24

"Kau harusnya tahu bahwa putrimu paling senang jika berguna bagi orang lain."

"Oh." Seokmin jadi salah tingkah karena baru menyadari raut riang Hyejin saat lengan Yuju menyampiri bahunya. "Anda benar. Terima kasih banyak telah memberitahu saya."

Yuju didudukkan di atas permadani lantai pertama, merasa agak pusing. Ia minta diseduhkan teh pahit dengan tambahan sari ganja yang baru saja dipanen. Halmang patuh dan mengajak Hyejin bekerja bersamanya. Anehnya, kali ini gadis itu tampak enggan meninggalkan Yuju meskipun untuk 'membantu'.

"Masukkan bubuk ganjanya ke dalam kantung dan beri air, lalu peras sarinya dan aduk bersama teh pahit." Baru saja bersikap manis untuk putri Seokmin, Yuju kembali memberi perintah sebagai guru. "Cuma ini kesempatanmu. Kau tidak akan menemukan ganja yang serupa di luar Cheonwangbong. Aku akan menilai racikanmu."

"B-Baik!" Begitu tahu dirinya akan dinilai, semangat Hyejin kembali menggebu-gebu. "Saya akan buatkan!"

Sepeninggal Hyejin dan Halmang, Seokmin tertawa kecil. "Saya mestinya juga tahu kalau kesukaan Hyejin yang lain adalah belajar dari Anda. Omong-omong, saya tak pernah tau teh dengan sari ganja di dalamnya."

"Itu teh terbaik yang kami punya di sini. Kau bisa hidup bebas penyakit selama bertahun-tahun hanya dengan sekali teguk. Selain itu, kau tahu ganja Mago bisa dipakai apa lagi untuk memberikan khasiat terbaiknya?"

Seokmin menyebut soal arak. Yuju tidak menyalahkan.

"Dibakar. Asapnya akan membuatmu terbang ke alam mimpi. Kau pernah merokok?"

Tenaga Yuju sudah betul-betul pulih ketika malam turun. Di kamar tempatnya biasa merokok, ia menyiapkan dengan tangan sendiri: dua pipa panjang, racikan ganja kering yang dirajang halus, dupa untuk mengharumkan ruangan, serta suguhan berupa kue beras dan air. Penerangan kamar dibuat remang-remang, tetapi hangat, merendah terhadap cahaya Bulan.

Yuju sendiri masih tampil paripurna setelah berjam-jam. Usai membawakan ritual panen ganja secara gilang-gemilang pagi ini, ia berusaha keras tidak berjingkat ke sana kemari saat belajar bersama Hyejin. Begitu matahari terbenam dan ruang makan besar dibereskan, ia pun berhias secantik-cantiknya, bersembunyi dari mata menyelidik Hyejin. Ia juga membubuhkan minyak wangi hasil karyanya bersama Hyejin siang ini.

"Baunya enak! Apa saya boleh memakainya juga, Yuju-nim?"

"Tentu, biar kubantu. Bubuhkan sedikit seperti ini ... dan kau siap untuk pergi. Oh, karena wewangian ini bahannya sulit didapat, lain kali jika kau membuat sendiri, pakailah hanya pada saat-saat penting."

"Seperti apa?"

"Untuk mengesankan orang-orang kesayanganmu, misalnya."

"Memangnya Yuju-nim mau mengesankan siapa?"

Malu sekali rasanya mengingat pertanyaan lugu Hyejin yang Yuju pancing tanpa sengaja. Perempuan itu berkelit dengan mengatakan ia 'hanya sedang ingin wangi' dan 'bahan wewangian di Cheonwangbong berlimpah, jadi tak masalah mau pakai kapan pun'. Tentu Yuju tidak bisa bilang ia ingin Seokmin dapat mengenang malam ini sebaik mungkin, termasuk Yuju, sampai ke bau-baunya.

Jantung Yuju berdegup kencang, maka diusap-usapnya dadanya untuk menenangkan gemuruh itu.

Waktu mereka di sini tidak banyak lagi, jadi aku harus segera menjelaskan segalanya pada Lee Seokmin.

"Yuju-nim," terdengar ketukan hati-hati di pintu, "saya, Lee Seokmin, telah datang."

Ini dia. Yuju menghela napas panjang, sebentar kemudian mengembuskannya dengan santai. Pantang baginya gugup di depan Seokmin terlalu dini; ia harus mengawali percakapan ini dengan kepribadian 'Yuju' alih-alih 'Yuna'.

"Masuklah."

Pintu terbuka perlahan, lalu tampaklah Seokmin yang duduk di atas lututnya. Berbeda dengan sehari-hari, pria itu kini mengenakan durumagi—luaran yang panjangnya melebihi lutut—untuk melapisi atasan jeogori yang berhenti di pinggangnya. Durumagi itu sebiru langit malam ini, terlihat baru dan licin. Sangtu Seokmin rapi sekali, tak sehelai rambut pun keluar dari ikatan rambut maupun manggeon-nya. Warna rambut itu pun hitam kemilau, padahal biasanya kemerahan terbakar matahari.

Seokmin menutup pintu dari dalam, lalu berjalan mendekati Yuju, tetapi sebelum cukup dekat, ia duduk dengan canggung. Matanya terus tertuju ke lantai. Yuju yang gemas pun beranjak dari tempat duduknya.

"Malam ini kita akan berpesta. Kelihatannya kau tidak senang?" tanya Yuju sambil membuka kotak ganja kering.

"Beribu ampun, Yuju-nim. Saya—saya senang, tetapi hari ini ... masih terasa janggal." Seokmin mengusap tengkuknya. "Menghabiskan cukup banyak waktu hanya berdua dengan majikan sepertinya bukan sesuatu yang harusnya dilakukan pelayan."

Yuju diam-diam menggigit bibir. Sesuatu yang pada keadaan biasa akan disimpannya sendiri, kini diungkapkannya.

"Dulu, aku pasti akan tersanjung mendengarmu bicara begitu. Sekarang, aku kesal melihatmu terus memperlakukan diri sebagai pelayanku." Meski demikian, nada bicara Yuju masih tenang. "Ambil pipamu, yang mana saja boleh. Kau harusnya tidak benar-benar asing dengan ini."

Seokmin patuh, memilih pipa panjang yang terdekat dengannya. Ia memang pernah merokok, sekali, itu pun cuma untuk coba-coba; begitu akunya pada Yuju pagi ini. Pipa milik petani-petani tua di desa terbuat dari bambu yang tidak dipoles dan berjari-jari lebar sehingga asap masuk dalam kepulan-kepulan besar ke mulut. Ketika belajar merokok pada mereka, dada Seokmin terbakar, matanya pedih karena asap, dan ia pulang dalam keadaan tubuh lebih buruk dibanding saat berangkat. Namun, saat itu, Seokmin baru saja ditinggalkan orang kesayangan. Ia justru menikmati sakit ragawi dari merokok untuk menutup sakit lainnya.

Ketika terbangun keesokan paginya, tangis lapar Hyejin kembali menjernihkan pikiran Seokmin. Ia lantas memutuskan untuk tidak lari lagi pada rokok jika sakit hati.

Ragu-ragu, sambil sesekali mencontoh Yuju, Seokmin mengisi mangkuk pipanya dengan racikan ganja kering. Ia lantas menyulut ujung pipa, menerapkan ingatan dari pengalaman merokoknya yang tak menyenangkan dulu itu.

"Tunggu," perintah Yuju saat Seokmin mendekatkan pangkal pipa ke bibir, hendak mengisap. "Asap ganja tidak perlu dimasukkan ke paru-paru untuk merasakan efeknya. Jika belum terbiasa, kau mungkin akan merasa panas di tenggorokan, maka embuskan saja. Lakukan berulang-ulang sampai kau merasa cukup mampu menghirup asapnya agak dalam. Setelahnya, embuskan perlahan dan nikmati aromanya. Minumlah jika tenggorokanmu mulai kering nanti."

Petani-petani tua yang merokok dengan Seokmin tak akan membuang waktu untuk menjelaskan ini semua. Mereka lebih suka menertawakan Seokmin yang batuk-batuk dan meneteskan air mata perih, baru membetulkan cara merokoknya.

Yuju menuangkan secangkir air. Alih-alih menyodorkannya ke sisi Seokmin, ia memutari meja dan meletakkannya langsung di depan pria itu. Bagaimana Seokmin tak makin salah tingkah?

"Terima kasih banyak atas petunjuknya—dan, dan airnya, Yuju-nim."

Yuju mengangguk. "Mulailah, dan aku akan ikut mengisap pipaku."

Atas perintah Yuju, Seokmin menghirup asap dari racikan ganja kering yang sudah dinyalakannya melalui pangkal pipa. Ia sudah siap disengat asap panas ganja, tetapi yang memasuki rongga mulutnya cuma kehangatan yang—segar? Sebelum mencapai tenggorokan, Seokmin mengembuskan asap dari mulutnya perlahan. Sisa napasnya yang agak berkabut itu segera membaur dengan asap dupa, menebarkan aroma mistis membius ke seluruh penjuru ruangan.

Merasa nyaman, Seokmin kembali mengisap pipa dan mengembuskan asap segar ke udara. Dari pandangannya yang menerawang ke kepulan asap tipis, Yuju tahu pria itu menikmati pengalaman ini, jauh lebih besar dari pengalaman merokok pertamanya. Puas, Yuju lantas menyalakan pipanya sendiri dan mulai merokok.

"Campuran ganja ini terasa seperti salju di mulut," ucap Seokmin. "Rokok yang pernah saya coba hanya terasa seperti tembakau."

"Dan abu, makanya pahit," kekeh Yuju. Seokmin terkekeh bersamanya; pria itu telah menurunkan pertahanan. "Racikan Cheonwangbong ini istimewa karena terbuat dari ganja, hwanggeum, dan mawar. Orang-orang desamu jelas tak paham seni meracik."

"Tapi, itu membantu mereka melalui masa-masa sulit. Seseorang ... pernah mengatakan pada saya bahwa menghirup asap tembakau murni efeknya sama menyenangkan dengan minum arak, tetapi tanpa mabuk dan pengarnya." Senyum Seokmin menipis sebelum menghirup—dan mengembuskan—asap dari pipanya. "Walaupun begitu, dia tetap melarang saya merokok karena bisa membawa penyakit kelak."

Yuju ingat mengucapkan hal yang sama pada Seokmin sebelum mereka menikah.

"Kutebak, orang itulah yang meninggalkanmu dan membuatmu mencoba rokok untuk pertama kali."

"Seterbaca itukah saya?"

Yuju tidak menjawab. Lucu juga kalau dipikir-pikir; ia dan Seokmin sama-sama merokok karena sakit hati meskipun penyebab sakit hatinya berbeda.

Saat Yuju diam, Seokmin tidak memburu jawaban. Keduanya bungkam selama beberapa saat, murni menikmati rokok masing-masing. Kegugupan Yuju surut derajat demi derajat seiring isapan pipanya, serupa dengan Seokmin. Ganja Mago telah menimbulkan efek mendamaikan yang Yuju harapkan, jadi ia menawarkan salah satu kursi panjang untuk disandari Seokmin. Di sana juga terdapat tumpukan bantal seperti yang disandari Yuju sebelum ini.

"Saya boleh duduk di sana?" Seokmin mengerjap tak percaya. "Tapi, kalau saya menempatinya, bagaimana dengan Anda?"

"Gampang. Aku dapat menyandari apa pun yang kumau, tetapi kau, aduh. Mengenalmu, kurasa kau akan terus duduk sampai pegal kalau aku tak menyuruhmu menyandari sesuatu." Yuju menggeleng-geleng. "Bukan begitu cara menikmati rokok istimewa ini."

"K-Kalau begitu ... saya permisi."

Seokmin duduk di kursi Yuju dalam posisi punggung nyaris tegak, bersanggakan bantal-bantal yang sejuk. Ia mendesah lirih dan menyedot kecil pipanya lagi. Selama beberapa saat, ia dan Yuju menikmati pipa masing-masing dalam hening.

"Benar-benar .... Saya tidak pernah membayangkan hari seindah ini akan datang. Mengenakan pakaian yang bagus, dikelilingi wangi dupa dan racikan ganja, juga merokok di ruang remang yang tenang tanpa memikirkan orang lain .... Seperti mimpi saja." Sekepul asap kemudian, ia tersenyum pada Yuju; kebetulan tatapan mereka bersirobok. "Terima kasih telah memberikan saya semua ini, Yuju-nim."

Yuju membalas senyum itu sama lembut, berharap keremangan ruangan menyembunyikan rona wajahnya. Ia membuang abu di pipanya sebelum memasukkan tiga jumput ganja baru ke sana.

"Pernah dengar dongeng 'Mago Menggaruk Punggung'?"

"Belum, Yuju-nim. Seperti apa kisahnya?"

"Apa ini?" Yuju mengangkat salah satu sudut bibirnya. "Seorang ayah yang mendongengi putrinya setiap malam ternyata masih tidak mengetahui beberapa cerita yang terkenal."

"Saya hanya petani biasa; dongeng-dongeng saya dipanen dari sawah, bukan perpustakaan besar. Tolong cerahkan saya."

Seperti Hyejin, mata Seokmin berbinar tidak sabar menanti dongeng baru. Meskipun Seokmin masih bicara formal kepadanya, Yuju merasa benteng tinggi di antara mereka kini telah roboh sempurna. Tidakkah mereka seperti suami istri biasa yang menghabiskan waktu bersama di penghujung hari dengan mengobrolkan apa pun?

"Dahulu," Yuju membuang abu di pipanya dan mengetukkan ujung pipa ke tepi asbak beberapa kali, memastikan semua abu keluar, "seorang bangsawan yang ingin meraih keabadian telah menyelesaikan pertapaannya. Ia pun diangkat ke nirwana dan sebuah pesta besar diadakan untuknya. Mago-nim datang dengan berbaris-baris bangau mahkota merah, menyuguhkan berbagai santapan nikmat yang sebanyak apa pun tidak membuat kenyang, cuma memanjakan lidah dengan kelezatan tiada akhir. Kemudian, Mago-nim—dengan tangannya sendiri—menuangkan Eliksir Kehidupan untuk laki-laki beruntung itu."

"Sungguh luar biasa. Ia pasti sangat taat selama pertapaannya hingga sang dewi sendiri berkenan melayaninya."

Suara Seokmin agak parau, tetapi ia tidak terlihat terganggu dan meneruskan merokok. Yuju tahu lebih baik untuk menyuruhnya berhenti dan membantunya minum air. Seokmin bahkan tak perlu repot-repot mengangkat kepalanya dari bantal; Yuju mendekatkan bibir cangkir ke mulutnya, lalu memiringkan cangkir dengan sangat hati-hati supaya air tidak mengalir terlalu cepat ke kerongkongan Seokmin.

Sementara itu, perhatian Seokmin sejenak teralihkan oleh tangan Yuju yang melingkari badan cangkir. Jemari Yuju memang lentik, tetapi malam ini ujung-ujung kukunya yang tak seberapa panjang juga berkilauan, seperti biji wijen berminyak di atas miljeonbyeong kemarin. Cantik sekali—dan kulit Seokmin meremang membayangkan apa yang jemari lentik itu bisa lakukan kepadanya.

Kau sudah gila, Lee Seokmin! Itu cuma jari-jari! kutuk Seokmin pada dirinya sendiri—yang berpikiran tidak-tidak untuk hal paling murni sekalipun.

"Betul, seperti itu."

Seokmin mengerjap bingung, sementara Yuju di seberangnya berusaha mengatur laju napas.

"Apanya ... yang 'seperti itu', Yuju-nim?"

Pria sialan. Dia menatap tanganku penuh hasrat dan berlagak bodoh! umpat Yuju. Sialannya lagi ... tatapan itu membuat sekujur tubuhku membara ....

Yuju menyisihkan cangkir yang telah kosong di atas meja sembari memalingkan wajah.

"Seperti itu, cara Mago-nim meminumkan Eliksir Kehidupan kepada bangsawan tadi. Sepertimu pula bangsawan itu menatap jari-jari Mago-nim yang seramping cakar burung."

"Oh," tanpa berpaling pun, Yuju tahu Seokmin sedang menutup muka karena malu, "ma-maafkan kelancangan saya .... Saya tidak—"

"Bangsawan itu," potong Yuju, "setelah semua kenikmatan yang diperolehnya, ternyata masih mengharapkan nikmat lain. Saat melihat jemari lentik Mago-nim, dia mengucapkan harapannya keras-keras agar Mago-nim mau menggaruk punggungnya."

Yuju mengisi pipanya kembali dengan tiga jumput racikan ganja, memadatkannya, dan menyulutnya.

"Mago-nim terhina oleh permintaan itu, bahkan meskipun datangnya dari seorang bangsawan yang telah layak mendapatkan segala kenikmatan surgawi. Ia murka dan mencambuk bangsawan itu berkali-kali. Luka dari bekas cambukan itu bertahan selamanya, mengingatkan sang bangsawan akan sikap kurang ajarnya sekalipun telah hidup abadi di nirwana."

Seokmin menelan ludahnya sulit. Yuju mendengar kerisik kain durumagi-nya; pria itu jelas gelisah dan takut. Tertawa, Yuju berpaling dan mendorong Seokmin pelan untuk kembali bersandar ke bantal-bantal.

"Jangan khawatir! Aku tidak akan mencambukmu. Aku cuma menceritakan asal mula peribahasa 'Mago menggaruk punggungmu', yang berarti 'segalanya berjalan sesuai rencana'. Duduk lagi yang rileks dan kembalilah merokok." []

Hwanggeum: Scutellaria baicalensis atau kopiah Cina, tanaman berbunga ungu yang beraroma seperti mint.

.

.

.

.

.

only these two can smoke weed. y'all can't because u wont get that sexc, cuman teler doang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top