23. Harus Ngomong
Yun bergegas ke parkiran tanpa menghiraukan tatapan keheranan orang-orang. Tangannya menutup telinga, berusaha meredakan denging yang membuat pusing. Selain itu, ia merasa pikirannya tersiar ke mana-mana. Semua orang sekarang dapat melongok isi kepalanya.
Tidaaakkk! Jangaaannn!
Yun berlari menuju parkiran. Begitu sampai, ia segera mengeluarkan kunci. Malang, tangan yang gemetar membuat kunci itu terjatuh ke kolong sepeda motor.
Aaaaargghhh!
Dengan susah payah, Yun menunduk untuk menjangkau kunci. Saat bangkit, seseorang mendekat.
"Hey! Ngapain nangis? Revisi lagi?"
Yun terbelalak saat tahu yang berbicara itu si pemuda aneh di perpustakaan. "Pergiiii!" serunya.
"Apa kubilang. Kamu nggak bakalan diwisuda!" tukas pemuda itu.
"Diam!" sentak Yun.
Tiba-tiba, bahunya disentuh. Yun menoleh. Ternyata Urai, teman seangkatan.
"Yun, kamu kenapa?" tanya Urai.
Yun mengalihkan pandangan ke tempat pemuda tadi berdiri. Ternyata orang itu lenyap! Bulu kuduk Yun seketika meremang. Tanpa menjawab pertanyaan Urai, ia menstarter sepeda motor, lalu menarik gas, menghindar secepatnya dari situ. Di ujung parkiran, ia kembali mendengar sayup-sayup pemuda itu terbahak mengejek.
☆☆☆
Hanya karena kasih sayang Yang Mahakuasalah Yun sampai di rumah dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun. Tangisnya sudah reda, namun kepalanya masih penuh dengan pikiran yang berseliweran seperti benang kusut.
Saat masuk, terlihat Suryani mengemasi baju dengan wajah sembab. Begitu melihat Yun, ia memanggil.
"Yun, Ibu harus pulang kampung. Mamak sakit keras," ujarnya sambil menahan tangis.
"Nenek sakit apa, Bu?"
"Darah tinggi, strok. Maklum, udah tua. Kamu berani, kan, sendiri di rumah?"
"Kapan Ibu pulang?"
Suryani menggeleng lemah. "Belum tahu. Lihat kondisi."
Yun mengangguk. Tak lama kemudian, sebuah mobil travel berhenti di depan rumah. Suryani berangkat setelah meninggalkan sejumlah uang pada Yun. Setelah mobil yang membawa Suryani pergi, tersisa Yun seorang diri.
Lengang.
Suasana sepi itu tiba-tiba mencekam. Yun segera menutup semua jendela, gorden, pintu, lalu mengunci diri di kamar sambil meringkuk di kasur.
Faisal, kamu masih sekolah?
Aku takut.
Yun meraih ponsel, lalu memutar "Dynamite". Irama lagu yang rancak itu segera menumbuhkan kekuatan dalam hati. Perlahan, otot-otot tegang Yun mengendur. Ia bisa rebah dengan lebih nyaman. Diciumnya cincin giok merah pemberian Faisal, seolah mencium kekasihnya itu. Ingatannya kembali ke saat mereka berciuman pertama kali. Bibir Faisal juga merah seperti giok ini. Dan ... dan bibir itu mirip dengan milik ibunya, dosen angker itu.
Rasa takut kembali mendera, mencengkeram hati Yun. Ia ngeri akan masa depannya. Semua terlihat gelap. Sanggupkah menyelesaikan skripsi? Sanggupkah hidup tanpa senyum Faisal? Yang paling menyiksa, tak ada masa depan bagi anak lonte dan tukang cabul. Tidak ada!
Yun kontan memegang kepala, ada banyak suara memenuhi otak. Serasa seisi dunia tengah berbicara padanya.
Oh, sakit!
Faisal ... tolong aku!
Dengan pikiran buntu, Yun mengacak rambut dan memukul kepala, berharap tindakan itu merontokkan isi otak yang kacau.
Yun merintih sendiri di kasur. Entah berapa lama. Yang jelas, bantalnya basah.
☆☆☆
Langit telah berubah warna menjadi jingga. Bias cahaya kemerahan menerobos jendela, menerangi kasur dan tubuh Yun. Gadis itu masih meringkuk tanpa daya.
Bel pintu berbunyi.
Satu kali. Yun tidak bergerak.
Dua kali. Yun masih tidak bergerak.
Tiga kali.
Terdengar langkah kaki di samping rumah. Yun berdebar.
Siapa dia? Jangan-jangan pemuda jahat di perpustakaan itu.
Kaca kamar diketok dari luar. "Yuuuun!"
Yun terjingkat. Itu suara Faisal. Serta merta ia bangkit, lalu menuju jendela.
"Haaai! Ketiduran?" sapa Faisal. Senyum manisnya terkembang, cerah seperti cuaca sore ini.
"Faisal?" Yun menyeka mata yang bengkak karena terlalu lama menangis.
"Wah, kamu mutar 'Dynamite' nyaring-nyaring. Demen bangetkah?"
Yun menoleh ke ponsel. Ternyata suara musik itu sangat nyaring. Ia baru menyadarinya. Mungkin karena isi otak terlalu penuh, ia tidak tahu volume suara ponselnya disetel maksimal.
"Oh, iya ... eh, bentar. Aku bukain pintu depan."
Yun pergi ke depan, lalu membuka pintu. Faisal telah melesat ke depan dan muncul di ambang pintu sambil celingukan.
"Kok sepi?" tanya Faisal tanpa bergerak masuk.
"Ibu pergi ke Pangkalan Bun. Ibunya Ibu sakit keras."
"Wah, semoga bukan sakit serius. Yuk duduk di teras aja. Nggak enak di dalam kalau rumah kosong."
Yun menurut, duduk di samping Faisal di bangku teras. Ada rasa yang bergetar dalam dada saat berdekatan dengannya. Aroma lelaki itu harum. Mungkin habis mandi. Diciumnya lengan baju di dekat ketiak. Faisal menoleh dan tersenyum lebar.
"Bau, ya? Bau apa? Bau kambing?" Faisal langsung menggoda.
"Iiiih! Enggak, kok!" Yun tersipu.
"Kamu belum mandi? Cepetan mandi! Katanya mau ketemu mamaku."
Mendengar itu, Yun kontan tertunduk. "Nggak jadi, Sal," rintihnya sambil berlinangan air mata. "Tadi udah ketemu di kampus."
Wajah Faisal meredup. "Loh, kenapa ketemu di sana? Aku kan udah bilang, kalau ketemu mama harus sama-sama aku."
Yun hanya terisak, sehingga Faisal menjadi gusar.
"Nah, kan gini nih jadinya. Pasti mama kelewatan. Itu kenapa kamu harus aku temenin, Yun! Kalau ada aku, mama nggak berkutik."
"Mamamu benar. Kita putus aja ya, Sal?" rintih Yun lagi.
Mata Faisal berkilat karena tidak terima. "Siapa yang suruh kamu minta putus? Mamakah?"
Yun sesenggukan semakin keras, namun tidak mengatakan apa-apa. Faisal mendengkus dan berdecak. Marah sekali pada ibunya karena sudah ikut campur.
"Enggak, kok. Mamamu nggak suruh kita putus. Aku sendiri yang mau begitu. Kamu nggak cocok buat aku."
Faisal ternganga. "Aku nggak percaya! Itu bukan kamu banget!"
Yun memainkan jemari di pangkuan dengan kalut. "Jangan datang ke sini lagi, ya?"
"Nggak! Aku nggak mau! Jangan nyerah gitu, dong?"
"Aku takut ...."
Faisal paham sekarang. Tak salah lagi. Ibunya telah melakukan sesuatu pada gadis ini. Pantas saja ia diinterogasi wanita itu saat hendak pergi tadi. Untung ia raja ngeyel. Tidak ada satu hal pun yang bisa membuatnya surut.
"Mama ngancam kamu pakai skripsi, ya?" bisiknya.
Yun menggeleng. Bagi Faisal, menggelengnya Yun itu sama dengan mengangguk.
"Ya udah. Yuk kita selesaikan tinjauan pustaka dan kerangka konsep. Kalau urusan skripsi beres, kamu lepas dari mama."
Tangis Yun mereda. Faisal sedikit lega. "Udah, cepetan mandi. Kita ke Asiah, yuk," bujuk Faisal.
Yun menoleh dan menatap kekasihnya. Mata bening itu kembali membuat hati Fasial berdebar keras.
"Kenapa, sih, silau banget di sini?" keluh lelaki itu.
"Ah? Masa silau?" Yun keheranan. Belum hilang keheranannya, tahu-tahu bibir Faisal mendarat di pipi.
"Oh, ternyata silaunya karena wajahmu memancarkan cahaya cinta, Yun!"
"Ihhhh!" Gadis manis itu menghujani pinggang kekasihnya dengan cubitan. Faisal berlari ke halaman untuk menghindar. Yun terlampau penasaran. Disusulnya cowok itu. Seperti dua anak kucing, keduanya kejar-kejaran sambil tertawa riuh.
Biar saja tetangga heran, pikir Faisal. Apa dosa kejar-kejaran dengan pacar sendiri?
Tiba-tiba, sebuah kendaraan berhenti di depan halaman, lalu membunyikan klakson. Gerakan Faisal maupun Yun terhenti. Jendela mobil itu diturunkan perlahan. Wajah Widya muncul dari balik kaca hitam.
Dunia bagai terbalik bagi Yun. Rasa takutnya membuncah. Tanpa berkata-kata lagi, gadis rapuh itu berlari ke dalam rumah, lalu mengunci pintu. Faisal segera menyusul.
"Yun, buka!" Faisal mengetuk beberapa kali.
Tak ada balasan.
"Yuuuun! Jangan kayak gini. Buka, dong? Aku mau ngomong!"
Sunyi.
Berkali-kali Faisal mengetuk, Yun bergeming. Pintunya tertutup rapat. Amarah Faisal memuncak. Dengan wajah tegang, dihampirinya mobil Widya.
"Apa maksudnya ini, Ma, Pa?!"
"Pulang, Sal. Kita ngomong di rumah," sahut Widya dingin.
"Ya! Mama benar! Kita harus ngomong!"
Faisal meninggalkan Yun yang kekeh tidak mau membuka pintu dan bergegas menyalakan sepeda motor untuk pulang menemui ibunya. Tidak ada hasil apa pun dari percakapan ibu dan anak yang sama-sama emosi. Yang terjadi adalah Widya masuk ke kamar sambil menangis dan membanting pintu. Darah Widya memang mengalir di nadi Faisal. Anak itu juga membanting pintu saat keluar rumah. Ia tidak pulang sampai tengah malam karena menenangkan diri di rumah Sopian.
"Faisal di situ?" tanya Ismet melalui telepon kepada Sopian.
"Iya, Om."
"Kalau dia aneh-aneh, cepat huhungi Om, ya?"
"Siap, Om!"
_____________
[1] Urai Bungas ada di cerita genre romance fantasy yang berjudul Percobaan 44 dan Anoi 1894. Mampirlah.
☆---Bersambung---☆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top