11
"Saya ingin memperingatkan soal apa yang pantas dan tidak untuk dilakukan seorang wanita lajang, tetapi Anda pasti tak akan mendengarkan," bisik Halmang sembari menyilangkan sayapnya di balik punggung.
"Maaf, tetapi saya tidak mau dinasihati bangau pelayan yang lehernya juga terjulur ke arah saya mengintip," desis Yuju di bawah napasnya. "Lagi pula, saya cuma ingin tahu bagaimana reaksi Lee Seokmin mendapat hadiah dari putrinya dan memperhitungkan itu dalam rencana saya. Apa yang salah?"
"Kebohongan Anda yang salah," jawab Halmang yang tanpa berdosa masih lanjut mengintip. "Saya rasa Anda cuma rindu pada suara Lee Seokmin menjelang tidur."
"Berisik!"
Yuju mencoba menepuk tubuh Halmang, tetapi bangau itu menghindar dan terjadi keributan kecil yang mengalihkan ayah-anak Lee. Seperti biasa, keduanya berbarengan menoleh ke arah yang sama. Hyejin mencengkeram lengan baju ayahnya.
"Hantu?"
"Semua hantu di Cheonwangbong sudah disegel oleh Yuju-nim kembali. Harusnya mereka tidak mungkin berkeliaran lagi. Coba Ayah periksa." Seokmin berusaha tenang meskipun kata-kata Hyejin menakutkannya. Bentuk-bentuk tak keruan dari hantu ruang belajar lama kadang masih menghampirinya dalam berbagai mimpi buruk.
Pintu terbuka. Seokmin menengok cepat ke kanan dan kiri. Tidak ada siapa pun di selasar, kecuali kegelapan yang membuatnya lekas kembali ke dalam selimut.
"Tuh, kan, tidak ada hantu."
Demi mendengar Seokmin menutup kamar dari dalam dan berjalan menjauhi pintu, Yuju dan Halmang keluar dari persembunyian mereka, lalu lanjut mengintip. Yuju memicing ketika mendorong celah pintu geser yang sangat sempit dengan satu telunjuk, khawatir menimbulkan derit yang mungkin akan memaksanya bersembunyi lagi. Beruntung pintu itu diam hingga celah mengintip Yuju dan Halmang melebar.
"Tadi sampai mana Ayah cerita?" tanya Seokmin setelah menyamankan diri di bawah selimut yang sama dengan putrinya. Hyejin merapat dan Seokmin merangkulnya. Yuju tidak berkedip, bahkan tidak bernapas selama beberapa saat gara-gara memperhatikan kedekatan ayah-anak itu. Perubahan perilaku Yuju ini tak luput dari pengawasan Halmang.
"Anda iri?"
"Halmang, tolong jangan sekarang bertengkarnya," bisik Yuju, pura-pura tak terpengaruh. Ia tahu Halmang yang menumpangkan kepala di atasnya pasti sedang menahan tawa. Tidak salah bangau tua itu tertawa; Yuju memang demikian konyol dan mengenaskan setiap mengenang masa lalunya bersama Seokmin.
"Sampai anak katak membuat pusing ibunya." Hyejin menjawab Seokmin. Matanya berbinar penuh harap, menunggu kelanjutan cerita.
'Kisah Chung Kaeguri', ya? tebak Yuju dari potongan dongeng yang Hyejin sebutkan tadi. Ia pikir anak umur delapan tahun tidak lagi tertarik dengan dongeng, tetapi Hyejin rupanya berbeda. Selain itu, Chung Kaeguri biasanya didongengkan ke anak-anak yang lebih muda; jika Hyejin baru mendengarnya sekarang dan terbiasa didongengi sejak kecil, tak terbayang berapa cerita sudah Seokmin bagi setiap malam. Bisa jadi, kisah yang Seokmin tuturkan sebagai pengantar tidur berasal dari dunia nyata. Ingat Yuju bagaimana Hyejin memuji-muji 'Yuna'—yang delapan tahun lalu meninggalkannya sebelum bisa berbicara.
Dia tidak mungkin menceritakan tentangku, kan?
"Anak katak ... ah, benar." Ucapan Seokmin membuyarkan lamunan Yuju. "Anak katak itu selalu saja melakukan hal yang berlawanan dengan yang dikatakan ibunya dan bikin pusing. Akhirnya, suatu hari, ibu katak jatuh sakit, sangat parah hingga putranya bersedih. Ibu katak merasa sudah akan meninggal—"
Seokmin sejenak berhenti, sepertinya karena remasan Hyejin pada bajunya. Pria itu kemudian mengelus-elus kepala Hyejin—yang mungkin terbawa oleh cerita. Bagaimanapun, anak katak sebentar lagi akan kehilangan ibu, sama seperti si pendengar dongeng.
"Terus, bagaimana, Ayah?"
Rupanya, tak lama kemudian, Hyejin mendongak, mengisyaratkan pada Seokmin bahwa ia siap mendengarkan cerita hingga tamat.
"Kamu tahu, kan, kalau seseorang yang meninggal harus dikubur?" tanya Seokmin. Hyejin mengiakan.
"Seperti Kakek Lim."
Pak Lim adalah tetangga Yuju dulu. Ia turut berduka mendengar bahwa petani tua yang sering membantunya, Seokmin, dan ibu Seokmin itu sudah meninggal dunia.
"Ya, seperti beliau. Ibu katak juga harus dikubur, maka sebelum mati, ia berpesan pada anaknya. 'Nak, tolong nanti jangan kubur Ibu di gunung. Kuburlah Ibu di tepi sungai saja,'" lanjut Seokmin.
"Mengapa harus di tepi sungai?" Hyejin mengernyit.
"Kamu ingat, kan, kalau anak katak selalu melakukan hal yang berlawanan dengan kata ibunya?" tanya Seokmin. "Ibu katak mengerti sifat anaknya ini, jadi dia mengatakan hal yang berlawanan dengan keinginannya sesungguhnya."
"Oh!" Hyejin akhirnya paham. "Jadi, ibu katak sebenarnya mau dikubur di gunung?"
"Benar. Dengan meminta untuk tidak dikubur di gunung, ibu katak yakin anaknya pasti akan menguburnya di lereng gunung, bukan di tepi sungai. Makam di tepi sungai akan mudah hanyut dibandingkan di gunung." Jeda; Seokmin menarik napas. "Kamu mengerti?"
Setelah Hyejin mengangguk, Seokmin meneruskan. "Ibu katak pun meninggal karena sakit dan anaknya menjadi jauh lebih sedih. Anak katak kemudian berpikir. 'Aku tidak pernah menuruti satu pun kata Ibu ketika beliau hidup, maka sekali ini—"
"Tidak!" Hyejin terbangun dan menyibak selimut. Tampaknya ia sudah menebak arah cerita itu, dilihat dari matanya yang berkilap-kilap. "Ibu katak maunya dikubur di gunung!"
"'Sekali ini," ulang Seokmin, membaringkan putrinya lembut kembali ke sisinya, "aku ingin mematuhi kata Ibu'. Demikianlah akhirnya ibu katak dimakamkan di tepi sungai. Tentu saja saat banjir, makamnya hanyut. Anak katak kebingungan mencari makam itu. Ia pun berdoa setiap malam sambil menangis ke langit supaya makam ibunya ditemukan. Sesekali, ia memanggil-manggil ibunya. Kaegul, kaegul, begitu. Kalau kamu dengar bunyi katak pada malam hari, mungkin itu tangisan si anak katak."
Hyejin langsung menangis kencang, membuat ayahnya panik dan memeluknya erat-erat.
"Nak, ini sudah malam ...."
"Tapi, Ayah, anak katak itu sangat bodoh!" Saking terbawanya, Hyejin menendang selimut. "Saat ibunya masih hidup, dia nakal. Begitu ibunya meninggal, dia malah tidak mengerti apa yang ibunya inginkan! Menyebalkan sekali!"
Seokmin kentara betul ingin tertawa, tetapi ditahannya untuk menghargai perasaan putrinya. Sekali lagi dibelai-belainya kepala Hyejin agar isak anak itu mereda.
"Karena itulah, Hyejin-ah, seorang anak harus patuh kepada orang tuanya daripada menyesal seperti anak katak," nasihat Seokmin. "Karena itulah, Ayah senang sekali memilikimu. Hyejin selalu mendengarkan kata Ayah dan Nenek, juga pandai dan cantik."
Katanya mau memberikan hadiahmu sebelum tidur. Mengapa tidak segera kauberikan, Lee Hyejin? Yuju menggesek-gesekkan satu telapak kaki di atas telapak kaki lainnya, tak sabar. Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi, sayang ia masih ingin tahu reaksi Seokmin terhadap hadiah Hyejin.
"Kalau Ibu masih di rumah, aku pasti akan mematuhi semua perintahnya! Tidak seperti anak katak!"
Kan.
Yuju menelan ludah yang seolah lengket ke kerongkongan. Rupanya, ini arti firasat buruk tadi: Hyejin akan mengatakan sesuatu mengenai hubungan mereka sebagai ibu-anak. Hal ini senantiasa mengguncang Yuju. Sebagai murid Mago, ia tentu tak dapat kembali menjadi ibu Hyejin, tetapi janji yang Hyejin utarakan dengan sepenuh hati itu ....
"Anda menangis?" tanya Halmang kepada sang majikan, menyimpulkan dari tegukan ludah yang ternyata terdengar olehnya. Yuju mengacungkan telunjuk ke belakang, masih memunggungi Halmang karena tidak ingin menunjukkan raut wajahnya. Yuju sendiri tak tahu bagaimana mukanya sekarang, tetapi yang jelas, hatinya seperti diremat mendengar ucapan Hyejin. Sedikit-banyak, perasaan itu pasti akan tergambar pada ekspresinya, lalu Halmang yang jeli akan membongkar isi hatinya dan mempermalukannya.
"Masa?" Seokmin menggoda Hyejin. "Waktu bayi, kamu rewel sekali. Sedikit-sedikit minta minum, disuruh Ibu berhenti menangis tidak mau, diletakkan Ibu sebentar sudah minta digendong lagi. Seandainya Ibu pulang, jangan-jangan kamu akan bersikap seperti itu lagi?"
"A-Apa boleh buat, kan? Dulu aku masih belum mengerti, tetapi sekarang aku akan patuh!" tangkis Hyejin menggebu-gebu, menimbulkan tawa Seokmin. Mulut si gadis cilik sudah membuka untuk melanjutkan pembelaannya, tetapi entah mengapa terkatup lagi. Anak itu memutus kontak mata dengan Seokmin dan menatap pintu.
Dia sadar sedang diintip?
Yuju mundur sedikit, khawatir ketahuan. Mau dikemanakan mukanya kalau sampai tepergok mengintai tanpa alasan jelas?
"Ayah," Hyejin menatap Seokmin sendu, "jangan-jangan sebenarnya Ibu pergi bukan untuk belajar seperti yang Ayah bilang?"
Baik Yuju dan Seokmin tiba-tiba tegang di tempat masing-masing.
"Apa maksudmu? Ayah tidak bohong, kok," kata Seokmin. Ia memang tidak bohong. Bangau Mago membebaskan Yuju dari lumbung dan mengajak perempuan itu belajar di bawah tuntunan sang dewi, tetapi Seokmin mana tahu hal itu? Ia harusnya hanya tahu 'Yuna' hilang secara ajaib saat dikurung. Apa yang dia tuturkan pada anaknya tentu hanya karangan, dipoles sedemikian sehingga Hyejin tidak merasa ditelantarkan.
Ada gelegak dalam dada Yuju. Ia merasa dengan satu lagi tanggapan Hyejin—apa pun itu—terhadap cerita Seokmin, gelegak tadi akan meluber tanpa terkendali.
"Tapi, Ayah bilang saat bayi aku tidak patuh. Aku seperti anak katak: disuruh berhenti menangis malah menangis, disuruh menunggu malah minta digendong. Aku terus-terusan melawan perintah Ibu. Karena itukah Ibu pergi?" Hyejin mencengkeram baju Seokmin, menuntut penjelasan. "Karena aku senakal anak katak?"
"ITU TIDAK BENAR!"
Akhirnya, apa yang terus membumbung dalam dada Yuju tumpah sebagai penyangkalan lantang. Jangankan Halmang dan kedua penghuni kamar, Yuju saja kaget dengan kalimatnya sendiri sehabis mencerna apa yang terjadi. Halmang memelototi majikannya, sama dengan sang majikan yang kini memelototi Seokmin serta Hyejin. Kedua orang itu sama-sama berpaling ke pintu. Mereka belum bisa melihat Yuju, tetapi akan—jika Yuju tidak segera pergi.
Ketika Seokmin dan Hyejin melangkah tergesa-gesa menuju pintu, Yuju mengangkat roknya untuk berlari ke tangga terdekat di lantai itu. Begitu Seokmin dan Hyejin melongok keluar, mereka hanya menemukan Halmang, mematung sambil memandang tangga. Hyejin mengikuti arah pandang si bangau, tidak bisa melihat apa-apa, tetapi mendengar derap sepatu yang terburu-buru.
"Itu Yu—"
"Ssh!" Seokmin menarik sang anak ke pangkuan. Telunjuk pria itu bersilang di depan bibir. "Sudah, biarkan. Jangan memanggilnya."
"Mengapa?" Hyejin membalas gusar bisikan Seokmin segera setelah tak lagi terbekap. "Yuju-nim kan sudah—sudah—apa, ya, namanya, mendengarkan orang sambil sembunyi?"
"Menguping," jawab Halmang, membuat Seokmin meringis sambil menggeleng-geleng ke arah si bangau. Mungkin maksudnya, jangan mengajarinya!
"Ya, itu, menguping! Bukankah menguping itu tidak boleh, Ayah?" tanya Hyejin, berusaha mengecilkan suara karena Seokmin menyilangkan telunjuk di depan bibir sekali lagi.
"Tidak selalu, tergantung apa tujuannya, Hyejin-ah," ucap Seokmin, memutar otak agar Hyejin berhenti menyalahkan Yuju. Bisa gawat kalau kerjaannya ditambah oleh sang majikan gara-gara ini. "Misalnya, uh ... mungkin sebenarnya Yuju-nim ingin mengatakan sesuatu pada kita, tetapi menunggu dongeng Ayah selesai?"
Hyejin mengerjap-ngerjap ke arah Seokmin yang kehabisan akal.
"Sebenarnya, tadi Yuju-nim ingin—itu, lo—" Halmang melambai pada Hyejin, jadi Hyejin menghampirinya dan dibisiki oleh si bangau. Di balik sayap putih-hitam itu, Seokmin tidak bisa membaca apa-apa, tetapi mata Hyejin membulat dan senyumnya terkembang.
"Astaga!" Hyejin berlari terpincang-pincang, masuk ke kamar.
"Hyejin-ah?" Seokmin menoleh pada putrinya, lalu pada Halmang. "Apa yang Anda katakan padanya?"
"Oh, bukan apa-apa." Halmang melambai-lambaikan sayapnya mencurigakan sambil tertawa. "Nanti biar anakmu yang memberitahu."
Tepat setelah paruh Halmang terkatup, lengan baju Seokmin ditarik-tarik.
"Ayah, Ayah!"
Entah dari mana, di depan Seokmin sekarang teracung sebuah kantong bertali serut dengan sulaman bunga cempaka merah. Dari bukaan sempit kantong itu, menyembul sebuah sumbat botol.
"Ini hadiah buatanku untuk Ayah: minyak pijat! Mulai hari ini, aku akan memijat Ayah menggunakan minyak racikanku!"
"Oh? Terima—kasih?" Seokmin berjongkok dan menerima kantong cempaka dari Hyejin. Diamatinya sulaman pada kantong yang longgar-longgar, jelas dikerjakan tangan yang belum berpengalaman. Simpul tali serut diurai, kantong dibuka, dan Seokmin mengeluarkan sebuah botol giok dari sana. Saat sumbat botol dicabut, tercium aroma obat-obatan yang biasanya dicampurkan Seokmin dalam minyak pijat racikannya sendiri. Namun, minyak ini memiliki harum yang lebih menenangkan.
Reaksi Seokmin yang terbengong sambil menutup botol dan mengembalikan minyak ke kantongnya tentu tidak sesuai harapan Hyejin. Anak itu berkacak pinggang, sudah siap mengomel, tetapi dekapan erat Seokmin mencegahnya.
"Hyejin-ah, jujurlah," suara Seokmin yang goyah bergema di telinga gadis ciliknya, "kamu membuat semua ini sendiri? Bahkan sampai menyulam kantongnya?"
"Um, ti-tidak. Yuju-nim mengajariku meracik minyak dan menyulam kantongnya. Yuju-nim juga yang menjahit kain sulamanku jadi kantong karena aku belum bisa. Ta-Tapi, minyak dan sulamannya aku sendiri yang buat!" Hyejin tergagap, tanpa sengaja membocorkan rahasianya dengan Yuju. "Maaf, Ayah .... Hadiahnya tidak benar-benar kubuat sendiri."
"Jangan meminta maaf," sahut Seokmin seraya mengecupi ubun-ubun Hyejin. "Ayah sangat senang dengan hadiah-hadiah ini. Sangat senang, sampai tidak tahu harus berkata apa lagi. Terima kasih banyak, Hyejin-ah ... anak Ayah ternyata telah tumbuh sebesar dan sepintar ini ...." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top