Born of the Mage Knight

Terik mentari menyapa padang rumput hijau yang membentang. Laju angin bercampur gelak tawa memenuhi lapangan tempat para Prajurit Akademi Kerajaan berlatih. Bizca Alrando, seorang prajurit muda Kerajaan Azterra yang kini sedang berbaring tak berdaya menjadi bahan cemoohan teman-teman seperjuangannya.

Bizca yang terbaring karena sebuah kecelakaan yang sangat tidak terduga, lapangan yang becek karena semalam di guyur hujan membuatnya terpeleset saat hendak berlari memasuki lapangan.

"Hahaha, dasar lemah."

"Hahaha, ceroboh sekali dia."

"Hahaha, si payah kembali berulah."

Dan masih banyak lagi cemoohan lainnya yang dilontarkan pada Bizca. Dirinya yang kini terduduk, dengan seragam kotor dan basah. Bibirnya menyinggung sebuah senyuman tak berdosa untuk menimpali ejekan teman-temannya, dan berlagak seolah tidak terjadi apa-apa.

"Bizca, kau tak apa?" tanya seorang pemuda berambut hitam.

"Aku tak apa Ren, hanya sedikit sakit di bagian pinggang."

Rento Kanazuki, sahabat Bizca sejak saat seleksi akademi prajurit kerajaan. Berkulit putih dengan rambut hitam berkilau, sorot mata yang tajam di tambah badan kekar membuatnya terlihat seperti prajurit kerajaan sungguhan.

"Ayo," Ren mengulurkan tangan kanannya.

Bizca menanggapi bantuan dari karibnya itu,"Terima kasih."

"Aku masih tidak mengerti denganmu, kenapa kamu bersikeras mengambil dua kelas sekaigus," tanya Rento ditengah latihan mereka.

"Bukankah sudah ceritakan padamu? Aku mengambil kelas siihir karena keinginanku sendiri, sedangkan kelas ksatria untuk menghormati keinginan mendiang ayahku yang telah tiada."

"Bukankah itu menjadi tidak efektif? Ksatria dan penyihir itu dua profesi yang berbeda sangat jauh."

"Sudahlah, ayo teruskan latihannya!"

Pedang kayu terus beradu, saling bertahan dan menyerang. Keduanya mengeluarkan teknik andalan masing-masing. Keringat yang bercucuran menemani latihan mereka berdua, hingga mentari kembali ke peraduannya.

Hari mulai gelap. Bizca dan Rento sedang berjalan di koridor menuju asrama, "Bizca, malam ini kau ada acara?"

"Tidak, kenapa?"

"Kau ingat batu meteor yang kita dapatkan pekan lalu? Rencananya malam ini aku akan membawanya ke pandai besi di kota. Aku ingin menempanya, kau mau ikut?" ujar Rento antusias. Mengingat bahwa pedang yang sering digunakan Rento sudah mulai rusak, dia ingin membuat pedang baru dengan bahan yang didapatkannya.

"Kebetulan sekali. Aku juga ingin menempa bahan yang kudapatkan. Kau sudah mendapatkan pandai besi yang bagus?"

"Batu hitam itu? Bizca temanku, itu hanya batu biasa."

"Tapi batunya bagus, ada kandungan besinya juga. Mungkin saja bisa dijadikan pedang," jawab Bizca, dia yang bersikeras membawa pulang batu hitam yang ditemukannya di hutan pekan lalu bersama Rento.

"Oke,oke. Aku dulu yang mandi ya," pungkas Rento yang langsung memasuki kamar mandi setelah mereka tiba di kamar.

Bizca yang sudah terbiasa dengan kebiasaan teman sekamarnya hanya bisa pasrah. Dia memilih untuk mengorek lemari penyimpanannya dan mencari batu hitam yang akan dia tempa di pandai besi nanti.


(***)


Jalanan kota masih cukup terang, disinari oleh lentera yang berjajar rapi di kiri dan kanan jalan. Meski sudah malam, beberapa tempat makan dan bar yang buka hingga malam masih ramai dikunjungi oleh orang-orang yang sedang melepas penat menikmati indahnya dunia malam.

Bizca dan Rento berjalan beriringan, berbekal tas punggung berisi bahan material yang akan mereka tempa nanti. keduanya terus nemapaki jalanan batu, menuju pinggiran kota.

"Ren, apakah masih jauh?" keluh Bizca, karena mereka berdua sudah berjalan cukup jauh.

"Sebentar lagi, kita tinggal belok kiri di perempatan depan dan lurus saja."

"Perempatan depan masih cukup jauh, apakah harus ke tempat itu? Tempat kita biasa memesan pedang lebih dekat kurasa."

"Ayolah Bizca. Tempat yang akan kita tuju adalah tempat seorang ahli. Aku yakin hasilnya akan mampu membayar jarak yang kita tempuh," ujar Rento meyakinkan. Bizca hanya bisa pasrah di hadapan sahabatnya. karena baginya, Rento adalah orang yang penting dalam hidup Bizca setelah kedua orang tuanya.

Jalanan mulai gelap, daerah pinggiran kota memang sedikit menyeramkan di malam hari. Bizca dan Rento berdiri di hadapan sebuah rumah yang sudah tua. Kayu lapuk dan batu yang sudah berlumut menjadi ciri khas dari rumah itu, tidak lupa dengan papan kayu dengan tulisan "Riggor Smith" yang menghiasi atas pintu.

"Kita sudah sampai. Bagaimana, tampilan rumahnya sangat meyakinkan bukan?"

"Sudahlah, ayo masuk," jawab Bizca yang sudah tidak sanggup lagi berbicara.

Rento berinisiatif membuka pintu rumah tua itu, "Permisi."

Kedatangan mereka di sambut oleh suara dentingan besi yang beradu. Udara pengap dan suhu yang panas membuat mereka seperti memasuki dunia lain. "Permisi," teriak Rento sekali lagi.

Seorang pria tua yang sedang khidmat memukul besi panas dengan palunya tak bergeming. Seperti tidak peduli dengan kedatangan dua orang pelanggan baru, dirinya tetap fokus pada besi panas di hadapannya. Memukul dan menipiskannya dengan sangat hati-hati.

Rento dan Bizca tak ingin mengganggunya. Akhirnya mereka hanya menunggu sambil memperhatikan pria tua itu bekerja.

"Ren, apakah tidak sebaiknya kita memanggilnya lagi? Hari semakin malam. Kita bisa dimarahi oleh penjaga akademi jika pulang terlalu larut."

"Ada benarnya, tapi mengganggu pekerjaan orang lain itu sangatlah tidak baik, Bizca."

"Terus, sampai kapan kita akan menunggu?"

"Hei, apa yang kalian berdua lakukan disini? Toko sudah Tutup!" teriakan itu soktak membuat keduanya kaget, mereka menghadap sosok pria tua yang sedang memicingkan mata dengan palu yang sudah terangkat.

Rento yang cepat menguasai diri mulai angkat bicara, "Selamat malam Tuan Riggor. Maaf mengganggu waktu kerjamu. Kami dari akademi kerajaan," ujar Rento sembari mengeluarkan lencana akademi kerajaan yang diikuti oleh Bizca. "Kami berdua ingin menempa pedang, kebetulan kami membawa bahannya sendiri."

Tuan Riggor yang mengetahui kedua orang pemuda itu dari akademi kerajaan menurunkan palunya. Lencana Prajurit Kerajaan dan Lencana Akademi Kerajaan mempunyai fungsi khusus selain sebagai tanda pengenal, Lencana itu bisa di gunakan di beberapa toko dan pandai besi untuk mendapatkan perlakuan khusus seperti diskon harga dan pelayanan setiap saat.

"Haah, kalian berdua bisakah bertamu saat siang hari saja. Keluarkan bahan yang kalian bawa!" ujar Tuan Riggor. Rento dan Bizca menuruti perintah Tuan Riggor, keduanya menaruh bahan material masing-masing diatas meja dan Tuan Riggor langsung menelitinya satu-persatu.

"Hmm, batu meteor ya? Akan sangat bagus jika di jadikan pedang," gumam Tuan Riggor. "Aku bisa menempanya menjadi pedang yang sangat kuat dan tajam, tapi harganya akan cukup mahal meski sudah kuberikan diskon."

Rento angkat bicara, "Tak apa Tuan Riggor, jangan permasalahkan tentang biaya pembuatannya." Rento yang berasal dari keluarga berada, anak dari seorang pedagang besar. Dia tidak akan mempermasalahkan biaya pembuatan pedang yang cukup mahal itu.

"Baiklah, aku anggap itu sebagai tanda sepakat," ujar Tuan Riggor. Kini Tuan Riggor berpindah pada sebongkah batu hitam yang dibawa oleh Bizca. Melihat raut muka Tuan Riggor yang sedikt berbeda membuat Bizca sedikit merasa khawatir dengan batu hitam yang dibawanya.

"Batu hitam ini, dimana kau mendapatkannya?" selidik Tuan Riggor.

"A-aku menemukannya di bukit batu sebelah utara."

"Bukit Alzak ya? Baiklah, senjata apa yang ingin kau buat dengan batu ini?"

"Sebuah pedang, sama seperti Rento."

"Kau yakin?"

"Memangnya kenapa dengan batu ini Tuan?" Bizca sangat penasaran dengan bahan material yang dibawanya.

"Jadi begini anak muda. Batu ini mengandung sihir, meski aku tidak tau pasti sihir apa yang terkandung di dalamnya tapi aku merasakan perbedaannya dengan bahan material yang di bawa oleh temanmu. Batu ini tidak akan cocok jika dijadikan sebuah pedang, terlalu rapuh. Meski aku bisa membuatnya, namun akan tetap tidak bisa digunakan untuk waktu yang lama. Lebih baik kau gunakan batu ini untuk dijadikan tongkat sihir atau semacamnya," tutur Tuan Riggor panjang lebar.

Bizca hanya bisa diam. Dia cukup takjub dengan penjelasan Tuan Riggor namun, penjelasan itu kini menjadi dilema yang besar untuk dirinya.

"Jadi bagaimana anak muda?" Tuan Riggor kembali bertanya.

"Tak apa, aku ingin batu itu dijadikan pedang saja," jawab Bizca yakin.

"Baiklah. Kalian bisa kembali lagi minggu depan, ini tanda terimanya," Tuan Riggor memberikan dua carik kertas sebagai tanda bukti untuk mengambil pedang mereka nanti. "Sekarang kalian pulanglah, sudah malam. Tidak baik bagi kalian keluyuran malam-malam begini," lanjutnya.

"Baiklah, terima kasih Tuan Riggor. Maaf mengganggu waktu kerjamu," ujar Rento sambil membungkukkan badannya diikuti oleh Bizca.

Setelah mengucapkan perpisahan, keduanya berbalik dan keluar dari rumah tua Tuan Riggor. Rento dan Bizca kembali di sambut oleh kegelapan dan dinginnya udara malam. Keduanya bergegas kembali ke asrama akademi kerajaan untuk mengistirahatkan diri.


(***)


Seminggu kemudian, Bizca dan Rento sedang berjalan di tengah kota dengan menenteng pedang baru mereka. "Aku tidak sabar ingin segera menggunakannya," ujar Rento senang. "Ayo segera ke lapangan. Aku ingin mencoba latih tanding denganmu."

Bizca yang berjalan di samping Rento menimpalinya dengan sedikit kesal, "Kau ingin delapan ribu yed ku melayang seketika?"

"Hahaha, maaf-maaf. Lagipula kau bersikeras untuk membuat batu itu menjadi pedang, kenapa kau tidak buat jadi tongkat saja?"

"Aku tidak biasa menggunakan tongkat. Menggunakan charm orb lebih efektif untuk merapalkan sihir bagiku," jawab Bizca.

"Oke oke, aku tidak faham soal sihir. Aku hanya ingin segera mengayunkan Silvatora-ku ini.

"Silvatora? Nama pedangmu?" tanya Bizca bingung. Bizca sudah faham dengan keanehan sahabatnya, Rento selalu menamai setiap barang-barang pribadinya. Dan menganggap mereka seolah hidup.

"Tepat sekali Bizca. Kau juga, cobalah berikan pedangmu itu nama. Konon, barang pribadi yang diberikan nama akan memiliki jiwa, dan mereka akan terus mengabdi pada pemiliknya," tutur Rento.

Bizca hanya diam tidak peduli, keanehan Rento sudah mendarah daging. Namun, diam-diam dalam benaknya dia memiliki satu kata yang tepat untuk pedang hitam yang tersampir di punggungnya, 'Arcadia'.

Di lapangan tempat para ksatria akademi kerajaan berlatih, Rento sudah asyik mengayun-ayunkan pedang peraknya. Mencoba berbagai gerakan, dengan wajah yang berbinar. Sedangkan Bizca hanya diam mematung dengan pedang hitam di tangannya. Pedang yang terasa sangat ringan itu dia coba ayunkan ke atas dan kebawah, "Ringan sekali. Mungkin benar kata Tuan Riggor, batu ini tidak cocok jika di tempa menjadi pedang."

"Sudahlah, lebih baik aku mencobanya."

Bizca mencoba seperti yang dilakukan Rento, mengayun-ayunkan pedangnya menebas udara, melakukan gerakan yang biasa dilakukan saat berlatih. Hingga beberapa saat kemudian, Bizca sudah terbaring lemas di atas rumput.

"Bizca, kau tak apa?" tanya Rento yang datang menghampiri Bizca dengan badan penuh keringat.

"Aku baik-baik saja. Namun rasanya energiku terkuras habis."

"Mungkin sarapanmu kurang, haha. Ayo kita makan, sudah waktunya makan siang," ajak Rento sembari membantu Bizca untuk bangun. Keduanya berjalan menyusuri lapangan menuju gedung asrama yang berada tak jauh dari tempat mereka berlatih.


(***)


Tiga hari kemudian, seluruh murid kelas ksatria diperintahkan untuk maju menuju medan perang. Bersama prajurit senior lainnya menuju Dataran Gorlax, tempat peperangan akan berlangsung. Menyambut kedatangan pasukan dari kerajaan Antennum bersama delapan puluh ribu pasukannya.

Bizca dan Rento juga ikut bersama rombongan Prajurit Kerajaan Azterra. Raut wajah tegang menghiasi kedua pemuda itu, begitu pula para siswa akademi lainnya. Karena yang akan mereka tuju adalah medan perang yang sesungguhnya, bukan untuk sekedar latihan tetapi perang untuk mempertahankan Kerajaan Azterra.

Menjelang malam, pasukan Kerajaan Azterra sampai di Dataran Gorlax. Para prajurit kerajaan yang sudah mengerti akan tugasnya menyebar melakasnakan bagiannya. Ada yang bagian mendirikan tenda, memasak makanan, dan menyiapkan keperluan lainnya. Prajurit akademi diperbolehkan untuk beristirahat sejenak.

"Bizca, kau yakin akan menggunakan pedang hitam itu?" tanya Rento saat mereka sedang duduk beristirahat di samping tenda.

"Semoga kau tidak lupa, siapa yang telah mematahan pedangku, Ren."

"Ayolah, aku kan sudah meminta maaf. Aku juga menawarimu membeli pedang baru, dan kau menolaknya."

"Sudahlah, aku tidak mempermasalahkan hal itu lagi. Sekarang lebih baik kita fokus pada pertempuran besok."

"Baiklah, besok jangan terlalu jauh dariku!"

Malam pun menjelang, kegelapan yang pekat memberikan kegelisahan pada prajurit kerajaan. Malaikat maut sudah menunggu mereka esok hari, mencari mereka yang setia berkorban untuk kerajaannya.

Pagi buta para prajurit sudah berbondong-bondong menyusun barisan, menanti fajar menyingsing di ufuk timur. Semua prajurit berdiri tegap melawan ajal yang bisa datang setiap saat. Meskipun ketakutan terkadang menghantui, namun tekad mereka untuk melindungi kerajaan sudah bulat. Mereka akan maju tanpa takut akan kematian.

Langit mulai terang, sinar mentari mulai menerangi langit yang tak berawan. Komandan dari pasukan prajurit Kerajaan Azterra dan Komandan pasukan prajurit Kerajaan Antennum sudah berdiri tegap diatas kuda dengan memegang pedang besar. Saat pedang itu terangkat ke udara, saat itulah perang besar akan dimulai.

Teriakan dari para prajurit menggema mengisi Dataran Gorlax. Berlari menerjang ajal, mempertaruhkan kebanggan mereka sebagai prajurit kerajaan. Pasukan dari kedua kubu kerajaan maju menerjang musuh di hadapannya. Jarak semakin menipis, bentrok pun tak terelakan lagi.

Erangan kesakitan, suara dentingan pedang yang beradu, darah yang berceceran, dan debu yang membumbung, mewarnai kerasnya pertempuran. Pasukan yang semula membentuk formasi mulai tercerai berai. Beberapa prajurit memilih untuk mengamuk dengan mempertaruhkan nyawanya.

Rento dan Bizca, dua pemuda dari Akademi Kerajaan Azterra ini mulai terseret ke samping. Keduanya saling bahu membahu menghalau prajurit musuh yang datang silih berganti. Tak terhitung jumlah korban yang telah mereka berdua tumbangkan.

Rento dengan pedang meteornya yang tajam mampu merobek zirah tebal, sementara Bizca mengakhiri dengan menusukkan pedangnya melalui celah yang tidak terlindungi oleh zirah besi lawannya.

"Ren, kau masih kuat?" tanya Bizca di tengah pertarungan mereka.

"Tidak perlu mengkhawatirkanku!" Rento terus mengayunkan pedangnya, menangkis dan menyerang. Lawan yang datang silih berganti seperti tak memberikan waktu untuk Rento dan Bizca untuk bernafas, tentu saja hal itu memberikan dampak stamina yang cepat sekali terkuras.

Pedang terus beradu, darah segar terus berceceran, menggenang memenuhi Dataran Gorlax.

"Ren, sebaiknya kita mundur. Kita berdua sudah terpisah jauh dari formasi awal," ujar Bizca yang sudah terengah-engah. Menyandarkan punggungnya pada Rento dengan pedang hitam yang siaga di depan dada.

"Ide bagus. Kita harus mengatur ulang strategi," balas Rento. "Pasukan Kerajaan Azterra mulai terpukul mundur."

"Jadi? Ke mana kita sekarang?"

Rento memicingkan matanya, mengamati sekitar dengan seksama, "Kiri!"

Rento bergerak terlebih dahulu, dengan menaikan pedang meteornya setinggi dada serta mengapitkan lengannya ke arah dalam guna melindungi tubuh bagian sampingnya, dia berlari lurus menerjang kerumunan lawan yang menghadangnya. Bizca yang tidak tinggal diam, memberikan bantuan pada Rento. Mengikutinya dari belakang, Bizca menepis serangan yang datang dari samping.

Jumlah pasukan Kerajaan Antennum yang padat membuat keduanya susah bergerak. Beberapa kali Rento dan Bizca harus berhenti karena dihadang oleh beberapa orang yang menargetkan mereka. Stamina yang mulai menipis membuat pergerakan mereka mulai melambat, tenaga yang dikeluarkan sudah mulai habis.

Keadaan yang mendesak ini membuat mereka kewalahan, ingatan tentang kematian pun kian menghantui keduanya.

"Bizca. Jika aku mati hari ini, aku akan mewariskan Silvatora ini padamu. Jaga dia dengan baik ya," ujar Rento dengan nafas yang hampir habis.

"Lebih baik kau diam Rento! Fokus pada lawanmu saja."

"Ahaha. Pokoknya aku sudah memberikanmu warisan, jaga dengan baik!"

Bizca tak lagi menanggapi Rento, dia lebih mementingkan lawan di hadapannya. Nafasnya yang semakin berat membuat pandangannya semakin buram, belum lagi ditambah keringat dan cucuran darah, membuatnya sulit untuk mengikuti pertempuran. Sekuat tenaga Bizca mengimbangi gerakan Rento yang cepat.

Kakinya mulai goyah, Bizca mulai merasakan panas yang teramat menghantam dadanya. Pedang hitamnya yang ringan seakan terasa berat untuk diayunkan. Bizca hampir mencapai batasnya.

Melihat kelengahan Bizca, seorang prajurit Kerajaan Antennum mengayunkan pedangnya pada leher Bizca yang terbuka. Sebuah ayunan pedang yang keras dan cepat, membelah angin menuju tumpukan daging yang siap untuk ditebas.

Melihat sahabatnya yang akan menemui ajal, Rento tidak tinggal diam. Dia berlari menyongsong karibnya yang masih tidak menyadari akan serangan dari prajurit Kerajaan Antennum itu.

"BIZCAAA!"

Kesadaran Bizca pulih seketika, mendengar teriakan yang memanggil namanya. Bizca menoleh, dan disanalah dia menemukan pemandangan yang sangat memilukan. Rento, sahabat karibnya menghalau serangan itu dengan tubuhnya. Darah segar mengucur deras membasahi zirah besi Rento.

Bizca meraih Sahabatnya yang mulai roboh, memeluknya bagai sebuah barang berharga. "Ren, Rento! Sadarlah Rento!"

"Kau masih saja lengah kawan."

"Kau benar Rento, aku lengah saat perang. Maafkan aku," air mata yang tak terbendung karena melihat sahabatnya sekarat mulai mengalir membasahi pipi Bizca.

"Uhuk, sepertinya ini waktuku," ucap Rento lirih. "kau ingat janjimu, tolong jaga Silvatora dengan baik."

"Tidak Rento, kau masih kuat. Kau harus bangun. Perang belum selesai Rento!"

Rento membalasnya dengan sebuah senyuman, badannya mulai terasa dingin. Dengan tenaga terakhirnya dia berkata, "Ja... ga... diri... mu, Biz... ca."

Matanya tertutup dengan senyuman yang masih setia menggantung indah di bibir tegas Rento. Saat itu juga, Rento Kanazuki seorang Siswa kelas Ksatria Akademi Kerasaan Azterra menemui ajalnya di Dataran Suci Gorlax.

"Tidak, Rento!"

"Ayo bangun kawan!"

"Kita kembali ke kemah, kembali ke pasukan kita!"

"Rento, bangun Rento."

"Rento!"

"RENTOOO."

Dadanya sesak, tangisan yang sudah tak bisa dibendung lagi. Kehilangan seorang sahabat yang sangat dekat membuatnya sangat terpukul. Bizca bangkit dengan menggenggam pedang perak milik Rento, "Kawanku, aku pinjam pedangmu. Aku akan menyelesaikan perang ini dan membawamu pulang."

berdiri tegak dikelilingi oleh prajurit Kerajaan Antennum yang siap mengayunkan pedangnya kapanpun. Bizca mengangkat kedua pedangnya ke udara. "Jika benar kalian akan hidup saat diberikan nama, maka bangunlah, penuhi panggilanku dan menarilah bersamaku!"

"SILVATORA!"

"ARCADIA!"

Udara di sekelilingnya mendadak panas bercampur dingin, angin yang bercampur butiran pasir mulai berembus kencang memutar menjadikan Bizca sebagai porosnya. Pedang Hitam Arcadia dan Pedang Perak Silvatora bersinar, mengeluarkan tekanan yang berat pada lawan di sekelilingnya.

Bizca menurunkan tangannyanya, memposisikan kedua pedang itu menyilang di depan dada. Matanya berkilat memancarkan dendam yang teramat. Bibirnya tak henti bergumam, membacakan sebaris mantra.

"del esmei cel rei elemental, ev kei shavillo nizia. ENCHANT."

Pedang hitam kini diselimuti oleh aura biru pekat, memberikan hawa panas yang mampu membakar kulit. Sedangkan pedang perak yang diselimuti aura putih bersih membawa hawa yang dingin mengigil.

Bizca bersama dua pedangnya maju menerjang lawan di hadapannya. Satu tebasan mampu membuat lawan yang dilaluinya terbakar dan membeku. Bizca mengamuk melepaskan semua amarahnya, hingga pasukan Kerajaan Antennum dibuat mundur karena kengeriannya.

Kejadian ini dimanfaatkan oleh pasukan dari Kerajaan Azterra untuk bisa memukul mundur lawannya. Prajurit yang mulai kelelahan seperti mendapat suntikan stamina, menyongsong kemenangan yang akan mereka raih. Teriakan semangat kembali menggema di Dataran Gorlax.

Dengan mundurnya Pasukan Kerajaan Antennum, itu pertanda bahwa Pasukan Kerajaan Azterra menang dalam perang dan berhasil mempertahankan kerajaannya. Sorak-sorai kegembiraan menghiasi para prajurit yang masuh bertahan hidup.

Kegembiraan itu tak berlangsung lama, berganti kesedihan akan teman dan rekan seperjuangannya yang gugur di medan perang. Para prajurit yang masih hidup, bahu membahu mengangkat jasad rekan mereka yang gugur. Mengumpulkannya untuk dimakamkan dengan layak.

Seorang Prajurit Akademi yang masih bertahan hidup, menemukan Bizca yang tergeletak tak sadarkan diri disamping jasad Rento dengan pedang hitam dan pedang perak yang masih digenggamnya. Matanya terpejam dengan damai, wajah yang penuh dengan darah dan keringat yang bercampur, disertai sebuah senyum kebahagiaan yang terpatri di bibirnya.

Saat itu pula sebuah legenda baru terlahir, seorang Kesatria Sihir yang mampu membuat Daratan Gorlax bergetar dengan amukannya. Seseorang yang dahulu dilecehkan, kini menjadi seorang pahlawan. Seseorang yang dahulu tidak berguna, kini membawa kedamaian bagi kerajaannya. Seseorang itu, Bizca Alrando Sang Ksatria Sihir.


Bunga keadilan yang mekar ditengah kejamnya peperangan.

Tumbuh indah di atas genangan darah.

Bersama tekad yang mulia.

Menebarkan kedamaian bagi mereka yang berdiri disekitarnya.



With Pride Sakura Hanatsuki

Head of Sakura Dormitory

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top