21

"Suatu hari nanti, saya akan masak gujeolpan yang lebih enak dari ini!" Hyejin menyela tak mau kalah, menatap Yuju menantang sebelum berpaling pada Seokmin. "Aku janji pada Ayah, dan calon suamiku di masa depan!"

Hampir saja Seokmin menyemburkan makanan dalam mulutnya.

"Kau bilang apa, Hyejin-ah? Suami?" Seokmin tidak bisa menahan tawa, tetapi agar tak dikira meremehkan, ia membelai rambut putrinya yang kelihatan serius memaknai kata itu. "Ya, kamu pasti bisa. Ayah dan suamimu akan menjadi lelaki-lelaki beruntung yang bisa makan gujeolpan enak tiap Chilseok."

"Sebelum itu," sahut Yuju, "benahi dulu bentuk miljeonbyeong-mu, Lee Hyejin."

"Ya, saya tahu .... Makanya tolong ajari saya!" Hyejin cemberut menanggapi ucapan Yuju, memancing Seokmin untuk merangkulnya gemas sambil tergelak.

Keakraban yang melenakan ini tiba-tiba disela oleh masuknya pasangan tua yang ditunggu-tunggu Seokmin dan Hyejin sejak awal sarapan. Mereka terengah-engah di ambang pintu, sama-sama berkeringat, tetapi wajah mereka secerah mentari pagi ini yang cahayanya menyisipi ruang makan.

Satu lagi, keduanya bergandengan tangan memasuki ruang makan dengan langkah seirama. Ini pasangan yang kemarin bertengkar perkara cara membalut luka Seokmin?

"Rupanya kalian berdua," ujar Yuju setelah menelan makanannya. "Masuklah. Milik kalian di meja sudut belakang, ya."

"Yuju-nim," daripada menyentuh hidangan yang dimaksud, pasangan tua itu langsung bersimpuh, menghormat pada majikan mereka, "kami telah melunasi biaya pengobatan kami. Dapatkah kami pulang sekarang?"

Secara tak terduga, Kakek dan Nenek dinyatakan sudah membayar jasa Yuju dan diperbolehkan pulang, padahal rangkaian perayaan Chilseok baru akan dimulai. Sekeras apa pun Seokmin menebak-nebak, ia tetap tak punya bayangan akan bayaran apa yang mungkin ditagih Yuju dari pasangan tua ini. Gu yang dahsyat kemarin harusnya merupakan 'penyakit' terberat yang Yuju hadapi di Cheonwangbong; harga pengobatannya pasti sangat mahal.

Namun, Kakek dan Nenek tidak terkesan baru saja kehilangan sesuatu yang amat berharga bagi mereka. Pada pagi saat mereka muncul dengan berleleran keringat di ruang makan, mereka jelas kelelahan, tetapi bahagia. Berapa banyak 'pasien' Yuju yang pulang girang karena jadi sehat walafiat setelah sebelumnya sekarat? Seokmin pikir tidak akan banyak jika tarif pengobatan mereka sedemikian tinggi.

"Mengapa mereka pergi tidak bilang-bilang dulu?" keluh Hyejin murung dengan tatapan menerawang, malam itu saat Seokmin setengah jalan mendongenginya. Mengira ini soal dongengnya, Seokmin mengernyit bingung.

"Cuma harimau yang pergi dari gua karena tidak kuat puasa. Beruang tinggal sampai 21 hari sehingga ia diangkat—"

"Ini bukan tentang ceritamu, Ayah," sahut Hyejin, "tapi Kakek dan Nenek. Mestinya mereka bilang-bilang, kan, kalau mau membayar Yuju-nim? Aku kan kaget mereka pamit begitu saja. Kita juga tidak tahu di mana rumah mereka, padahal aku lebih suka mendengar cerita-cerita sejarah dari mereka ketimbang dongeng Ayah."

"Aduh, sakitnya. Jadi, dongeng Ayah sudah kalah seru, nih?" canda Seokmin sambil berpura-pura sedih. Hyejin mestinya tahu ayahnya cuma bergurau, tetapi ia tetap merangkul pria itu dengan lengan pendeknya, merasa bersalah.

"Maafkan aku, Ayah. Aku masih menyukai dongengmu, tapi Kakek dan Nenek teman yang asyik .... Dan aku sekarang kesal."

Sambil membelai punggung Hyejin, Seokmin menata kalimat putrinya yang berantakan itu, sekalian menata perasaan si gadis cilik. "Kamu bisa mendengarkan dongeng-dongeng Ayah kapan pun, tetapi tidak bisa lagi mendengar cerita-cerita bersejarah yang seru dari Kakek dan Nenek. Mereka juga asyik diajak main, makanya kau kesal karena ditinggal."

Hyejin mengangguk kuat, setuju. "Ayah, katanya mereka tinggal di Gyeongsang, kan? Nanti setelah pulang, kita cari rumah mereka bersama, ya? Kita berkunjung dan bercerita sepanjang malam."

Jeda sejenak—sebelum Seokmin menjawab dengan antusiasme yang dipaksakan.

"Tentu. Kita buat mereka iri dan menyesal karena melewatkan Chilseok di Cheonwangbong."

Sayangnya, kemungkinan besar pertemuan berikutnya tidak akan datang untuk Hyejin. Kalau bukan karena kesengsaraan yang sama, ia dan Kakek-Nenek bahkan tak akan pernah berkenalan. Mereka hanyalah sesama pasien yang berhak berpisah jalan setelah berobat pada tabib paling mahir, tidak untuk menjalin hubungan yang lebih akrab.

Seokmin merasa bersalah karena telah memanfaatkan harapan palsu untuk menidurkan putrinya, tetapi apa boleh buat? Tak semua kerinduan tercipta untuk dilipur.

Sambil menepuk-nepuk lembut sisi tubuh Hyejin untuk meninabobokannya, Seokmin memandang kosong ke luar jendela. Di balik kosen bersekat kertas, bayang-bayang bersayap mondar-mandir. Semalam ini pun, para bangau pelayan masih sangat sibuk. Semula mengamati mereka dengan setengah melamun, Seokmin kemudian sadar bahwa mereka lebih sering mondar-mandir malam ini hingga menghalangi cahaya bulan berkali-kali, membuat kamar Seokmin berkelap-kelip. Ada apa gerangan?

Setelah memastikan Hyejin terlelap, Seokmin mengangkat tangannya dari tubuh mungil itu, lalu bangkit dan berjalan menuju jendela, penasaran. Dengan hati-hati, dibukanya jendela sedikit untuk mengintip—dan ia melotot seketika.

Apa ini?

Di luar jendela Seokmin, warna putih bebercak merah meliuk-liuk, berlatar belakang langit malam. Bentuknya menyerupai gugus bintang besar yang biasa Seokmin kagumi, tetapi yang ini bisa dijangkau tangan. Warnanya juga bukan berupa percikan putih di atas hamparan hitam, melainkan lebih mirip permadani panjang yang melayang-layang. Tikar ini mengelilingi Cheonwangbong dan memutar ke atas, tak tampak ujungnya dari jendela di mana Seokmin melongokkan kepala. Bagaimana permadani raksasa ini terbentuk, dan untuk apa?

Pertanyaan pertama Seokmin langsung terjawab begitu beberapa ekor bangau mahkota merah terbang menukik ke permadani putih—dan menyatu dengannya. Badan ramping bangau-bangau pelayan itu melebur ke dalam warna putih; tak lagi terlihat kepala, tubuh, dan kaki mereka. Bahkan mahkota merah di kepala mereka ikut menjelma titik-titik, corak penghias permadani.

Ajaib! Seokmin menjulurkan kepala ke luar jendela. Hyejin harus tahu ini!

Setelah mampu mengendalikan keterkejutannya, Seokmin mundur. Ia akan membangunkan Hyejin untuk menyaksikan fenomena langka ini andai tidak mendengar sapaan Yuju dari kejauhan.

"Berhenti, Lee Seokmin."

Semula sudah berdiri agak jauh dari jendela, Seokmin mendekat kembali ke sana, tertarik oleh suara lembut yang belum terlihat pemiliknya. Pria itu celingukan ke kanan-kiri, lalu menemukan Yuju menuruni permadani dari atas menuju jendela. Matanya mengerjap-ngerjap cepat, membiasakan diri dengan sosok Yuju yang seakan memancarkan kilau pucat. Tanpa ko meori, kali ini rambut sang murid Mago digerai, berhias sebuah tteoljam sedikit di belakang telinga kanan. Riasannya masih setipis tadi pagi, mengesankan kesucian yang Seokmin takut menodai.

Inikah bidadari yang kelak akan menjaga Eliksir Kehidupan di taman Dewi Mago?

Ketika akhirnya benar-benar berdiri di depan jendela Seokmin, Yuju sempat terdiam dan mengamati ekspresi mabuk kepayang lelaki itu. Ia lantas mendengus, mencoba tersenyum seangkuh biasa, tetapi lagi-lagi rona wajahnya tak bisa menipu.

"Tatapan itu bisa melubangi kepalaku, tahu."

"Ah, uh .... Ma-Maafkan saya." Seokmin lekas-lekas mengalihkan pandang. "Anu ... bangau-bangau itu, saya ingin menunjukkannya pada Hyejin."

"Tak perlu." Yuju menepuk bahu Seokmin mantap. Telapak itu mulus tak bercela, putih bersih dengan pembuluh-pembuluh biru halus mengintip dari bawah kulit, dan berbau seperti bunga jeruk. Kendati mereka tidak langsung bersentuhan, Seokmin masih dirambati gelenyar yang menyenangkan dari tepukan itu. Namun, sesuai isyarat sang majikan, Seokmin menyingkir dari jendela agar Yuju bisa masuk.

Yuju mengangkat sedikit ujung gaunnya, bersiap melangkahi kosen jendela. Itu rupanya belum cukup untuk mendarat dengan sempurna ke dalam kamar Seokmin; kedua tangan yang sibuk menyebabkannya kehilangan keseimbangan—dan terpaksa berpegang ke lengan Seokmin yang siaga di sampingnya.

Nah, sekarang keduanya baru bersentuhan, kontak yang mampu menyemburkan rona merah bahkan di kulit kecokelatan Seokmin.

"Terima kasih." Yuju dengan jengah menarik tangannya. "Aku tahu kau dan putrimu akan bertanya-tanya tentang durumi-daegyo begitu melihatnya, jadi aku berniat membawa kalian menaikinya. Ternyata, putrimu sudah tidur duluan."

"'Durumi-daegyo'?" ulang Seokmin selagi Yuju berlutut di sebelah Hyejin. "Para bangau pelayan—mereka membuat jembatan? Mengapa?"

"Tentu saja karena ini Chilseok dan kita berada di Cheonwangbong." Yuju berpaling dan—begitu bersitatap dengan Seokmin yang jelas sekali kebingungan—mendesah kasar. "Kau tahu kisah Kyeonwu-nim dan Jiknyeo-nim, kan?"

Seokmin mengangguk ragu. Satu, rasanya aneh mendengar nama tokoh yang ia pikir fiktif diberikan –nim di belakangnya, seolah-olah Yuju pernah bertemu langsung dengan mereka. Dua, ya, Seokmin tahu Kyeonwu dan Jiknyeo adalah sepasang kekasih yang perpisahannya menciptakan hari raya Chilseok, tetapi dalam dongeng, mereka dihubungkan dengan jembatan burung murai. Di sini tidak ada burung murai, tidak ada pula sepasang kekasih yang dihukum bertemu setahun sekali, lalu?

"Chilseok pada dasarnya adalah waktu untuk melipur rindu yang mustahil. Beruntung, Mago-nim menganugerahkan jembatan ini pada kami penghuni Cheonwangbong." Yuju menyentuh geraian rambut Hyejin yang tengah mengecap-ngecap dalam tidur. Ujung jari perempuan itu sarat ki. "Kami jadi dapat mengunjungi mereka yang masih kami cinta di luar Gunung Jiri dengan meniti jembatan ini. Tentu saja, kami hanya menemui roh mereka—dan orang-orang itu hanya akan mengingat pertemuan dengan kami sebagai bunga tidur."

Jemari Yuju mendaki helaian rambut Hyejin ke kepala si bocah. Seokmin menahan napas ketika Yuju mengangkat sedikit jemari itu—dan sesuatu yang mirip Hyejin terangkat dari tubuhnya.

"Apa yang—"

"Jangan takut, Lee Seokmin, dan jangan berisik," perintah Yuju lirih. "Kita sama-sama tidak mau membangunkan putrimu, bukan? Durumi-daegyo bisa dititi jiwa tanpa raga, jadi aku bermaksud mengajak jiwa putrimu saja. Kebetulan, jiwa itu sedang merindu amat kuat."

Seokmin membenarkan. "Kakek dan Nenek," gumamnya.

Yuju mengangguk setuju sembari tersenyum. "Aku sebelumnya tak pernah menggunakan jembatan ini seperti teman-temanku yang lain, tetapi setelah mereka mendahuluiku lulus, jembatan ini jadi ada gunanya. Aku akan pergi mengunjungi teman-temanku, putrimu juga nanti akan dituntun menuju pasangan tua itu."

"Bagaimana caranya? Dan—apa yang Anda lakukan?" Tangan Seokmin terangkat di depan dada, seolah hendak menangkap Hyejin 'kedua' yang telah Yuju pisahkan sepenuhnya dari raganya. Sosok kedua ini tampak lebih rentan, tetapi Yuju menggendongnya tanpa kesulitan. Anak itu, padahal, sudah hampir sama berat dengan sekarung beras.

"Membawa jiwa putrimu. Sekarang, mari kita keluar." Tepat setelah Yuju mengucapkan ini, jembatan putih di luar jendela menjulur masuk sampai nyaris menyentuh kaki Seokmin dan Yuju. "Akan kutunjukkan caranya menggunakan durumi-daegyo."

Mengikuti Yuju, Seokmin menaiki jembatan. Awalnya, ia takut-takut menginjak jembatan karena itu sama dengan menginjak rekan-rekan kerjanya. Namun, setelah diamati dari dekat, ternyata jembatan itu padat-keras, seperti jembatan-jembatan lain yang paling tidak terbuat dari bata. Seokmin jadi lebih tenang menitinya meskipun masih bilang 'permisi' dan 'maaf' pada jembatan itu.

Sesampainya di luar menara, Seokmin mengembuskan napas takjub. Sulit dipercaya, kini ia melayang di antara malam dan bintang! Bintik-bintik kecil di angkasa terasa dekat; mungkinkah bisa dipetik? Bisakah jembatan mirip permadani ini membentang sampai Bulan?

"Ungh ...."

Hyejin—lebih tepatnya 'jiwanya'—bangun tak lama kemudian. Masih dalam gendongan Yuju, gadis cilik yang tampak linglung itu mengucek-ngucek mata. Hal pertama yang disadarinya adalah dada penggendongnya yang seempuk bantal bulu angsa; tak mungkin dada ayahnya. Hal berikutnya adalah bentangan luas bintang dengan beberapa lajur warna putih di depan matanya, indah tak terperi sampai ia rela meninggalkan kenyamanan dada Yuju, ingin melihat lebih jelas. Setelah beberapa kerjapan, barulah Hyejin bisa melotot riang.

"Waaah!" serunya, tak punya cukup kosakata untuk mengungkapkan kekaguman. "Bagusnya! Ini di mana? Aku mau turun!"

Maka Yuju menurunkan Hyejin dengan muka sedikit kaget, mungkin karena anak itu tidak pernah menggunakan 'aku' dan kosakata banmal lainnya saat bicara dengannya.

Begitu kakinya menapaki durumi-daegyo, Hyejin berjalan cepat meski terpincang-terpincang dan—bahkan—terpeleset sesekali. Bagai refleks, Seokmin dan Yuju mengejar anak itu, menyuruhnya berhati-hati. Ketika akhirnya tertangkap oleh Seokmin pun, si gadis cilik masih tertawa-tawa.

"Tempat yang sangat luas! Apa ini Nirwana tempat Dewi Mago berada?"

"Bukan, sayangnya," jawab Yuju. Ia ulang sekelumit penjelasan tentang keistimewaan durumi-daegyo yang sudah ia bagi pada Seokmin sebelum menambahkan bagaimana cara kerja jembatan ajaib ini.

"Lee Hyejin, kaubilang ingin menemui pasangan pendaki tua yang baru saja pulang, bukan? Jadi, memejamlah, dan bayangkan wajah mereka sampai jelas. Suara Halmang akan menuntunmu ke salah satu lajur. Berjalanlah mengikuti suara itu sampai ada suara lain yang terdengar, yaitu suara orang-orang yang kaurindukan. Saat itulah, kau baru bisa membuka mata." Cara yang sama bisa Hyejin gunakan untuk kembali ke Cheonwangbong.

Tanpa membuang waktu, Hyejin memejamkan mata rapat-rapat sesuai arahan Yuju. Gadis itu tak melakukan apa-apa lagi, tetapi sekonyong-konyong, salah satu lajur durumi-daegyo memekarkan banyak bunga magnolia yang menguarkan wangi. Masih menutup mata, Hyejin mulai melangkah ke jalan itu, terhuyung-huyung karena kakinya tak sama panjang dan keseimbangannya kacau. Seokmin yang cemas secara naluriah mengikutinya, tetapi baru selangkah, Yuju menghentikan.

"Percayalah pada Halmang-nim dan durumi-daegyo. Lagi pula, Lee Hyejin bisa melindungi diri sendiri lebih dari yang kaupikirkan." Kemudian, Yuju tersenyum. "Sesekali, kau berhak menghabiskan waktumu tanpa anak itu. Ikuti cara yang kusebutkan tadi, lalu kau akan bertemu orang yang kaurindukan."

Seokmin mengangguk, tetapi suaranya memuat keberatan ketika menanyai Yuju yang berbalik menghadap salah satu lajur jembatan.

"Siapa orang yang Anda rindukan?" []

upcoming next: seokmin's attachment issue is getting worse.

aku nulis ini justru pas mau seollal bukannya chilseok wkwkwk. yg mau baca buku tentang seollal mampir aja ke blogku dan buka menu pesan buku *shameless promotion.

oh, and here's a vocab.

Tteoljam: jepit rambut dengan hiasan manik-manik di atas per kecil (tteol) yang bisa bergerak mengepak-ngepak

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top