20
"Waduh!"
Seokmin baru melek begitu sadar bahwa Yuju-nim ini adalah majikannya—dan membiarkan majikan mengerjakan pekerjaan pelayan karena bangun kesiangan adalah tindakan tak patut. Masih pusing, Seokmin yang baru bangun merangkak terburu-buru dan membuka jendela. Cahaya matahari tanpa ampun langsung menusuk matanya. Parah, rupanya pagi sudah naik setinggi ini!
"Silau!"
"Ayah, ini!" Hyejin—yang barusan menepuk pipi Seokmin di dunia nyata hingga bangun—dengan cekatan menyerahkan manggeon milik ayahnya. "Mengapa bisa kesiangan, sih?"
"Maaf, maaf." Seokmin memasang manggeon dan merapikan rambut sekadarnya, mencuci muka dengan semangkuk air di sisi tempat tidurnya, lalu berganti pakaian. "Apakah bangau pelayan lainnya sudah ke dapur? Halmang-nim mencari Ayah?"
"Ya, di sana ada bangau-bangau yang membantu, tetapi tetap saja, kan," jawab Hyejin sambil berjalan keluar kamar, mengekor Seokmin. "Halmang-nim tidak mencari Ayah, Yuju-nim juga tidak."
"Syukurlah," baru beberapa langkah, Seokmin sudah menggendong putrinya yang terpincang-pincang agar mereka lebih cepat sampai, "tapi apa yang dilakukan Yuju-nim sepagi ini, di dapur pula? Bukankah beliau biasanya masih di kamar hingga waktu naga (setara pukul tujuh-sembilan pagi)?"
"Katanya, sih, murid Mago-nim harus bekerja langsung untuk menyiapkan perayaan Chilseok. Ini tadi Yuju-nim menyiapkan gujeolpan. Ada telur, sayuran, dan miljeonbyeong, padahal itu cuma buat sarapan kita saja."
"Oh, berarti kita akan makan enak, dong? Jangan lupa bilang terima kasih pada Yuju-nim nanti saat sarapan."
Seokmin menurunkan Hyejin di depan dapur—dan gadis cilik itu bergegas mengambil posisi dekat kuali yang mengepul-ngepul. Aroma kaldu ayam dan ginseng menguar begitu Hyejin membantu bangau pelayan mengaduk samgyetang dalam kuali. Namun, harum itu dengan segera terkalahkan dengan harum bahan masakan lain yang membuat perut keroncongan. Di antara keriuhan itu, Seokmin mengambil kesempatan untuk mencuci tangan dan menghampiri Nenek. Berhubung ada sejumlah besar beras di depan wanita itu dan masih ada yang belum tercuci, Seokmin pun menyingsingkan lengan baju,
"Mari, saya bantu cuci berasnya."
"Tidak, di sini beres. Lee Seokmin, tanakkan nasi saja."
Seokmin nyaris menjatuhkan wadah bambu tempat membilas beras. Suara tegas yang senantiasa memuat perintah itu jelas bukan suara Nenek. Memang salah Seokmin mengira itu Nenek meskipun belum melihat wajahnya, tetapi siapa lagi wanita di Cheonwangbong yang menyanggul rambutnya dalam tatanan ko meori?
Ketika menoleh pada lawan bicaranya (yang kebetulan juga menatapnya), Seokmin ternganga. Rupanya, ia sedang bicara dengan Yuju, tetapi Yuju yang ini ... janggal. Alih-alih memasang rambut palsu untuk menebalkan sanggul dan mengenakan binyeo emas, Yuju sekarang cuma memilin dua lajur rambutnya dan mengikat pilinan itu di samping dengan pita. Demikianlah tatanan rambut Nenek biasanya, begitu pula kebanyakan istri pria kelas rendah.
Tentu saja, Yuna istri Seokmin dahulu juga menata rambutnya seperti itu. Tidak seperti tatanan rambut mewah Yuju sehari-hari, yang membutuhkan rambut palsu, binyeo cantik, dan seorang pelayan untuk merapikannya, ko meori sederhana lagi ringkas. Gaya demikian pas untuk wanita desa yang 'tangan'-nya tak sebanyak para bangsawan, tetapi pekerjaannya ribuan.
"Lee Seokmin, apa yang kaulakukan? Cepat tanak nasi yang sudah kubersihkan!"
Teguran Yuju mengguncang Seokmin dari keterpanaannya, membuat laki-laki itu tergopoh menanak nasi sesuai perintah. Namun, ketika sudah menemukan kembali iramanya di dapur yang sibuk itu, Seokmin memanjakan diri lagi dengan sesekali mencuri pandang ke arah Yuju.
Dia sudah cantik dengan riasan biasanya, sekarang malah makin cantik karena wajah aslinya tak tertutup riasan tebal .... Yuna, ini seperti mimpi bagiku.
Seokmin segera menggeleng untuk mengusir pikiran yang tak perlu itu. Tidak ada 'Yuna' di Cheonwangbong. Majikannya entah kerasukan apa sehingga memilih berpenampilan sederhana ketimbang menunjukkan kuasa, sampai terjun ke dapur langsung segala. Apakah sekeramat itu ritual Chilseok sehingga murid Mago yang menyiapkannya harus membersihkan diri dari segala hal duniawi, termasuk baju bagus dan riasan?
"Yuju-nim, boleh saya memasak miljeonbyeong?"
"Tidak usah. Aku yakin kau tidak bisa membuatnya."
"Saya bisa! Saya sering buat di rumah! Boleh, kan, Yuju-nim?"
"Mana mungkin ayahmu sanggup membeli telur dan tepung 'sesering' itu untuk kaumasak?"
Perdebatan yang awalnya cuma lewat samar-samar di telinga Seokmin itu bisa saja meruncing, jadi Seokmin berniat memasuki percakapan. Namun, ketika menoleh, ia bersitatap dengan Yuju—dan tatapan perempuan itu, anehnya, melembut.
"Baiklah .... Kurasa aku harus mendampingimu membuatnya."
"Jadi, boleh? Asyik! Saya akan ambil adonannya!"
Tak lama kemudian, Yuju dan Hyejin sudah berjongkok di dekat tungku dengan sot di atasnya. Mengikuti instruksi Yuju, Hyejin berkonsentrasi penuh menuang sendok demi sendok adonan miljeonbyeong ke sot (panci besar yang menyatu dengan tungku), melebarkan dan menipiskannya hingga membentuk lingkaran. Seokmin tidak dapat melihat isi sot, tapi dari pekikan putrinya saat membalik miljeonbyeong—'ah, sobek!'—ia yakin miljeonbyeong buatan Hyejin tidak bagus bentuknya.
Hyejin yang payah dalam menggoreng miljeonbyeong bisa saja akan digoreng balik oleh Yuju, tetapi tidak. Ketimbang mengomel panjang, Yuju akan menghela napas, lalu meratakan adonan di atas sot dengan sendoknya sendiri sebelum meminta Hyejin mengikutinya. Dadar-dadar yang Yuju dan Hyejin angkat lama-lama makin serupa. Miljeonbyeong mereka berbentuk lingkaran tipis rapi yang tampak menggiurkan ketika ditumpuk di tengah piring besar gujeolpan dan diberi hiasan kacang pinus.
Seokmin berjalan menghampiri anak-beranak yang tampak puas itu dengan bahan warna-warni pengisi gujeolpan lainnya. Ia hanya kebagian membuat saus dan memasak daging; sisa isinya sudah ditangani oleh Yuju dan pelayan bangau lain, siap untuk ia tata.
"Wah, seperti hidangan untuk para raja saja."
"Benar, kan, Ayah?" Hyejin menanggapi dengan riang. "Kita makan seperti orang kaya hari ini!"
"Apalah bagusnya makan makanan yang tidak dimasak sendiri seperti orang-orang kaya itu. Makanan akan terasa lebih lezat setelah bekerja keras membuatnya." Yuju mengibaskan tangan sebelum berbalik untuk memeriksa nasi.
Seokmin tertegun. Itu adalah kata-kata favorit Yuna kalau sedang ingin menyombongkan masakannya yang beraneka ragam pada perayaan-perayaan tertentu. Kalau Yuju memang bukan Yuna, mengapa kata-kata itu seakan terucap dari bibir yang sama?
Tanpa menyadari ayahnya yang susah payah menahan rindu, Hyejin menanggapi Yuju dengan polos. "Kalau begitu, mengapa baru sekarang Yuju-nim memasak sendiri? Coba dari dulu, pasti masakannya lebih enak bagi Anda. Bapak-Ibu Bangau juga tidak akan kerepotan."
Sekarang ganti Yuju yang terpaku, dikelilingi tawa-tawa yang terbekap dari para pelayannya, termasuk dari Seokmin yang gagal terharu. Yuju mungkin lupa sejenak bahwa sekarang hidup sebagai majikan alih-alih pelayan bagi diri sendiri. Meski wajahnya memerah, ia berusaha tampak tak terusik, tidak pula mengambil ancang-ancang untuk menyemburkan kata-kata tajam seperti biasa.
"Apa boleh buat? Kalau aku memasak, apakah kalian bisa menggantikanku bersembahyang kepada Mago-nim dan menyembuhkan pendaki-pendaki putus asa itu? Aku sebenarnya senang kalau salah satu dari kalian menggantikanku berkutat dengan gu seperti kemarin karena itu sialan-mematikan."
Begitu perkara gu diangkat, tawa-tawa tertahan tadi berubah jadi dengung maaf dan penyesalan, sementara Hyejin yang memancing 'keributan' bilang 'benar juga'; mukanya tanpa dosa. Para pelayan pun kembali bekerja, begitu pula Seokmin—yang kemudian menyadari sesuatu.
Ke mana perginya Kakek dan Nenek?
***
Pasangan tua yang Seokmin cari itu belum juga muncul saat sarapan mulai.
"Ayah, Kakek dan Nenek mengapa tidak datang-datang?" Walau mengkhawatirkan teman-teman tuanya itu, mata Hyejin terkunci pada miljeonbyeong berbunga kacang pinus. "Tidak asyik makan tanpa mereka ...."
"Jangan khawatir, akan kusisihkan jatah mereka. Sekarang," Yuju membuka kedua belah tangannya, seperti seharusnya nyonya bangsawan menyambut tamu jamuan, "mari kita bersantap."
Setelah mengucapkan terima kasih pada Mago dan para dewa yang telah memberikan mereka keberkahan perayaan, Yuju dan para pelayannya pun sarapan. Suasana meja makan riuh-rendah. Paruh-paruh mematuki acak isi meja makan, mulai nasi, samgyetang, hingga gujeolpan. Cuma Yuju, Seokmin, dan Hyejin yang makan dengan sumpit, tetapi mereka terpisahkan entah berapa bangau, dengan Yuju ada di kepala meja dan Seokmin serta Hyejin di ujung lainnya.
Saat itulah, Hyejin tiba-tiba mengangkat mangkok nasinya dan berpindah tempat, mengagetkan ayahnya.
"Hyejin-ah, kau—Hyejin-ah!" Panggilan Seokmin yang awalnya biasa-biasa saja berubah panik begitu anaknya mendekati Yuju. Yang dipanggil, seperti biasa, maju terus karena merasa benar.
"Yuju-nim, saya boleh duduk di sebelah Anda? Bapak-Ibu Bangau berisik sekali kalau makan waktu perayaan."
Seokmin menjadi kalang kabut, bingung harus bersikap bagaimana. Bagaimanapun, Yuju majikan dan Hyejin pelayannya; mana mungkin duduk dalam posisi nyaris setara? Baru mau memperingatkan putrinya, Seokmin telah mendapati Yuju menggeser duduk, membuat ruang untuk anak perempuan itu tanpa suara, dan melanjutkan makan. Hyejin yang mengerti isyarat ini mengucapkan 'assa!' dengan keras dan duduk di sebelah Yuju, tanpa malu-malu mencomoti lauk-lauk gujeolpan.
Seokmin melongo, untuk kesekian kali dibuat heran oleh prasangka yang tak terbukti. Yuju melihat muka bodoh pria itu, maka ia menelengkan kepala ke arah Hyejin saat Seokmin melihatnya.
"Eh?" Seokmin mengerjap tak mengerti, tetapi Hyejin—seolah sepemikiran dengan wanita bersanggul sederhana itu—'menjelaskan' perintah Yuju.
"Ayah, sini, sini! Kita makan bersama!"
"T-Tapi," Seokmin memandang mangkok nasinya, gujeolpan di hadapannya yang nyaris 'dibersihkan' para bangau pelayan, dan putrinya bergantian, "duduk dengan Yuju-nim .... Itu—"
"Kau tidak ingin duduk denganku?" Bukan marah atau tersinggung, Yuju lebih kelihatan sedih. "Aku membuatmu kurang nyaman?"
"Tidak, tentu tidak," jawab Seokmin seketika. Jawaban itu dibarengi dengan terangkatnya mangkok Seokmin dari sisi meja, yang dibawa pemiliknya sambil membungkuk sungkan, kemudian mendarat di sebelah mangkok Hyejin.
Duduk sedekat ini dengan Yuju yang menyerupai Yuna-nya membuat Seokmin berdebar-debar.
"Dasar bangau-bangau rakus itu. Mentang-mentang kau tidak kebagian memasak isi gujeolpan, mereka menyikatnya sendiri." Yuju mendorong bakinya kepada Seokmin. "Ambillah kesukaanmu."
Entah kebetulan atau disengaja, dari sembilan lauk yang ditata di piring gujeolpan, yang terdekat dengan Seokmin adalah daging kesukaannya. Potongan daging sesuai dengan gigitan, tidak terlalu besar atau kecil. Warna cokelat muda dari bumbu-bumbu dan aromanya yang menggiurkan menarik sumpit Seokmin. Daging itu lumat dengan mudah; bumbunya langsung menyapa seluruh penjuru mulut Seokmin yang terkatup.
Dulu, sebelum kelahiran Hyejin, Yuna pernah bekerja macam-macam. Meski harus mengurus rumah, ia juga menyulam dan meracik obat untuk tetangga-tetangga, bergantian tergantung permintaan. Uang yang terkumpul—sesuai didikan ketat ibu Seokmin—dikeluarkan sedikit-sedikit saja, kecuali untuk beberapa hal. Yuna memenangkan perdebatan dengan ibu mertuanya mengenai sajian perayaan sehingga Seokmin dapat merasakan makan enak meskipun sedikit.
"Aku ini bukan sembarang wanita petani. Suamiku tidak akan makan daging alot yang kering atau sup berkuah encer saat Chilseok!"
Demikianlah Yuna memanjakan lidah Seokmin dengan hidangan nirwana beberapa hari dalam setahun. Peduli setan mau hari lain makan nasi garam saja.
Lezat sekali. Berapa tahun Seokmin tak merasakan daging dengan saus berlimpah, berdamping sayur-sayuran segar dan dadar lembut? Kapan terakhir kali Seokmin merayakan sesuatu? Sejak Yuna pergi, tiap ada perayaan, Seokmin cuma akan mengajak Hyejin ke balai desa untuk berdoa sebentar dan makan gratis, itu pun kalau sempat saja karena Seokmin banyak pekerjaan. Kalau tidak, Seokmin akan mampir cuma untuk makanannya, lalu membawa pulang makanan itu untuk bersantap dengan Hyejin. Mereka tidur setelah Seokmin selesai mendongeng .... Rutinitas itu tidak terlalu berbeda dengan hari lainnya.
Namun, kali ini waktu Seokmin betul-betul luang sehingga bisa menikmati perayaan tanpa rasa lelah. Makanan enak, keramaian, serta keluarga baru yang saling berbagi dalam suasana yang hangat membuat Seokmin kewalahan. Andai kehilangan kendali, Seokmin mungkin akan memeluk putri dan majikannya sekaligus, menyatukan gadis kecilnya yang dekil dan pelayan mulia Dewi Mago dalam satu rengkuhan.
Memang pada akhirnya, hal itu tidak Seokmin lakukan. Namun, ia akan tetap menganggap bahwa Chilseok tahun ini dilewatkannya bersama anak dan istri. Mimpi sederhananya delapan tahun belakangan akhirnya terwujud juga.
Buncah kegembiraan Seokmin keluar sebagai sendawa nyaman yang terlambat disumbatnya dengan telapak tangan. Wajah Seokmin memerah. Ini mengingatkannya akan kentut besar yang keluar setelah Yuju dan Hyejin memijatnya. Sungguh tak tahu malu badan ini, nyaman sedikit langsung mengeluarkan macam-macam.
Barangkali karena terbiasa, Hyejin cuma menoleh sebentar, mungkin terkaget akibat sendawa itu, lalu meneruskan makan seperti sebelumnya. Di lain pihak, Yuju mengangkat alis terhibur sebelum tertawa sopan sembari memalingkan wajah.
"S-Saya minta maaf." Seokmin menunduk dalam.
"Oh, tak perlu. Makanlah pelan-pelan supaya tidak banyak udara masuk dalam lambungmu, tapi kalau ingin bersendawa," Yuju terkikik di sela ucapannya, "lakukan saja seperti di rumah sendiri."
"Saya menyesal telah bersikap kurang ajar."
"Lebih baik begitu daripada kegembiraanmu terkekang sopan santun. Sebetulnya, menurutku sendawa itu memuji rasa masakanku. Oh, ya, khusus baki ini aku yang memasak semua isinya. Bagaimana pendapatmu?"
Perlahan Seokmin mengangguk; ketegangannya terurai karena pembawaan Yuju yang santai. Tatapannya pada Yuju sarat puja saat berkata, "Gujeolpan ini luar biasa. Rasanya saya tak bisa berhenti makan."
Mungkin Seokmin belum sepenuhnya bangun dari mimpi indah—sebab ia menemukan rona manis di pipi Yuju. Perempuan itu mendengus dalam senyuman.
"Aku yakin semua istri di desamu bisa membuat itu." Termasuk istri Seokmin, tentunya. "Apanya yang luar biasa?"
"Suatu hari nanti, saya akan masak gujeolpan yang lebih enak dari ini!" Hyejin menyela tak mau kalah, menatap Yuju menantang sebelum berpaling pada Seokmin. "Aku janji pada Ayah, dan calon suamiku di masa depan!"
Hampir saja Seokmin menyemburkan makanan dalam mulutnya. []
Miljeonbyeong: dadar tipis yang terbuat dari tepung gandum kuda
Gujeolpan: hidangan tradisional Korea yang terdiri dari sembilan makanan berbeda, disusun di atas piring kayu dengan sembilan bagian terbagi dalam bentuk segi delapan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top