Sorry, Calvin
Dua tahun sudah sejak perpisahan itu berlalu, dua tahun semenjak aku terakhir kali melihatmu tersenyum dan menampilkan raut wajah sedih. Kupikir akan dengan mudah melupakan semua itu, tetapi sia - sia.Aku ingat terakhir kali kita berjabat tangan dan mengatakan, "Semoga beruntung." Aku ingat ketika kau tersenyum dan mengedipkan mata padaku. Aku ingat ketika kita tertawa terbahak-bahak hingga pipiku sakit sekali. Segala memori itu ada dipikiranku tersimpan dan terjaga. Kini kau kembali, tetapi hanya sekali. Kau kembali karena ada sebuah alasan. Alasan yang mungkin hanya terjadi satu kali dalam setahun atau mungkin dua tahun sekali, atau tidak sama sekali. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, aku ingin bertemu denganmu lagi, tak peduli apa pun resikonya.
※※※
Aku menyandarkan tubuhku dengan malas di lengan kursi panjang favoritku, sambil memegang remote tv dan memindahkannya dari satu saluran tv ke saluran yang lain. Tak ada satu pun acara tv yang benar-benar menarik perhatianku, acara malam minggu benar-benar membosankan.
Drrrtttt....
Ponselku bergetar, terlihat dari notifikasi yang muncul Sadrina mengundangku ke sebuah grup. Grup yang sejak dulu aku inginkan. Grup di mana setiap ada perihal penting pasti akan diberitahukan di sana. Namun, saat itu aku sama sekali tak mempunyai aplikasi sosial media tersebut dan lagi ponselku masih ketinggalan zaman.
Aku tersenyum, akhirnya mereka mengundangku untuk bergabung dengan grup. Eh tunggu, ada pesan lain yang masuk lagi ke ponselku. Aku melongo ketika melihat nama siapa yang tertera di sana. Itu Calvin, untuk pertama kalinya setelah dua tahun yang lalu mengirimiku pesan singkat, padahal tak biasanya seperti ini. Biasanya ia hanya akan mengirimkan undangan game melalui tautan yang bisa disebar ke seluruh kontaknya dalam waktu bersamaan.
Awalnya aku kaget, kemudian aku ragu untuk membalas pesannya. Namun ada perasaan aneh yang datang bersamaan dengan keraguan itu, perasaan rindu ini mengelayuti diriku. akhirnya demi mengusir rasa rindu ini aku memberanikan diri, dan aku berhasil membalas pesannya meskipun pesanku terlihat aneh. Dia menanyakan kabarku, setelah beberapa pesan kujawab akhirnya dia menanyakan apakah aku akan datang ke acara reuni kelas. Tentu saja dengan senang hati aku menjawab, "Iya."
Acara reuni itu yang ada dipikiranku sekarang, mengenai acara reuni pertama kalinya acara ini dapat dilaksanakan. Biasanya sulit sekali mengumpulkan teman yang sudah tinggal di luar kota. Mengumpulkan yang masih di dalam kota saja sulit apalagi yang berada di luar kota. Aku sempat berpikir apakah mereka berubah atau masih tetap seperti dulu, kuharap masih seperti dulu.
Aku tidak tahu apa pendapat mereka mengenai aku yang sekarang, dulu aku sering kena bully hanya karena aku tampak terlihat seperti anak kecil. Padahal dulu usiaku baru menginjak lima belas tahun. Bahkan dia sendiri mengatakan bahwa mungkin sekarang aku ini bagaikan gadis dua belas tahun, faktanya aku berusia tujuh belas tahun. Dia yang lebih muda sebulan dariku tampak seperti seorang pria 25 tahun. Membayangkan teman-teman lama membuatku ingin tertawa, mungkin saja ada yang terlihat semakin tua dan ada yang semakin imut.
Sebuah pesan muncul di layar ponselku, Calvin bilang dia akan menjemputku besok. Dengan begini aku tidak perlu repot harus mengeluarkan uang untuk naik transportasi umum. Hatiku begitu gembira, tak percaya rasa rindu itu kini terbalas. Namun, seketika aku ingat sesuatu, aku lupa bahwa hati ini tidak sepenuhnya terisi oleh rindu padanya. Sebagian ruang di hatiku telah tertutup untuknya.
※※※
"Mom ... aku pergi dulu!" teriakku dari luar rumah. Aku tidak tahu apakah ibuku menjawabnya atau tidak karena aku sedang berlari menuju jalan utama perumahan. Saat itu ibuku sedang memasak di dapur, jadi aku bahkan tidak sempat bersalaman dengannya.
Tidak boleh telat, dia tidak suka menunggu.
Tidak sampai sepuluh menit aku berhasil mencapai jalan utama perumahan, di sini begitu ramai tidak seperti biasanya. Banyak tenda-tenda pedagang kuliner dari ujung gerbang perumahan sampai ke ujung pertigaan, banyak kendaraan parkir sehingga aku sendiri bingung yang mana mobil Calvin. Aku mencoba menunggu, namun ia tak kunjung datang. Aku ragu bahwa ia akan datang menjemputku, bagaimana jika ia hanya mempermainkanku?
Apa aku yang datang terlalu cepat? Apa dia tidak jadi menjemputku hanya karena ada alasan lain?
Entah apa yang kupikirkan, aku selalu berpikiran negatif. Padahal aku tahu, aku seharusnya berpikir positif agar tidak berburuk sangka. Lima belas menit aku berdiri dan tak ada satu pun mobil yang menghampiriku, jujur aku sebenarnya tidak tahu dia membawa mobil apa. Sejak dulu aku tidak pernah tahu, meskipun aku adalah stalker sejati. Dia termasuk orang yang sulit ditebak jalan pikirannya, tetapi kurasa semua laki-laki sulit ditebak jalan pikirannya, kurasa begitu.
Kakiku sudah pegal, aku lelah menunggu. Jadi kuputuskan untuk menelponnya, tetapi sayang sekali dia tidak mengangkat teleponnya. Kesal, itu yang kurasakan saat ini. Aku sebenarnya tidak suka dibuat menunggu, itulah mengapa aku lebih suka membiarkan orang lain menungguku.
"Ke mana dia?" gumamku pelan.
Sebuah mobil hitam berhenti di depanku. Mungkin ini, pikirku. Ternyata bukan sesuai harapan, dari mobil hitam ini keluarlah seorang wanita yang tampak berusia 40-an.
Sial, kenapa jadi orang lain? Ke mana kau Calvin? Aku lelah berdiri.
"Emma!" seseorang memanggilku. Dari nada suaranya sepertinya dia seorang gadis. Aku menoleh ke arah suara itu dan kudapati Sadrina melambaikan tangan padaku.
"Sadrina! Akhirnya kalian sampai. Kakiku pegal sekali menunggu kalian,"ucapku sambil memeluk Sadrina.
"Dia menyetir lambat sekali." Bola mata Sadrina mengarah pada Calvin.
"Ayolah, aku tak mau yang lain menunggu kita hanya karena kalian berdua saling berpelukan seperti Teletubies," kata Calvin kesal.
Aku dan Sadrina tertawa, kemudian Sadrina mempersilakan aku untuk duduk di kursi depan sebelah Calvin. Aku memelototinya sedangkan ia hanya tersenyum sambil mengedipkan matanya. "Kata dia, kamu itu mantan terbaik," bisik Sadrina.
"Oh, ayolah!" Aku memukul lengannya pelan sebagai bentuk protes, tetapi Sadrina berhasil menghindar sambil terkekeh. Aku tak punya pilihan lain selain duduk di depan, pasalnya Sadrina sudah menutup pintu belakang dan kini ia malah tiduran di kursi untuk mencegahku duduk di sana.
Selama perjalanan, kami hanya berbincang ringan mengenai SMA, termasuk jurusan apa yang kami ambil di SMA. Sadrina mengambil jurusan IPA yang kemudian Calvin menanggapinya dengan membicarakan topik seputar pelajaran IPA yang membuatnya pusing, aku yang bukan berasal dari jurusan IPA hanya bisa tersenyum mendengarkan mereka. Menyadari bahwa aku tak mengeluarkan suara sedikit pun, Calvin pun bertanya tentang jurusan pilihanku di SMA. Ia terkejut ketika mengetahui bahwa aku mengambil IPS, dan mereka berdua malah menyayangkan pilihanku itu. Ada alasan kenapa aku mengambil IPS, pertama aku tak mau bertemu dengan Fisika dan Kimia, yang kedua aku benci rumus.
Kemudian Sadrina mengalihkan pembicaraan, "Kamu berubah, Emma."
"Eh, serius? Dikirain kalian bakal mengejekku lagi hanya karena aku seperti anak kecil." Aku memandang Calvin dan ia hanya tertawa kecil.
"Sekarang kamu gemuk ya." Calvin memegang pipiku, membuatku tak bisa menyembunyikan rona merah di sana.
"Aku berasa seperti setan di sini," ejek Sadrina sambil mengubah posisi duduknya.
"Ayolah Rina, kamu juga dulu mantan aku," timpal Calvin yang membuat Sadrina segera saja memajukan badannya ke arah celah kursi.
"Jadi intinya, kamu mau datang ke acara reuni hanya karna mantan-mantanmu hadir semua?!" ketus Sadrina. Suaranya seperti petir yang menggelegar dan aku yang berada di sampingnya nyaris terlonjak kaget.
Namun, aku tidak mengatakan apa-apa kecuali melihat mereka berdebat.
"Enggak gitu, tapi aku merindukan kalian semua."
"Bukannya kamu merindukan semua mantanmu di sini?" Sekarang sorot mata Sadrina tampak menyeramkan.
"Ya, bisa jadi," jawab Calvin dengan polos yang lagi-lagi membuat gadis itu semakin kesal.
Sadrina berdecih, ia menyadarkan tubuhnya ke kursi seraya berkata, "Kamu benar-benar menyebalkan!"
"Rina, lupakan apa yang kita bahas. Kasihan Emma dari tadi hanya memperhatikan kita," seru pemuda itu ketika menyadari bahwa aku hanya terdiam.
Aku menatap mereka sesekali, lalu tertawa pelan. "Kupikir jika kalian menikah, rumah tangga kalian tidak akan berjalan dengan bagus."
Aku tidak tahu apa yang baru saja kukatakan, awalnya kalimat itu hanya muncul di benakku dan tanpa pikir panjang aku langsung mengungkapkannya. Calvin mengangguk sedangkan Sadrina menjentikan jarinya di udara. "Itulah kenapa kami lahir di hari yang sama, karena aku bukan jodohnya, Emma."
Apa maksudnya? Perasaanku mulai tidak enak.
Saat aku menatap Sadrina dengan tatapan penasaran, gadis itu malah tersenyum sambil memamerkan giginya. Senyum yang pasti ada maksud tak menyenangkan untukku, sepertinya kalimat tadi masih ada lanjutannya. Sejauh ini belum pernah kudengar bahwa katanya sepasang manusia yang lahir di hari yang sama tidak bisa menjadi jodoh, toh aku sendiri pernah menyaksikan banyak pasangan yang lahir di hari sama bisa berakhir di pelaminan.
"Tapi ... kayanya beda lagi kalau kamu sama dia," tambah Sadrina dan lagi-lagi dengan senyuman jahil. Aku sudah menduganya akan hal ini, Sadrina sejak dulu memang suka sekali mengatakan hal-hal yang bisa membuat malu. Meski dulunya aku senang bukan main.
"Eh?! Apaan sih," hanya itu yang bisa kukatakan untuk membalas ucapan temanku ini. Kenyataannya detak jantungku tak bisa dikontrol, lagi-lagi pipi ini terasa panas. Namun, perasaan ini tidak terasa cukup meyakinkan, perasaan macam apa ini?
"Emma," panggil Calvin tiba-tiba yang membuatku langsung terkejut. Buru-buru aku menoleh padanya yang masih sibuk memperhatikan jalan.
"Masih ada tempat untukku?" Kini pertanyaan itu terasa ambigu.
"Maksudnya?"
Calvin mengerling, terdengar suara embusan napas keras. "Kamu masih suka ke aku?"
Deg
Diam, itu yang bisa kulakukan. Saat ini aku sendiri masih bertanya-tanya untuk siapa hati ini terbuka. Ruang di hati ini seakan-akan terbagi dua, dan salah satu ruangan itu menyempit hingga benar-benar tak menyisakan sedikit pun tempat. Pada akhirnya hanya ada satu orang juga satu tempat yang akan bertahan di hatiku. Seharusnya aku sudah tahu, tak ada lagi perasaan yang tersisa untuknya. Waktu membuatku lupa akan perasaan itu, waktu pula yang telah mengiris sedikit demi sedikit perasaan yang kumiliki untuknya.
"Maaf, aku udah move on." Hanya itu yang bisa kuucapkan untuk menghentikan perasaan lama yang sudah tak ingin kumiliki lagi.
❇❇❇
Cerpen ini dulunya challenge di grup kepenulisan WritersIND. Kebetulan saat itu saya mendapat genre teenfiction. Judul lamanya adalah 'I'll Remember'
Selesai : 27 Juni 2016
Selesai revisi : 4 Februari 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top