4. Yunida


= Banjarmasin, 2036=

Ruang pertemuan tersebut terisi penuh oleh mahasiswa kedokteran Universitas Lambung Mangkurat yang tengah menjalani kepaniteraan klinik ilmu kedokteran jiwa. Sedari memasuki ruangan tadi, mata Faisal tak henti-henti mengarah pada seraut wajah bulat telur yang rambutnya diikat ekor kuda. Sebagai dosen yang tengah membimbing mahasiswa, sikap tersebut kemungkinan bisa menimbulkan ketidaknyamanan. Faisal tahu benar itu. Meski demikian, matanya ternyata lebih bandel dan liar dari burung pipit yang bersarang di atap gedung RSJ Sambang Lihum ini. Maunya hinggap di tempat yang tidak terduga. Sudah diusir pun, tetap nekat kembali dengan mencuri-curi.

Arman, ketua regu Yunida telah selesai membacakan laporan kasus pasien yang datang tadi malam. Kini giliran Faisal untuk menanggapi.

"Sebentar, kenapa kamu tegakkan diagnosis skizoafektif tipe mania?"

Arman yang sedari awal sudah menatap dengan ragu, semakin gelisah. "Mmm, karena ditemukan ciri-ciri skizofrenia dan gangguan afektif, Dok."

"Ya, benar memang begitu. Tapi apa ciri khas gangguan afektif pada skizoafektif?"

Dengan bingung, Arman membalik-balik buku catatan. Entah catatan apa. Dalam hati, Faisal seperti melihat dirinya sepuluh tahun yang lalu, saat berada dalam posisi Arman. Ah, berurusan dengan mahasiswa selalu menyenangkan. Membuat mereka berpikir kritis, membantu mengarahkan pemahaman, dan menggelitik rasa penasaran akan ilmu, selalu membuat hari-harinya cerah.

"Kok jadi sunyi macam kuburan?" seloroh Faisal. "Ada yang bisa bantu?"

Sebuah tangan terangkat. Seketika, dada Faisal berdentum, untuk kesekian kali dalam waktu kurang dari satu jam.

"Ya, kamu, Yun. Silakan."

Ada suara tawa kecil di antara mahasiswa.

"Nida, Dok," protes Yunida. Wajahnya memerah karena ditertawakan teman-temannya.

"Terserah! Ayo dijawab, Yun!" Faisal tak mau kalah. Wajah yang memerah dan kucir yang bergerak-gerak itu membuat hatinya girang.

Tawa tertahan pun pecah. Yunida terpaksa memelototi rekan-rekannya.

"Gejala-gejala skizofrenik dan afektifnya harus sama-sama menonjol pada satu episode penyakit yang sama, Dok."

"Naah, betul! Terima kasih, Yun." Faisal meringis penuh kemenangan. Entah mengapa, menggoda gadis bermata bulat itu sangat menyenangkan. Ia tidak keberatan seisi kelas mentertawakan atau mencurigai ada maksud tertentu. Toh ia hanya menyebut nama, bukan melakukan pelecehan seksual.

Faisal segera menguasai kelas dan meredam tawa mereka dengan melempar pertanyaan kepada Arman. "Gimana, Man? Ada nggak ciri khusus itu pada pasienmu?"

Arman kontan meringis. "Ehehe, maaf, Dok. Saya perbaiki laporannya."

"Siapa lagi yang mau menyampaikan laporan?"

Tangan Yunida kembali terangkat.

"Yak, silakan."

Yunida berdiri sambil memegang kertas laporan. "Nama pasien Nyonya N, umur 38 tahun, alamat Jalan Sutoyo Banjarmasin, datang diantar keluarga karena gelisah dan mengamuk ...."

Faisal memperhatikan dengan saksama gadis yang sejak kemarin menyita perhatiannya. Wajah dan postur tubuh sangat mirip Yun, gadis dari masa lalu. Namun, gerak-gerik Yunida berbeda. Cara menatap dan berbicara sama sekali lain. Yun yang ini sangat percaya diri. Lihat saja, digoda seisi kelas, ia cuma membalas dengan memelotot dan mencibir. Suaranya tegas, tidak terasa keraguan sama sekali. Sikap itu mengingatkan Faisal pada ibunya, seorang wanita karir yang tangguh.

Faisal mengembuskan napas panjang diam-diam. Perpaduan antara fisik Yun dan kepribadian ibunya itu membuat sengatan-sengatan aneh yang saling bertolak belakang dalam diri Faisal. Padahal semalam, hatinya sempat mengembang setiap mengingat perjumpaan pertama dengan Yunida. Agaknya, ia harus menelan kekecewaan kali ini. Cepat-cepat dihapusnya pikiran tidak jelas itu dan kembali berkonsentrasi pada laporan Yunida.

"Diagnosis multiaksial...," Yunida melanjutkan setelah berderet hasil pemeriksaan ia sampaikan, "Aksis satu, F.23 Gangguan psikotik polimorfik akut dengan gejala skizoprenia. Aksis dua, tidak ada. Aksis tiga, tidak ada. Aksis empat, masalah berkaitan dengan lingkungan sosial, yaitu diputus oleh pacar. Aksis lima, GAF scale 60-51 gejala sedang atau moderate, disabilitas sedang." [1]

Psikosis akut. Diputus pacar.

Pikiran Faisal kontan melayang ke kurun waktu enam belas tahun yang lalu, di mana cinta pertama bersemi. Rasa nyeri tiba-tiba menyergap. Nyeri yang telah berumur enam belas tahun pula.

Waktu itu, darahnya masih darah remaja, panas dan menggelora. Begitu menemukan gadis cantik di teras rumah, ia tidak banyak berpikir, langsung mengejarnya sampai dapat.

Ia ingat, suatu hari, begitu jam sekolah usai, ia menghambur ke toilet. Celana abu-abu diganti dengan denim biru tua. Kemeja putih dengan badge SMA diganti kaus polo abu-abu dan jaket bomber hitam. Kacamata hitam bertengger di pangkal hidung. Siap 86 untuk menemui Yun. Saat keluar, Sopian, sahabat setawurannya terheran.

"Handak kamana?" tanyanya. (Mau ke mana?)

"Adaaa, ae!" Faisal berkilah. (Adaaa, aja.)

"Hah? Kayaapa ikam ni? Kita udah janji sama Noni mau ke tempatnya." (Gimana sih kamu?)

Faisal kontan teringat keisengan mereka di daerah abu-abu. Sebuah rumah mungil di perkampungan yang terlindung di daerah Landasan Ulin[2] telah menjadi tempat persinggahan di kala hasrat bertualang menuntut untuk dipuaskan. Uang saku yang terkumpul beberapa hari mereka habiskan di sana, dengan wanita matang yang memberikan pelajaran 'reproduksi 'secara murah dan mudah. Sebenarnya, ia malu sekali bila mengingat kenakalan itu. Ibunya pasti mati berdiri bila tahu. Sayangnya, di dasar hati terdalam pula, ia ingin begitu.

Dasar anak durhaka!

"Nggak. Aku ada janji," kilah Faisal.

"Loh?" Sopian tak percaya.

"Aku handak ampih." (Aku mau udahan, tobat)

"Hah?"

Faisal meninggalkannya begitu saja, berjalan cepat menuju parkiran sepeda motor.

"Heeei! Jangan santai aja kayak gitu! Hendi dan teman-temannya masih ngincar kamu!" seru Sopian sembari berlari kecil membuntuti langkah panjang Faisal.

Faisal teringat perkelahian-perkelahian dengan anak geng sekolah sebelah itu. Selama ini, ia belum pernah kalah. Kalau bukan karena ibunya menangis berhari-hari, ia masih senang melakukannya lagi.

"Aku udah tobat!" Faisal melajukan sepeda motor di bawah pandangan keheranan sang teman. Seraut wajah ayu telah mengubah segalanya.

Kehadiran Yun memang mengubah banyak hal. Berhenti merokok, berhenti tawuran, dan tidak lagi main-main dengan wanita penghibur adalah efek perjumpaan mereka.

Sampai sekarang, ia belum berniat mencari pengganti Yun. Kata orang, ia gagal move on. Benar sekali. Mereka tidak tahu mengapa ia sampai enggan berpindah hati. Mungkin enggan, mungkin belum saatnya, ia tidak tahu pasti.

Tanpa sadar, Faisal tercenung dengan satu tangan menahan dagu.

"Dok?" suara renyah Yunida menyeruak alam lamunan.

Faisal menoleh. Untuk sesaat, mata mereka beradu. Ia tahu gadis ini bukan Yun-nya. Namun, saat pandangan mereka tertaut seperti sekarang, ada sesuatu yang meloncati ruang dan menerobos batas. Sorot mata Yunida seolah bertanya, "Ada apa?"

Sebagai balasan, hati Faisal menjerit tanpa sadar, Aku nggak baik-baik aja!

"Oh, sudah selesai?" tanya Faisal setelah menyadari seisi kelas memandang padanya.

"Sudah, Dok," jawab Yunida.

"Hmm, apa tadi rencana tata laksananya?" Faisal yang sudah menguasai diri, menemukan sorot bertanya itu kembali. Detik itu juga, ia merasa jarak di antara dirinya dan Yunida telah teretas.

"Medikamentosa, diberikan injeksi haloperidol 1 ampul IM, jika pasien mengamuk. Per oral diberikan chlorpromazine 3x100mg, haloperidol 3x5mg, trihexyphenidyl 3x2mg." Yun membaca ulang laporannya.

"Itu saja?" tanya Faisal.

"Cek lab lengkap, Dok. Setelah lebih kooperatif dinilai ulang status kejiwaannya, kemudian diberikan psikoterapi individual dan keluarga."

Faisal mengangguk. "Yak, cukup," pungkasnya. Ia berharap segera keluar dari ruangan itu. Ternyata sepasang mata bening di depannya seolah menahan.

"Tanya, Dok!" ujar Yunida.

Wajah yang bersinar penuh percaya diri itu menyentak kesadaran Faisal bahwa hari-hari baru telah datang.

"Pertanyaannya disimpan buat besok." Faisal sebenarnya penasaran dengan gadis ini. Tapi, ia tidak tahu kenapa enggan mendekat walau jarak telah teretas.

"Satu pertanyaan saja, Dok," pinta Yunida. Mimiknya benar-benar memohon.

"Besok saja," jawab Faisal tak acuh, sembari bangkit dari duduk. Iseng, diliriknya gadis itu. Ternyata Yunida masih berdiri dengan meringis lebar. Jari telunjuknya membentuk isyarat angka satu.

Luar biasa! Faisal merasa menghadapi pacar yang merayu minta dibelikan es krim.

"Nggak boleh!" sergahnya. Sesudah itu ia keluar tanpa menghiraukan kasak kusuk seisi kelas.

______________

[1] Diagnosis dalam gangguan jiwa memperhatikan berbagai aspek. Ditelan aja mentah-mentah, ya. Kalau dijelaskan ntar jadi kuliah psikiatri.

[2] Landasan Ulin adalah sebuah kelurahan di Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan.

=Bersambung=

Siapa yang masih bingung antara Yun-nya Faisal dan Yunida?

Semoga nggak puyeng dengan istilah-istilah psikiatri ya, gaes. Terpaksa ditulis karena latarnya memang rumah sakit jiwa.

Yuk, follow a kun ig-ku: nataliafuradantin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top