akan lebih menjaga Hyejin! Seokmin, buka pintunya!

"Seokmin ... Seokmin, buka pintunya ....

"Hyejin-ah, Ibu minta maaf ....

"Seokmin ... air, tolong ....

"Seokmin—"

Yuju membuka mata dengan napas tersengal-sengal. Gara-gara mimpi buruk tadi, ia mengira masih menyiksa Seokmin untuk balas dendam; mimpi-mimpi semacam itulah yang mengganggunya saat pertama kali Seokmin dan Hyejin datang. Tentu saja, ia jadi terkejut ketika menyadari lengan siapa yang melintangi perutnya—dan siapa pria yang tidur bertelanjang dada di sebelahnya.

Oh, benar. Semalam aku dan Seokmin bercerita ini-itu, menangis, dan tertawa seperti orang sinting. Seokmin sampai kegerahan karena terus-menerus bercerita dengan menggebu, lalu melepas atasannya. Kami pasti ketiduran karena capek, tetapi dari semua mimpi, mengapa harus itu yang membangunkanku pagi ini?

Sejujurnya, kenangan tentang hari Hyejin jatuh dari timangan lebih menyakiti Seokmin ketimbang Yuju. Pria itu merasa sangat malu dan berdosa karena membiarkan Yuju hampir mati ketakutan, juga mengatakan bahwa 'sebanyak apa pun, semelelahkan apa pun pekerjaan yang kauberikan padaku sebagai Yuju tidak akan mampu menebus dosa itu'. Seokmin bahkan mengira-ngira—dengan bibir gemetar dan mata yang tak awas—ke neraka mana dirinya, seorang suami yang semena-mena, akan diceburkan setelah mati. Yuju terpaksa membenamkan pria itu dalam dadanya sambil bilang 'aku memaafkanmu' berkali-kali agar pria itu berhenti menyalahkan diri.

Aku tahu itu akan menjadi yang pertama dan terakhir. Setelah ini, di depan kita hanya akan ada kebahagiaan ....

Yuju mengangkat lengan Seokmin yang berada di perutnya ke wajah, meletakkan telapak besar pria itu ke pipinya.

... dan perpisahan. Waktu hukumanmu tinggal tujuh hari. Saat kau pulang, kau akan lupa pernah menemukanku—dan sekali lagi, aku akan menjadi istrimu yang hilang.

Leher Yuju tercekat. Semua rencana untuk membahagiakan ayah-anak Lee akan memperpahit perpisahan mereka, tetapi agar bisa naik ke taman Mago, perpisahan itu memang harus pahit—yang berarti Yuju telah sukses membuka lembaran baru. Pada sisi Yuju, 'ikatannya' dengan dunia akan terputus begitu Seokmin meninggalkan Cheonwangbong, lalu ia bisa melenggang ke langit.

Yuju mengecup tangan Seokmin.

Tidak bisakah kau dan Hyejin menemaniku ke Nirwana saja, melengkapi kebahagiaanku setelah lulus nanti? []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top