19

Yuju mendengus dalam senyumannya, menyembunyikan tawa di balik lengan bajunya. Dengusannya ternyata cukup keras untuk didengar Seokmin hingga pria yang semula bingung melepaskan diri dari jerat perban itu menoleh padanya.

"Y-Yuju-nim!" Seokmin berusaha keras untuk bersujud memberi hormat, tetapi lilitan perban dan nyeri yang masih tersisa di beberapa bagian tubuh mempersulitnya. Pekikan Seokmin tadi juga mengalihkan Kakek dan Nenek, membuat mereka ikut menundukkan kepala ke arah Yuju, lebih karena malu daripada hendak menghormat.

"Kami minta maaf telah berbuat tidak pantas," ucap Kakek.

"Oh, sudah seharusnya." Yuju mengedikkan bahu, lalu mengumpulkan ki ke ujung telunjuknya, hendak menggunakan kekuatannya untuk mengurai kain yang melilit tak karuan tubuh Seokmin. Namun, saat menyadari bahwa ia mungkin harus menghemat energi untuk sesuatu yang lebih penting, Yuju menyimpan ki-nya kembali. Selanjutnya, ia berjalan mendekati Seokmin yang menarik diri dengan gugup.

"Tolong guntingnya."

Nenek segera memenuhi permintaan Yuju ini; tak lama, alat itu pun mendarat di tangan sang murid Mago. Dengan telaten, Yuju memotong dan mengurai perban di tubuh pelayannya. Luka Seokmin belum kering benar, ditambah lagi ada tumbukan pegagan dan sancang yang dibubuhkan pasangan pendaki tua ke sana. Akibatnya, dalam proses mengurai kain pembalut luka, tangan Yuju kotor oleh darah dan sisa-sisa tumbukan tanaman obat. Seokmin tentu saja sungkan berat.

"Yuju-nim, biar saya yang—"

"Jangan sungkan-sungkan," sahut Yuju. "Putrimu dan aku telah bertransaksi dengan harga yang wajar."

"Transaksi?"

Yuju menjawab kebingungan Seokmin dengan 'hm' singkat—yang sebetulnya sama sekali tidak menjawab.

Seluruh kain pembalut luka telah terpotong-potong, berserakan di atas lantai kamar dan selimut Seokmin. Yuju memicing melihat beberapa luka—yang lambat menutup karena gu—berbaur menjijikkan dengan zat lembek hijau kehitaman yang sebetulnya bisa mengobati luka biasa. Namun, ia singkirkan keengganannya saat sadar tubuh Seokmin jadi seperti ini karenanya pula.

"Kita bersihkan ramuan ini dulu agar penyembuhannya mudah. Kulit akan sulit menutup kalau ada tumbukan tanaman yang mengganjalnya begini." Ucapan Yuju kontan membuat pasangan pendaki tua meminta maaf. "Tak masalah. Yang penting ada air dan kain bersih lain di sini. Tolong kemarikan."

Meskipun perintah ini ditujukan pada Kakek dan Nenek, Hyejin lebih cepat tanggap. Ia ambil mangkok air beserta selembar kain lembap bersih yang tersampir di bibir mangkok. Yuju berterima kasih padanya, lalu mencelupkan kain, memerasnya, dan membasuhkannya pada punggung Seokmin. Yuju bisa melihat tangan Seokmin terkepal di atas pangkuan, tetapi genggaman tegang itu perlahan mengendur karena pada setiap usapan, Yuju menyalurkan ki untuk mencegah perih.

Itu, atau Yuju secara tidak sadar telah membersihkan luka dengan sangat lembut hingga Seokmin terbuai.

Dari punggung, Yuju berpindah ke dada dan perut. Luka-luka di sana ternyata lebih lebar, maka sudah barang tentu Kakek dan Nenek yang tak banyak tahu membubuhkan lebih banyak tumbukan tanaman obat ke sana. Bau tanaman pahit bercampur dengan anyir darah hingga Yuju sedikit oleng karenanya, tetapi ia menguatkan diri dan membersihkan luka-luka itu sesegera mungkin.

"A-Aduh ...."

Atau tidak. Yuju yang semula begitu fokus mengelap dada Seokmin kontan mendongak; ia tahu baru saja menyenggol satu keropeng basah hingga hampir lepas. Wajah pria di hadapannya berkerut kesakitan, tetapi begitu bertatapan dengannya , Seokmin berusaha tampak baik-baik saja.

Baru Seokmin membuka mulut, Yuju mendahuluinya.

"Maafkan kecerobohanku. Sakit sekalikah?" Kecemasan Yuju tulus; saat ini, menyakiti Seokmin merupakan hal terakhir yang ingin ia lakukan. Seokmin menggeleng pelan, lalu Yuju meneruskan, "Aku akan lebih hati-hati."

"Terima kasih banyak, Yuju-nim, tapi saya tidak sekesakitan itu. Anda tidak perlu meminta maaf."

"Ya, ya, kau selalu berkata 'tidak sakit', 'tidak lelah' pada semua orang, tetapi mana ada manusia sekebal itu?" Yuju bertanya sedikit gusar. "Kau terbiasa—maksudku, aku yakin kau terbiasa menanggung rasa sakit banyak orang, tapi siapa yang menanggung rasa sakitmu?"

Seokmin hendak menanggapi, tetapi lagi-lagi Yuju mendahului. "Lupakan, aku juga tidak mau menanggung rasa sakitmu. Aku bisa menghilangkan sakit itu, jadi kuhilangkan saja sekalian."

Ujung jemari tangan kanan Yuju yang lentik menyentuh dada Seokmin. Bukan sentuhan biasa; dari titik-titik kecil itu, mengalir kekuatan yang murni lagi hangat. Sensasinya hampir sama seperti tteum, di mana gulungan-gulungan kecil moxa kering digulung, lalu dibakar hingga menjadi bara di atas permukaan kulit. Sedikit menyengat, tetapi merangsang; sumbatan-sumbatan tak kasatmata dalam jalur energi Seokmin lebur sehingga energi dapat mengalir deras, menyembuhkan luka, membersihkan jiwa.

Seokmin menunduk, lama-lama terpejam. Badannya menjadi begitu santai sampai-sampai ketika pengobatan selesai, tubuhnya terkulai begitu saja ke belakang, rebah ke kasur dan membuat semua orang panik.

Kecuali Yuju, tentu saja.

"Ayah, ada apa?"

"Seokmin-goon, bangun, Nak!"

"Biarkan," perintah Yuju pada Hyejin, Kakek, dan Nenek yang coba membangunkan Seokmin. "Mundur, lalu perhatikan baik-baik apa yang terjadi padanya."

Hyejin hampir mau marah, mengira Yuju mengabaikan tanda gawat pada ayahnya, sampai Nenek membalikkan tubuhnya, dengan wajah riang memintanya melaksanakan perintah itu. Si gadis cilik langsung termenung begitu melihat ayahnya tersenyum dalam tidur dengan muka bersemu merah, meringkuk seperti bayi.

"Ayah seperti mabuk, tapi mabuk yang senang." Hyejin menggaruk-garuk kepalanya bingung.

"Apa maksudmu, Lee Hyejin?" tanya Kakek, merasa semua mabuk selalu membuat senang, tak peduli apakah mabuk itu dimulai dengan perayaan atau keputusasaan.

"Kalau mabuk, biasanya Ayah mengigau memanggil-manggil Nenek sambil menangis, bertanya 'mengapa pergi dariku, Bu?', lalu tertawa sendiri. Pernah juga meminta maaf sama Ibu dan mengajak Ibu pulang, padahal Ibu tidak ada di depannya. 'Yuna, Yuna, mari pulang denganku, aku punya banyak buku!', lalu tidur mengorok. Berisik sekali, aku tidak bisa tidur kalau sudah begitu." Hyejin menggeleng-geleng seolah ayahnyalah anak dalam keluarga ini, sedangkan dia menjadi ibu yang repot. Ia lantas mengusap-usap sisi kepala ayahnya penuh sayang. "Tapi, mabuknya yang sekarang tidak diikuti tangisan. Ayah kelihatan seperti kucing malas yang tidur-tiduran tak peduli di jalan pada siang hari."

Yuju terkekeh, padahal di awal penuturan Hyejin, ia cuma ingin menyalah-nyalahkan dirinya atas penderitaan Seokmin. Namun, Yuju segera sadar bahwa menyalahkan diri tidak akan membawanya ke mana pun. Ia kembali mengusap kepala Hyejin.

"Itu perumpamaan yang bagus. Aku membuat ayahmu mabuk dengan ajianku. Selama ini, terlalu banyak beban yan menahannya ke bumi, maka sesekali, ia perlu dibuat melayang ke angkasa." Yuju lantas berhenti membelai kepala Hyejin dan menoleh pada Seokmin yang terlelap nikmat. "Aku berutang budi pada kalian semua, tetapi utang terbesarku adalah pada dia."

Ini adalah awal langkah Yuju memutus 'ikatan terakhirnya' dengan dunia ini dan naik ke Nirwana. Rasanya menyenangkan, melegakan, tetapi ketika tahu ke mana ini akan berujung, duri-duri gu yang sudah musnah seakan tumbuh lagi dalam hatinya.

Sekeluarnya dari kamar Seokmin, Yuju disambut dua ekor bangau pelayan muda yang saling dorong, sungkan bicara padanya. Salah satu dari mereka membawa pembakar dupa, sedangkan yang lain membawa cepuk dengan tutup hitam berbordir bunga.

"Ada yang ingin kalian sampaikan?"

"A-Anu," bangau pemegang cepuk angkat bicara, "kami diminta oleh Halmang untuk mempersiapkan alat dan bahan untuk persembahyangan Chilseok. Sekarang semuanya telah siap di ruang meditasi."

Yuju menepukkan kedua belah tangannya pelan; urusan gu membuatnya melupakan tanggal tujuh bulan tujuh yang amat penting.

"Terima kasih," ujarnya pada para bangau muda, lalu pada Halmang. "Untunglah Anda ingat. Tunggu, ada hal lain yang harus kusampaikan."

Yuju berbalik masuk ke kamar lagi, di mana Hyejin tengah mencari posisi nyaman agar bisa dipeluk ayahnya walau pria itu belum sadar. Lagi-lagi Yuju tersenyum geli dibuatnya, tetapi senyum itu hilang ketika melihat Kakek dan Nenek. Mereka berdua diam-diaman sambil cemberut, sebuah pemandangan langka yang kontras dengan 'pasangan' lain di ruangan itu.

"Aku," mulai Yuju, cukup keras untuk memalingkan Kakek dan Nenek sehingga Yuju dapat menunjuk keduanya, "ingin membicarakan soal bayaran pengobatan kalian. Setelah beres-beres, ikut aku."

***

Hidup Seokmin cilik dan ibunya sebagai keluarga petani memang bersahaja, tetapi bukan yang paling menderita. Ketika anak tetangga yang satu menderita cacar parah hingga seluruh badannya bopeng dan anak tetangga lainnya dipukuli sang kakek yang pemabuk, Seokmin cilik tumbuh menjadi anak terbersih dan tersehat di lingkungannya—walau sama kurus dan kelaparan dengan teman-temannya. Ini tentu tidak lepas dari peran ibunya yang bekerja banting tulang: bertani sampai sore, menenun sampai pagi, memberi makan ternak ayam yang tak seberapa banyak sebelum mengulang rutinitasnya. Sedikit sekali waktu yang disisihkan ibu Seokmin untuk beristirahat, semua demi mencukupi kebutuhan hidup berdua.

Seokmin cilik memahami ini dan mensyukuri apa yang ia punya. Tak pernah ia mempertanyakan mengapa ibunya berjalan begitu cepat ke pasar pada pagi buta, mengapa tak sedikit pun mencarinya jika pulang terlambat karena bermain, mengapa mereka nyaris tak pernah saling bicara. Itu karena uang tidak datang dari menunggu bocah yang lambat, tidak pula dari menghabiskan waktu mencari bocah bandel yang tidak pulang-pulang, apalagi dari membicarakan hal-hal remeh dengan bocah bermulut seribu macam Seokmin.

Lagi pula, anak besar tidak butuh dimanja ibu. Teman-teman lelaki Seokmin yang dikunjungi ibunya saat main—entah untuk disuapi makan siang, dijewer karena mengotorkan baju, atau digendong pulang karena jatuh sampai kepalanya berdarah—pasti besoknya akan diejek habis-habisan. Anak-anak perempuan mencela perbuatan itu ('mengapa mengejek anak yang disayang ibunya?'), tetapi anak lelaki tak peduli. Demikianlah aturan mereka—dan Seokmin, secengeng apa pun dia, menjadi yang terbaik dalam menjalankan aturan antimanja ini sehingga disanjung teman-temannya.

Namun, kadang Seokmin berharap ibunya mau berhenti sejenak dan menengok ke belakang, di mana ia tengah membawa setumpuk tenunan dengan susah payah.

"Bu, tunggu ...."

Ibu Seokmin di depan sana tak berpaling, langkahnya secepat angin. Kios masih jauh dan matahari hampir terbit, tentu wanita itu harus bergegas agar tenunannya dihargai pantas oleh pemilik kios kain yang sok kuasa. Hidung Seokmin cilik kembang-kempis, tetapi udara yang dihirupnya tak cukup menguatkan. Bernapaslah ia dengan mulut terbuka.

"Bu .... Ibu ...."

Akhirnya, ibu Seokmin menoleh ke belakang; si bocah dapat melihatnya sedikit dari atas tumpukan tenunan. Senyum Seokmin langsung merekah meski masih terengah-engah.

"Jalan lebih cepat, Seokmin! Kalau tidak niat membantu, pulang sana!"

Ibu Seokmin berteriak dari puncak paru-parunya, tak peduli dirinya telah mengejutkan beberapa pejalan di pasar, lebih-lebih putranya sendiri. Ia kembali menatap ke depan, jalannya semakin cepat.

Seokmin cilik bergeming, kaku di tempat. Berbeda dengan kakinya yang diam, napasnya makin tak teratur.

"Y-Ya, Bu. Maaf ...."

Seokmin tahu ibunya tak akan mendengar. Mendengar pun, ibunya mungkin tak akan memaafkan kelambatannya. Jadi, Seokmin meningkatkan laju tungkainya, makin kehabisan napas karena menahan tangis di balik tenunan, tetapi tak ada cara lain agar ia bisa lebih dekat dengan ibunya selain melakukan yang terbaik.

Sayang, bahkan setelah Seokmin berlari, jaraknya dengan sang ibu tidak juga terpangkas—hingga tersandunglah ia. Wajahnya terbenam dalam salah satu kain tenunan yang terbentang secara acak di jalanan. 'Menikmati' keterbekapan itu, Seokmin cilik tidak langsung mengangkat wajah.

Begini lebih baik. Tidak akan ada anak lain yang melihat air matanya dalam posisi ini. Seokmin dapat mencuri waktu menangis selama beberapa saat sebelum menyusul ibunya.

"Ayah!"

Rencana Seokmin langsung berubah begitu mendengar sayup teriakan anak perempuan di belakang, memanggil ayahnya. Harusnya siapa pun ayah anak itu bukan Seokmin karena Seokmin sendiri masih bocah. Namun, entah bagaimana, ia merasa terpanggil, jadi ia bangkit.

Alangkah terkejutnya Seokmin ketika mendapati tangan kecilnya telah berubah besar, kecokelatan, dan ditutupi bulu jarang-jarang.

"Ayah!"

Suara tadi mendekat dan kedengaran lelah, selelah Seokmin cilik sebelum ini. Segeralah Seokmin berbalik dan—tanpa benar-benar mengenali siapa anak pincang yang berlari menujunya—berjalan lebar-lebar kepada anak itu dengan kakinya yang kini panjang.

Badan anak perempuan itu banjir keringat, baru kelihatan jelas ketika Seokmin cukup dekat. Iba, Seokmin menggendong anak itu, bahkan mengusap peluhnya dan mengipasinya.

"Maaf membuatmu berlari. Kau bisa tunggu Ayah daripada berlari-lari begitu, kan, Hyejin-ah?"

"Aku tidak bisa menunggu. Ini gawat! Yuju-nim sekarang sedang memasak!"

"Eh?" Seokmin belum menggenggam penuh dalam situasi apa dia berada sekarang. Bukankah terakhir dia sedang mengejar ibunya, lalu mengapa tiba-tiba dia bertemu bocah ini—yang tahu-tahu ia kenali sebagai putrinya? Dari situ pun ia bingung, apalagi ketika nama tadi disebut. Siapa Yuju, dan apa bahayanya kalau dia memasak?

Sebelum sempat mengurut ingatan ke belakang, pipi Seokmin sudah ditepuk dari kedua sisi.

"Ayah, kubilang, Yuju-nim memasak! Itu kan tugasmu!"

***

"Waduh!"

Seokmin baru melek begitu sadar bahwa Yuju-nim ini adalah majikannya—dan membiarkan majikan mengerjakan pekerjaan pelayan karena bangun kesiangan adalah tindakan tak patut. Masih pusing, Seokmin merangkak terburu-buru dan membuka jendela. Cahaya matahari tanpa ampun langsung menusuk matanya. Parah, rupanya pagi sudah naik setinggi ini!

"Silau!" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top