27. Pilihan Sulit
Suryani menjadi pening setelah pulang dari pertemuan dengan orang tua Faisal. Ia perlu berbaring sejenak dan meminum kunyit asam agar lebih tenang. Maklumlah, jantung tua memang sudah diajak berpacu, sebentar-sebentar harus rehat.
Tantangan terbesar Suryani adalah Faisal. Akhirnya, Suryani mengajak Faisal untuk bertemu empat mata. Mereka kemudian sepakat untuk makan berdua di Asiah Resto sesuai permintaan anak itu. Mereka memesan cumi telur asin dan jelawat saus bawang. Sembari mengunyah, Faisal bercerita tentang kenangannya bersama Yun di tempat itu.
Bagi Suryani hanya ada satu kata untuk menggambarkan kesannya terhadap remaja ini. Takjub. Faisal tidak hanya rupawan, namun juga penuh kekuatan. Caranya menatap dan berbicara tanpa keraguan. Postur tubuhnya tegak dan gerakannya gesit serta mantap. Ia tidak mudah dibuat percaya, selalu menuntut jawaban yang rasional. Seluruh sikap Faisal menyimpan kesombongan yang anehnya terasa anggun alih-alih mengancam. Pantas saja ayah tirinya mengeluh harus melakukan diplomasi tingkat tinggi bila menasehati anak ini.
Sebagai pendidik yang telah bekerja lebih dari empat puluh tahun, Suryani paham benar bahwa tidak mudah membesarkan anak yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Bukan hanya saat remaja, didikan harus sudah dijalankan sejak mereka bayi.
Anak-anak seperti Faisal tidak bisa dilarang atau dikekang. Darahnya sudah disusun untuk memberontak dan melawan otoritas, siapa pun itu. Orang tuanya harus bisa memahami hal itu.
Faisal telah menghabiskan makanan di piringnya. Saat tahu piring Suryani juga telah kosong, ia bertanya, "Ibu mau nambah sayur atau lauk? Atau mau dibungkus buat dibawa pulang?"
Gayanya sudah seperti orang dewasa saja. Sebab dalam prinsip Faisal, seorang lelaki harus membayar bila makan bersama perempuan. Dan, ia cukup mampu untuk melakukannya.
Suryani tersenyum melihat sikap itu, namun ia menggeleng. "Sudah cukup. Nggak perlu dibungkus, nanti Yun malah curiga kita ketemuan."
Wajah remaja di depannya mengangguk, kemudian menatap dengan penuh tanda tanya dan menunggu.
"Faisal, Ibu sudah dengar rencana orang tuamu untuk memindahkan kamu ke Jakarta," ujar Suryani untuk membuka pembicaraan serius mereka.
Faisal tidak berkata-kata, hanya mendengkus keras, kemudian terdiam dengan memalingkan wajah dan kedua tangan menumpu di paha.
"Faisal ...."
"Mama dan papa ketemu sama Ibu? Jadi ini maksud Ibu ketemu saya? Bu, saya nggak mau pindah! Biar Ibu paksa-paksa, saya nggak mau!"
Suryani membiarkannya untuk beberapa saat sebelum melanjutkan, "Faisal, kamu tahu apa yang paling membuat Yun stres?"
Faisal mengangguk. "Mama saya," jawabnya sembari membuang pandangan ke jalan.
Senyum Suryani terkembang. "Bukan, kamu salah."
Ditentang begitu, Faisal kontan menoleh.
Senyum Suryani semakin mengembang. "Bukan mamamu, tapi skripsinya yang tidak kunjung selesai. Mamamu hanya pemicu saja."
Sorot mata Faisal berkilau sejenak, tanda tidak percaya.
"Kamu tidak tahu, kenapa skripsi yang terhambat itu bikin Yun stres berat?"
"Saya kurang paham." Kini, Faisal terpaksa mendengarkan.
"Hmm, kamu tahu apa yang membuat Yun mati-matian ingin lulus kuliah? Dia ingin dihargai, Sal. Masa kecilnya penuh pelecehan. Ia korban perundungan akibat kelakuan orang tuanya."
"Ah, iya. Yun pernah cerita."
"Mereka keluarga tidak punya. Baik dari pihak ayah atau ibunya, tidak ada yang sekolah lebih dari SMA."
Faisal mengangguk. "Iya, saya juga tahu itu. Tapi Yun korban bully karena apa?"
"Oh, kamu belum pernah dengar? Mungkin Yun tidak sanggup cerita karena terlalu berat untuk diungkap."
Mau tak mau Faisal mencondongkan tubuh karena ingin tahu. "Bu, apa saja yang dialami Yun dulu?"
"Ibunya adalah korban KDRT ayah kandung Yun. Memang sih, dia salah, selingkuh sana-sini. Gara-gara itu, selama masa kecilnya, Yun diolok anak lonte."
Faisal terpaksa mengambil napas dalam. Sungguh perih masa kecil gadis itu.
"Lalu karena tidak tahan, ibunya minta cerai. Waktu itu Yun SMP. Dia tinggal bersama ayahnya. Selama tidak ada ibu itu, ayahnya pernah mencoba memperkosa dia."
"Aaah!" Mulut Faisal ternganga. Ia baru tahu nasib Yun semiris itu.
"Kakak Yun jatuh sakit karena tidak tahan menyaksikan kejadian itu ditambah masalah perceraian kedua orang tuanya. Sayang, orang kampung tidak tahu bahwa itu penyakit medis. Bukannya dibawa berobat rutin ke dokter, dia malah diajak ke dukun. Akibat ketidaktahuan itu, penyakitnya menahun dan menjadi skizofrenia. Sekarang sudah berat, mungkin tidak bisa pulih normal lagi."
Dada Faisal seperti dipenuhi batu. Berat dan sesak.
"Kamu bisa bayangkan, Sal, seperti apa hinaan yang diterima Yun selama ini."
"Apa karena itu Yun mati-matian sekolah?" bisik Faisal.
Suryani mengangguk. Matanya membasah. "Yun ingin membuktikan ke seluruh dunia kalau dia juga bisa berharga seperti orang lain, Sal," bisiknya dengan suara parau. "Karena itu, lulus kuliah menjadi sangat penting buat hidupnya. Kamu bisa mengerti, 'kan?"
Perlu beberapa waktu bagi Faisal untuk meredakan nyeri di dalam dada. "Saya harus membantu apa, Bu? Mengerjakan skripsinya? Saya bisa mencari orang yang bisa dibayar untuk itu."
"Jangan! Kamu pikir Yun mau? Dia ingin lulus dengan cara yang baik. Ibu juga tidak setuju kalau harus membayar orang. Biarpun jelek, skripsi itu harus hasil kerja Yun sendiri."
"Lalu saya harus bagaimana?" tanya Faisal dengan frustrasi.
Suryani kembali mengamati remaja di depannya. Dalam hati, ia tidak merasa sedang berhadapan dengan anak berusia tujuh belas tahun, tapi dengan seorang lelaki.
"Faisal, Ibu tahu kamu sayang banget sama Yun. Kalau memang cinta, kamu harus mau memperjuangkannya."
"Saya janji akan memperjuangkan hubungan kami, Bu."
"Itu bagus. Kamu sekarang punya seseorang yang menjadi tanggung jawabmu. Kamu sadar?"
Badan Faisal kontan menegak. "Ya, Bu. Saya sadar dan saya siap."
"Perjuangan itu tidak selalu harus dengan berperang, Sal."
Kening Faisal berkerut. "Maksud Ibu?"
"Mama dan papamu hanya khawatir kamu akan sengsara bila bersama Yun. Kalau kamu bisa membuktikan bahwa kamu bahagia dan hidup dengan baik bersama dia, Ibu yakin mereka akan menerima Yun."
"Ah!" Faisal mendesah keras, tanda tidak percaya.
"Mereka menentang hubungan kalian karena mereka menyayangi kamu. Kamu satu-satunya anak yang mereka punya."
"Saya tidak yakin itu!" dengkus Faisal. Mengapa ibunya mengotot menikah lagi bila benar-benar sayang padanya? Ia tahu siapa ayah tirinya itu. Mantan kekasih sang ibu saat kuliah, yang sempat menjadi orang ketiga dalam pernikahan ayah dan ibunya. Bagaimana mungkin ayahnya tenang di alam kubur sana?
"Mulai sekarang kamu harus berpikir dua kali sebelum bertindak. Kamu juga harus memikirkan perasaan Yun karena dia pasti akan terkena imbasnya. Kalau kamu ribut dengan orang tua, Yun akan merasakan stresmu juga. Dia itu sangat peka."
"Saya tidak mau pindah, Bu. Gimana Yun nanti kalau saya tinggal?" Faisal tidak percaya ibu angkat Yun yang selama ini ia sangka mendukung hubungan mereka justru memberi saran aneh seperti itu.
"Justru karena itu, Sal. Ibumu sudah menjamin Yun akan lulus secepatnya, bahkan akan membantu mencarikan pekerjaan. Lulus dan bekerja itu cita-cita terbesar Yun. Kalau kamu sayang dia, maukah kamu membantunya cepat lulus tanpa ribut-ribut dengan ibumu?"
Faisal paham sekarang. Sangat paham.
"Ternyata mama saya memberi penawaran seperti itu!" Faisalmenggumam dengan nada kesal.
/////////////////////
Sudah tepatkah pilihan Faisal? Komen please ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top