24. Ketakutan
= Banjarmasin, 2020 =
Sudah beberapa hari Yun menutup diri. Setiap datang, Faisal hanya menemukan rumah yang terkunci rapat dan gorden yang tertutup. Ia yakin Yun berada di dalam karena mendengar "Dynamite" melantun sayup-sayup. Walau terus ditolak, ia tidak menyerah. Keesokan hari, sepulang sekolah, ia datang. Lagi dan lagi.
Sore ini adalah upayanya yang keenam. Faisal masih menemukan rumah yang lengang. Jendela depan dan samping tertutup. Di samping kiri dan kanan rumah Yun, terdapat pagar dari kayu dan seng gelombang. Pagar semipermanen itu membatasi pekarangan belakang. Karena sederhana, terdapat celah di bagian pintu yang juga terbuat dari kayu dan seng gelombang.
Faisal mengintip melalui celah tersebut. Matanya memicing untuk meneliti pekarangan belakang. Ia tersenyum lebar saat melihat Yun tengah mengisi ember dengan air dari kran.
"Yuuuun!" panggilnya seraya menggedor pintu seng.
Yun menoleh dan terlihat kaget. Tahu ada orang datang, ia meninggalkan ember beserta kran yang terbuka begitu saja, lari menghindar.
"Yuuuun! Jangan lari! Ini aku, Faisal. Tolong, bukain pintu! Aku mau ngomong sama kamu!" Faisal berteriak.
Tak terdengar jawaban dari Yun. Gadis itu telah menghambur ke dalam rumah. Faisal tahu dari bunyi pintu yang ditutup dengan keras. Melihat kekasihnya telah menghilang ke dalam, Faisal terpaksa mengitari teras depan, lalu berjalan ke arah samping kanan, di mana jendela kamar Yun berada.
"Yuuuun! Jangan kayak gini, dong? Aku sayang kamu, aku kangen kamu!" seru Faisal sambil mengetuk kaca jendela beberapa kali.
Di dalam, Yun meringkuk di sudut kamar sembari memasang headset. Diputarnya lagu "Dynamite" keras-keras untuk mengusir suara Faisal. Ia seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Dunia yang serba tidak pasti, gelap, dan mengancam.
Ia tahu Faisal di luar. Sebagian jiwanya ingin berlari ke pelukan pemuda itu. Namun, tangan dan kakinya seperti ditahan oleh rantai yang ditambatkan ke lantai.
Kamu nggak boleh ketemu dia! Suara dari dalam kepala Yun menggema.
Yun paling benci bila suara-suara itu mulai terdengar. Semuanya berbicara sendiri-sendiri. Penuh sekali tempurung kepalanya hingga untuk berpikir sulit. Jangankan berpikir. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali tidur.
Faisal kembali mengetuk dan memanggil. "Yuuun, masa kamu tega banget? Aku salah apa, Yun? Aku sayang kamu. Biar aja semua orang nggak setuju. Aku nggak peduli!"
Dia bohong, Yun! Dia penipu! Kamu cuma buat iseng aja! Mana ada anak SMA serius pacaran? Mana adaaaa?
"Dia baik. Faisal baik. Kamu salah!" Yun menyanggah suara lain yang berasal dari kepalanya sendiri.
Percuma. Suruh dia pulang, cepaaat!
Suara menggelegar itu seperti meledak dalam batok kepala Yun. Gadis itu kontan gemetaran tidak karuan.
"Faisal, kamu pulang ajaaaa!" teriaknya dengan suara serak.
Walau diteriaki, Faisal senang. Setidaknya Yun mau merespons panggilannya. "Enggaaaak! Aku nggak akan pulang sebelum ketemu kamu!"
Selesai ucapan Faisal, tiba-tiba Yun mendengar suara riuh. Seperti seisi dunia sedang membicarakan dirinya. Tak lama kemudian, sebuah teriakan menyembul nyaring.
Usir dia, Yun! Usir! Ibunya jahat, anaknya pasti juga jahat!
Tak ada yang bisa dilakukan Yun selain menuruti. "Pergi kamu, pergiiiiiihh!" teriaknya kepada Faisal, kali ini diiringi air mata yang meluber ke pipi.
Fasial tertegun. Teriakan itu seperti suara orang yang dilanda ketakutan hebat. Ia ikut kalut. "Yuuun, ayo buka! Aku sayang kamu! Jangan nangis sendirian di situ. Ada aku di sini buat kamu!"
Jangan percaya! Dia anak kecil labil. Kamu pasti kecewa nanti!
Hati kecil Yun meronta. Tapi aku sayang dia! Kenapa kamu melarang?
Karena kamu nggak cocok sama dia! Nggaak cocooook! Cincinnya lebih bagus kamu buang!"
"Jangaaaan!" Yun mengiba sambil memegang cincing Faisal erat-erat.
"Buaaaang!"
"Ja-jangan, tolong, jangan dibuang!"
Sementara itu, di luar rumah, Faisal mencium bau benda gosong. Ia semakin panik. Digedornya kaca jendela agar Yun mau membuka pintu.
Suara gaduh itu justru membuat Yun semakin kacau. Sebuah lengkingan nyaring kembali berkumandang hingga Yun merasa telinganya mendenging. Serta merta dilepasnya headset. Begitu terlepas, "Dynamite" tak terdengar lagi. Suara-suara dalam kepala justru semakin banyak dan semakin nyaring.
Kontan, Yun tak sanggup menahan. Kedua tangannya segera mencengkeram kepala dengan kencang. Dengan sekuat tenaga, ia menjerit. Berharap teriakan itu bisa membungkam suara riuh yang menggangunya.
Mendengar jeritan itu, Faisal kalang kabut. "Yuuuun! Kamu kenapa? Ada apa di dalam situ?"
Yun masih memekik-mekik sambil menangis. Bau gosong semakin keras tercium. Faisal yakin sekali ada yang tidak beres dengan kekasihnya. Hanya satu yang ada dalam pikiran, mencari bantuan segera. Ia berlari ke rumah sebelah. Bapak-bapak pemilik rumah keluar dengan keheranan.
"Pak, tolong! Yun teriak-teriak di dalam rumah. Ada bau terbakar. Saya takut dia kenapa-napa."
Lelaki paruh baya itu mengikuti Faisal dengan tergopoh. Mereka berdua tidak berhasil masuk ke rumah. Akhirnya, bapak itu memanggil RT setempat, sedangkan Faisal menghubungi Suryani melalui telepon.
Bersama Ketua RT dan beberapa lelaki, mereka mendobrak pintu pagar belakang. Mereka kaget menemukan benda-benda seperti ember, bangku plastik, sapu, pel terserak di halaman belakang, seperti habis digunakan tapi ditinggalkan begitu saja. Halaman juga kotor, penuh dedaunan. Sepertinya berhari-hari tidak disapu. Air menggenang dari kran yang tidak ditutup. Dari arah dapur, asap tebal mengepul.
Mereka segera mendobrak pintu dapur. Pintu yang terbuat dari kayu murah itu terbuka dengan mudah. Begitu masuk, mereka menemukan kondisi dapur berantakan dan kotor. Api di kompor menyala. Sebuah panci mengepulkan asap tebal. Masakan di dalamnya telah hangus dan berubah menjadi hitam.
Setelah mematikan kompor, mereka mencari Yun di dalam rumah. Gadis itu ditemukan tengah meringkuk sambil menunduk dan memegang kepala. Kondisinya kacau sekali. Begitu pula kondisi kamarnya, berantakan.
"Yun, kamu kenapa?" tanya Faisal. Saat dijamah, Yun menjerit dan semakin meringkuk.
Pak RT juga berusaha memanggil, namun Yun sangat ketakutan. Ia bergerak menjauh, tetap meringkuk di lantai.
Faisal tak memedulikan rasa malu lagi. Direngkuhnya gadis itu. Tubuh yang mungil dan rapuh terbenam dalam pelukan. Yun memberontak, namun Faisal mempererat pelukan.
"Ssssshhh! Ini aku, Faisal. Kamu udah aman, Yun. Udah aman! Kamu dengar?" bujuk Faisal sambil mengelus lembut punggung gadis itu.
Kehangatan dan aroma tubuh Faisal rupanya masih dikenali Yun. Ingatannya berangsur pulih. Seiring dengan itu, ototnya mengendur. Tak lama kemudian, ia merenggang dan mendongak.
"Faisal?" bisiknya.
Senyum lega terkembang pada wajah Faisal. "Iya, ini aku. Faisal!"
Faisal kemudian membimbing Yun untuk bangkit dan berpindah ke kasur. Seorang tetangga membawakan air minum. Yun menerimanya dengan tangan gemetar sehingga Faisal terpaksa membantu memegang gelas.
"Kamu kenapa, Yun?" tanya Pak RT.
Mata Yun bergulir ke kiri dan kanan, seperti memindai keadaan. "Saya ... saya ...." Ia tergagap dan kehilangan kosa kata.
"Ayo bilang aja, Bapak akan bantu kamu," bujuk Pak RT lagi.
Yun menoleh, menunjuk ke jendela. "Saya takut itu ... ba-banyak orang ngomongin saya. Mereka bikin saya takut."
"Siapa mereka?"
Yun tidak menjawab. Matanya tidak fokus. Namun, ia masih mengenali Faisal dengan baik. "Ak-aku jaga cincinmu. Mereka nggak suka cincinmu."
"Hah? Cincin apa?" Faisal bertanya dengan keheranan karena pembicaraan Yun meloncat-loncat.
Yun tidak menjawab. Gadis itu duduk dengan gelisah. Jemarinya bergulat keras di pangkuan. Sedangkan matanya bergerak ke sana ke mari.
Faisal tertegun. Sebuah ketakutan kini mencengkeram jantungnya.
////////////////
Komen, please ......
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top