41. Tak Berdaya
= Jakarta, 2021 =
Di rumah kakeknya di Jakarta, Faisal kalang kabut. Sudah beberapa hari Yun tidak menjawab panggilannya. Pesan teks pun hanya dibaca, tidak dibalas. Pasalnya mereka sempat bertengkar.
Semua bermula ketika Faisal merasa perilaku Yun terlihat semakin aneh. Gadis itu sering tidak fokus. Baru bicara satu hal, tiba-tiba berubah topik. Lantas yang paling mencemaskan adalah kecurigaannya pada segala macam hal. Dari mulai teman sekantor yang meremehkan dirinya, hingga kepala Puskesmas yang katanya mengerikan bak nenek sihir.
"Yun, mana obatmu? Aku mau lihat sisanya," ujar Faisal saat video call malam itu.
Yun merengut. "Kamu curiga terus. Aku minum rutin, kok."
"Iya, aku percaya. Aku cuma mau lihat. Kenapa nggak boleh?"
"Itu sama aja kamu nggak percaya aku, Faisal." Mulut Yun semakin manyun.
"Bukan begitu. Aku sayang kamu, makanya aku mau lihat obatmu. Kan kata Bu Sur obat itu masa depanmu. Jadi, aku mau lihat masa depanmu, cerah apa enggak," bujuk Faisal.
Dengan mulut masih manyun, Yun akhirnya menunjukkan kantong obatnya ke depan kamera. "Ini! Udah berkurang, 'kan?"
Faisal hanya bisa mendesah. "Kalau begitu, yuk diminum sekarang, aku mau lihat," ujar Faisal, mengikuti ajaran Suryani.
"Aku udah minum sebelum kamu vidcall," kilah Yun.
Faisal menjadi kesal. Ia berharap Yun tertib minum obat. Kalau begini, ia tidak tahu obat itu benar sudah diminum atau tidak. "Aduuuh, kenapa kamu minum duluan? Aku kan udah bilang tunggu aku vidcall baru minum," tegur Faisal agak keras.
"Kok kamu nggak percaya aku, sih?" keluh Yun. "Aku minum beneran, kok."
"Yun, aku nggak suka kamu begini. Obat itu demi masa depan kamu sendiri!" Suara Faisal mulai meninggi. Matanya menatap tajam. "Kamu seharusnya merawat diri sendiri, Yun. Kalau udah tahu harus minum sesuai dosis, ya harus dilakukan, dong!"
"Aku tahu apa yang aku butuhkan, kok. Kamu nggak usah curigaan begitu!" Yun ikut sewot karena dimarahi Faisal. Tatapan tajam Faisal menusuk tepat ke jantungnya.
"Aku nggak curigaan. Tapi kamu memang pernah curang minum obat. Gimana aku bisa percaya begitu aja?"
Yun juga kesal terus menerus dicecar soal obat. "Faisal, bisa nggak kita ngomong hal lain aja? Aku pusing kalau terus-terusan membahas obat."
"Enggak. Sekarang ini yang paling penting buat kamu adalah minum obat, Yun. Ayo dong, sadar!"
"Kapan sih, kamu percaya sama aku?"
Faisal ngotot. Rasa cemas membuatnya bersikap keras. "Aku baru percaya kalau kamu udah minum di depanku! Ayo, dong, jangan seperti anak kecil begini, Yun!"
Yun semakin kesal. Semua orang yang ia kenal di Pegatan seperti menekan dan memandangnya aneh. Sekarang Faisal juga marah-marah. "Aku bukan anak kecil! Kamu perlakukan aku seperti anak TK! Yang anak kecil itu kamu! Aku udah lulus sarjana. Kamu kan masih SMA."
Diungkit-ungkit statusnya yang masih SMA, Faisal tidak terima. "Kalau bukan anak TK, seharusnya kamu tahu, nggak boleh curang minum obat seperti ini! Aku memang masih SMA, tapi paling enggak aku tahu mengurus diri sendiri!"
Yun mulai berkaca-kaca. "Kamu pikir aku nggak bisa mengurus diri sendiri? Sampai minum obat aja harus ditunggui? Kamu segitunya meremehkan aku, Faisal."
Faisal terkesiap melihat air mata Yun meleleh. Ia tidak bermaksud membuat ceweknya menangis. Ia keras karena terlalu mencemaskan kesehatan Yun. "Yun, bukan begitu maksudku. Aku sayang kamu. Aku kepingin kamu sehat terus. Kamu mulai aneh akhir-akhir ini. Karena itu, aku pikir kamu nggak minum obat sesuai dosis lagi."
Yun sesenggukan. Ia sadar dirinya lemah dan rapuh. "Aku memang aneh, kok. Aku memang cuma bisa bikin kamu cemas. Aku nggak bisa bikin kamu bahagia, cuma jadi beban kamu."
"Aku minta maaf. Aku nggak bermaksud menyakiti perasaan kamu."
"Tapi kamu marah-marah terus beberapa hari ini, Faisal. Kalau kamu udah bosan sama aku, bilang aja. Aku ... aku nggak pa-pa kok kalau kita putus."
Mendengar kata putus, rasa panik kontan merayapi hati Faisal. "Aku nggak marah. Aku khawatir sama kamu!"
Suara tangis Yun semakin keras. Tak lama kemudian, Yun memutus sambungan dan hubungan. Ratusan pesan teks dan panggilan tak terjawab memenuhi ponsel gadis itu, namun ia malas menanggapi.
Faisal kalang kabut sendiri. Ia menghubungi Suryani, mengabarkan tentang perkembangan Yun.
"Ibu juga terus kontak dengan Yun, Faisal," sahut Suryani. "Iya, benar apa yang kamu bilang. Dia berubah. Ibu juga khawatir dia kambuh."
"Dia mau menerima telepon Ibu?"
"Beberapa hari yang lalu, Yun masih mau menyambut. Tapi tadi pagi Ibu telepon kok enggak diangkat, ya. Ibu malah mau tanya soal ini sama kamu."
Beban di hati Faisal semakin menggumpal. "Kami bertengkar, Bu. Maaf."
Suryani tertegun. "Kalian bertengkar soal apa?"
"Soal minum obat. Dia marah karena saya paksa."
Suryani lemas. "Ya, sudah. Nggak pa-pa. Lain kali bicaranya lebih halus, ya?"
Mulut Faisal menjadi kering. "Bu, saya harus gimana? Apa saya datang ke Pegatan, ya? Saya bisa minta izin dari sekolah. Besok saya langsung berangkat."
Inilah yang dikhawatirkan Suryani. Faisal bisa saja nekat pergi dari Jakarta untuk mencari Yun. Nyali yang besar dan uang yang tebal. Apa yang bisa menghalangi anak itu?
"Faisal, beberapa hari lagi kamu ujian kelulusan. Jangan membuat kehebohan. Nanti orang tuamu panik, lalu Yun pula yang menanggung akibatnya."
"Tapi, tapi saya nggak bisa membiarkan dia sendirian di sana dan menjadi parah, Bu!"
"Sudahlah, kamu fokus untuk ujian saja. Kamu masih ingin membawa Yun ke Bandung, kan?"
Diingatkan akan tujuan hidup itu, Faisal termangu. "Iya, tapi ...."
"Kamu tetap di Jakarta buat persiapan ujian. Biar Ibu yang berangkat ke Pegatan."
Hati Faisal sedikit lega, namun sekaligus merasa tidak enak. Untuk mencapai Pegatan, Suryani harus menempuh perjalanan 4 jam ke Palangka Raya, lalu lanjut 1,5 jam ke ibukota Kabupaten Katingan, Kasongan. Setelah itu perjalanan akan diteruskan melalui air selama 5 jam. Karena kapal ke Pegatan tidak setiap saat tersedia, Suryani harus menginap dulu di Kasongan 1 malam. Bukan perjalanan yang mudah untuk orang seumur Suryani. "Oh, terima kasih, Bu. Ibu jadi repot."
"Nggak pa-pa. Yun sudah Ibu anggap anak sendiri. Tapi nggak bisa besok, Faisal. Ibu harus menyelesaikan bimbel anak-anak yang mau ujian nasional dulu dua hari lagi. Habis itu baru bisa berangkat."
"Iya, Bu, nggak apa-apa."
Hari-hari berikutnya menjadi semacam siksaan bagi Faisal. Menunggu itu memang meresahkan. Apalagi yang ditunggu adalah kabar cewek tersayang.
Beberapa hari berlalu. Akhirnya telepon yang ditunggu-tunggu datang. Suryani menghubungi dari Pegatan.
"Faisal, Yun sudah nggak ada di Pegatan. Ibu barusan ketemu sama Kepala Puskesmas dan teman satu rumah dia."
Jantung Faisal berdetak keras. "Dia ke mana, Bu?"
"Dia dijemput ayahnya. Kata mereka, mau diantar kontrol ke psikiater."
Karena suara Suryani terdengar tenang, Faisal ikut tenang. "Oh, jadi dia pergi berobat?"
"Sepertinya begitu. Kamu tenang, ya, fokus buat mendapat nilai terbaik. Yun pasti senang kalau tahu nilaimu sempurna."
Mendengar saran indah itu, otak cerdas Faisal justru menangkap ada yang tidak beres. "Yun berobat ke mana?"
"Ibu tidak tahu."
"Ibu sudah coba menghubungi ayahnya?" cecar Faisal.
"Sudah."
"Apa katanya?"
"Ibu nggak berhasil terhubung dengan ayah Yun. Mungkin karena tidak ada sinyal."
"Psikiater cuma ada di kota, kan?" tanya Faisal lagi.
Suryani mendadak menangkap nada tidak percaya anak itu. "Iya."
"Jangan-jangan Yun nggak dibawa ke psikiater, tapi dibawa pulang ke rumah ibunya di kamp perkebunan sawit!"
"Ah, enggak mungkin. Ayahnya Yun itu peduli kok sama kesehatan Yun," ujar Suryani berbohong. Begitu tahu Yun dibawa pulang oleh ayahnya, ia yakin 99% anak itu diantar ke dukun.
Keringat dingin membasahi sekujur tubuh Faisal. Ia menyesal telah bersikap keras dan bertengkar, bahkan membuat kekasihnya menangis. Seandainya bersabar sedikit, mungkin ia masih bisa berhubungan dengan gadis itu saat ini.
"Gimana kalau Yun nggak dibawa ke dokter? Yun nggak boleh terlambat ditangani kan, Bu? Kalau kambuh-kambuhan terus, dia akan menjadi skizofrenia, 'kan?"
"Kita doakan sama-sama, ya?" Lirih, Suryani menjawab.
Suara bergetar Suryani membuat Faisal semakin galau. Ingin rasanya lari ke Pegatan atau ke mana saja untuk menemukan Yun. Tapi, ia terpaksa tetap di Jakarta, terpisah ribuan kilometer dari kekasihnya.
"Bu, saya harus gimana lagi?" rintihnya.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Faisal merasa tak berdaya.
☆---Bersambung---☆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top