40. Bertemu Nenek Sihir

= Pegatan, 2021 =

Pagi itu, Marina—dokter yang mengepalai Puskesmas Pegatan 1—memanggil Yun. Tahun ini, Puskesmas mereka akan menjalani reakreditasi. Setelah dua tahun yang lalu hanya lulus Dasar, mereka dituntut untuk meningkatkan peringkat pada tahun ini.

Setiap mengingat akreditasi, kepala Marina memanas, begitu pula hatinya. Ia masih tidak terima juniornya dulu, Dira, malah bisa membawa Pegatan 3 meraih peringkat Madya. Padahal persiapan mereka hanya tiga bulan. Yang lebih menyakitkan adalah mereka dulu anak bimbingnya. Bagaimana mungkin pembimbing malah disalib oleh anak bimbing? Tidak cukup sampai di situ. Pegatan 3 bahkan menjadi juara nasional FKTP Berprestasi untuk kategori Sangat Terpencil.[1]

Oh, my God! Pegatan 1 satu harus Utama kali ini!

Tekad Marina menggebu. Karena itu, ia mengerahkan semua anak buah untuk mengejar ketertinggalan mereka. Setiap hari ia memantau perkembangan dokumen dan pelaksanaannya.

"Yun, mana SOP yang saya minta diketik kemarin?" tanya Marina.

Yun sudah gemetar saat tahu dirinya dipanggil kepala Puskesmas. Dengan ragu, diserahkannya setumpuk dokumen yang diminta Marina. Dokter itu kemudian membolak-balik berkas tersebut dengan kening berkerut dan bibir manyun.

"Loh, kok masih salah lagi? Kenapa bagannya begini? Harus sesuai langkah-langkah yang kamu tulis di atas ini dengan bagan alur yang di bawah."

Yun menunduk. Ia selalu merinding bila berserobok pandang dengan atasannya itu. Wajah Marina tirus. Ia berhidung mancung, berdagu lancip, serta memiliki sepasang bibir yang tipis. Sorot matanya mengerikan. Yun seperti bertemu dengan nenek sihir.

Sudah dua minggu Yun berusaha mengerjakan tugas membuat SOP itu. Mereka harus menyelesaikan pengetikan ratusan SOP. Dan sialnya, tidak semua pegawai lancar menggunakan komputer. Terpaksa Yun dan beberapa teman melembur berkas-berkas itu agar selesai sebelum pembimbing akreditasi dari Dinas Kesehatan datang.

Sudah dua minggu pula otak Yun penuh. Faisal dan Suryani selalu mengingatkan agar minum obat. Ia tahu. Tapi bila diminum 2 x 1, tiga macam obat itu membuatnya seperti mayat hidup. Malas bergerak, tidak bisa berpikir, tidak bisa merasa, dan kepalanya sangat berat. Kepinginnya berbaring saja. Ia pernah ditegur Marina karena kedapatan tertidur di meja Puskesmas. Akhirnya diam-diam ia mengurangi dosis. Cukup masing-masing setengah butir saat akan tidur.

Otaknya mula-mula bekerja dengan lancar, tapi lama-lama menjadi penuh kembali, seakan batok kepalanya terbuka sehingga semua isi tempurung kepala meluber ke segala arah. Isi otaknya bahkan diketahui semua orang. Sangat menakutkan dan membingungkan. Ia tidak tahu harus berpikir apa. Beruntung suara-suara riuh yang dulu didengarnya tidak muncul. Itu berarti ia masih sehat, bukan? Tidak kambuh seperti kata Faisal?

Tidak, aku tidak kambuh. Aku hanya kebanyakan pekerjaan.

"Yun!" bentak Marina karena gadis itu hanya terbengong dengan tatapan kosong.

Yun tergagap. "I-iya?"

"Kalau diajak ngomong itu memperhatikan orang yang mengajak ngomong. Kamu malah melamun! Tidak sopan! Kenapa masih seperti ini dokumennya? Mana yang kamu perbaiki?" tuduh Marina.

"S-saya sudah perbaiki, Bu," jawab Yun dengan suara bergetar.

"Bu?!" sentak Marina. Kurang ajar. Kamu nggak tahu aku harus sekolah berapa lama buat dapat gelar dokter.

"Oh, maaf, Dokter."

Marina berdecak keras. "Maaf, maaf. Kalau kerjamu lambat gini, kita bisa ditegur pembimbing. Yang malu itu saya, bukan kamu!"

Jemari kurus Marina meraih pulpen, lalu membuat koreksi dengan mencoret-coret secara kasar dokumen yang diketik Yun. Gadis itu hanya bisa pasrah. Setiap goresan pena seakan menoreh hatinya. Perih!

Pintu diketuk. Seseorang masuk tanpa dipersilakan oleh Marina. Yun menoleh ke arah pintu dan seketika kaget. Ia mengenal orang itu. Pemuda yang melecehkannya di perpustakaan kampus dulu! Bagaimana mungkin orang itu bisa menemukannya di tempat terpencil ini? Jangan-jangan ia punya mata-mata di mana-mana. Astaga!

"Pagi, Yun!" Pemuda itu melambai kecil sambil tersenyum sinis.

"Ka-kamu? Kenapa di sini?" Yun tergagap menjawab karena jantungnya telah menggila. Tangan dan keningnya mulai berkeringat dingin.

"Hmm, siapa bilang cuma kamu yang bisa ke sini? Aku juga bisa." Pemuda itu menyeringai, menampakkan senyum keji seperti penghuni neraka. Detik kemudian, ia tertawa keras. Tawa yang meringkik mengerikan itu memenuhi telinga Yun hingga gadis itu menggigil. Sesudah puas membuat musuhnya ketakutan, pemuda itu berdiri bersedekap sambil melempar tatapan sedingin es.

Marina yang kaget melihat anak buahnya tiba-tiba menoleh ke pintu dan bicara sendiri, mula-mula merasa dilecehkan. "Hey!" tegurnya dengan keras. "Kamu ngomong apa?"

Yun kembali memandang Marina. "Oh, enggak, Bu ... Dok."

"Enggak, enggak! Hey, aku di sini! Berani kamu meremehkan aku?" Pemuda itu tiba-tiba sudah berdiri menjulang di samping Yun sehingga gadis itu terjingkat. Suara tawa nyaring kembali mengisi ruangan itu.

Keringat dingin Yun mengucur deras. Pemuda itu tidak hanya menatap dengan sorot mata setajam pedang, namun mata itu juga berkilat merah. Sepasang taring mencuat dari balik bibirnya. Yun merasa orang itu mengincar nyawanya. Secepat kilat ia bangkit, lalu berlari ke pojok ruang sambil menutup telinga.

"Kamu mau apaaaaa? Jangan ganggu akuuuu!" pekik Yun. Matanya mengerling ke Marina, mengharap pertolongan. Namun, yang terlihat sekarang adalah nenek sihir berpakaian hitam yang menyeringai siap menerkam. Kontan saja, Yun berdiri dan berlari menjauhi meja sang Kapus. Malangnya, ia salah arah dan malah terpojok di sudut ruang, di samping lemari arsip.

"Yuuuuun! Kamu nggak boleh lari dari akuuuuuhh!" seru pemuda itu.

"Yun, Yun, Yun, Yun, Yuuuun!" Terlihat dari sudut Mata Yun, Marina ikut mencecarnya.

"Anak lonte, anak lonte, anak lonte!"

Dua orang itu mencemooh Yun dengan ribuan kata yang memenuhi kepala. Yun merosot, lalu meringkuk di lantai, menggulung badan dengan kedua tangan menutup telinga. Mengapa seisi dunia memojokkan dirinya seperti ini?

Entah perasaan apa yang kini berkecamuk di dada Yun. Mau marah, mau berteriak minta tolong, mau menjerit sekeras-kerasnya biar terbebas dari himpitan itu. Namun, ia tak punya daya. Jiwanya hancur berkeping, remuk. Isi dadanya seperti kosong, hitam dan hampa. Begitu pula masa depan, hanya ada kegelapan. Semua yang kacau balau dan gelap itu tidak hanya membingungkan, namun juga sangat, sangat menakutkan!

"Faisal ... Ibuuuu ...!" Yun merintih memanggil Faisal dan Suryani. Hanya mereka yang bisa memahami dirinya. Hanya dua orang itu!

Marina yang sebenarnya mendatangi Yun untuk menanyakan apa yang membuat gadis itu ketakutan akhirnya batal mendekat. Sebagai seorang tenaga medis, ia bisa menduga apa yang terjadi anak buahnya. Sempat juga terselip penyesalan mengapa tadi membentak dan memarahi Yun dengan kasar. Ia terpaksa menunggu Yun sedikit tenang, lalu berjalan mendekat dan menyapanya dengan lebih lembut.

"Yun?" panggil Marina sembari mengguncang bahu Yun. Karena Yun tetap meringkuk dan bungkam, Marina kembali memanggilnya. "Yun, Yun! Kamu kenapa?"

Gadis itu menoleh sejenak, lalu malah semakin ketakutan. "Pergiiiiii! Jangan ganggu akuuuuu!"

Marina akhirnya memanggil teman satu rumah Yun, yaitu Suli dan Dina. Kedua rekan kerja Yun itu berusaha membujuknya aga mau diajak duduk di sofa. Namun, Yun kekeh meringkuk di samping lemari.

"Kenapa dia begini?" tanya Marina. "Gimana perilakunya selama ini?"

"Hmm, dia memang agak aneh, Dok. Suka melamun," jawab Dina.

"Iya, Dok. Kalau diajak ngomong suka nggak nyambung, terus sering bicara sendiri," timpal Suli.

Marina menatap Yun yang masih meringkuk di lantai. "Coba kamu bujuk dia ke Ruang Gawat Darurat."

Suli dan Dina berlutut di dekat Yun, kemudian membujuknya. Suara lembut yang dikenal Yun itu mampu menarik Yun dari ketakutan. Gadis itu akhirnya bangkit. Dengan dituntun Suli dan Dina, tubuh mungil yang rapuh itu berjalan menuju Ruang Gawat Darurat.

Yun harus dibujuk beberapa kali agar mau berbaring di bed observasi untuk diperiksa oleh perawat senior. Terpaksa hanya perawat yang menangani karena Yun ketakutan setiap melihat Marina. Wajah dokter itu sampai merah padam akibat dituding dan dikatai nenek sihir.

"Suli, kamu kenal keluarganya?" tanya Marina setelah memberi instruksi pada perawat untuk menyuntikkan diazepam pada Yun.

"Kenal, Dok. Dia diantar ayahnya waktu datang ke sini."

"Oh, bagus. Kamu punya nomor teleponnya?"

"Punya. Saya kirim ke Dokter, ya. Tapi mungkin agak sulit dihubungi karena ayah Yun tinggal di kamp perkebunan sawit."

"Oh, ya. Nggak pa-pa. Soalnya Yun harus dirujuk ke psikiater dan ditemani keluarga, nggak bisa dibiarkan sendiri di sini terus."

Marina menyimpan kontak ayah tiri Yun, lalu menghubungi lelaki itu. Ia harus mencoba berkali-kali baru bisa tersambung. Ia dan pegawai Puskesmas merawat Yun di rumah dinas hingga ayah tirinya datang.

_________________

[1] Kisah Marina si Nenek Sihir sekilas ada di The Young Lion part 30.

---Bersambung---

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top