34. Tahun Baru
= Banjarmasin, 2020 =
Yun bersemangat untuk menyelesaikan skripsi. Setelah proposalnya selesai direvisi, ia mendapat surat pengantar untuk melakukan penelitian. Sejak awal, Suryani sudah awas-awas. Proses mengumpulkan data itu memaksa Yun keluar dan berjumpa dengan orang-orang. Ia memastikan Yun meminum obat secara benar. Selain itu, ia mendampingi di setiap wawancara dengan responden.
Faisal harus berangkat ketika Yun sedang sibuk-sibuknya menyusun hasil penelitian. Yun ingin mengantar ke bandara, tapi baik Suryani maupun Faisal melarang. Jangan sampai gadis itu mendapat tekanan lagi karena berjumpa dengan Widya. Akhirnya mereka hanya membuat acara perpisahan kecil-kecilan di rumah Suryani dengan makan tumpeng mini lengkap dengan urap, sambal goreng, telur, dan ayam ingkung.
"Kamu nggak usah sedih. Aku baik-baik aja kok kamu tinggal," ujar Yun. Sedari tadi ia dapat merasakan senyum Faisal yang seperti dipaksakan.
Faisal menatap kekasihnya. "Janji, ya. Jangan curang lagi minum obatnya. Aku bisa stres kalau kamu menghilang lagi." Mulut Faisal manyun. Bibir yang bentuknya bulat imut itu semakin menggemaskan saja.
Yun terkekeh. Ia paling senang kalau Faisal mulai merajuk. Alis cowok itu terangkat, lalu matanya melebar dan membulat, dan bibirnya manyun. Lucu sekali, mirip kartun.
"Aku janji," ujar Yun sambil menatap kekasihnya dengan mata berbinar.
Faisal kontan celingukan. Matanya memindai keadaan. Begitu Suryani memalingkan wajah ke arah lain, bibirnya mendarat di pipi Yun. Gadis itu sampai terbatuk-batuk, tersedak karena kaget.
"Yun, kamu kenapa?" tanya Suryani sambil memberikan air minum pada gadis itu.
"Fa-Faisal, Bu!"
"Dih! Emang aku kenapa?" semprot Faisal. Mana mau ia mengaku?
☆☆☆
Perpisahan itu ternyata tidak seburuk yang dibayangkan Suryani. Semula ia mengkhawatirkan Yun, sanggupkah hidup berjauhan dari Faisal. Belum lagi kewajiban untuk menyelesaikan penelitian. Kemajuan teknologi ternyata sangat membantu dua orang yang terpisah lautan untuk tetap bermesra-mesraan. Pernah suatu kali Suryani mengintip Yun yang tengah video call dengan Faisal.
"Iiiiih! Kamu jelek kalau begitu! Jangaaaan!" seru Yun. Suaranya yang lembut terdengar manja. Suryani tidak melihat wajah Faisal, tapi samar-samar ia bisa menangkap suaranya.
"Kalau begini?"
"Hihihii! Kamu kayak Puss!"
"Hmm, Puss? Puss in Boots? Wah, mukaku halus gini masa disamain meong? Nakal kamu! Nih, terima ini!"
"Iiiiiih! Kamu ngapaiiiiin? Kenapa layarnya cuma isi bibir aja?"
....
"Faisal?"
....
"Faisaaaaal! Kamu nakaaaal!"
Suryani pun meninggalkan pintu kamar Yun dengan tersenyum-senyum sendiri.
Dasar remaja bucin!
☆☆☆
Semester itu juga, Yun berhasil menyelesaikan penelitian. Didampingi Suryani, ia menjalani tahap-tahap akhir skripsinya dengan baik. Barangkali Widya memang menepati janji, membujuk koleganya untuk memberi kelonggaran pada seorang penderita gangguan psikotik untuk lulus dengan lebih mudah. Tak apalah. Yang penting Yun bisa wisuda pada semester itu.
Pada hari bersejarah ketika Yun wisuda, nenek Yun dari Basarang turut hadir. Wanita yang sudah renta itu memaksakan diri datang demi sang cucu walau buat berjalan pun ia tertatih. Ibu Yun dan bapak tirinya tidak bisa datang karena ibu Yun melahirkan anak kedua mereka. Bapak kandung? Jangan ditanya. Ia hanya mengucapkan selamat melalui telepon dan permohonan maaf tidak bisa datang karena kurang sehat.
"Kayaknya Bapak nggak dikasih izin sama istri barunya, Bu," ujar Yun.
"Ooo, iya! Bapakmu itu tidak bisa berkutik sekarang. Semua diatur istrinya. Dia tidak dikasih pegang uang," timpal nenek Yun.
Suryani hanya bisa menghibur dan membesarkan hati Yun.
Faisal mengirimkan dompet kulit cantik berwarna merah marun sebagai hadiah wisuda. Di dalamnya ada secarik kertas dan foto Faisal. Bunyinya,
Selamat menjadi sarjana! Disimpan baik-baik, ya, dompet ini. Kalau kamu dapat gaji nanti, ingat aku yang bantuin skripsimu!
Suryani sampai terkekeh-kekeh melihat kenarsisan Faisal.
Bulan-bulan terakhir di penghujung tahun 2020 itu menjadi saat-saat membahagiakan dalam kehidupan Yun. Apalagi saat Faisal pulang di akhir tahun.
Cowok itu tidak menyiakan waktu. Dengan segala dalih untuk mengelabui orang tua, ia mendatangi Yun setiap hari. Kediaman Suryani sudah menjadi rumah kedua cowok itu.
"Tahun Baru kali ini, kita di rumah saja, ya. Ibu sudah menyiapkan jagung dan daging untuk dibakar," ujar Suryani.
Rumahnya ramai. Kedua putranya datang dari Sulawesi dan Surabaya, membawa serta anak dan istri mereka. Faisal dan Yun bergabung dengan mereka melewatkan akhir tahun 2020.
Di sela-sela keramaian keluarga Suryani, Faisal tidak kehabisan kesempatan untuk menggoda pacarnya.
"Kamu tahu, apa yang romantis dari jagung bakar?" bisiknya sembari meletakkan jagung di atas panggangan.
"Apa?"
"Warnanya mula-mula kuning ...."
"Lalu?" tanya Yun dengan sedikit mendongak karena Faisal menjulang di sampingnya. Setelah enam bulan tidak berjumpa, Faisal bertambah tinggi saja. Dan ... makin ganteng!
"Lalu jadi hitam karena gosong." Faisal nyengir lebar.
Mata Yun melebar, kemudian mengerjap. "Romantisnya karena gosong itu? Ada-ada saja kamu."
"Bukan."
"Trus apanya yang bikin romantis?" tanya Yun sembari mengoles permukaan jagung dengan margarin berbumbu.
"Jagung? Nggak ada romantisnya kalau jagung mah."
"Iiiiih! Mulai lagi, deh! Jangan bikin aku bingung, Faisal," pinta Yun dengan memelas. Ia sudah kenyang dikerjai Faisal sepanjang sore hingga malam ini.
Faisal mengambil ponsel, lalu dengan cepat mengambil gambar Yun yang tengah mengoles margarin. "Kalau cuma jagung aja nggak ada apa-apanya. Kalau ada background-nya gini baruuuu romantiiisss!"
"Mana, mana, aku mau lihat!" pinta Yun lagi.
Faisal menyeringai. Ponselnya segera disembunyikan di belakang tubuh. "Enggak boleh!" jawabnya dengan manyun genit.
Yun terbelalak. "Iiiiih nakaaal!" Ia merangsek, hendak merebut ponsel, namun Faisal sudah lari menjauh ke depan rumah. Terpaksa Yun mengejar cowok itu ke halaman depan.
☆☆☆
Di sela-sela keriuhan itu, Suryani mendapat telepon dari Widya.
"Bu, anak saya di tempat Ibu?" tanya ibunda Faisal. Nada suaranya tidak seperti orang yang kesal, melainkan sedih.
Sebagai seorang ibu, Suryani bisa merasakan kepedihan yang dirasakan Widya saat ini. Melewatkan akhir tahun tanpa anak tersayang, betapa sepinya rumah wanita itu.
"Iya, Bu. Faisal ada di sini, bersama saya dan anak-anak saya."
"Oh ...." Desahan panjang mengiringi jawaban Widya.
"Bu, lebih baik dia di sini bersama keluarga saya. Saya bisa menjaganya. Daripada dia keluyuran di luar sana, kita tidak tahu apa yang dia kerjakan," hibur Suryani.
"Ah, iya. Ibu benar. Saya titip anak saya, ya, Bu."
"Saya jamin dia akan baik-baik saja selama di sini."
"Terima kasih. Tapi, mohon Ibu jangan lupa bahwa saya tidak setuju dengan hubungan Faisal dan Yun."
Suryani mengelus dada diam-diam. "Iya, bu. Saya tidak lupa. Dan terima kasih sudah membantu Yun lulus dengan mudah."
"Sama-sama. Ijazah Yun sudah keluar, kan?"
"Sudah."
"Saya dapat tempat untuk Yun kerja. Januari nanti Yun bisa ke sana."
Hati Suryani berdebar. Yun akan segera dibuang? "Kerja di mana, Bu?" tanyanya dengan suara serak.
"Saya punya kenalan di Dinas Kesehatan Katingan. Kebetulan kepala dinasnya teman saya kuliah, dan kabid-nya dulu mahasiswa saya. Mereka membuka lowongan tenaga kontrak. Sepertinya saya bisa membantu. Saya juga kenal dengan dokter yang masih keluarga bupati sana. Kalau terpaksa, saya akan minta bantuan beliau."
"Katingan? Kalteng?"
"Iya, benar."
"Apa tidak terlalu jauh? Tidak ada yang dekat-dekat saja? Yun harus terus diawasi, Bu."
"Yah, itu penawaran saya. Kita sudah sepakat, kan? Kalau kesempatan itu tidak diambil, tidak apa-apa, kok ...." Suara Widya menggantung.
Suryani seperti merasakan hawa ancaman. Ismet adalah pejabat di Dinkes Provinsi. Widya adalah dosen senior. Jaringan mereka luas. Bukan tidak mungkin mereka akan menggunakan pengaruh untuk menggagalkan setiap upaya Yun untuk mendapat pekerjaan sesuai bidang keilmuannya di Kalsel. Yah, bekerja di luar Kalsel memang pilihan terbaik buat Yun.
"Saya akan pertimbangkan dulu, Bu. Saya masih ingin Yun tidak jauh dari saya."
"Bu, saya harap Ibu mengerti. Saya akan berterus terang saja pada Ibu. Saya tidak mungkin membiarkan Faisal terus menerus dekat dengan Yun. Paling tidak, selama dia SMA dan kuliah. Gimana dia bisa melihat gadis lain kalau masih ketemuan dengan Yun?"
Hati Suryani remuk dan berdarah. "Bu, apa tidak bisa Ibu melonggar sedikit? Yun sudah sehat dan baik-baik saja. Mereka saling mencintai. Yun bisa membuat Faisal bahagia, kok. Saya yakin itu."
"Saya tidak yakin!" Nada suara Widya meninggi. "Kalau benar Yun sudah sehat, seharusnya tidak apa-apa kalau dia kerja di Kalteng."
"Ya, tapi-"
"Tapi apa, Bu? Kalau Ibu tidak yakin Yun tetap sehat bila jauh dari Ibu, gimana saya bisa yakin dia bisa menjadi istri yang baik bagi Faisal? Bagaimana dia bisa menjadi ibu dan merawat anak-anaknya nanti? Ibu belum tahu, kalau hamil dan melahirkan itu bisa memicu kekambuhan?"
Suryani mati kutu. Seketika ia lemas dan terduduk di kursi. Matanya menangkap bayangan Yun dan Faisal yang tengah bercanda mesra di depan panggangan di teras belakang. Saat jam dinding menunjukkan pukul 00.00 WITA, mereka meniup terompet. Ia bisa melihat tangan keduanya berkali-kali saling menjangkau, seperti tak ingin terpisah lagi. Tatapan mereka tertaut. Suryani bisa merasakan cinta yang dalam dan kuat melingkupi sejoli itu.
☆---Bersambung---☆
Komen please ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top