2

"Tolong bawa Tuan Lee ke atas," perintah Yuju pada para bangau penata dupa, lalu kepada tamunya. "Mandi dan ganti bajulah. Jangan lupa bersihkan rambut dan bercukur, baru Anda boleh menyentuh anak ini."

Sang pendaki yang semula kelihatan menjijikkan kini tampak menyedihkan karena tangisnya yang makin deras. Ia bersujud sekali lagi.

"Terima kasih banyak, Manyeo-nim! Hyejin-ah, kamu akan segera sembuh!"

Sesuatu dari ayah-anak ini mengusik Yuju, tetapi segera diabaikannya perasaan itu supaya tugas cepat selesai. Ia meminta beberapa barang dan obat kepada para bangau. Sepeninggal mereka, tinggallah Yuju, Halmang, serta anak bernama Hyejin itu di lantai pertama.

Yuju duduk bersila dan mulai bermeditasi. Dibacanya doa-doa yang diajarkan Mago dalam hati dengan khusyuk. Lambat laun, terbukalah sebuah segel ki di atas kepalanya. Lingkaran segel itu berlambang kura-kura, naga, burung, dan harimau di empat penjuru serta huruf 'Ma' di pusatnya. Yuju meletakkan tangan di jantung si anak, menyalurkan energi kehidupan Mago dari segel ki tersebut ke tubuh si sakit.

Para bangau menata semua barang yang Yuju minta di luar lingkaran dupa. Air dalam kuali yang mereka gotong terserap ke pusaran ki, memasuki badan kecil Hyejin yang perlahan-lahan kembali segar. Walaupun masih kurus, setidaknya bibir anak itu sudah basah dan matanya tidak cekung lagi.

Yuju menggeser tangan ke perut Hyejin yang bergemuruh. Pusaran ki ikut berpindah bersama tangannya. Sesaat kemudian, Hyejin terisak lemah.

"Sa—kit ..."

Dia sudah bisa bicara? Cepat juga, heran Yuju. Diperderasnya aliran ki bersama air ke dalam perut Hyejin. Tak lama, tubuh anak itu tersentak-sentak.

"Uh, uh—"

Warna cokelat di alas tidur melebar sebelum memerah. Tangis Hyejin semakin kuat, entah karena sakit atau malu akibat buang air besar terus-menerus. Tidak terganggu dengan tangisan itu, Yuju menggerakkan tangannya ke ulu hati Hyejin, sedangkan tangannya yang lain mengangkat kepala si anak.

"Tolong wadah muntahnya," perintah Yuju. Ki sekarang dialirkannya ke ulu hati si sakit, menembus lambung, dan Hyejin melotot. Sesaat kemudian, terdengar bunyi tahak; cairan kuning kecokelatan keruh tumpah ke wadah muntah yang dipegang seekor bangau. Anak malang itu muntah satu, dua, lima kali ... barulah cairan dari perutnya menjadi jernih.

Segel ki ditutup. Air di kuali tersisa seperdelapannya. Kepala Hyejin terkulai di lengan Yuju; ia tertidur dengan sisa-sisa tangis mengering di pipi. Bibit penyakitnya telah terbilas keluar seluruhnya.

"Selesai. Sekarang tinggal bersih-bersih."

Para bangau memadamkan bara di ujung-ujung dupa. Sesuai mau Yuju, mereka mengganti alas tidur yang penuh kotoran, menyeka tubuh Hyejin, dan mengganti bajunya. Saat rok anak itu ditanggalkan, Yuju mengernyit.

"Ada apa, Yuju-nim?" tanya Halmang.

"Kaki anak itu," jawab Yuju dengan berdebar-debar, "pincang."

"Saya bisa melihatnya. Anda tidak pernah menemukan kasus seperti ini?"

Pertanyaan Halmang sungguh tidak perlu dijawab. Yuju sudah menangani 108 orang sakit dan menyaksikan ribuan proses pengobatan yang dilakukan oleh kawannya. Sudah macam-macam cacat bawaan yang dilihatnya dari para pasien, termasuk tungkai yang panjang sebelah. Masalahnya, pemilik kaki ini berbeda: ia anak perempuan bernama Hyejin, nama ayahnya Lee, dan kaki yang lebih panjang adalah sebelah kanan.

"Kalau saya amat-amati," Halmang mengulurkan leher panjangnya, "Lee Hyejin ini mirip Anda, ya?"

Tadinya Yuju tak terlalu memperhatikan wajah Hyejin karena fokusnya hanya mengatur ki. Ia baru menyadari kemiripan mereka setelah Halmang berpendapat. Hyejin memiliki wajah lonjong, bibir kecil, dagu lancip, dan badan cenderung lebih tinggi dibanding anak-anak perempuan seusianya—persis Yuju cilik. Bagian wajah itu yang Yuju tak punya hanyalah tahi lalat manis di jembatan hidung serta pipi kanan.

Bukan cuma Hyejin, Yuju sepertinya juga mengenal ayah anak itu.

"Sialan." Sontak Yuju bangkit dan mengangkat sedikit roknya, berlari ke tangga menuju lantai dua di mana ayah Hyejin berada. "Tolong jaga anak itu, Halmang!"

Anak tangga demi anak tangga Yuju tapaki dengan perasaan campur aduk tak menyenangkan. Kepalanya berdenyut seakan sedang dijambak. Dadanya sesak dan cuma pelampiasan kepada ayah Hyejin yang bisa meredakan itu semua.

"Di mana pendaki yang tadi?" tanya Yuju, setengah berteriak pada para bangau yang lalu-lalang.

"D-Dia masih berpakaian, Yuju-nim ...." jawab salah satu bangau takut-takut.

"Antarkan aku padanya!"

Bangau yang menjawab tadi hendak mengatakan sesuatu, tetapi bangau lain membisikinya untuk mematuhi Yuju saja. Diarahkanlah Yuju ke depan salah satu bekas kamar murid Mago. Perempuan itu menggeser pintu membuka hingga daun pintu membentur kosen dengan bunyi yang keras.

Namun, alih-alih suara kesiap, yang menyambut Yuju adalah tubuh pria dewasa yang tergolek lunglai di lantai. Goreum pada jeogori-nya belum disimpul, jadi Yuju bisa melihat jelas dada telanjang itu bergerak naik-turun teratur. Tampaknya, pria ini jatuh tertidur sebelum selesai berpakaian.

"Tuan!"

Bahkan setelah bangau yang mengantarkan Yuju menjerit panik, berlari masuk kamar, dan coba menyadarkannya, si pria tidak bangun. Tidurnya sangat dalam, hampir seperti mati. Rambutnya yang panjang belum diikat, menutupi sebagian wajah dan menghalangi penglihatan Yuju.

"Dia tidak apa-apa. Minggirlah," perintah Yuju. Bangau pelayan menyingkir dengan patuh. Yuju berlutut, lalu menyibak rambut si pendaki dengan tangan yang melembap lagi gemetaran.

Si pendaki sudah bercukur, jadi tulang pipi tingginya yang menonjol, hidung bangirnya, dagu berlipatnya, dan tahi lalat kecil di pipi kanan serta depan telinga kirinya terlihat jelas. Kulitnya kecokelatan tersengat matahari. Tubuhnya kurus, tetapi otot-ototnya masih tampak liat. Laki-laki ini terkesan lebih muda dibanding saat masuk menara tadi; kakinya pun seakan memanjang karena tidak sedang berlutut.

Batang-batang tanaman obat yang menumbuhi kebun berpilin di luar kamar memanjang, terus hingga memasuki jendela kamar di mana Yuju berada. Bangau pelayan lari pontang-panting keluar. Sejumlah besar ki beredar liar dalam darah Yuju, sedangkan tangannya bergerak ke leher si pendaki. Batang-batang tanaman obat yang memanjang tadi ikut merambat ke mana tangan Yuju berada.

Bunuh pria ini.

Demikianlah Yuju memerintahkan telapak tangan dan batang-batang tanaman obat yang digerakkan oleh ki-nya. Batang-batang tanaman menurut, tetapi tangan Yuju sendiri justru melawan. Tangan itu tidak bisa mencekik sebagaimana batang-batang tanaman yang mulai menjalin diri di sekitar leher si lelaki.

Ayo, bunuh dia! Hati Yuju berseru. Pria yang telah menyakitimu pantas mati!

"Jadi benar kebencian yang menahan Anda di sini, Yuju-nim."

Itu suara Halmang. Bagai ditarik dari keadaan trans, Yuju menjauhkan tangannya dari leher si pendaki. Batang-batang tanaman yang marah turut mundur, keluar dari jendela mendekati akar mereka. Aliran ki berhenti; jumlahnya menurun drastis. Beruntung, setelah semua itu, si pria masih terlelap.

Halmang berdiri di ambang kamar dengan Hyejin di punggungnya, masih tertidur. Bangau penakut yang tadi lari keluar bersembunyi di balik badan Halmang. Rupanya, dia yang memanggil Halmang ke atas dan mencegah Yuju membunuh si pendaki.

"Pendaki itu dan anaknya tidak mengacau, jadi bisa jelaskan apa yang terjadi di sini kepada saya?" Halmang melangkah masuk kamar. "Apakah mereka berdua merupakan bagian dari masa lalu yang ternyata belum Anda lepaskan?"

Rahang Yuju mengatup rapat. Ia lekas berdiri dan berjalan keluar hingga roknya terkibas, meninggalkan Halmang.

"Anda tanyakan saja pada Mago-nim!"

... karena Halmang pasti sebenarnya sudah tahu: kedua pengunjung menara Cheonwangbong hari ini adalah putri dan suami yang Yuju tinggalkan.

***

Malam di puncak Cheonwangbong harusnya lebih terang daripada di pedesaan. Itu karena puncak menara Cheonwangbong lebih dekat dengan langit sehingga bintang yang jauh pun menjadi seolah dekat. Malam ini merupakan pengecualian—karena Yuju mendapati dirinya terkepung kegelapan yang mencekam. Lengket. Ia menoleh ke kanan dan tersentak; tangannya tahu-tahu menjadi sekecil bayi, kurus, berlumpur ... serta tak dapat digerakkan.

Yuju sangat yakin dirinya sebelum ini berbaring di tempat tidur berdipan yang hangat, berbantal bulu angsa. Mengapa mendadak ia berpindah tempat? Siapa berani memindahkannya? Halmang tidak mungkin mengisenginya, lebih-lebih bangau pelayan lain yang tingkatnya lebih rendah.

Kecuali ... jika Mago-nim yang memerintahkan mereka membuangku.

Tanpa disadari, Yuju meneteskan air mata. Dadanya nyeri. Bukan mustahil Mago menelantarkannya; jika ia memang layak dipertahankan sebagai murid, tentunya ia akan diluluskan dengan mudah, bukannya 'dipenjara' dalam menara Cheonwangbong karena alasan sekonyol 'ikatan'.

Masalahnya, ke mana Yuju harus pergi jika Mago saja tak menginginkannya? Hanya menjadi murid Mago tujuan hidupnya sekarang. Tanpa pengakuan sang dewi, Yuju sama saja kehilangan segalanya karena dunia ini tidak pernah mau menerimanya. Sowon, mantan majikan yang mengajarinya banyak hal, sudah diangkat ke Nirwana. Ia juga telah meninggalkan suami dan anak yang tak mampu diurusnya. Bahkan mungkin, orang tua Yuju sendiri tidak menghendaki kelahirannya.

Rengekan lemah Yuju tampaknya menarik seseorang. Ia mendengar derap cepat langkah kaki—yang ternyata milik seorang anak laki-laki. Anak kumal ini melongok ke parit tempat Yuju terbaring tak berdaya, lalu mengulurkan kedua lengan.

"Bayi. Teman-teman, ada bayi di sini!"

Si anak lelaki berseru seraya mengangkat tubuh kecil Yuju dari parit.

***

"Kotoran," umpat Yuju. Halmang yang baru menuangkan segelas teh kurma merah untuk majikannya menggeleng-geleng tak suka.

"Anda baru bangun pagi dan itu kata pertama yang Anda ucapkan? Tolong berkatalah yang baik-baik saja biar hari Anda lancar, Yuju-nim."

"Mimpi saya buruk sekali! Bangun tidur bukannya segar malah bertambah lelah," keluh Yuju sebelum menenggak tehnya seakan-akan itu arak. Dalam beberapa teguk saja, teh hangat itu sudah tandas.

"Ini pasti tidak ada hubungannya dengan si pendaki, kan?"

Yuju menatap tajam Halmang, tetapi yang ditatap sama sekali tidak gentar. Jangan dikira aku tidak paham sindiranmu, batin si wanita.

"Tolong jangan mengajak bertengkar pagi-pagi, Halmang. Tenaga saya bisa habis duluan."

"Saya hanya bertanya." Halmang mengangkat sayap. "Anak-anak sudah menyiapkan kamar mandi. Perlukah saya menambahkan bebungaan dan rempah untuk berendam?"

"Tidak perlu, terima kasih." Yuju memijat pelipis; ia yakin akan tenang sendiri seiring hari berjalan, tanpa ramuan wangi apa pun dalam air mandinya. "Anda bisa pergi, Halmang. Aku akan membersihkan diri."

Baru mau meninggalkan kamar, Yuju dihentikan oleh Halmang.

"Sebelum saya lupa, pendaki itu dan anaknya sudah menunggu Anda di lantai pertama, Yuju-nim."

***

Jarang memanjakan diri waktu mandi, pagi ini Yuju berlama-lama berendam. Ia minta para bangau mencuci rambutnya, memijat kulit kepalanya, dan merawat kukunya. Yuju melukis alisnya dengan warna hitam, mewarnai bibirnya dengan merah gelap, juga memilih pakaian yang berwarna senada dengan riasannya. Para bangau hapal cara majikan mereka berdandan, jadi mereka terheran melihat Yuju hari ini. Meski cantik, perempuan itu tampak lebih menakutkan berkali-kali lipat.

Yuju diantarkan bangau pelayan hanya sampai lantai dua, lalu ia menapaki satu demi satu anak tangga, turun lambat-lambat. Dari atas, ia bisa melihat si pendaki duduk dekat jendela, menemani Hyejin yang sudah kuat berdiri walaupun posturnya tak seimbang. Gadis cilik berkepang satu itu menunjuk-nunjuk kebun spiral Mago di luar jendela sambil bertanya pada ayahnya tentang macam-macam hal.

Berbeda dengan Yuju yang kesal karena ada anak kecil berisik di istana, si pendaki kelihatan sangat menikmati kecerewetan putrinya. Sambil menjawabi Hyejin, pria itu tak berhenti tersenyum. Sesekali diusapnya lembut puncak kepala Hyejin; cinta meleleh-leleh dari matanya bagai madu dari sarang lebah.

Yuju tak pernah menyukai madu.

Bunyi sepatu Yuju yang mengetuk ubin mengalihkan ayah-anak Lee dari kebun spiral. Mata keduanya melebar.

"Manyeo-nim!" Si pendaki menggandeng putrinya—yang berjalan tertatih—menuju tengah ruangan. Seperti sudah berlatih, mereka bersujud berbarengan di hadapan Yuju. "Terima kasih banyak atas pertolongan Anda! Hyejin kami telah sehat sempurna berkat pertolongan Anda!"

"Terima kasih banyak!" tiru Hyejin. Yuju memicing; suara anak itu lantang juga untuk ukuran seseorang yang baru sakit parah.

"Saya hanya menyalurkan kekuatan Dewi Mago yang Agung dari Nirwana," jawab Yuju dingin. "Ada harga untuk itu, tentunya."

Begitu ditagih, si pendaki segera mengeluarkan tiga ikat koin perak dari kantung kulit yang disandangnya. Uang sebanyak itu bisa membeli enam karung beras. Seorang petani biasanya memperoleh uang sejumlah ini dalam waktu yang sangat, sangat lama.

"Maafkan kami, Manyeo-nim—"

"Saya bukan penyihir," potong Yuju dengan satu kelingking menutup telinga. "Tolong panggil saya Yuju."

"Yu-Yuju-nim." Si pendaki meralat takut. "Saya minta maaf, hanya ini yang saya punya untuk membayar kekuatan Anda yang luar biasa."

"Maafkan saya, Yuju-nim, saya tidak punya apa-apa untuk membayar Anda!" Lagi, Hyejin berkata lantang, tetapi mukanya yang masih tertunduk dihias sesal. Anak yang cerdas; dia tahu kalau nyawanya harusnya ditebus sendiri alih-alih menggunakan uang si ayah.

Yuju menyilangkan lengan sambil mengamati Hyejin beberapa jenak.

"Tuan Pendaki, siapa nama Anda?" tanyanya, masih menatap Hyejin.

"Lee Seokmin, Yuju-nim."

Tentu saja, dengus Yuju, tak mengerti mengapa dirinya menanyakan nama orang yang sesungguhnya sudah ia kenal. Barangkali ia menolak percaya bahwa pria itu memang suaminya. Lagi pula, suami mana yang berlagak asing dengan istrinya sendiri? Lain dengan Seokmin—si pendaki—yang ketika datang tampak seperti manusia gua, Yuju yakin wajahnya tidak banyak berubah sejak pergi dari rumah; harusnya Seokmin mengenalinya, kan?

"Lee Seokmin-ssi," mulai Yuju lagi, "apakah Anda pikir kekuatan saya dapat ditebus dengan uang, apalagi cuma sebanyak 3 tael?" []

can y'all imagine seokmin berjanggut dan berkumis lebat, btw?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top