Reach Me With Your Light

Suara desingan pedang beradu tertangkap oleh telingaku, kala saudara kembarku, Nokto, mencoba melindungi kami dari tangan monster itu. Tidak, mereka bukan monster seperti makhluk menyeramkan dalam buku dan dongeng tidur. Orang-orang itu sebenarnya sekelompok pria dari komunitas ilegal yang berusaha untuk menculik kami, anak-anak dengan kemampuan sihir. Sebagai anak tertua, Nokto memiliki kemampuan berpedang yang jauh lebih hebat daripada aku. Alasannya tentu saja sebagai pewaris keluarga Neverest, dia tidak boleh gagal. Meskipun aku juga mendapat kesempatan melatih kemampuan seni berpedang, hanya saja aku tak bisa melampauinya.

Di sinilah aku, karena terlalu lemah, alhasil aku menjadi beban bagi Nokto. Monster-monster bertopeng itu terus-terusan menyerang kami, berusaha melumpuhkan kami. Jika saja waktu itu aku tak mengindahkan perkataan Nokto dan membawa serta beberapa guard, mungkin saja saat ini kami akan baik-baik saja. Aku ... benar-benar menyesal menuruti perkataannya.

Nokto berhasil melukai perut salah satu monster bertopeng, kemudian menarik tanganku untuk turut berlari. Mataku terbelalak kala tangannya penuh darah. Ini pertama kalinya aku melihat Nokto seperti beast dalam dongeng Beauty and The Beast versi gelap. Dia tidak terlihat takut, tidak pula terlihat ingin menangis seperti aku yang bahkan pipiku saja sudah basah oleh air mata.

Dasar lemah, padahal aku juga laki-laki. Tapi, aku memang lemah, aku tidak selihai Nokto.

Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku, kala saudara kembarku terus menerus berteriak memintaku untuk lari. Dalam ketakutan yang amat, khawatir jika aku dan dia mungkin saja tidak akan lagi tidur di atas ranjang hangat, menghadiri akademi, atau bahkan makan di meja makan bersama. Lebih takutnya lagi jika aku mati dan Nokto selamat, atau Nokto yang terbunuh dan aku pulang sendirian.

"Pergilah, Nicol! Selamatkan dirimu!"

Teriakan serak yang seakan-akan dipaksakan untuk keluar, menggema di telingaku. Akan tetapi, aku tak bisa meninggalkan dia. Tidak, kami lahir di hari yang sama, tumbuh bersama, dan ... masa aku harus meninggalkannya? Aku tidak mau dianggap egois. Nokto harapan keluarga Neverest, sedangkan aku bukan. Kupikir, tetap di sini membantunya akan lebih baik ketimbang pulang tanpa Nokto.

"Tidak. Aku ... tidak ... bisa—" Belum sempat kulanjutkan perkataanku, dengan tergesa-gesa aku berlari cepat mendorong tubuh si monster bertopeng yang hendak mengayunkan tongkat ke arah saudara kembarku.

Pria bertopeng itu terjengkang, kemudian dengan modal nekat aku pun melawan monster bertopeng dengan pedang milikku. Berbagai serangan yang dilayangkan kepadaku, tak bisa kulawan. Berkali-kali aku menghindar, sebab kecepatannya melebihi pelatihku. Akibatnya, aku kewalahan, hingga akhirnya terjatuh dan ujung pedang si monster bertopeng melukai kakiku. Saat itulah yang bisa kudengar selain rintihanku sendiri adalah suara umpatan dari Nokto. Namun, saudaraku terkepung.

Aku tahu tidak akan ada akhir bahagia setelah ini, sebab yang terjadi berikutnya Nokto tumbang. Pedangnya terlempar jauh, dan hal terakhir yang kuingat sebelum susah payah meraihnya adalah sebuah pendar cahaya merah keluar dari tubuhku, lalu melesat cepat ke sekelilingku. Di sanalah kulihat, Nokto bersama monster-monster bertopeng meregang nyawa akibat ledakan sihirku sendiri.

[]

"Nicol! Nicol! Sadarlah!"

Suara seorang perempuan, tamparan keras di wajahku, dan mendadak saja aku seperti tersedak hingga terbatuk-batuk, menyadarkanku kembali. Begitu aku membuka kelopak mata, cahaya silau seolah membutakan menjadi hal pertama yang menyambutku. Kemudian, wajah oval seorang perempuan muncul di atasku. Rambut cokelatnya basah, iris biru seindah langit menatapku dengan khawatir. Dari yang kulihat, penampilan perempuan itu benar-benar basah kuyup.

"Apa yang kaupikirkan, sih?! Tiba-tiba menjatuhkan diri ke sungai saat kita sedang dalam misi," ujar perempuan itu.

Ah iya, aku ingat namanya Emma. Perempuan menyebalkan yang selalu saja mengikutiku ke mana pun dengan dalih ingin mengenal semua anggota tim. Kalau bukan karena Seth dan Leonardo yang menyuruhnya untuk mendekatiku demi bisa lebih berkawan dekat, mungkin saat ini aku tak akan diselamatkan olehnya. Mungkin, aku tak perlu lagi teringat bayang-bayang tujuh tahun lalu ketika sihirku melukai orang lain.

"Ah, aku hidup, ya?" Dengan susah payah, kugerakkan tubuh dan terduduk sambil memperhatikan pakaianku yang basah.

"Tentu saja, aku baru saja menarikmu keluar dari sungai. Nicol, sebenarnya ada a—"

"Seharusnya kau biarkan aku mati," potongku cepat.

"A-apa maksudmu? Tidak bisa. Aku tak bisa melakukan itu!"

Benar, Emma tidak akan membiarkan siapa pun mati, termasuk aku. Perempuan itu selalu berusaha keras agar orang-orang di sekitarnya bisa hidup bahagia. Aku penasaran, apa aku bisa seperti dia?

"Nicol, aku ... sebenarnya aku sudah mendengar semuanya dari Seth. Tentang masa lalumu, dan ... alasanmu—"

"Mencoba melakukan hal konyol untuk mengakhiri hidup?"

Begitu aku menatapnya, mata biru perempuan itu membesar. Bibirnya terbuka sedikit seolah melontarkan kalimat. Namun, kalimat itu tak kunjung diucapkan, seakan-akan tertahan di kerongkongan. Dari raut wajahnya saja sudah jelas, ia ragu untuk mengatakannya.

"Kau ingin tahu kenapa?" tanyaku. Emma tak mengangguk maupun menggeleng, walau begitu aku tahu dia menginginkan alasannya. "Bagiku, setidaknya untuk menghilangkan rasa bersalah atas yang kulakukan pada Nokto."

"Tapi, kau tidak sengaja bukan? Sihirmu melukai mereka karena kau tidak sengaja," timpal Emma dengan kedua tangan mendekap dadanya.

"Tidak sengaja atau bukan, tetap saja aku membunuh saudaraku sendiri." Aku memalingkan muka, menatap kedua tangan dipenuhi oleh luka sayatan yang dalam masa penyembuhan. "Setiap malam, aku selalu memimpikan kejadian itu. Aku merasakan rasa sakitnya. Makanya, dengan melakukan hal-hal semacam itu, kupikir bisa menebus kesalahanku."

"Nicol, tapi kau ...." Emma terdiam, seperti ragu. "Kalau kau melukai dirimu, tidakkah kau pernah berpikir seseorang mungkin akan sangat khawatir padamu?"

Seseorang akan khawatir jika aku terluka? Aku tak pernah memikirkan itu.

"Nicol, kau menjatuhkan dirimu di sungai ini. Kau membuatku panik, dan ketakutanku akan kedalaman sungai tidak sebesar ketakutanku akan kehilangan dirimu."

"Emma, hanya dengan cara itu aku bisa menghilangkan rasa sakit ini. Rasa bersalahku."

Aku tahu bagaimanapun aku mencoba mendorong perempuan di sampingku untuk tak lagi menganggu hidupku, dia akan tetap di sana. Seperti matahari, bulan, dan bintang yang mengikuti ke mana pun kau pergi walau kau membencinya.

"Tapi bukan begitu caranya, Nicol," imbuh Emma pelan dengan nada gemetar.

Tunggu, dia menangis?

"Masih ada cara lain." Perempuan itu menyentuh telapak tanganku, lalu menggenggamnya erat.

Sebenarnya aku tahu Emma bersusah payah untuk menahan tangisan, aku bahkan bisa melihatnya dia menghela napas. Kubiarkan saja, penasaran dengan jawabannya.

"Misalnya ... me-menceritakan kegundahanmu pada orang yang sangat kaupercaya, a-atau ... pergi ke tenaga profesional."

Aku hanya mengembuskan napas pelan, kemudian memperhatikan wajah oval Emma yang sekarang tampaknya terluka. Di bawah sinar mentari, wajah perempuan ini benar-benar seperti bercahaya. Entah penglihatanku yang salah atau memang dunia sedang mencoba meraihku dengan mendatangkan Emma yang bercahaya?

"Nicol ...." Perempuan itu memanggilku dengan nada lirih.

Ekspresi wajahnya itu membuatku merasa tidak enak. Kulepaskan genggaman tangannya, lalu berdiri sambil menghadap sungai. Tempat yang kalau saja Emma tidak ada, akan menjadi tempat terakhirku mengembuskan napas.

"Emma, aku masih belum bisa mengendalikan sihirku. Kalau kau terus mengikutiku, bisa saja kau terluka."

Dugaanku, dia akan ikut berdiri dan menyanggah. Namun, yang tertangkap indera pendengarku cuma siulan burung di sekitar kami dan sungai mengalir. Sepertinya Emma benar-benar kehabisan kata-kata. Walau begitu, lagi-lagi perasaan tidak enak menggelayutiku. Aku tidak ingin melukai orang lain, baik fisik maupun mental. Kejadian tujuh tahun silam cukup memberiku trauma untuk mendekati orang lain. Setidaknya, kalau mereka tidak terlalu dekat dan membiarkan aku sendirian, tak ada lagi yang akan terluka olehku.

"Tidak ada lagi yang ingin kau katakan?" Aku melirik perempuan berambut pirang yang masih terduduk memperhatikanku. Netra birunya seolah ingin menyampaikan sesuatu, tetapi ditahan entah alasannya apa.

Emma mendengkus keras, iris birunya beralih menatap langit yang selaras dengan warna matanya. "At least, I'm here if you need someone to share your pain."

Berbagi rasa sakit?

Aku memang tidak pernah menceritakan semua kegelisahan dan mimpi buruk yang terus menghantuiku selama ini. Orang tuaku mengira jika aku baik-baik saja, itupun karena aku terus menjaga jarak. Tak ada yang benar-benar tahu mengenai perasaanku saat ini. Meskipun kemungkinan Seth dan Leonardo tampaknya mengetahui kondisiku, sebab mereka pernah dua kali memergoki ketika aku menyayat lenganku sendiri. Namun, berkali-kali pula aku menghindari mereka, sialnya malah mengirimkan seseorang yang tampak tidak mudah menyerah.

"Emma, pernahkah kau melakukan sesuatu yang tidak bisa kau dapatkan lagi?"

Kuharap dia mengerti maksudku.

Perempuan dengan rambut pirang yang sudah mulai mengering menatapku, matanya membesar seolah-olah ucapanku barusan mengenai tepat di hatinya. Entah dia akan menjawab atau tidak jika dilihat dari ekspresinya.

"Pernah." Rupanya, dia menjawab. "Aku selalu menginginkan orang tuaku kembali, tapi tidak bisa."

"Oh?" Kedua alisku terangkat, sementara Emma tertawa pelan seolah ekspresiku ini lucu.

"Dulu aku pikir ini keinginan sederhana, tapi ... ternyata semustahil itu."

Sekarang, akulah yang membelalak. Emma tidak mengatakannya secara langsung, tetapi aku tahu maksud perkataannya. Keinginannya sama sepertiku, hanya saja yang berbeda adalah dia ingin orang tuanya kembali, sedangkan aku ingin Nokto kembali.

Saat perempuan itu bergerak untuk berdiri, aku lagi-lagi seperti melihat bahwa dia memang bercahaya. Bagaikan menunjukkan sebuah perbedaan yang jelas di antara kami. Emma yang kini berada di bawah cahaya dan aku yang masih terjebak di dalam jurang gelap. Kejadian tujuh tahun lalu membuatku terjebak di dalam bayang-bayang yang mengubah hidupku, mengubah warnanya menjadi hitam putih. Warna-warni yang indah, pasti terpatri di kepalaku walau hanya berbentuk kenangan. Seandainya saja warna-warna itu kembali lagi, mungkinkah aku bisa terbebas dari rasa sakit yang amat membuatku menderita selama ini?

Senyuman hangat Emma yang kini sudah berdiri memberiku petunjuk. Ucapan perempuan itu sebelumnya kembali menghantam kepalaku. Berbagi rasa sakit, menceritakan kegundahanku, jika aku melukai diriku maka orang lain akan khawatir.

"Hei, Emma." Saat kutatap lekat netra biru langit itu, bisa kulihat keindahan yang luar biasa bagaikan kristal. "Maukah kau meraihku dengan cahayamu?"

"Hah?" Emma mengernyit, sepertinya dia tidak paham maksudku.

Kuembuskan napas pelan sebelum berkata, "Aku ingin mengubah kembali warna-warna di hidupku yang hitam putih. Kupikir ... aku bisa berbagi rasa sakit denganmu."

Secara mengejutkan, wajah Emma terlihat kaget. Memangnya ada yang salah dengan ucapanku? Lagi pula ini pertama kalinya aku meminta seseorang membantuku keluar dari rasa sakit ini.

"Bu-bukannya tadi kau bilang aku bisa datang kepadamu untuk berbagi rasa sakit?" tanyaku sembari memalingkan muka.

"Tentu saja aku akan selalu ada untukmu," timpal Emma.

Saat aku menoleh, senyum hangat menghiasi wajahnya. Perempuan itu benar-benar seperti cahaya petunjuk untukku. Aku rasa tidak ada salahnya membiarkan perempuan yang kukira menyebalkan untuk berada di sampingku. Mungkin dengan adanya Emma, aku bisa kembali melanjutkan hidup. Aku akan berusaha untuk tidak lagi mengkhawatirkan orang-orang di sekitarku celaka karena sihirku yang masih tidak terkendali. Aku akan berusaha untuk setidaknya melangkah ke jalan hidup yang baru. Biarkan luka-luka yang membekas di tubuhku ini menjadi saksinya.

[]

Pernah dipublikasikan pada 17 September 2021

Dipublikasikan ulang dan revisi pada 10 September 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top