17

"Seperti pesan Anda, saya akan berhenti mencintai orang lain."

Omong kosong; mana mungkin Seokmin bisa? Rasa bersalah karena mengurung Yuna dalam lumbung gelap masih menghantuinya, bahkan setelah perempuan itu telah kembali muncul dalam keadaan sehat dan berkuasa. Menghilangnya sang ibu—disertai raibnya buku-buku Yuna yang bagi Seokmin berharga—juga masih menyisakan sesal. Semua karena Seokmin masih mencintai wanita-wanita ini; ia ingin mereka tetap di sisinya meski ia harus berkorban, tetapi juga sadar bahwa bagaimanapun, kebahagiaan mereka tidak bersamanya.

Seokmin menyusuri koridor yang menggemakan langkahnya, lalu turun ke tangga. Ia tak peduli sebanyak apa anak tangga yang mesti dituruninya hingga mencapai kamar sendiri. Pikirannya kosong sampai-sampai tidak menyadari air matanya telah menitiki setiap anak tangga.

Sementara itu, seperginya Seokmin, Yuju menutup kedua matanya dengan telapak tangan.

"Dia tidak menangkap maksudku, sialan."

... karena maksud Yuju sebenarnya adalah: Seokmin harusnyaberhenti menjadi budak wanita-wanita yang tak tahu terima kasih dalam hidupnya(termasuk dirinya), lantas balik menuntut cinta dari mereka dengan tamak,seperti pria-pria bajingan dalam kehidupan murid Mago pada umumnya. Mengapakalau soal ini saja, lidah Yuju tidak pernah sejalan dengan hatinya? 

***

       Setelah sekali membiarkan Seokmin mendekat untuk menyelamatkan serta merawatnya, Yuju tidak lagi lengah. Karena ki murninya tidak cukup, ia memanfaatkan gu yang 'memangsa' lengannya untuk menyegel pintu kamar. Segel berbentuk tali tambang dengan kilau keunguan menyeramkan itu akan melukai siapa pun yang mencoba menerobosnya.

Halmang merupakan korban pertama dan terakhir dari segel tersebut­. Ia yang muak dengan sikap menarik diri majikannya, untuk pertama kalinya sepanjang hidup berbuat bodoh dengan menyentuh segel gu Yuju. Sebelah sayapnya yang gundul dan tersayat kemudian menjadi peringatan bisu bagi cucu-cucunya serta para pendaki. Semua kebutuhan Yuju lagi-lagi cuma bisa diantarkan sampai depan pintu, bahkan agak jauh saking takutnya para penghuni Cheonwangbong dengan 'tali terkutuk'.

Namun, Yuju tidak bisa memungkiri betapa hausnya ia akan interaksi. Tak perlu ungkapan kasih yang muluk-muluk; ia mungkin akan puas sekadar dengan mendengar omelan Halmang atau suara nyaring Hyejin. Berbeda dengan saat meracik gu, entah mengapa saat ini fokusnya lebih mudah pecah. Waktu yang harusnya dihabiskan untuk membersihkan ki melalui meditasi malah ia pakai menggelosor saja, ingin tidur tapi takut bermimpi buruk, ingin tetap bangun tapi enggan disesakkan sepi. Ia bahkan pernah menangis sambil memukuli dan mencakari pintu yang dikuncinya sendiri, sementara kekuatan hitam gu meleleh-leleh dari lepuhan yang tak kunjung sembuh dari lengannya.

Sesuai mau Yuju, saat itu pun tak ada yang datang.

Kelelahan karena usahanya memurnikan ki dan menetralkan gu tidak juga berbuah, Yuju berpasrah pada takdir. Ia siap menjadi satu-satunya murid Mago yang tidak lulus karena mati. Gu demikian kuat dan menyiksa hingga Yuju cuma berpikir untuk melepaskan diri darinya, sekalipun nyawa menjadi bayaran.

Sombong sekali kau, hai kutukan, pikir Yuju miris, suatu pagi yang gelap ketika memandangi semak berduri hitam di lengannya. Kain yang dibalutkan Seokmin ke lepuhannya telah robek dijeboli duri-duri itu. Gu di luka Yuju tidak lagi berbentuk kabut tipis, melainkan sesuatu yang terpegang, keras, dan merusak. Itu benalu yang menyerap habis energi inangnya untuk mekar.

Memang benar; sekali berurusan dengan gu, akan susah melepaskan diri darinya, pikir Yuju lagi, sedikit menyesal karena sudah menolong pasangan pendaki tua meskipun ia tak punya pilihan sebagai murid Mago. Padahal aku cuma mau menghukum pengirim gu dengan setimpal. Aku tidak melakukan kesalahan, jadi untuk apa semua kesakitan ini?

Para pengunjung Cheonwangbong sering datang dalam keadaan sekarat. Di ambang kematian, mereka kadang terlalu kesakitan untuk melakukan sesuatu sehingga bahkan menangis pun mesti dibantu, yaitu orang-orang terkasih yang terancam kehilangan. Dalam benaknya yang berkabut, Yuju masih bertanya-tanya: jika ia mati karena siksaan rasa sakit ini, adakah yang akan menangis untuknya?

Satu orang saja. Dengan leher tercekat, Yuju berdoa; di pelupuk matanya menggelantung bayangan seseorang, entah nyata atau tidak. Seorang saja, menangislah untukku—karena aku ingin merasakan cinta dari air matamu ....

"Yuju-nim! Ini Lee Hyejin, datang menyelamatkan!"

Ah, suara nyaring yang bangga itu, betapa memicu rindu. Lucu sekali bagaimana sesosok gadis kecil yang berjalan tegak saja tak bisa menyebut diri 'penyelamat'. Suara itu diikuti beberapa derap langkah yang makin lama makin dekat; mungkinkah bala bantuan yang Yuju tunggu-tunggu telah tiba?

Tunggu, bukan itu yang penting. Ada Lee Hyejin dalam kamar ini! Fakta tersebut melonjakkan Yuju dari tidur. Kecemasan mendinginkan darahnya, tetapi juga melejitkan tenaganya secara tidak wajar sampai ia sanggup duduk. Telapak tangan yang hampir menyentuh semak duri terkutuk di lengannya, Yuju tepis sekuat mungkin sampai selembar saputangan yang semula dipegang tangan itu melayang. Saputangan ini, padahal, dipekati oleh ki bersih yang bisa menolong Yuju.

"Bawa Lee Hyejin keluar," perintah Yuju dengan napas memburu. Matanya membelalak cukup lebar untuk mengenali siapa yang tadi nyaris menyentuhnya: Seokmin. Tangan si pria tergores hingga berdarah walaupun mustahil tepisan Yuju melukainya seburuk itu. Sepertinya, ketimbang nyeri di kulit yang terkoyak, ekspresi pedih Seokmin lebih diakibatkan tanggapan Yuju yang menolak putrinya.

"Yuju-nim, saputangan itu—"

"DIAM, HALMANG!" Saking kalutnya, Yuju tak repot-repot bersikap sopan pada si pelayan sepuh. "Keluar kalian semua! Bawa Lee Hyejin pergi!"

"Tapi, Yuju-nim—"

Sebelum sempat mengatakan apa yang tak sempat Halmang utarakan, Seokmin sudah didorong bertubi-tubi: pertama oleh Yuju, kedua oleh sulur-sulur berduri yang menjebol kulit perempuan itu dari lepuhan. Dorongan kedua bukan main kuatnya. Seokmin menjerit saat terpelanting keluar kamar, lalu membentur dinding koridor gara-gara kekuatan gu.

"Ayah!"

"Keluar. Keluar, Lee Hyejin." Yuju memegangi kedua sisi kepalanya yang berdenyut-denyut ngilu. "Keluar, atau kau akan mati!"

Tak lagi lentur, sulur-sulur dari luka lepuh Yuju mengeras menjadi ranting dan menumbuhkan banyak cabang dalam waktu singkat. Tajamnya masing-masing duri pada gulma terkutuk itu memperingatkan Halmang lebih baik daripada kata-kata Yuju. Dengan sayap-sayapnya (yang setengahnya berbulu, setengahnya tidak), ia membawa Hyejin keluar kamar, lalu berteriak genting pada Seokmin.

"Turun! Turun sejauh-sejauhnya dari lantai ini!"

Gu berduri berebut menutupi pandangan Yuju, lalu ketika sudahtak ada tempat di kamar itu, mereka meluber keluar, memenuhi koridor yanguntungnya kosong. Belum puas, mereka meliliti tangga, berharap mendapat mangsasepanjang jalan. Mereka baru berhenti setelah menyumbat semua jalan cahaya kemata Yuju dan membentuk kubah yang menyumbat raungan Yuju di dalamnya.

***

Seokmin menatap ngeri sulur-sulur tanaman yang berjejalan di tangga belakangnya. Setelah menyerang demikian ganas, mereka akhirnya berhenti menggeliat. Bagaimana makhluk sebuas ini semula hanya berupa kabut tipis yang bersarang dalam lepuhan di tangan Yuju?

"Ayah," Hyejin mencengkeram erat baju Seokmin, "takut ...."

Segera Seokmin merangkul dan mengusap-usap punggung Hyejin. Anak itu sesenggukan di dadanya.

"Tidak apa-apa, Hyejin-ah. Jangan bersedih atau," lirik Seokmin sengit pada sulur gu yang membeku, "kau akan memberi makan kutukan Yuju-nim."

"Tidak! Aku maunya menyelamatkannya!"

Ayah juga, batin Seokmin pahit. Siapa menyangka, apa yang sebelumnya tampak seperti solusi justru memperumit masalah?

Memang kalau direnungkan, 'membunuh' kutukan gu semata menggunakan ki jernih dari selembar saputangan agak terlalu mudah untuk jadi kenyataan. Hyejin menyulam bunga ganja di saputangan cuma untuk berdoa memohonkan kesembuhan Yuju, berdasarkan gagasan dari 'Nenek' alias istri pendaki tua. Munculnya ki dari benang-benang sulam Hyejin sudah merupakan mukjizat besar; melenyapkan gu sepenuhnya mengandalkan sulaman itu saja jelas membutuhkan lebih banyak keberuntungan. Seokmin dan Hyejin tak punya keberuntungan sebanyak itu.

"Saputangannya masih di atas, Halmang-nim," gumam Seokmin. "Harusnya, ki dalam saputangan itu masih bisa melindungi Yuju-nim, kan?"

"Bisa jadi, bisa jadi tidak. Ki dalam saputangan itu bisa membersihkan gu, tetapi dalam keadaan gu-nya masih sesedikit sebelumnya. Kalau sekarang ..."

Halmang tak melanjutkan kata-katanya.

"Ayah, Yuju-nim sangat kesakitan. Dia sendirian dan tertusuk banyak duri." Suara Hyejin mengecil, bibirnya makin mencebik. "Kalau dia mati, bagaimana ...."

Seokmin mengecup ubun-ubun putrinya. "Jangan bilang begitu. Mari berdoa yang baik-baik saja. Kita ke ruang meditasi, Hyejin-ah."

"Kita berdoa lagi? Seperti kemarin?" Hyejin melengkingkan protes, menghentikan langkah Seokmin. "Tapi, Yuju-nim sudah seperti itu. Apakah tidak ada cara lain?"

Meskipun terkesan meremehkan sebuah doa, ucapan Hyejin dapat dimaklumi, lebih-lebih oleh Seokmin. Di menara sebesar ini, ironis bagaimana Yuju merupakan satu-satunya penyembuh yang mampu memanipulasi ki sehingga ketika dirinya sendiri yang butuh disembuhkan, tidak ada yang bisa menolong. 'Tidak ada', bukan 'tidak mau'; segalak apa pun Yuju sehari-hari, Halmang dan para bangau masih menghormatinya, pasangan pendaki tua berutang budi padanya, Hyejin merindukan kenyamanan aneh yang ditawarkannya, sedangkan Seokmin ....

Entah apa yang Seokmin rasakan untuk Yuju jika wanita itu melarang dirinya mencinta lagi.

Pertanyaan Hyejin tidak berjawab sampai ia, Seokmin, dan Halmang bertemu pasangan pendaki tua serta bangau-bangau pelayan lainnya. Rupanya, mereka yang di bawah juga merasakan kedahsyatan gu dari lantai atas; bahkan istri pendaki sempat pingsan sebentar.

"Pasti ada sesuatu yang bisa kita coba." Pendaki tua yang laki-laki, yang Hyejin biasa panggil Kakek, berucap gusar. "Kita bisa mencontoh Hyejin-yang untuk membuat semacam jimat dan menerobos semak berduri apalah itu."

"Jangan gegabah." Nenek mencubit jengkel lengan suaminya, menegur dengan cemas. "Lihat apa yang terjadi pada Seokmin-goon. Kita tidak tahu apa yang bisa dilakukan gu itu pada tulang tuamu."

"'Tidak tahu', katamu? Kita sudah pernah dikutuk sekali!" Kakek mengingatkan istrinya bahwa alasan kedatangan mereka ke Cheonwangbong adalah gu dalam tubuh mereka.

"Ya, tentu, dan kalau kau mau mengalaminya lagi, silakan saja," dengus Nenek. Nah, sekarang mereka malah ribut sendiri.

"Tolong Anda berdua tenang." Halmang menegur, lantas melanjutkan setenang yang ia bisa karena situasi ini sama memusingkan baginya. "Memang tidak ada yang bisa kita lakukan saat ini. Saputangan Lee Hyejin merupakan alat terakhir yang kita miliki, itu pun tidak kita siapkan untuk menghadapi gu sebesar ini."

"Bagaimana dengan Dewi Mago yang Agung? Bukankah Yuju-nim adalah muridnya? Tidakkah dia peduli?" tanya Nenek.

"Mago-nim tidak akan turun hanya karena kita memanggilnya. Ia akan hadir sendiri jika keadaan benar-benar tidak bisa dikendalikan oleh para penghuni Cheonwangbong. Ketidakhadirannya sekarang," simpul Halmang lirih, "berarti masih ada cara yang bisa kita coba."

"Tapi, bukankah Anda sendiri yang bilang bahwa tidak ada cara lagi?"

Suara Halmang, Kakek, Nenek, dan satu-dua bangau bersahutan tiada henti, tetapi tidak juga menampakkan titik terang. Daripada melibatkan diri di dalamnya, Seokmin lebih memilih untuk mengamati dari luar sembari terus membelai punggung Hyejin, menenangkan anak itu. Isak pelan dari si kecil lama-lama tidak terdengar lagi, terganti dengkur halus yang merupakan pertanda baik. Lebih baik Hyejin tertidur daripada terus memikirkan ibunya yang terjebak dalam kegelapan dan tak ingin ditolong.

Orang-orang (serta seekor bangau) yang terlibat debat kusir di depan Seokmin sudah lebih banyak makan asam-garam kehidupan dibanding dirinya, tetapi mereka kini tampak hilang arah. Ketika mengasihi, seseorang akan khawatir orang yang dikasihinya cedera, seperti yang ditunjukkan pasangan pendaki tua; meskipun suaminya berkeras 'bertindak', Nenek takut sesuatu terjadi pada laki-laki tuanya. Namun, kehilangan juga bukan pilihan sebab manusia seserakah itu jika sudah menyangkut cinta. Berputarlah debat ini terus-menerus tanpa pemecahan; mereka berusaha menyelamatkan Yuju dengan cara yang tak akan menyakiti diri sendiri maupun orang kesayangan mereka—dan saat sadar bahwa cara itu tidak ada, mereka frustrasi.

Seokmin berhenti membelai punggung Hyejin ketika suatu gagasan muncul dalam benaknya. Ia lantas berdiri dan keluar ruangan tanpa berpamitan, tahu bahwa di tengah perdebatan yang panas, keberadaannya menjadi sangat tipis.

Kamar Seokmin dan Hyejin gunakan terlalu jauh dari tempat mereka berada sekarang. Seokmin mesti menyimpan tenaga untuk berjalan ke ruang meditasi setelah ini, maka dipilihnya satu kamar acak di lantai itu untuk membaringkan Hyejin. Hari ini terlalu banyak hal yang terjadi bagi si gadis cilik. Wajah sembapnya tampak kuyu sekali.

"Menyayangi Ibu melelahkan, ya, Hyejin?" Seokmin membenahi posisi kepala anaknya di atas bantal. "Tapi, Ayah mohon jangan berhenti."

Perjuangan Hyejin demi Yuju sementara selesai; giliran Seokmin yang mesti menguji kesungguhan perasaannya dengan beberapa—atau mungkin banyak—luka.

Malam itu, setelah makan dan mendongengi Hyejin dengan cerita-cerita terlucu yang ia miliki (serta memastikan anak itu tidur tersenyum), Seokmin mengasah pisau terbesar di dapur dan mengambil dua lembar kertas mantra. Berbekal benda-benda itu, ia pergi ke ruang meditasi. Ia punya gambaran samar-samar tentang bagaimana memanipulasi ki, salah satunya kedekatan spiritual dengan pemilik menara ini. Meski tak yakin apakah senjatanya akan terisi energi murni setelah bersembahyang, Seokmin tetap berdoa sekhusyuknya, memohon kepada Dewi Mago yang (katanya) Agung untuk menengok ke bawah, meresapi penderitaan murid terakhirnya, lalu meminjamkan Seokmin kekuatan.

Dahi Seokmin menyentuh lantai dingin lebih dari 108 kali karena setiap bersujud, ia makin lupa hitungan. Sebaliknya, bayangan tentang Yuju yang dikelilingi sulur-sulur berduri makin jelas, membuatnya makin kencang memohonkan keselamatan sang istri.

Majikan. Tentu saja, tidak ada 'Yuna' dalam menara ini. []

quick trivia: buat ngeboost mood nulis, aku ngelayout word buku ini jadi seperti ini. i LOVE it.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top