26. Syarat

"Maksud Papa dan Mama gimana?" tanya Faisal. Ia sudah tahu, sesudah ini pasti kedua orang itu akan meminta syarat.

"Iya, Mama dan Papa sudah sepakat untuk mengikuti kemauan kamu. Kamu boleh kuliah di mana saja yang kamu suka."

Faisal menegakkan tubuh. Kedua tangan dilipat di depan dada. Menunggu. Melihat sikap siap tempur itu, Ismet mengeluh diam-diam. Ia harus kuat mental bila sesudah ini Faisal mengamuk.

"Tapi, Mama dan Papa juga minta sesuatu dari kamu," ucapnya perlahan.

Kontan Faisal melengos sejenak, kemudian kembali melemparkan tatapan tajam. "Syaratnya apa?"

"Bukan syarat. Mama dan Papa kepingin kamu dapat pendidikan yang bagus, sehingga dapat kuliah di tempat yang bagus pula. Kalau bisa ke luar negeri sekalian."

Otak jenius Faisal langsung bereaksi. Ia sudah bisa menduga maksud kedua orang itu. "Aku harus ngapain?"

"Kami pikir, SMA di Jakarta banyak yang menyediakan fasilitas buat lanjut ke luar negeri. Ada sekolah internasional bagus. Kakekmu sudah setuju buat menyekolahkan kamu di sana."

Mata Faisal kontan melebar. "Aku harus pindah sekolah?"

Ismet menelan ludah. Kalau sudah begini, sebentar lagi akan terjadi ledakan emosi. Ia sudah hafal gaya anak itu. "Iya."

"Kapan?" tanya Faisal dingin.

"Bulan depan."

Darah Faisal sudah di ubun-ubun, tapi ia malas bertengkar saat ini. Tak salah lagi, rencana pindah sekolah itu untuk menjauhkan dirinya dari Yun.
"Mama dan Papa mau menyingkirkan aku dari Banjarmasin?" sergahnya.

"Bukan begitu ka-" Kalimat Ismet tidak selesai karena Faisal keburu bangkit dari duduk.

"Nggak!" sahut Faisal tegas. Tanpa berkata-kata lagi, Faisal meninggalkan kedua orang tuanya, masuk ke kamar dengan membanting pintu.

☆☆☆

Sudah seminggu Suryani mengawasi Yun mengonsumsi obat. Sesuai anjuran dokter, ia tidak membiarkan Yun meminum obatnya sendiri. Ia hars menunggui gadis itu menelan pil-pil tersebut untuk memastikan dosis yang dibutuhkan masuk ke tubuh Yun.

"Bu, masa saya harus minum satu biji utuh? Nggak bisa separuh aja?" pinta Yun, mengiba.

"Jangan begitu, kamu harus minum sesuai yang diresepkan dokter."

"Tapi kalau minum satu butir, kepala saya jadi berat. Rasanya saya nggak sanggup bangun. Badan kaku semua."

"Memang begitu efeknya. Nanti lama-lama kamu akan terbiasa. Ayo, jangan banyak ngeluh."

"Tapi saya nggak bisa mikir kalau kepala berat. Nanti gimana bikin revisi skripsinya, Bu?"

"Udah, jangan mikirin skripsi dulu. Kamu sakit. Orang sakit harus istirahat dan minum obat secara teratur. Kamu harus cepat sembuh biar cepat bisa mengerjakan skripsi lagi."

"Buu-uuu!" Yun merajuk.

"Yun, ayo. Kamu harus jaga diri sendiri. Udah tahu kan gimana kalau penyakit begini dibiarkan aja? Kakakmu sudah jadi contoh hidup. Akibatnya fatal kalau nggak berobat teratur. Susah pulih total, Yun. Kamu nggak mau berakhir seperti kakakmu, 'kan?"

"Enggak, Buuu! Amit-amit!"

"Naah, ayo diminum semua. Obat ini menentukan masa depanmu!"

"Tapi ...."

"Tapi apa? Kamu nggak kasihan Faisal kalau kamu sampai telanjur parah seperti kakakmu? Dia sayang banget sama kamu, tiap hari datang bawain makanan. Kamu harus cepat sembuh biar dia nggak cemas terus."

Mendengar nama kekasihnya disebut, wajah Yun kontan merona. Tanpa banyak cakap lagi, ditelannya pil-pil itu.

Upaya itu membuahkan hasil, seminggu kemudian, Yun mulai tenang. Suryani bisa bernapas lega. Akan tetapi, hal lain membuat Suryani tidak dapat tidur. Widya meminta bertemu secara rahasia.

☆☆☆

Di sebuah rumah makan yang memiliki ruang privat, Widya dan Ismet menjumpai Suryani. Di ruang yang hanya terisi mereka bertiga itu, Widya memohon pengertian Suryani.

"Bu, Faisal itu anak saya satu-satunya. Ibu pasti paham karena Ibu juga seorang mama," pintanya.

Suryani sudah tahu maksud Widya. Ia sepenuhnya memahami kerisauan wanita itu. Faisal adalah anak satu-satunya, sangat ganteng, jenius pula. Masa depan Faisal terbentang luas dan sangat cerah. Ibu mana yang akan rela membiarkannya terikat dengan seorang perempuan yang lima tahun lebih tua, berbeda agama, dan sekarang menderita gangguan jiwa.

"Bu, saya paham kalau Ibu menganggap saya jahat," ujar Ismet. "Tapi, Faisal masih anak-anak. Umurnya baru tujuh belas lebih sedikit. Dia belum mengerti memilih dengan bijak, masih mengikuti emosi saja. Sudah tugas saya dan istri saya untuk mengarahkan dia agar menjadi orang yang berguna." Ismet berusaha menguatkan perkataan istrinya. "Kami kepingin Faisal selesai sekolah sampai lulus sarjana, baru memikirkan calon istri secara serius. Apa itu berlebihan?"

Suryani mengembuskan napas. Sebagai seorang pendidik, ia tahu benar apa yang diharapkan orang tua Faisal adalah benar. "Saya juga menerapkan pengertian itu pada kedua anak saya, Pak. Memang benar, Faisal masih anak-anak. Remaja seusia dia memang sedang labil-labilnya."

"Nah, benar," sahut Widya dengan mata penuh harap.

"Tapi, Bu, jangan pula kita meremehkan mereka. Kadang kita menganggap mereka belum siap, ternyata mereka lebih siap dan lebih kuat dari yang kita duga. Apalagi saya lihat Faisal anaknya pemberani dan nekat. Susah dibelokkan kalau sudah punya kemauan. Jangan sampai kita malah membuat dia berbelok ke jalan yang salah."

Ismet mencondongkan badan ke depan. "Justru karena itulah, kami memohon bantuan Ibu."

Suryani mengerutkan kening.

"Kami juga tidak akan menghalangi bila Yuniar memang jodohnya Faisal. Kalau Tuhan sudah menggariskan demikian, kami bisa apa?" lanjut Ismet. "Biarlah waktu yang membuktikan. Tapi, sebagai orang tua, kami harus berusaha mengarahkan anak untuk memilih yang terbaik, 'kan?"

Perkataan itu membuat hati Suryani nyeri. "Iya, saya paham. Yun memang bukan calon menantu yang ideal. Saya mengerti sekali."

"Saya harap ibu jangan tersinggung. Kami juga ingin Yun berhasil. Kalau cepat lulus dan bisa bekerja, pasti akan sangat bagus. Bagaimana?"

Suryani mengangguk. "Itu pula yang saya harapkan, Yun segera lulus dan mendapat pekerjaan supaya bisa mandiri dan mengangkat derajat keluarganya. Cuma dia satu-satunya anak dalam keluarga mereka yang bisa kuliah. Lainnya berhenti saat lulus SMP atau SMA."

"Nah! Benar sekali," ujar Ismet, senang karena mendapatkan celah. "Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan? Saya dan istri cuma ingin Faisal selesai kuliah dulu, baru menentukan calon istri. Kalau sekarang sudah lengket, saya khawatir sebenarnya Faisal belum benar-benar tahu wanita seperti apa yang cocok dengan dia. Kami mau sekolahkan dia ke Jakarta. Nanti kalau setelah selesai kuliah ternyata mereka masih saling cinta, kami tidak akan menghalangi."

Suryani kaget. Nasib Yun bagaimana bila mereka terpisah jauh? "Kapan Faisal dipindah? Faisal sekarang adalah satu-satunya sandaran Yun. Kalau dipisah, saya tidak yakin Yun akan pulih."

"Oh, begitu?" Ismet menoleh istrinya, mencari pendapat.

"Bisakah ditunda sampai Yun pulih?" pinta Suryani.

"Baiklah, Bu. Kamu bukan orang kejam yang tutup mata begitu saja. Faisal akan kami pindah saat tahun ajaran baru. Jadi masih ada waktu sekitar tiga bulan. Cukupkah?" tanya Widya. "Sebagai timbal balik, saya akan luluskan seperti apa pun skripsi Yuniar asal dia selesai menulisnya. Setelah lulus nanti, kami akan bantu Yun untuk mendapat pekerjaan. Tapi, kami cuma minta satu, tolong ibu bujuk Faisal agar mau pindah ke Jakarta. Bagaimana, Bu?"

Penawaran tersebut masuk akal bagi Suryani. Skripsi adalah penyebab stres Yun. Bila Yun segera lulus, pasti akan mempercepat penyembuhan.

"Bu, kami cuma minta diberi kesempatan," ujar Ismet. "Kesempatan untuk mengarahkan anak kami mendapatkan yang terbaik bagi dia. Ibu pasti paham. Setelah itu, biarlah Tuhan yang mengatur jodoh mereka."

"Pindah sekolah di tahun terakhir itu tidak mudah bagi seorang remaja, Pak. Mengapa tidak diselesaikan saja SMA-nya di sini, sambil diberi pengertian tentang memilih pasangan?" bantah Suryani.

Ismet dan Widya menghela napas panjang bersamaan.

"Bu, kami tidak mau ambil risiko," ujar Ismet.

Perkataan itu semakin menegaskan bahwa mereka tidak menyetujui hubungan Faisal dan Yun. Mau dilihat dari sisi mana pun, Faisal memang masih anak-anak dan belum saatnya terlalu serius pacaran.

"Bagaimana, Bu, setuju?" tanya Ismet lagi.

Suryani mengangkat bahu. Rasa kesal menyeruak, membentuk dengkusan lirih. "Apa saya punya pilihan lain? Sudah sangat jelas kalau Bapak dan Ibu tidak menghendaki hubungan mereka berlanjut."

"Mohon jangan tersinggung. Kami juga memikirkan masa depan Yun. Karena itu kami membuat penawaran tadi. Mungkin perlu saya ulangi sekali lagi bahwa yang dibutuhkan Yun saat ini adalah sembuh, lulus kuliah, dan mendapat pekerjaan. Benar?" kata Ismet dengan nada sesimpatik mungkin.

Perkataan Ismet membuat Suryani harus menerima keadaan dengan kepala dingin. Tidak ada lagi yang bisa dikatakan selain menyetujui. "Baiklah, saya setuju. Tapi Bapak dan Ibu juga harus berjanji, kalau nanti setelah Faisal lulus kuliah dan mereka masih saling mencintai, jangan lagi dihalangi."

Widya dan Ismet saling pandang sejenak, kemudian mengangguk. Mereka sudah mempertimbangkannya semalam. Waktu lima tahun mungkin cukup untuk mendewasakan Faisal dan membuatnya mengerti tentang wanita yang paling cocok untuknya. Siapa tahu selera anak itu berubah setelah dewasa. Bukankah di luar sana begitu banyak gadis berbagai jenis yang bisa dipilih? Apa lagi mereka terpisah jauh. Sangat mungkin Faisal akhirnya berpindah hati, bukan?

"Ya, Bu. Kami janji," ujar Ismet dengan tegas.

"Tapi ibu juga bantu Yun agar berobat dengan baik supaya nanti bisa bekerja dengan baik dan tidak kambuh lagi. Untuk masalah biaya, kami akan membantu," imbuh Widya.


//////////////

Komen please ......

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top