10
Meskipun muridnya bahkan belum berumur sepuluh tahun, Yuju—seperti Mago—tidak kenal ampun sebagai guru. Begitu Hyejin hapal tahapan-tahapan meracik minyak pijat, ia mengajari anak itu membedakan tanaman-tanaman obat, menumbuk, dan menyuling minyak. Hyejin tentu saja banyak mengeluh, bahkan beberapa kali menangis, tetapi Yuju bilang inilah harganya membuat obat untuk Seokmin. Tidak bisa menceritakan hal ini kepada sang ayah membuat beban Hyejin seolah dua kali lebih berat. Bukan sekali dua kali anak itu mengerjakan sesuatu dengan muka sembap di bawah pengawasan Yuju.
Tangisan Hyejin mestinya tidak mempengaruhi Yuju yang sekarang. 'Yuna', sosok ibu Hyejin yang penyayang, seharusnya sudah tiada sejak ia berganti nama di Cheonwangbong. Karena itulah, Yuju bingung mengapa ia sering mengajak Hyejin duduk bersama, dalam diam menunggu anak itu sampai berhenti menangis di sampingnya. Kadang, ia menuangkan air minum untuk muridnya yang kelelahan terisak. Mago yang Yuju teladani sebagai guru tidak pernah melakukan itu pada muridnya; segala tindakan menyamankan murid Mago serahkan seluruhnya kepada para bangau pelayan.
Entah bagaimana, pada waktu-waktu duduk bersama itu, Yuju mulai bercerita pada Hyejin tentang kerasnya pelatihan Mago dan hari-hari menantang menghadapi orang sakit parah. Ia seolah sedang menjadikan Hyejin pengganti Sowon dan teman-temannya yang telah lulus ke Nirwana, ke mana ia dulu sering berkeluh kesah. Yuju sering menyesal melakukan itu karena Hyejin hanya anak-anak yang tidak berhubungan dengannya, tidak bisa tiba-tiba dijadikan pendengar curhatnya begitu.
Anehnya, hal yang Yuju anggap salah ini justru mempersingkat waktu menangis Hyejin. Anak itu menganggap kesulitannya meracik minyak pijat bukan apa-apa kalau dibandingkan kesusahan Yuju di bawah didikan Mago. Masih merasa bersalah, Yuju pun menawarkan Hyejin menceritakan balik tentang perjuangannya meracik minyak pijat—dan Hyejin langsung mencerocos tiada henti. Tanpa disadari, murid Mago yang terakhir itu telah berubah menjadi seorang guru yang lebih sabar, lebih pengertian ... lebih keibuan.
Yuju dan Hyejin dibantu para bangau pelayan untuk merahasiakan pertemuan-pertemuan mereka dari Seokmin. Alhasil, sampai minyak pijat jadi, Seokmin tidak mengetahui apa-apa meski sudah bolak-balik menampakkan kecurigaannya—yang dengan lihai diredam oleh setiap bangau pelayan, terutama Halmang. Tanpa sepengetahuan Seokmin yang sedang membersihkan lantai-entah-keberapa di Cheonwangbong siang itu, Hyejin baru saja dikejutkan oleh sebuah pelajaran yang Yuju tawarkan, yang tidak berhubungan sama sekali dengan pengobatan.
"Menyulam?"
Yuju mengiakan sambil mengangkat salah satu hasil sulamannya: kantong wewangian pribadi yang bersulamkan bunga ganja. "Hadiah yang kauberikan sudah cukup istimewa, jadi kau bisa memberikannya tanpa pembungkus seperti ini, sebenarnya—"
"SAYA MAU!" sahut Hyejin. "Saya mau buat yang ada bunga cempakanya!"
"Itu semangat yang bagus, tetapi kau kelihatannya lebih menyenangi ini ketimbang meracik obat." Satu alis Yuju terangkat lebih tinggi, menyelidik. Hyejin meringis sambil mengusap-usap belakang kepalanya.
"Yah ... tapi tidak apa-apa, kan, Yuju-nim? Saya juga senang belajar meracik obat, kok." Hyejin membela diri sambil menunjuk minyak pijat buatannya. "Buktinya, saya sudah menyelesaikan itu!"
Yuju mendengus pelan. Sisi Yuju-nya bilang anak itu harusnya lebih menyenangi pengobatan seperti dirinya, tetapi sisi Yuna-nya—yang ternyata belum pergi—memintanya membiarkan Hyejin melakukan apa pun. Ia lalu mengambil dua midangan dan dua lembar kain.
"Kau pernah menyulam sebelumnya?"
Hyejin menidakkan, maka Yuju duduk di lantai, membentang masing-masing selembar kain di hadapannya dan Hyejin. Ia mematahkan arang, satu untuk dirinya dan satu untuk Hyejin. "Kalau begitu, kau harus menggambar pola dulu untuk membantumu menyulam. Tiru gambarku."
Akhirnya, seharian itu Yuju dan Hyejin hanya berkutat dengan kain, jarum, dan benang. Seperti biasa, Yuju memulai dengan sulit sehingga Hyejin tak bisa serta merta meniru gambarnya. Setelah beberapa kali percobaan, pola sulaman yang sederhana pun jadilah, tetapi rintangan berikutnya muncul. Hyejin belum paham satu pun tusukan yang digunakan untuk mengisi pola sehingga Yuju harus mengajarinya dari awal.
Tidak seperti saat meracik obat, saat belajar menyulam Hyejin sedikit mengeluh dan jauh lebih berkonsentrasi, barangkali karena memang lebih gemar melakukannya. Anak itu bahkan tidak segan membenahi tusukannya hanya karena 'bunga cempakanya kurang bagus'.
"Kau sesuka itu dengan bunga cempaka?"
"Ayah yang suka," jawab Hyejin dengan dahi mengernyit, memastikan benang merah pengisi polanya cukup rapat satu sama lain. Ia tidak tahu bagaimana raut wajah Yuju berubah karena jawabannya.
"Laki-laki tidak biasanya menyukai bunga."
"Oh, itu sepertinya karena saya." Hyejin mengungkapkan penuh percaya diri. Yuju memutar bola matanya; dari mana anak itu belajar angkuh? "Saya memberikan Ayah bunga cempaka merah setelah Nenek menghilang."
Sontak Yuju berhenti, menyelipkan jarumnya yang berbenang merah ke satu sisi midangan. Midangan itu kemudian dipangkunya selagi ia menoleh penasaran pada Hyejin.
"Nenekmu meninggal?" tanya Yuju setelah beberapa saat menerka-nerka apa yang Hyejin maksud dengan 'menghilang'. Mungkin saja, kan, Hyejin salah memilih kata?
"Tidak. Nenek menghilang," jawab Hyejin datar, masih berkonsentrasi pada sulamannya. Seolah-olah, gadis cilik itu tidak peduli pada fakta bahwa neneknya menghilang begitu saja.
Tentu saja, Yuju merasa janggal. Nenek Hyejin adalah ibu mertua yang tak akan pernah bisa dilupakannya. Ibu Seokmin itu sangat dingin, tak pernah tersenyum bahkan pada putranya sendiri. Walaupun cuma berasal dari kalangan petani, ia memiliki standar tertentu untuk istri Seokmin yang kesulitan Yuju penuhi, bahkan setelah menikah. Apa pun yang Yuju lakukan sepertinya selalu salah, apalagi jika menyangkut Hyejin. Dia sampai mengutuk Yuju yang sempat mengabaikan Hyejin saat masih bayi karena ketakutan dan kesedihan yang entah dari mana berasal. Dia jugalah yang secara tidak langsung mengurung 'Yuna' dalam lumbung sampai sekarat.
Yuju mengira setelah ia pergi, nenek Hyejin akan menggantikannya, melunakkan perangai agar bisa menjadi sosok pengasuh perempuan bagi Hyejin. Dengan begitu, Hyejin pasti akan memiliki ikatan khusus dengan sang nenek dan tanggapannya ketika sang nenek menghilang tak akan cuek begitu.
"Oh," meski ragu, Yuju teringat sesuatu, "apakah nenekmu pikun? Orang pikun biasanya sering tersesat. Uh, pikun itu kalau orang tua sering lupa dan bingung."
"Tidak. Nenek saya pintar. Dia suka membaca buku dari kamar Ibu," ucap Hyejin. Kening Yuju berkerut semakin dalam.
Ibu tidak bisa membaca. Dia tak pernah mau kuajari. Seokmin-kah yang mengajarinya? Dan, tunggu, dia membaca bukuku? Sejak kapan?
"Hari itu, Nenek tiba-tiba tidak ada di mana-mana. Bukannya mencari, Ayah malah diam seharian di rumah. Wajahnya sedih sekali." Hyejin ikut-ikutan Yuju memangku midangan, mengistirahatkan jari sejenak. "Jadi, setelah bermain, saya berikan beliau bunga apa pun yang saya temukan di jalan. Dia lalu tertawa sambil menangis, aneh sekali. Dia memeluk saya, berterima kasih untuk bunganya, padahal," Hyejin terkekeh, "saya tidak tahu itu bunga apa. Ayah memberitahu bahwa bunga ini namanya cempaka."
Jadi, karena itulah Hyejin menyukai cempaka. Satu pertanyaan Yuju terjawab, tetapi ia malah menemukan pertanyaan lain: ke mana ibu mertuanya? Mengapa Seokmin tidak berusaha mencarinya dulu? Mengapa Hyejin dan sang nenek terkesan tidak akrab, padahal dia dulu lebih sering merawat Hyejin bayi ketimbang Yuju?
"Omong-omong, Yuju-nim ternyata baik juga, ya. Saya kira Anda cuma bisa marah-marah saja."
Untung Yuju tidak sedang memegang jarum atau jarinya akan tertusuk.
"Lihat dirimu, berani sekali mengatai majikanmu seolah kaulah majikannya," dengus Yuju. "Yah, aku akan melupakan ini pernah terjadi jika kau minta maaf, tentu saja."
Hyejin berhenti menyulam; alisnya bertemu di tengah. Sepertinya ia sangat enggan untuk meminta maaf pada Yuju, tetapi toh akhirnya ia menyisihkan sulamannya dan membungkuk juga pada sang 'majikan'.
"Saya minta maaf, Yuju-nim. Anda adalah majikan yang benar-benar baik."
Yuju manggut-manggut. Meski kedengaran setengah hati, memperpanjang masalah akan membuat Yuju merasa kekanakan, jadi ia terima saja permintaan maaf itu.
"Walaupun," ternyata permintaan maaf Hyejin berlanjut dengan gumaman, "masih tidak sebaik ibu saya, sih."
Inginnya Yuju berpura-pura tidak dengar, tetapi hatinya terlalu sakit untuk tetap diam. Bagaimana mungkin anak itu menyebut sang ibu—yang secara praktis tidak pernah merawat dan menyaksikannya tumbuh—sebagai wanita yang baik?
"Heh," demi menutupi perasaan yang sebenarnya, Yuju tersenyum miring, "bukankah kaubilang ibumu pergi sehingga kau cuma tinggal berdua dengan ayahmu? Memangnya apa yang pernah ibumu lakukan untukmu?"
"Banyak!" sahut Hyejin sebelum Yuju benar-benar mengatupkan bibir. "Kata Ayah, Ibu menimang dan menyusui saya, bahkan pada dini hari. Beliau juga sering menyanyikan lagu pengantar tidur untuk kami berdua! Selain itu, uh ... apa lagi, ya ... oh! Beliau mengajari saya hangul! Jadi, Ibu mengajari Ayah membaca dan menulis. Setelahnya, baru Ayah mengajari saya! Bagaimana, ibu saya baik, kan, Yuju-nim?"
Kain sulaman Yuju teremat, sedangkan penyulamnya tertunduk. Hyejin memandangi gurunya dengan bingung dan cemas.
"Yuju-nim? Ma-Maafkan saya jika membuat Anda sedih." Ragu-ragu Hyejin bersujud. Jarang-jarang ia melakukan itu, pastilah sudah merasa bersalah sekali.
"Bangkitlah, Lee Hyejin. Aku tidak sedih." Sesuai ucapannya, wajah Yuju tidak menampakkan ekspresi apa pun—yang justru makin membuat Hyejin merasa terancam. "Kau sudah menguasai teknik dasar menyulam. Kini, kau bisa melanjutkan sulamanmu di mana pun, lalu kalau sudah selesai, tunjukkan padaku. Aku akan membantumu membenahinya."
"Baik, Yuju-nim." Kaki Hyejin bergerak-gerak tak nyaman. Seolah mengerti apa yang diinginkan majikannya, ia pun bertanya, "Apakah ... Yuju-nim ingin sendirian?"
Entah mengapa, pertanyaan Hyejin mampu memunculkan senyum tipis Yuju. "Ya, kalau boleh. Kalau kau masih ingin tinggal, silakan saja."
Namun, Hyejin menolak, membereskan peralatan menyulamnya ke dalam sebuah kotak bekas berpenutup. Anak itu kemudian membungkuk kepada Yuju. "Sekali lagi terima kasih banyak atas pelajarannya, Yuju-nim. Uh, semoga Anda—cepat sehat."
Tahu-tahu saja, Yuju membelai kepala anak yang membungkuk itu. Sepertinya hal inilah yang membuat Hyejin menoleh sekali lagi ke arah Yuju sebelum menutup pintu dari luar.
Seekor bangau pelayan yang terbang di luar menara Yuju minta untuk memanggil Halmang ke ruangannya. Selama menunggu, Yuju benar-benar cuma diam, tidak berminat melanjutkan sulamannya. Ia tidak bisa menyulam bunga cempaka merah—yang berarti keteguhan hati dan kerja keras—ketika keyakinannya sendiri goyah. Saat ini, yang lebih ingin ia sulam adalah kamelia, pertanda pertemuan kembali dan kesetiaan sepasang kekasih.
"Hal bodoh apa lagi yang Anda renungkan?"
Begitu masuk dari jendela, Halmang tidak membuang waktu lagi untuk 'menyerang' Yuju, bahkan ketika majikannya itu masih tampak murung. Dalam keadaan biasa, Yuju akan langsung menyerang balik: 'tidak lihat apa saya sedang sedih? Bicara yang baik sedikit!'. Hari ini sepertinya pengecualian sebab Yuju—masih sambil memandangi sulamannya yang belum selesai—bertanya kepada Halmang.
"Siapa saya, Halmang?"
Halmang mendesah keras. "Bukankah jawabannya begitu mudah? Izinkan saya menanyakan dua hal dulu kepada Anda. Satu, apakah Anda baru saja menghabiskan waktu dengan Lee Hyejin? Dua, apakah Anda jadi kehilangan arah tentang bagaimana cara memutus ikatan yang Mago-nim bilang?"
"Ya, untuk keduanya."
"Maka sudah jelas," Halmang menghampiri Yuju; suaranya terdengar lebih keras di telinga murid Mago itu, "Anda adalah Yuna-nim."
Midangan Yuju—atau Yuna, mengutip Halmang—langsung jatuh ke lantai.
***
"Sampai kapan saya terus goyah begini, Halmang? Tidak ada cara lagikah untukku memutus ikatan itu?"
"Ada satu cara yang sangat jelas, menurut saya. Anda harusnya sudah mengetahui hal itu kalau mengingat aturan murid Mago terhadap pasien yang akan meninggalkan Cheonwangbong."
"Hapus ikatan mereka tentang Cheonwangbong, termasuk tentang para murid Mago. Sesederhana itukah?"
"Tidak akan sederhana jika Anda terikat seperti dulu lagi dengan Lee—ehm, suami dan putri Anda."
Yuju ingat tertawa terbahak-bahak saat Halmang mengutarakan gagasannya, tetapi lama-lama, tawa itu berubah menjadi tangisan. Entah sudah keberapa kalinya Halmang menenangkan Yuju yang belakangan sangat emosional—dalam artian baru. Sebenarnya, Yuju malu menunjukkan dirinya yang serapuh ini selain pada Sowon—itu pun saat Sowon masih menjadi 'Sojung'. Di Cheonwangbong, Yuju adalah murid cemerlang yang meminta bayaran dengan hati dingin untuk kecemerlangannya itu.
Sayangnya, selama ayah-anak Lee masih di Cheonwangbong, hati Yuju mungkin akan terus miring kanan-kiri, layaknya timbangan dengan sisi 'Yuju' dan 'Yuna'-nya berebut memperberat sisi masing-masing.
"Penjelasan Anda cukup masuk akal, Halmang. Jika saya memohon pencerahan melalui meditasi, mungkin jawaban sama akan saya dapatkan."
Demikianlah Yuju menyimpulkan diskusinya dengan Halmang setelah menyulam hari itu. Besoknya, setelah melakukan meditasi, pilihan Yuju seakan diteguhkan oleh Langit. Setelah sekian lama mencari cara 'memutus ikatan' dan bimbang, keputusan Yuju pun mantap. Sebuah beban yang ia pikir tak akan sirna, ternyata bisa lenyap juga dari benaknya.
Yuju tahu konsekuensi yang akan ditanggungnya akan sangat berat kelak jika membangun ikatan lagi bersama para Lee, tetapi ia tak menemukan cara lain.
***
Hari ini, sulaman Hyejin selesai. Dengan puas, gadis cilik itu membungkus minyak pijatnya sesuai ajaran Yuju. Hyejin bilang akan memberikannya sebelum tidur karena ayahnya selalu minta dipijat malam hari. Yuju menyetujui rencana itu. Siapa menyangka, mengetahui rencana Hyejin mengubah sang murid Mago jadi mata-mata dadakan? Halmang sampai geleng-geleng kepala melihat majikannya diam-diam mengintip ke kamar Seokmin dan Hyejin.
"Saya ingin memperingatkan soal apa yang pantas dan tidak untuk dilakukan seorang wanita lajang, tetapi Anda pasti tak akan mendengarkan." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top