The Secret of History

Bubble Universe 15VHU2345X
Imajiner Kuantum
Museum of War, United Kingdom


"Dan satu lagi, kamu tahu kan penyebab perang Dunia satu apa?" Cicit Luni yang masih pagi sudah menumpahkan isi pemikirannya yang mungkin sudah terlampau penuh di otaknya. Peter dengan mangut-mangut mendengar suara gadis itu sedari tadi, walaupun bukan dia lawan bicaranya.

"Peter? Kau paham apa yang dikatakan anak di kursi belakang?" Tiba-tiba Bima yang entah bagaimana bisa menjadi teman kursinya di bus ini bertanya. Peter hanya menggelengkan kepalanya dengan malas.

Lagi-lagi Bima menyeletuk, "ah pantesan. Ternyata di kursi belakang si Luni."

Sudah tidak heran lagi, Eluni Amayra, gadis dengan tahi lalat di bawah mata sang penggemar literatur yang pasti di otaknya penuh dengan tanda tanya terhadap sesuatu. Seperti sekarang ini, namun Peter diam-diam ikut andil mendengarkan perkataan Luni dan menjawab dalam hati pertanyaan gadis itu.

Terbunuhnya Franz Ferdinand

"Karena terbunuhnya Adipati Agung dari Austria-Este, yaitu Franz Ferdinand Karl Ludwig Josef Maria."

Peter semakin mempertajam pendengarannya saat Luni dengan lugas menjawab sebab perang Dunia satu yakni terbunuhnya pewaris Kekaisaran dengan nama lengkap.

Tidak terasa sepanjang perjalanan menuju museum, pendengaran Peter penuh akan teka-teki dan pengetahuan dari gadis kursi belakang. Kini saatnya gadis itu menyudahi topik sejarah miliknya karena semua orang akan turun dari bus. Namun, ada satu kalimat pertanyaan yang membuat tubuh Peter bergeming di kursi.

"Tapi, kamu tahu kan kalau Franz Ferdinand menjadi pewaris tahta karena putra mahkota bunuh diri. Tapi, aku pikir pangeran mahkota Rudolf bukan bunuh diri, bisa saja menghilang, kabur, atau sebenarnya dia ada di suatu tempat yang tidak kita ketahui."

Peter mencoba mengejar Luni yang sudah melewati dirinya untuk menuruni bus, menepuk bahu gadis itu pelan. "Putra mahkota Rudolf dalam sejarah memang bunuh diri, jangan terlalu beropini yang tidak-tidak," ucapnya kepada gadis itu tegas.

***

Hamparan benda-benda di dalam museum menjadi pandangan yang menakjubkan untuk beberapa siswa, tak terkecuali Luni, Peter, dan Bima yang memandang seisi ruangan dengan mata yang berbinar-binar. Mereka berkumpul menjadi satu dan mengikuti arah guru mereka yang sekaligus menjelaskan arti dari benda-benda tersebut.

Hingga pada suatu benda, Luni mengacungkan jari telunjuknya. "Maaf, Mrs. Saya tiba-tiba saja penasaran pada burung yang bernama Cher Ami ini. Kenapa dia masih bisa terbang? Bukan kah seharusnya makhluk mungil ini akan langsung mati saat tertembak satu kali saja?"

Pertanyaan gadis itu tentu mengundang teman-temannya yang awalnya fokus pada objek kini teralihkan menatap Luni.

"Anggap saja burung ini punya sembilan nyawa seperti kucing, Eluni. Ini bukan pertanyaan yang harus aku jawab, bukan," jawab guru tersebut setengah menyindir akan pertanyaan Eluni yang tidak masuk akal. Gadis itu tentu tidak puas dengan jawaban yang tidak ia harapkan.

Mereka kembali melanjutkan langkah demi langkah mengikuti arahan. Namun,  langkah kecil milik Luni seringkali tertinggal di belakang karena masih mengamati benda-benda yang menurutnya menarik. Hingga sampai ia di depan sebuah pintu polos berwarna hitam tanpa sekat nama yang terpasang.

"Aku rasa minat kita sama," tegur seseorang di belakang Luni sontak membuat gadis itu mengelus dada. Ada Peter dan Bima yang sudah berdiri di belakangnya dengan raut wajah yang berbeda.

"Kenapa kalian ada di sini."

"Alasan yang sama seperti dirimu." Jawaban dari Peter membuat kapala Luni harus bekerja mencari alasan mengapa ia juga ada di sini.

"Kau juga terpisah dari rombongan?"

Bima mengangguk, "gara-gara dia. Sekarang dia penasaran sama pintu hitam ini."

"Mau masuk?"

"Oke!"

"Tidak!"

Jawaban berbeda dari Peter dan Bima mengubah air wajah gadis itu, "Jadi gimana?"

"Masuk untuk lihat-lihat sebentar tidak ada salahnya, bukan," jawab Peter ingin meraih ganggang emas tersebut.

"Sebentar saja kan?" sahut Bima.

Gadis itu menarik sudut bibirnya ke atas, "tentu!" Ia mendekat ke arah Peter siap untuk melihat apa yang ada di dalam.

Pintu terbuka, seperti ada yang menarik, mereka masuk dengan mata yang sudah menjelajahi isi ruangan gelap ini. Tiba-tiba dari arah belakang, suara keras seperti ada seseorang yang membanting pintu. Bima mencoba untuk mengecek pintu tersebut. Ia membalik badan, menatap kedua manusia yang ada dihadapannya. "Pintunya- terkunci."

Seketika Luni dan Peter bergeming. Kengerian menjalar melalui ujung-ujung bulu tengkuk mereka. Situsasi yang persis seperti di film-film horor ini membuat keduanya tidak mampu bahkan untuk sekedar bergerak.

Selepas keheningan menyelimuti ketiganya selama beberapa saat, Peter lebih dulu berdehem. Ia melangkah santai menuju pintu hitam polos di hadapannya. Saat pandangan matanya bertemu dengan Bima, ia dapat melihat pemuda itu meneguk salivanya dengan kasar dan sorot matanya yang mencekam menunjukkan kepanikan.

Peter bertopang dagu, memerhatikan pintu di hadapannya yang sepertinya terbuat dari baja. Tak berselang lama, ia kembali berbalik. Helaan napas beratnya seolah menunjukkan kabar yang kurang mengenakkan untuk didengar.

“Dengarkan aku. Secara logika, kita tidak mungkin bisa tanpa sengaja terjebak di sini. Setidaknya mekanisme pintu ruangan ini tidak memungkinkan hal itu terjadi. Coba kalian bayangkan, bagaimana mungkin pintu yang dirancang dengan baja dan tampak sangat kuat ini bisa dibuka dengan mudah dari luar? Selain itu, bahkan dari dalam bisa terkunci otomatis? Itu sangat mustahil.”

Gadis semampai di hadapan Peter yang sejak tadi bergeming ketakutan mulai membuka suara.

“Maksudmu apa? Seseorang sengaja menjebak kita?”

Peter mengangguk tegas. “Kamu benar, Luni. Kita dijebak. Dan itu adalah fakta yang tak terbantahkan.”

Bima tiba-tiba menyeletuk, “sudah kubilang tadi jangan masuk!”

Lagi-lagi Peter menghela napas panjang melihat tingkah sahabatnya yang terkadang sangat menjengkelkan itu. “Yah, tenanglah, Bima. Kita memang dijebak tapi bukan berarti kita akan dibunuh atau disiksa atau semacamnya. Kalau memang begitu, seharusnya seseorang dengan palu besar atau gergaji besi sudah datang di hadapan kita sejak ....”

Kata-kata Peter terhenti tatkala matanya mendapati sosok mengerikan di belakang mereka. Sosok Pria tua yang membawa palu besar dan gergaji besi persis seperti yang barusan dibayangkannya. Sementara itu, kedua temannya belum menyadari bahaya yang mengintai karena mereka bahkan tidak berbalik untuk menyaksikan detik-detik saat nyawa mereka akan berakhir di tangan pria tua misterius itu.

Peter hanya bisa tersenyum simpul sambil menunduk. “Ayolah, tebakanku salah. Kita akan mati di sini.”

***

“Maafkan aku. Aku hanya sedang memperbaiki beberapa koleksi di sini. Siapa yang menyangka kalian akan ketakutan setengah mati begitu.”

Pria tua itu tertawa lebar. Ia meletakkan palu besinya di sudut ruangan yang tak bisa dibilang lebar itu.

“Namaku Hoyos,” katanya.

Sementara itu, ketiga remaja yang tadi ketakutan kini masih berada dalam fase trauma sementara. Mereka masih ingat bagaimana tadi berteriak sangat kuat hingga srolah pita suara di tenggorokan mereka hampir putus.

“Walah, kalian masih marah padaku? Lagi pula, kenapa pula kalian berani masuk ke ruangan yang mencurigakan ini? Itu sebenarnya salah kalian.”

Ketiganya tetap diam tanpa niat menanggapi.

Si Pria Tua tampaknya mengerti apa yang ada di pikiran masing-masing anak itu. Ia segera duduk dan mulai berbicara seperti seorang kakek yang akan menenangkan cucunya. “Bagaimana kalau kuberitahu satu rahasia dunia? Tapi kalian harus memaafkanku.”

Garis alis kiri Luni sedikit terangkat. Gadis itu berkedip berkali-kali, menunjukkan ketertarikannya pada ucapan si Pria Tua.

“Ini tentang asal mula dimulainya perang dunia pertama. Kalian tahu apa penyebabnya?”

“Terbunuhnya  Adipati Agung dari Austria-Este, Franz Ferdinand Karl Ludwig Josef Maria,” jawab Luni dengan semangat, bahkan sebelum pikirannya sempat menghentikannya.

“Benar. Semua orang, bahkan balita berumur enam tahun pun tahu sejarah itu. Tapi apa kalian tidak pernah bertanya apakah sejarah itu benar? Tidakkah kalian curiga bahwa ada beberapa sejarah yang disembunyikan dari seluruh manusia di dunia ini?”

Peter segera berdehem tepat sebelum Luni mulai menyeletuk kembali. Pria yang tampak selalu tenang dan rasional itu berdiri sembari menatap tajam pada pria tua bernama Hoyos di depannya.

“Hentikan, Hoyos. Kau terlalu bertele-tele untuk sebuah cerita karangan konyol.”

Sementara itu, Bima hanya bisa memerhatikan wajah ketiga orang di sekitarnya dengan degup jantung yang belum stabil.

“Kalian sudah pernah belajar tentang fisika kuantum?”

Seketika Peter terdiam dan mulai mengelus-elus dagunya.

“Apa yang mau kaukatakan? Perang dunia pertama berkaitan dengan fisika kuantum? Itu terlalu mengada-ngada. Max Planck baru menemukan dasar fisika kuantum di tahun 1918. Sedangkan perang dunia pertama dimulai tahun 1914.”

Hoyos menggeleng pelan dengan senyum misterius menghiasi wajahnya. “Itu sejarah yang kalian tahu. Nyatanya teori dasar tentang fisika kuantum sudah ditemukan bahkan sejak tahun 1870 oleh Profesor Elizabeth Anna. Di tahun 1895, dia dan timnya sudah mengerti sepenuhnya tentang pola probabilitas kuantum dan bahkan menemukan anomali Sea of The Abyss serta Imajiner Kuantum.”

“Tunggu, apa yang kalian bicarakan? Kenapa sekarang membahas fisika? Tadi kita sedang berbicara dengan perang dunia pertama, bukan?” tanya Luni bertubi-tubi. Tumpukan pertanyaan tentang istilah-istilah sains yang rumit seolah membakar otaknya.

“Ssstt!” balas Bima tiba-tiba. “Jangan ganggu Peter saat sedang membahas sains. Anak itu maniaknya.”

Luni seketika terdiam. Ia menatap kembali pada Peter dan Hoyos yang sama sekali tak melirik padanya. Seolah-olah keberadaannya hanya seonggok sampah angkasa di hadapan dua bintang raksasa yang bersinar terang. Dia pun memutuskan duduk di sebelah Bima.

“Bagaimana mungkin?” tanya Peter, berusaha membantah ucapan Hoyos.

“Yah, dari pada berpanjang lebar di sini, kenapa tidak kita mulai ceritanya? Dua temanmu itu juga pasti sudah jenuh sejak tadi. Aku akan menjelaskannya padamu setelah kita selesai membicarakan tentang hal ini. Kalau pun tidak, biarkan ‘orang itu’ sendiri yang menjelaskannya.”

Pria tua itu mulai berdiri dan merentangkan kedua tangannya. Sebuah pesona aneh muncul dari tubuhnya yang renta. Entah itu kebijaksanaan atau bukti akan ilmu pengetahuan yang luas. Pesona itu bahkan mampu membuat Peter duduk tenang.

“Kita kembali ke beberapa tahun sebelumnya tepatnya di 1883. Putra mahkota Austria, Rudolf dan istrinya Stephanie memutuskan bercerai menjalani kehidupan pernikahan yang buruk. Kalian pasti tahu ke mana kisah ini akan berakhir, ‘kan?”

Luni mengangkat tangan dan menjawab, “tragedi Mayerling.”

“Benar sekali, gadis cantik. Tragedi Mayerling tahun 1889. Saat itu, tubuh Rudolf ditemukan kaku di rumah perburuan di Mayerling bersama kekasihnya yang masih berumur 17 tahun, Baroness Mary Vetsera. Nama orang yang menemukan tubuhnya sama seperti diriku ini, Hoyos. Setelah itu kepemimpinan diteruskan oleh Karl Ludwig dan diteruskan oleh putra sulungnya, Franz Ferdinand. Dan semua orang akhirnya tahu bahwa pembunuhan terhadap Franz Ferdinand menjadi salah satu penyebab pecahnya perang dunia pertama. Namun, jauh sebelum itu, aku akan mengungkapkan sejarah yang tersembunyi.”

Pria itu menatap Luni dengan senyuman hangat.

“Bagaimana jika kukatakan bahwa Rudolf masih hidup saat itu?”

Peter membelalak, sementara Luni menunjukkan ketertarikan yang besar terhadap ucapan pria itu.

“Orang yang ditemukan mati hanya rakyat jelata yang sangat identik dengannya. Rudolf membunuhnya dengan niat untuk melarikan diri atau dengan kata lain ingin mengkhianati negara demi hidup damai bersama kekasihnya, Profesor Elizabeth Anna.

“Bagaimana mereka bisa bertemu? Itu sangat sederhana. Rudolf yang suka minum-minum dan bermain wanita setelah bercerai terkadang tanpa sengaja juga duduk berdampingan dengan Anna. Mereka membahas banyak hal, terutama tentang apa yang sedang diteliti oleh Anna saat itu, Mekanika Kuantum dan Imajiner Kuantum.

“Rudolf adalah putra bangsawan. Pendidikannya tinggi. Sangat pintar. Ia awalnya menganggap penelitian Profesor Anna hanya sebuah lelucon sampai suatu ketika perempuan itu membawanya ke lab penelitian di salah satu sudut kota. Saat itu, untuk pertama kalinya, Rudolf terkesima. Ia melihat berbagai macam dunia termasuk versi-versi lain dirinya dari bubble universe lainnya melalui proyeksi kuantum dari cabang-cabang imajiner kuantum di sebuah alat proyeksi digital yang canggih. Bahkan menurut beberapa catatan, alat itu setara dengan superkomputer di masa kini. Entah bagaimana Profesor Anna mendapatkannya.”

Hoyos menghentikan ceritanya sejenak. Ia mengambil napas dalam-dalam.

“Singkatnya, pelarian Rudolf berhasil dan semua orang tertipu. Saat itulah, ia bergabung bersama tim Profesor Anna untuk meneliti dunia Imajiner Kuantum lebih lanjut. Mereka bahkan merencanakan proyek besar yang disebut ‘Project: Batharagana’ untuk mengirim beberapa orang dari dunia utama ke dunia lain di bubble universe. Mereka mengirimkan tiga orang remaja yang bersedia menjadi sukarelawan untuk dikirimkan ke tempat paling damai di semesta. Jika eksperimen itu berhasil, maka manusia akan dapat mewujudkan utopia dan sekaligus menemukan pusat sumber daya baru yang tak terbatas.

“Namun, proyek itu gagal total. Ketika subjek eksperimen menghilang di dalam Imajiner Kuantum dan tak pernah kembali. Setelah kegagalan itu, Profesor Anna yang merasa bersalah memutuskan untuk menghentikan penelitiannya dan mulai menyerahkan harapan kepada berbagai ilmuan terkemuka saat itu. Salah satunya Max Planck.”

Luni semakin mengikuti cerita dengan seksama. Begitu pula dengan Bima. Laki-laki itu bahkan tidak bergerak sedikit pun dari tempat duduknya. Sementara itu, Peter semakin meragukan cerita yang terkesan mengada-ngada itu. Namun, di satu sisi ia justru mulai percaya karena ada begitu banyak informasi yang hampir masuk akal di sana.

“Di tahun 1907, Franz Ferdinand mengetahui tentang Rudolf yang masih hidup dan mengutus informan untuk menyelidikinya. Saat itulah, ia tahu tentang penelitian Profesor Anna. Konflik politik dan ketegangan di Eropa saat itu membuat Franz merasa harus memperkuat kedudukan Austria di dunia. Ia berpikir, dengan menguasai penelitian Imajiner Kuantum akan membuat negaranya lebih superior. Selain itu, apabila Rudolf kembali ke sisinya, maka kepercayaan rakyat akan semakin kuat dan dapat memudahkan langkah dalam menentukan strategi selanjutnya.

“Akhirnya, pada tahun 1912, Profesor Anna dibunuh secara tragis. Dan inilah awal mula seluruh tragedi perang besar di dunia.”

Peter meneguk ludahnya dengan kasar. Ia mulai merasakan perasaan yang tidak nyaman tentang ini. Ia menatap kedua temannya yang justru semakin asyik mendengarkan tanpa sepatah kata pun.

“Rudolf yang mengetahui tentang pembunuhan profesor Anna langsung marah. Ia bahkan merencanakan aksi balas dendam bersama sekelompok bawahan Anna yang setia. Ia segera membentuk tim pengintai, tim pembuat huru-hara, dan tim pelaksana yang disebut sebagai ‘Quanta’. Tim-tim itu bekerja secara tersembunyi dan melaksanakan beberapa hal besar. Salah satunya adalah memanfaatkan ketegangan antara Austria-Hogaria dengan Serbia-Bosnia, Quanta mengutus Danilo Ilić untuk mengkoordinasi kelompok enam pembunuh, salah satunya Gavrilo Princip yang membunuh Franz Ferdinand. Pembalasan dendam tidak berakhir di sana, Rudolf bahkan mengirim tim untuk mempengaruhi Kekaisaran Rusia untuk mendukung Serbia dan bahkan mempengaruhi Jerman hingga Inggris untuk ikut berperang. Saat itulah perang dunia pertama dimulai.

“Setelah perang usai, Rudolf merasa hidupnya jatuh dalam kehampaan. Ia akhirnya melanjutkan penelitian Imajiner Kuantum bersama sahabat setianya, Hoyos dan teman-temannya dari personel Quanta. Saat itu, ia bahkan bekerja sama dengan Albert Einstein hingga Schrödinger untuk mendukung penelitiannya. Meski begitu, ia tidak pernah disebutkan dalam sejarah. Orang-orang selalu mengenalnya dengan nama yang berbeda-beda. Kalau pun ada yang mengenalnya secara personal, orang itu pasti sudah dibunuh oleh Quanta. Karena Rudolf sudah bertekad untuk bekerja di balik bayang-bayang dan mengendalikan dunia yang penuh kekacauan ini.”

Setelah selesai mengucapkan kalimat penutupnya, Hoyos kembali duduk dan menatap pada remaja di hadapannya dengan ekspresi yang tidak dapat dijelaskan. Ada sedikit kesedihan, kelegaan, dan penyesalan di sana.

“Bagaimana? Apa kalian percaya ceritaku?”

Luni segera menyahut, “tentu saja! Aku sudah lama menganggap ada yang aneh tentang sejarah dunia. Kematian Rudolf sangat janggal menurutku.”

Gadis itu berbalik, menatap pada Peter yang tampak tidak puas. “Bagaimana Peter? Tadi pagi kau bilang Rudolf memang sudah mati kan? Sekarang kenyataan telah terungkap dan hipotesaku selama ini benar.”

Peter bangkit. Dengan wajah datarnya yang khas, ia mencela ucapan Luni. “Kau terlalu kekanak-kanakan. Ceritanya bahkan seratus ribu persen tidak dapat dipercaya. Ah, aku tidak percaya aku menghabis-habiskan waktu untuk mendengar semua lelucon konyol ini.”

Bima ikut bangkit sembari membersihkan celananya yang berdebu. “Kau benar, Peter. Mana mungkin itu kenyataan. Kalau memang benar, pasti ada satu atau dua buku sejarah yang mengungkapkannya.”

Luni menggembungkan pipi sambil menatap marah pada dua orang teman sekolahnya itu.

“Kalian tidak mengerti apa pun! Semua cerita Hoyos tadi pasti—“

Belum sempat Luni menyelesaikan kata-katanya, sebuah suara berat yang lain sudah lebih dulu melanjutkan, “benar adanya. Karena Rudolf yang diceritakannya ada di sini.”

Seketika Degup jantung Peter mengencang. Ia melihat seorang Pria yang jelas sangat mirip dengan Rudolf yang pernah dilihatnya di buku sejarah, bahkan lengkap pakaian bangsawan Eropa klasik yang sangat elegan. Namun, pria itu terlihat jauh lebih muda dari pada yang ada di foto.

“Ini bukan semacam pertunjukkan. Inilah kenyataan, Luni, Peter, Bima. Kalian telah terpilih menjadi personel Quanta. Akulah Rudolf. Putra Franz Joseph. Pewaris takhta Kekaisaran Austria-Hongaria.”

Ia mendekati ketiga remaja yang masih bergeming dengan wajah heran itu. “Kalian penasaran kenapa aku masih hidup? Sederhananya, aku mengubah konfigurasi kuantum di tubuhku sendiri, begitu pula dengan tubuh Hoyos sehingga kami bisa hidup selamanya.”

Peter hendak menyangkal, namun ratusan orang berpakaian militer lengkap dengan aneka senjata api segera menghentikannya. Mulutnya sempurna berhenti bicara seperti diikat karet.

“Selamat datang di timku, anak-anak baik. Mulai sekarang kita akan menggabungkan Sea of The Abyss dengan Imajiner Kuantum. Kuharap kalian belajar dengan giat agar eksperimen Batharagana ini sukses.”

Pria itu diam sejenak. Sebuah kesedihan terpancar di wajahnya.

“Kemudian, aku akan membangkitkan Anna dari kematian yang menyedihkan.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top