39. LDR


= Jakarta, 2021 =

Faisal tengah menghadapi persiapan Ujian Nasional. Setelah itu, ia harus banyak belajar untuk persiapan seleksi masuk perguruan tinggi. Ia tidak mau gagal. Impiannya adalah bisa diterima di ITB, di Fakultas Seni Rupa dan Desain, sesuai cita-cita selama ini.

Hidupnya di Jakarta sangat nyaman karena kakek dan neneknya memberikan fasilitas berlebih. Apa yang ia minta, diberikan tanpa banyak bertanya. Mungkin kedua orang tua ibunya itu bahagia Faisal akhirnya mau ke Jakarta. Faisal bisa saja memanfaatkan fasilitas itu untuk bersenang-senang. Namun, ia kini sudah berpikir jauh ke depan. Ia tidak boleh lagi main-main dan bertingkah unfaedah, demi masa depan bersama Yun. Beberapa bulan lagi, ia akan memboyong Yun ke Bandung. Pasti hal itu membutuhkan persiapan dana. Ia mulai melirik usaha apa yang bisa dijalankan untuk memiliki penghasilan tanpa merecoki orang tua.

"Faisal, aku udah di Pegatan," lapor Yun sewaktu mereka berkomunikasi melalui video call. "Ternyata di sini ada sinyal 4G!"

"Kamu dapat puskesmas apa?"

"Pegatan 1." [1]

Bulan Februari kemarin, Yun lulus seleksi dan mendapat kontrak tugas di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Faisal sebenarnya cemas karena Kecamatan Pegatan terletak jauh di ujung selatan Provinsi Kalimantan Tengah. Belum ada jalur darat untuk sampai ke sana. Semua transportasi melalui air. Ia sampai berpikir ibunya sungguh keterlaluan, telah membuang Yun jauh-jauh.

Tadinya Faisal hanya berharap bisa menelepon. Ternyata video call pun lancar. Sungguh kebahagiaan tersendiri.

"Kamu berangkat sendiri?"

"Iya, sampai Palangka Raya, terus ditemani bapak tiriku sampai Pegatan."

"Kamu tinggal di mana?"

"Ada rumah dinas. Aku satu rumah dengan petugas lab dan petugas gizi."

"Cewek semua?"

Yun terkikik. "Iya, dong. Bahaya kalau campur cowok."

"Enak nggak tempatnya?"

Yun mengangguk. "Aku seneng di sini, Faisal," lapor Yun dengan wajah berbinar. "Puskesmasnya di pesisir. Halaman belakangnya langsung menghadap laut."

"Oh, ya? Wah, kamu bisa mancing, dong? Tapi nggak boleh berenang ya, bahaya!"

"Kenapa enggak? Aku bisa berenang, kok."

Faisal cemas. Berenang di laut? Bagaimana bila nanti terseret ombak? Faisal langsung merasa ngeri. "Nggak boleh!"

"Loh, kenapa?"

"Pokoknya nggak boleh! Berenang di kolam renang dan di laut itu beda, Yun!"

Yun terlihat kecewa. "Yah, padahal aku kepingin banget. Kalau berenang di sungai boleh?"

Mata Faisal terbelalak. "Sungai apa?"

"Sungai Katingan."

"Loh, di mana lagi itu? Jauhkah dari puskesmasmu?"

"Aduh, lihat peta, dong? Cari di map ya, Puskesmas Pegatan 1. Di belakangnya itu laut. Di depannya, muara Sungai Katingan. Asyik banget, kan? Kami punya kapal, Faisal."

Faisal merengut. "Nggak boleh! Sungai di sana banyak buaya, tahu!"

"Mana ada buaya di sini?" kilah Yun.

Faisal menatap wajah ayu itu. Hatinya sudah lebih tenang karena Yun dapat menjalani kehidupan baru dengan baik di sana.

"Yun?" panggilnya lirih.

"Ya, kenapa?"

"Kamu masih mau ikut aku ke Bandung, 'kan?"

"Iya, aku mau. Tapi setelah kontrak di sini selesai."

Faisal merengut lagi. "Yaaaah! Nggak jadi tahun ini, dong? Masa aku harus nunggu tahun depan?"

"Kalau kerja dulu, aku bisa nabung buat bekal ke Bandung," jawab Yun untuk menghibur kekasihnya.

"Aku juga usaha buat nabung. Aku kerjakan macam-macam biar dapat uang tambahan."

"Kok kerja? Nanti ujianmu keteteran."

"Enggak capek, kok. Aku main saham dan bikin artikel buat blog-nya orang." Faisal teringat bagaimana ia meminta pekerjaan sampingan pada kakeknya. Dalihnya tentu demi pengalaman kerja. Ia disuruh mengetik bermacam bahan presentasi untuk sang kakek dan tulisan-tulisan untuk media sosialnya. Orang tua itu dengan senang hati memberikan uang lebih. Sungguh berbeda dari ibunya yang super ketat dalam hal uang saku.

"Ah, iya, aku baru ingat kalau kamu jenius," ujar Yun.

"Kamu nggak kangen aku?" tanya Faisal.

Yun tersipu. Matanya mengerling ke atas. "Mmmm, kangen nggak, ya?"

"Kalau kangen aku kamu ngapain?" serobot Faisal.

"Mmm, aku dengerin 'Dynamite' yang kamu kasih itu," jawab Yun sambil tersenyum manis.

Faisal tersenyum puas. "Aku juga kangen kamu."

Yun terkikik. "Kalau kamu udah selesai ujian, main ke sini, ya? Nanti aku ajakin susur sungai pakai kelotok."

Mata Faisal melebar. "Beneran? Mau, mau!"

"Beneran! Nanti aku kenalin sama teman-teman puskesmas," ujar Yun.

"Oke. Ngomong-ngomong, kamu udah minum obat?"

"Udah."

"Jangan kelupaan, janji?"

"Iya, janji!"

"Muuuuacch!"

Mata Yun melebar. "Eh, apa itu?"

☆☆☆

Percakapan-percakapan manja bin mesra terus terjalin hingga akhir Maret. Faisal tenang, karena Yun tampaknya baik-baik saja. Memasuki bulan April, ia mulai sibuk ujian. Komunikasi rutin dengan Yun tetap terjalin, namun ada yang berubah. Yun terlihat murung.

"Faisal, orang sini aneh. Mereka nggak suka sama orang baru," keluh Yun.

"Loh, kenapa mikir gitu? Mereka ngapain?"

Yun tercenung sejenak dengan mata kosong, kemudian terkikik. Faisal mulai dirayapi rasa cemas.

"Ah, enggak. Enggak pa-pa, kok, hehehehe."

"Teman kerjamu ada yang julid?" desak Faisal.

Yun menggeleng. "Bukan teman kerjaku, tapi Ibu Kapus."

"Oh, kenapa dia?"

Yun menunduk sembari melakukan sesuatu. Faisal tidak melihat apa yang dikerjakan karena di luar jangkauan kamera. "Galak. Marah-marah terus."

"Dia marah ke kamu?"

Yun mengangguk sambil tetap menunduk. Firasat buruk semakin nyata membayangi Faisal. "Kalau nggak tahan, kamu pulang ke Banjarmasin aja, Yun."

Yun tidak menjawab, namun wajahnya berubah bersemangat. "Aku dapat ikan kemarin waktu mancing. Buesaar!" Suara Yun tiba-tiba nyaring.

Jantung Faisal seketika berdenyut tidak karuan. Pembicaraan yang meloncat dan tidak menyambung itu mirip saat Yun sakit dulu.

"Yun, kamu masih minum obat?" cecar Faisal.

"Masih, Pak Dokter!" jawab Yun asal.

"Aku serius Yun! Berapa kali sehari kamu minum obat?"

"Masih sama kayak dulu. Dua kali sehari. Aku tertib, kok!"

Faisal menghitung. Rasanya bekal obat dulu seharusnya habis dalam satu bulan.

"Kapan kamu terakhir kontrol?"

"Sebelum berangkat ke sini. Aku dibawain obat banyak."

"Obatnya masih sisa? Jangan sampai kehabisan."

"Masih! Masih banyak!" Yun pergi sebentar dari hadapan kamera, lalu datang lagi sambil membawa kantung plastik. Saat gadis itu mengeluarkan isinya, Faisal lemas.

"Kenapa sisanya masih banyak? Kamu nggak minum sesuai dosis?"

Yun menggaruk kepala. "Aku udah enakan, kok."

"Astaga, Yun! Nggak boleh gitu! Kamu harus minum sampai dokter bilang berhenti!" tegur Faisal.

"Habis, kalau diminum terus, badanku sakit semua, Faisal."

Faisal mendesah. "Yah! Nggak boleh gitu! Cepetan kamu minta izin sama Kapus buat kontrol."

"Ke Banjarmasin? Enggak, ah. Aku lanjutin berobat di Puskesmas aja. Ada juga kok obatnya di sini."

"Oh, gitu ya? Ya udah. Jangan curang. Diminum beneran obatnya."

"Iya. Kapan kamu ujian nasional?"

"Tiga minggu lagi. Nanti habis itu aku langsung pulang, terus ke tempatmu."

"Ah, bener?"

"Bener. Makanya kamu harus minum obat biar sehat, ya. Demi aku, Yun."

Yun tersenyum manis. "Iya. Aku akan minum obat demi kamu, Faisal."

_________________________

[1] Ada kisah seru dokter dan dokter gigi dengan setting Pegatan, tapi Puskesmasnya Pegatan 3. Jangan lewatkan, ya. Judulnya The Young Lion

Yun dan Faisal suka selfie, loh. Nih, rekaman kemesraan mereka.

---Bersambung---

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top