50. Tahun Baru Lembaran Baru
= Banjarmasin, 2036. Beberapa menit sebelum pergantian tahun =
Yunida mengelus pipi Faisal dengan hati pilu. Andai boleh bangun, pasti sudah ia peluk lelaki malang yang tersesat dalam kubangan dendam.
"Jadi itu yang bikin Abang nggak mau datang ke Semarang? Kepergian Yun dan perselingkuhan mamamu?"
Faisal mengangkat bahu. "Mungkin."
"Kok mungkin? Kamu terus berkelit. Itu nggak baik. Ayo hadapi dirimu sendiri, Bang!"
Faisal mengerjap. Agaknya ia memang harus mendapat istri super judes supaya sanggup membuatnya sadar saat mengacau. "Iya," jawabnya lemah.
"Terus apa hasilnya mendendam selama enam belas tahun, Bang?"
Mata Faisal melebar. "Dendam?"
"Iya, dendam. Apa lagi kalau bukan dendam? Eh, lebih enam belas tahun, ya. Sejak kapan mama Abang selingkuh?"
Faisal kontan melengos. Dalam hati, ia membenarkan perkataan Yunida. Tapi mana mau ia mengaku begitu saja? "Nggak usah diingat-ingat!"
Yunida berdecak. "Sudah dalam posisi salah pun Abang masih mau menang sendiri!"
Faisal kembali menatap Yunida. "Eh?"
Ia cuma dijawab dengan cibiran panjang.
Yunida tetap tancap gas. "Ngomong-ngomong, selama tiga hari menghilang itu Abang ke mana aja?"
"Mau tahu aja!"
"Abang!" tukas Yunida.
"Aku ke makam Papa, lalu tidur di hotel."
"Di hotel? Ngapain?"
Pipi Faisal merona. Ia pun kembali melengos.
"Abang!" tegur Yunida.
Faisal berdecak kesal. Agaknya, tak ada tempat untuk sembunyi dari seorang Yunida Akmal. "Aku butuh tempat yang tenang buat menangis."
Yunida tidak tertawa. Ia tahu, Faisal pasti sangat terpukul saat itu. Ia tidak mungkin menangis di rumah atau di tempat lain. Hotel memang pilihan yang aman.
"Mahal banget ongkos menangismu, Bang," komentar Yunida sambil tersenyum.
Faisal mengangkat bahu. "Aku susah payah mengumpulkan uang untuk Yun. Lalu tiba-tiba orang yang aku perjuangkan nggak ada. Uang itu lantas kehilangan arti, Nida."
"Ntar kalau menangis lagi nggak usah boros. Ada bahuku, Bang. Gratis!"
Faisal terkekeh, namun suara tawanya aneh dan sumbang. Hal itu karena dadanya seperti diseruduk gajah. Kata-kata Yunida memang konyol, tapi sanggup merengkuh hatinya dengan sangat erat. Ia seperti melihat kasih sayang semesta tengah tertayang di hadapannya. Dunia kelabu yang selama ini terbentuk akibat dendam, tersingkap begitu saja, berubah menjadi terang benderang. Untuk pertama kali dalam enam belas tahun ia merasa damai.
Setelah suara tawa sumbangnya habis berganti keheningan, air mata Faisal mulai menggenang kembali. Kali ini bukan karena sedih, melainkan menangisi kebodohan yang terjadi selama belasan pasang musim, dan sekaligus bercampur rasa haru karena menemukan tujuan hidup baru.
"Aku bersyukur ketemu kamu, Nida." Dielusnya dengan sayang kening Yunida. Dalam hati ia telah bertekad bahwa kepada gadis inilah ia akan memberikan seluruh hatinya.
"Bang, karena kepergian Yun juga kamu ambil psikiatri?"
Faisal mengangguk. "Iya. Kamu nggak kecewa karena itu, kan?"
"Enggaklah. Aku ketemu jodoh di psikiatri."
"Semoga bukan Arman yang kamu maksud."
Sebuah cubitan mendarat di pipi Faisal.
"Orang kok gini amat bedungilnya! Gimana anakmu ntar, Bang?" protes Yunida.
Mata Faisal kontan berbinar. Tatapan syahdu itu membuat pipi Yunida merona merah. "Anakku akan mirip kamu, Nida," ujarnya lembut.
"Tapi ...? Ada tapinya nih pasti."
"Bukan 'tapi', 'makanya'. Makanya jangan judes-judes biar anakmu ntar nggak judesin kamu."
Yunida tidak menjawab. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Abang sempat lama tinggal di rumah Bu Suryani? Ngapain aja di kamar Yun?"
"Enggak, cuma dua malam. Sesudah itu, aku langsung balik ke Jakarta."
Faisal teringat masa itu. Ia membuka barang-barang pribadi Yun dan menemukan jejak kebersamaan mereka. Ia tidur memeluk guling Yun, menyesap kenangan akan gadis itu. Malam itu pula, ia memutuskan untuk mengambil kuliah kedokteran dan akan lanjut menjadi psikiater. Semoga sebelum mati, ia bisa menggunakan hidupnya untuk menolong orang-orang seperti Yun.
"Nggak mampir dulu ke rumah mama dan papa?"
Faisal menggeleng. "Aku nggak pulang sejak saat itu. Baru pulang setelah diterima jadi dosen. Tapi waktu itu, Papa dan Mama udah pindah ke Semarang, kota asal papa tiriku."
"Ya, ampun. Kok tahan, sih, musuhan selama itu?"
Faisal kembali mengangkat bahu.
"Aku serius, Bang. Ini demi kebahagiaan Abang sendiri. Jangan jadi orang kejam."
"Aku kejam?" Suara Faisal meninggi walau mulutnya tersenyum. Cacian Yunida, entah mengapa terdengar bagai pernyataan cinta.
"Iya. Kamu nggak cuma kejam pada mama dan papamu, tapi juga kejam pada diri sendiri. Kapan Abang mau memaafkan diri sendiri?"
"Aku nggak punya masalah sama diri sendiri. Kalau sama Mama dan Papa sih, iya."
"Orang yang nggak punya masalah sama diri sendiri itu nggak bisa disakiti sama orang lain, Bang."
"Sok tahu!" sergah Faisal, namun ia tersenyum lebar. "Kamu sendiri juga punya masalah, kan? Buktinya tadi pagi ngambek."
Wajah Yunida memerah kembali. "Tapi aku udah nggak ngambek sekarang!"
Alis Faisal terangkat. "Ahaaaa! Jadi masa jedanya udah selesai!" serunya, girang selangit. Kontan saja, pipinya kembali kena cubit.
Perdebatan itu terhenti saat terdengar sirene pertanda tahun baru 2037 telah datang.
"Selamat Tahun Baru, Nida." Faisal mengecup pipi kekasihnya.
"Selamat Tahun Baru, Bang," balas Yunida.
"Papamu enak banget tidurnya. Perlu dibangunkan, nggak?"
"Ah, jangan. Kasihan. Papa kecapekan."
Faisal tercenung. Ia teringat ayah dan ibunya. Diambilnya ponsel, lalu pamit keluar ruangan.
"Mama?" panggilnya.
"Faisal?" balas suara parau dari seberang.
Jantung Faisal berdenyut kencang. Entah mengapa, ia merindukan wanita ini. "Iya, ini aku. Mama udah tidur?"
"Belum. Tadi nungguin tahun baru. Selamat Tahun Baru, Sal."
"Selamat Tahun Baru, Ma. Mama sehat?"
"Yah, masih seperti biasa. Kadang ngedrop, kadang sehat."
Sejenak, tak ada suara dari keduanya.
"Mama, aku minta maaf," bisik Faisal sesaat kemudian.
Terdengar desahan lirih dari Widya. "Iya. Mama mengerti. Kamu nggak harus pulang."
Faisal semakin berdebar. "Ah, aku bukan minta maaf karena nggak bisa pulang. Aku minta maaf karena udah marah ke Mama selama enam belas tahun."
Tak ada balasan, hanya terdengar isakan lirih.
"Ma, Mama? Mama nggak pa-pa?"
"Terima kasih, Faisal," jawab Widya. Ia kembali sesenggukan. "Mama juga minta maaf sama kamu. Mama sudah bikin orang yang kamu sayang meninggal ... sudah mengkhianati papa kamu. Maafkan Mama, Faisal."
"Aku udah maafkan Mama."
Widya terisak. "Terima kasih, Nak. Mama selalu sayang kamu."
Ada rasa damai yang hangat menyusup ke dalam kalbu Faisal. Hatinya ringan sekali. Rasanya, ia sanggup tersenyum pada segala hal.
"Aku juga sayang Mama," bisiknya. Akhirnya kata yang dikubur bermusim-musim itu tercetus juga. Mengucapkan kata sayang itu ternyata membuat dadanya mengembang dan banjir kasih. Tiba-tiba, ia ingin mengatakannya ribuan kali. "Aku sayang Mama," bisiknya lebih lirih, disertai air mata yang meleleh tanpa terasa karena kali ini, segenap jiwanyalah yang menyuarakannya.
Widya tersedu. Beban berton-ton telah terangkat dari bahunya. "Mama seneng banget. Mama siap dipanggil kapan saja kalau begini. Cuma maafmu yang Mama tunggu, Faisal."
Air mata Faisal turun semakin keras. Yunida benar ia sudah menjadi orang kejam selama belasan tahun.
"Jangan meninggal dulu, Ma. Ada yang mau aku kenalin ke Mama."
"Siapa?"
"Bentar. Kita pindah ke video call, ya."
Faisal menyeka air mata, lalu masuk ke kamar, dan menghubungi Widya melalui vidcall. Yunida kontan panik.
"Bang, gimana mukaku? Kok nggak bilang-bilang dulu?"
Fasial cuma menjawab dengan decakan. "Nah, udah tersambung. Hai Ma, Pa! Kenalin, ini Yunida Akmal. Panggilannya Nida."
Dua wajah antusias di seberang sana melambai di depan kamera. "Hai, Nida. Kamu sakit?"
"Oh, iya, Tante. Saya kecelakaan tadi pagi."
"Oh, ya? Parah?"
"Ah, enggak. kok. Cuma pingsan sebentar, tapi harus opname buat jaga-jaga."
"Syukurlah. Jangan panggil tante. Panggil mama, ya?"
"Iya, Ma."
"Makasih udah mau menjaga anak Mama. Mama titip Faisal, ya, Nida."
Yunida meringis. "Saya pasti jagain Abang baik-baik, Ma."
"Ma, nanti kalau Nida udah sembuh, aku ajak ke Semarang," ujar Faisal.
Baik Ismet maupun Widya mengangguk sambil berkaca-kaca.
"Papa dan Mama menunggu kalian."
Faisal tahu kondisi ginjal ibunya sebenarnya memburuk. "Ma, jaga kondisi sampai kami datang, ya."
"Iya, Faisal. Mama akan jaga kondisi."
Faisal paham, ibunya hanya menghibur saja. Namun, ia tetap tersenyum dan mengangguk, berharap masih bisa berjumpa dengan wanita itu dua minggu lagi.
"Aku sayang Mama," ujarnya. "Kalau Nida udah stabil dan bisa ditinggal, aku usahain ke Semarang secepatnya. Tapi Nida kayaknya harus pemulihan dulu dua mingguan, baru bisa diajak ke sana."
Yunida sampai berkaca-kaca karena keheranan sekaligus terharu. Ia baru sadar telah terjadi peristiwa besar dalam hidup Faisal saat ini. Dan, ia bahagia menjadi bagian dari perubahan itu.
"Bang?" panggil Yunida seraya meletakkan tangan di bahu lelaki itu.
Faisal menyimpan ponselnya, lalu menoleh. "Ya, kenapa?"
Yunida meringis sejenak, lalu menggigit-gigit bibirnya. Faisal menjadi gemas.
"Wah, kalau gayamu begini, biasanya mau ngomong yang nggak bener," tuduhnya. "Syahrini mau minta apa?"
Mulut Yunida kontan manyun. "Syahrini ... apaan, sih?"
Faisal melipat tangan di depan dada. "Hmmm ...."
"Aku cuma mau bilang, aku akan jagain Abang sebaik Yun jagain kamu, Bang."
Mata Faisal membulat. Sebuah sengat mematikan dari Yunida telah melecut gairahnya. Detik berikutnya, bibir mereka menyatu, daaaaan ... masa depan yang terang benderang pun terbuka di hadapan keduanya.
===TAMAT===
Legaaaa udah tamat!
Makasih buat yang dukung kisah ini dengan vote dan komen.
❤️❤️❤️
Mau cerita maraton lagi?
Yuk mampir di akun Fura di KBM, namanya bijibayam. Judulnya Ibu untuk Bitha, free sampai tamat.
Jangan lupa follow bijibayam di KBM, subscribe, vote, dan klik love.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top