Lazarus

[Versi belum direvisi]

Mary mencoba untuk berjinjit ketika sekumpulan orang mulai menghalangi pemandangannya. Bukan pemandangan indah sebetulnya, hanya makam tua dengan tulisan di batu nisan yang sudah tidak tampak lagi. Makam itu dikabarkan telah dibongkar oleh seseorang yang sampai saat ini masih menjadi misteri. Tak ada yang spesial dari makam tua itu, Mary bahkan tidak pernah mendengar kabar kalau di makam itu ada harta karunnya. Beberapa orang di sekitar Mary berpendapat kalau makam itu dibongkar oleh penyihir demi kepentingan ritual, padahal sudah setahun belakangan ini Departemen Sihir dan Manusia sudah mengeluarkan peraturan kalau penyihir dilarang mencuri mayat dari makam atau rumah sakit.

Mary tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana rupa makam tua itu sekarang, terakhir kali ia lihat makam itu dipenuhi rumput segar dan bunga-bunga mini. Karena kesal tidak bisa melihat makam itu dengan jelas, Mary memutuskan untuk pergi dengan menerobos kerumunan orang di belakangnya. Ia melirik arlojinya dan terkejut saat menyadari kalau tiga menit lagi jam kantor, Mary tidak suka telat. Ia memaki dirinya karena memutuskan untuk berhenti melihat apa yang terjadi di Taman Pemakaman Venue Hall, kalau saja ia tidak berhenti, sekarang ia pasti sudah berhadapan dengan berkas-berkas membosankan.

Seorang penyihir baru saja mendarat dengan sapu terbangnya tepat di perempatan jalan. Mary melirik jam arlojinya lagi, ia memekik saat menyadari waktunya tinggal dua menit. Penyihir di perempatan jalan itu membuka jasa layaknya taksi, maka dengan berat hati Mary memutuskan untuk naik sapu terbang. Sebelumnya Mary sudah pernah naik sapu terbang bersama teman penyihirnya, saat itu ia bersumpah tidak mau menaiki benda terkutuk itu lagi. Tapi saat ini ia sedang buru-buru, tak ada pilihan lain selain menaiki sapu terbang menuju kantornya.

Seolah tahu apa yang sedang dibutuhkan Mary, penyihir itu segera menaiki sapu terbangnya. "Kau mau aku antar sampai kantor?"

"Wow kau tahu apa yang kubutuhkan, tolong antar aku ke kantor Departemen Sihir dan Manusia." Mary menaiki sapu terbang si penyihir dan mereka berdua terbang cepat menuju tempat kerja Mary. Tak sampai dua menit mereka telah sampai di depan kantor Mary, ia menggambil selembar uang dan memberikannya pada si penyihir. Mary akhirnya bisa bernapas lega karena tidak terlambat, ia dengan senyuman hangat menyapa siapa saja yang ia temui.

Setumpuk berkas yang sudah berada di mejanya membuat Mary mengembuskan napas kasar, ia bosan dengan menatap kertas-kertas setiap harinya, ia ingin pindah divisi. Baru saja Mary meletakan tas di bawah mejanya, Alice datang dengan cangkir kopi dengan asap mengepul.

"Mary, kau sudah dengar kabar soal makam tua yang dibongkar?" tanya Alice sambil meletakan cangkir kopi yang asapnya masih mengepul.

"Iya, aku penasaran penyihir mana yang melakukannya," ujar Mary sambil memilah berkas-berkas laporan, tapi ujung matanya menangkap Alice yang tengah sibuk mendorong kursi.

Alice mendaratkan bokongnya dan kembali menikmati kopinya. "Menurutku bukan hanya penyihir saja yang kemungkinan bisa mencuri mayat, manusia juga bisa."

"Untuk apa?"

"Jelas untuk bahan praktek, biasanya calon-calon dokter yang tidak sanggup bayar mahal untuk membeli mayat. Oh, atau mereka yang kanibal." Alice menggerakkan cangkirnya perlahan, melihat caramel di dalam cangkir yang mulai menyatu dengan warna kopi.

"Masuk akal, tapi biasanya manusia lebih rapi kalau melakukan pencurian." Alice tertawa terbahak-bahak setelah Mary mengatakan itu. Alice bahkan nyaris menumpahkan kopinya. Mary berubah cemberut, ia kembali fokus pada berkas-berkasnya.

"Penyihir jauh lebih rapi kalau melakukan pencurian," celetuk Alice, ia kembali menyeruput kopinya dan menatap Mary yang membuat perempuan itu merasa risih.

"Kau mau mencari tahu siapa pelakunya?" Pertanyaan Mary membuat Alice mengangguk semangat. Tentu saja Alice mau mencari si pelaku, ini pekerjaannya. Setelah berita soal makam yang dibongkar, banyak orang-orang dari Divisi Pengawasan Penyihir berlomba-lomba mencari tahu siapa pelakunya.

Mary kembali melanjutkan pekerjaannya, sedangkan Alice hanya menikmati kopi dan membaca majalah lama yang ada di meja Mary. Sampul majalah itu sudah terlihat kotor karena dibiarkan di sana selama berhari-hari, juga halamannya yang banyak terlipat. Alice membuka satu persatu halaman majalah, ia tampak bosan karena majalah itu hanya berisi gambar model pria menggunakan celana pendek dan kaos santai. Dalam hati Alice mengejek selera Mary dalam memilih majalah, Mary ternyata lebih tertarik dengan majalah pria ketimbang majalah fashion wanita.

Mary mendengkus keras, lembar berkas ia lemparkan ke kardus di dekat kakinya. Berkas-berkas itu sungguh membuat Mary stres. Berkas tentang perijinan penggunaan kendaraan magis yang semakin hari semakin banyak. Mary terus bertanya dalam hatinya kenapa ia masuk ke Divisi Perijinan Kendaraan Magis padahal dia manusia, kebanyakan teman sedivisinya adalah keturunan penyihir dan hanya beberapa manusia yang masuk ke divisi ini. Saat pertama kali ia melamar kerja, Mary mengambil Divisi Pengawasan Manusia. Hanya beberapa bulan di divisi itu sebelum ia dipindahkan ke Divisi Perijinan Kendaraan Magis.

"Lebih baik mencari tahu pelaku pembongkar makam daripada berhadapan dengan ini," ujar Mary sambil mengangkat berkas ke depan wajahnya, berkas-berkas itu harus selesai sekarang.

"Kita bisa mencari tahu sambil kau bekerja," ucap Alice dengan tenang, ia mengeluarkan buku catatan kecil dari balik saku bajunya. "Nah, menurut laporan CCTV tidak merekaman saat pelaku melakukan aksinya. Aku sudah menduga pasti penyihir pelakunya karena mereka bisa menggunakan sihir untuk mematikan CCTV."

"Manusia juga bisa dengan menyadapnya, teknologi adalah sihir hitam kami." Sudut bibir Mary terangkat, ia selalu bosan mendengar Alice berkata seolah-olah penyihir yang bisa segalanya.

"Tapi tidak ada bukti kalau CCTV itu disadap," kata Alice sambil mencoret beberapa kemungkinan yang ia buat di buku catatannya.

"Jadi ini pasti ulah penyihir? Apa CCTV lain di sekitar komplek pemakaman merekam si pelaku?" tanya Mary penasaran, ia tidak ingin menuduh penyihir meskipun ia sering kali menuduh penyihir.

"Tak ada satupun CCTV di komplek pemakaman yang merekamnya, saat itu semua CCTV sepertinya dalam keadaan mati." Mary mengangguk pelan, berarti penyihir berulah lagi. Sudah lama tidak ada penyihir yang membongkar makam, biasanya manusia yang mencuri mayat untuk praktek. "Tapi kalau manusia yang mengambilnya, untuk apa? Makam itu sudah ratusan tahun, dan jelas mayatnya pasti sudah tinggal kerangkanya."

Benar juga kata Alice, makam tua itu tidak akan diincar manusia untuk dijadikan objek praktek, pasti ada sesuatu di dalam sana sampai diincar seseorang. Bukan harta karun, tapi sesuatu yang bisa membuat seseorang rela membongkar makam tua.

"Mungkin ada sesuatu yang berkaitan dengan penyihir," ucap Mary pelan.

Alice mengerutkan keningnya mendengar perkataan Mary. "Kita harus datang ke makam itu, aku penasaran ingin mencoba alat-alat baruku."

❇❇❇

Langit sudah mulai gelap, udara dingin bertiup pelan menusuk kulit. Mereka merapatkan mantel mereka agar tubuh tetap hangat. Angin malam ini jelas lebih dingin dari malam sebelumnya, setiap kali Mary dan Alice berbicara, asap putih keluar dari mulut mereka. Mary mengira musim dingin tengah pindah jadwal.

Alice mengeluarkan peralatan yang biasa ia bawa untuk mencari tahu sebuah kejadian, sebuah bola kristal yang kali ini ukurannya lebih besar. "Aku baru membelinya, kebetulan aku punya kupon diskon." setelah itu bola kristal di tangan Alice bersinar, mereka berdua berjalan menuju gerbang komplek pemakaman. Melewati beberapa nisan dan sampai di makam yang sudah kosong.

"Apa yang kau lihat?" tanya Mary ketika cahaya kristal itu berubah menjadi kabut. Beberapa detik kemudian, kabut itu menunjukkan makam tua yang masih utuh.

"Hmph, ini sulit. Kristalnya tidak berfungsi, seharusnya ada sesuatu yang terjadi."

"Penyihir?" Alice menggangguk, ia kembali mengamati bola kristalnya dan merapalkan mantra. Namun Mary yang menepuk pundak Alice terlalu keras membuat ia jadi kesulitan mengucapkan mantra. "Itu penyihir maksudku," bisik Mary.

Alice menoleh, dia melihat seorang penyihir tua tengah mengarahkan senter ke gundukan tanah di dekat pintu masuk pemakaman. Mary menoleh pada Alice, penyihir tua itu bertingkah aneh, mendatangi satu persatu makam dan meraba rumputnya. Alice mengangkat bola kristal, mengarahkannya pada penyihir itu.

"Apa yang kau lihat?" tanya Mary penasaran, ia bisa melihat kabut di dalam bola kristal, tapi hanya kabutnya saja.

"Wanita itu sering mampir ke sini," bisik Alice sambil terus mengarahkan bola kristal ke penyihir tua itu.

"Apa dia pelakunya? Dia bertingkah aneh," kata Mary pelan, ia merapatkan tubuhnya pada Alice.

"Mungkin, tapi aku tidak tahu. Aku bukan orang yang bisa melihat masa lalu," Alice menurunkan bola kristalnya ketika menyadari bahwa wanita itu menghampiri mereka.

Mary buru-buru mengambil semprotan merica dari dalam tasnya, ia takut penyihir tua itu berniat jahat. Alice tersenyum ramah pada penyihir tua itu, bola kristalnya berubah menjadi ungu. Penyihir tua itu mengarahkan senternya ke wajah Alice dan Mary, membuat kedua perempuan itu mengangkat tangannya untuk meghalangi sinar yang menyilaukan. Mary hendak protes atas ulah si penyihir, tapi melihat kekehan si penyihir akhirnya Mary memutuskan untuk menghindar.

"Apa yang kau lakukan?" keluh Alice, barulah si penyihir menurunkan senternya.

"Kalian berdua penguntit," ucapan penyihir itu membuat Mary mengernyit. "Apa yang kalian inginkan dariku?"

"Eh, kami hanya anggota Divisi Pengawasan Penyihir yang sedang mencari bukti," kata Alice gugup. Mary mencubit tangan Alice keras membuat penyihir itu mengaduh, jelas Mary bukan anggota divisi itu.

"Apa kau tahu apa yang terjadi di makam ini?" tanya Mary sambil menunjuk ke arah makam tua yang kosong. Ia memasukkan kembali semprotan lada ke dalam tasnya, Mary selalu siap sedia membawa barang-barang yang sekiranya perlu untuk perlindungan diri.

Penyihir itu berjalan ke arah makam, dia menunduk dan meraba pinggiran makam yang terbuka. Matanya terpejam dan mulutnya merapalkan mantra. Cahaya putih keluar dari ujung jari-jarinya, cahaya itu kini membentuk sebuah sulur yang merambat ke arah peti mati yang terbuka. Setelah selesai merapalkan mantra, sulur-sulur itu menghilang menyisakan aroma mawar dan pinus juga menyisakan serbuk-serbuk berkilauan. "Mmm, ini ulah penyihir kalau kalian mau tahu. Pelakunya sangat dekat dengan kalian."

Alice dan Mary menganga, rupanya pelaku sangat dekat dengan mereka. Tapi Mary masih penasaran, sebenarnya apa yang diincar si pelaku dari makam tua itu?

"Apa ada saksi?" tanya Alice tapi si penyihir sudah melenggang pergi, penyihir tua itu memetik salah satu bunga yang ada di atas makam, ia menoleh sebentar pada Alice dan melanjutkan jalan.

"Seperti dugaanku, pasti penyihir!" seru Mary, setidaknya tebakan dia tidak salah.

"Yang aku butuhkan adalah saksi, kalau ada saksi kita bisa menangkap penyihir itu." Alice memasukkan bola kristalnya ke dalam tas, ia berjongkok dan mengeluarkan tongkat sihirnya. Tongkat itu berwarna putih dengan ornamen perak yang indah, ornamen itu mengkilap ketika tertimpa cahaya dari senter yang kini sudah dinyalakan Mary.

"Harusnya kau bilang ada senter," keluh Alice. Mary menyengir lebar, ia lupa kalau sebenarnya ia bawa senter.

"Nah, coba aku hapus mantra yang ada di makam ini." Belum juga Alice merapalkan mantranya, tanah bergetar diikuti angin kenyang. Mary memejamkan matanya dan memutuskan untuk jongkok. Alice yang sedang jongkok di pinggir makam nyaris terjatuh ke dalamnya, ia segera berpindah tempat dan berpegangan pada nisan. Tak jauh dari tempat mereka, sebuah makam lain mengeluarkan cahaya merah. Ketika cahaya merah itu membungkus nisan, ledakan terjadi dari dalam sana.

Mary mengintip dari sela-sela rambutnya yang menghalangi hampir seluruh wajahnya, ia bisa melihat dari balik asap akibat ledakan seorang wanita berambut hitam dengan gaun abad 18 merangkak keluar dari makam. Alice tercengang, ada mayat hidup yang baru saja merangkak ke luar makam. Dengan cepat Alice merapalkan mantra untuk melindungi dirinya dan Mary. Cahaya putih keluar dari tongkat Alice dan membentuk kubah, seperti kain putih tipis yang mengelilingi mereka.

Wanita itu berjalan ke arah Alice yang siap siaga dengan tongkat sihirnya. Gaun hitam kusam dengan rambut yang berantakan membuat penampilan wanita itu mengerikan, ditambah wajahnya yang pucat. Langkah wanita itu agak terseok-seok, membuat dia nyaris terjatuh. Wanita itu masih membutuhkan keseimbangan setelah lama tidur di dalam peti mati. Ia tersenyum sinis saat melihat Alice tengah mengacungkan tongkat sihir padanya, maka ia berkata, "Hallo Alice, sudah lama kita tidak bertemu. Terakhir kali kita bertemu saat kau dengan senang hati merampas buku mantraku."

"Lucy, rupanya kau masih ingat. Kau juga membiarkan adikku mati dari kebakaran saat itu," kata Alice sarkastik, ia masih ingat betul bagaimana Lucy meninggalkan adik Alice di dalam kebakaran hebat yang terjadi di masa lampau. Adik Alice masih terlalu kecil dan yang bisa ia lakukan hanyalah menangis.

Lucy tertawa hambar, ia kemudian menyerang Alice menggunakan sihir berwarna merah. Sihir itu memantul begitu menyentuh kubah sihir Alice. Lucy terus melakukan penyerangan, di sisi lain ia sedang mencari celah untuk menembus kubah sihir Alice. Mary yang mengintip dibuat menganga, pasalnya ia tidak tahu kalau penyihir itu mengenal Alice. Dengan ketakutan Mary mengeluarkan pistol yang sebenarnya ia tidak bisa menggunakannya dengan baik, jaga-jaga jika penyihir dengan gaun hitam itu menyerangnya.

Tongkat sihir Alice terus mengeluarkan sihir dan menyatu dengan kubah sihirnya, ia tahu kekuatan Lucy pasti sudah meningkat sekarang. Tidur panjang adalah cara penyihir memulihkan kekuatannya semenjak penyihir itu mengalami sebuah tragedi. Lucy sendiri dulu nyaris meregang nyawa gara-gara melakukan sihir reinkarnasi pada jasad orang terkasihnya, tapi karena ia tidak cukup kuat, maka nyawa bisa menjadi taruhannya. Alice yang saat itu mencegah Lucy melakukannya memutuskan untuk memulihkan Lucy, sayangnya Lucy mengira niat baik Alice untuk kepulihannya malah dianggap sebagai aksi balas dendam. Alice memang tidak berhasil membuat adiknya bereinkarnasi, Lucy berpikir Alice tidak ingin ada penyihir lain yang bisa melakukan sihir reinkarnasi.

Ketika Alice menyadari bahwa kubah sihirnya sudah mulai retak, ia mulai memikirkan berbagai mantra serangan yang bisa menghentikan Lucy. Perempuan bersurai emas itu langsung memecahkan kubah sihirnya dan mulai menyerang. Lucy tidak mau kalah, ia juga merapalkan mantra-mantra andalannya. Ketika salah satu sihir Lucy berhasil melumpuhkan kaki Alice, Lucy membuat sayatan di kulit Alice menggunakan sihirnya. Teriakan memilukan Alice terdengar nyaring di komplek pemakaman, membuat Mary menutup telinganya dan semakin merapatkan diri di balik nisan besar.

"Kau menggagalkan sihir reinkarnasi yang hampir selesai, kau membuatku berpisah dengannya," kata Lucy dengan nada intimidasi. Lucy masih membuat sayatan kecil di kulit Alice.

Alice masih menjerit, ia memohon pada Lucy untuk menghentikan siksaannya. Air mata merembes dari kedua mata Alice, tak pernah ia merasakan sesakit ini. "Aku mohon hentikan," mohon Alice tapi lebih terdengar seperti gumaman.

Lucy menghentikan sihirnya, ia mengambil tongkat sihir Alice dan mematahkannya menjadi dua. Kemudian Lucy mengangkat Alice dengan sihir dan melemparkannya ke dalam makam tua yang kosong. Alice tidak bisa melakukan apa-apa lagi, rasa perih dari luka-lukanya membuat ia menjadi lemas, belum lagi bajunya nyaris dipenuhi oleh darah. Tas Alice yang tergelatak di samping makam kosong diambil Lucy, ia mengeluarkan semua benda yang ada di dalamnya termasuk bola kristal yang berubah warna menjadi putih.

"Dua ratus tahun terlewatkan, dan aku sama sekali tidak tahu fungsi benda-benda ini. Oh, kecuali bola kristal ini." Lucy mengambil bola kristal milik Alice, warna bola kristal itu tidak berubah bahkan saat Lucy merapalkan mantra pada bola tersebut. "Ini tidak berguna." Dia melemparkan bola kristal tersebut ke dalam makam, mengenai tubuh Alice yang terbaring di dalam peti dengan tidak berdaya.

"Seharusnya kau kembali tidur lagi saja, kau sudah memanipulasi pikiran orang lain mengira kau sudah ada sejak lama. Sampai jumpa Alice, tidur yang nyenyak." tutup peti mati bergerak sendiri dan mengunci Alice di dalamnya. Kemudian tanah di sekitar makam bergerak sendiri, menutupi peti mati. Belum sepenuhnya peti itu terkubur, suara tembakan terdengar oleh pendengaran Lucy. Ia menoleh dan mendapati Mary sedang mengacungkan pistolnya pada Lucy.

"Manusia," ucap Lucy dengan senyuman sinis.

"Aku bisa membunuhmu, penyihir!" ancam Mary, ia menekan pelatuknya dan tembakan ketiga mengenai dada Lucy. Sekali lagi Mary menembakan pistolnya pada Lucy namun tetap meleset.

Lucy tersenyum penuh kemenangan, lawannya ini tidak punya kemampuan menggunakan pistol. "Meleset," ejek Lucy.

Mary kembali menembakan pistolnya berkali-kali sampai pelurunya habis. Saat menyadari bahwa dia berada dalam bahaya, Mary mengeluarkan belati andalannya. Ia hendak melemparkan belati itu dan lari sekencangnya, namun hal tak terduga justru mengagetkan Mary. Suara tembakan lain dan pelurunya tepat mengenai dada Lucy, tempat jantungnya berada. Lucy melihat dadanya yang sudah mengeluarkan darah, kemudian ia jatuh dan kegelapan menyelimutinya. Mary bisa mendnegar suara langkah kaki, ketika ia menoleh, mendapati penyihir tua yang sempat ia kira sebagai pelaku pembongkar makam tua. Penyihir itu tidak sendirian, seorang anak kecil berambut merah mengikutinya.

"Kau baik-baik saja?" tanya penyihir itu sambil memeriksa keadaan Mary. "Sepertinya kau masih syok, jangan khawatir Lucy sudah mati."

"Kau mengenalnya?" tanya Mary dengan napas yang masih terengah-engah, jantungnya juga berpacu dengan sangat cepat.

"Ya, aku mengenal dia. Nenekku pernah bercerita tentang seorang penyihir bernama Lucy dan ia menunjukkan makamnya. Lucy, memang terkenal sebagai penyihir hitam." Mary hanya menganga, ia agak sulit mencerna apa yang dikatakan penyibir tua itu. Pikirannya masih kacau gara-gara kejadian tadi.

Peti mati dari dalam makam tua terangkat, sihir penyihir tua itu yang melakukannya. Ketika peti mati itu sudah mendarat dengan mulus di hadapan mereka, penyihir itu segera mengeluarkan Alice. Kondisinya sungguh memprihatinkan, Alice bahkan nyaris kehilangan kesadarannya. Ketika penyihir tua itu menggerakan tongkat sihirnya dan tubuh Alice melayang, anak berambut merah yang sejak tadi hanya berdiri di belakang Mary memekik keras.

"Nenek, dia yang bangkit dari kubur kemarin!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top