21. Namanya Yun
= Banjarmasin, 2036 =
Mereka menikmati es buah dengan dada bergemuruh. Saat mulai makan tadi, status keduanya masih single. Sekarang, belum keluar dari resto, mereka telah menjadi sepasang kekasih.
Ehm! Kalbu Faisal semakin hangat saat menyadari bahwa mulai saat ini ada seseorang mengisi ruang kosong yang ditinggalkan Yun. Walau Yun-nya yang sekarang memang bukan tipe idaman masa kecil—putri lembut nan rapuh yang membutuhkan perlindungan—namun Yunida sama sekali tidak kalah menawan. Ia bukan gadis lemah, melainkan tegar dan penuh energi. Agaknya, jenis wanita idamannya telah berubah akibat kehadiran Yunida. Jujur, harus diakui bahwa dunianya menjadi terang benderang karena semangat gadis ini. "Dynamite" pun mengalun kuat, membawa serta gairah masa remaja, merebakkan senyum yang telah lama hilang. Bukankah menyenangkan bersama seseorang yang sanggup mendatangkan keceriaan?
"Kamu pernah punya cowok, Yun?" tanya Faisal tiba-tiba. Ia tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin mengenal lebih dalam.
Yunida mengangguk. "Abang mau tahu ceritanya?"
Faisal mengangguk. "Boleh. Kalau kamu nggak keberatan."
Yunida menggerakkan sebelah tangan dengan cepat. "Enggak, Bang. Tapi gantian, nanti Abang harus cerita mantan-mantan Abang."
"Boleh. Mantanku nggak banyak. Jadi nggak bakalan lama ceritanya."
Yunida meletakkan sendok, lalu meringis sejenak. "Mantan pertama, temanku di kelas empat ...."
"Ha? Kelas empat SD kamu udah pacaran?" Faisal ternganga.
"Dih! Cuma gitu-gitu aja, kok. Cinta anak monyet."
Faisal mengembuskan napas. Ternyata ada yang lebih kacau dari dirinya. "Ya udah. Terus, kenapa putus?"
Yunida meringis lebar. "Nggak jelas juga kapan dan kenapa putusnya. Namanya juga cinta anak monyet."
"Karena kamu dapat cowok baru?"
"Eh, aku bukan tukang selingkuh, Bang! Dia yang dapat cewek baru pas kelas lima."
"Oooooo!" Faisal mengangguk-angguk kecil sehingga Yunida merasa digoda. Gadis itu membalas dengan mencibir panjang.
"Terus habis itu ada lagi cowokmu?"
"Ada. Satu di SMP dan satu di SMA. Tapi malas cerita. Nggak penting. Nggak berkesan sama sekali."
"Oh, oke. Habis itu?"
"Habis itu waktu kuliah dapat kakak kelas."
"Siapa?"
"Hendy. Abang ingat? Pasti udah pernah stase di bagian psikiatri."
Faisal mengerutkan kening sejenak, berusaha mengingat satu demi satu mahasiswanya. "Hmmm, yang stase sebelum ini, bukan? Yang dari Kalteng?"
Yunida mengangguk.
"Kenapa putus?"
"Orangnya rese, Bang. Begini nggak boleh, begitu nggak boleh."
Faisal seperti melihat cerminan dirinya dalam kepribadian Yunida. Cerdas, namun susah diatur. Menantang sekali gadis ini!
"Habis sama dia—"
"Busyet! Masih ada lagi? Banyak bener mantanmu, Yun!" sergah Faisal.
Yunida tidak terpengaruh, cukup membalas dengan cibiran. "Gini-gini, banyak yang suka. Abang sendiri bilang tadi."
"Ya udah! Siapa lagi pacarmu?" ujar Faisal dengan ketus.
Yunida terkekeh. Faisal terlihat seperti remaja bila merajuk. "Dih, nggak perlu cemburulah! Mereka cuma mantan, Bang."
"Ada berapa lagi mantanmu?" ulang Faisal.
"Cuma dua lagi."
"Hmmm," sahut Faisal dingin.
"Yang satu, polisi. Dijodohin sama papa. Cuma jalan sebulan udah ketahuan selingkuh sama cewek lain. Bubar langsung, Bang."
"Hmm, kamu patah hati, dong?"
"Enggak! Cowok nggak penting begitu buat apa ditangisi? Kayak cowok dunia cuma dia aja. Masih banyak pilihan, kok."
Faisal tertampar. Sudah berapa tahun dirinya gagal move on? Enam belas tahun? Yunida benar-benar mengalahkannya!
"Yang satu lagi teman sesama Koas."
Mata Faisal melebar. "Ahaaai! Ada lagi sainganku di kampus. Siapa lagi, tuh?"
"Yang ini aku yakin Abang kenal banget."
"Oh ya? Siapa?"
"Arman."
Kali ini, Faisal tertegun. "Yun! Jangan permainkan aku! Aku nggak akan sanggup kalau cuma kamu jadikan selingan!"
Yunida menjawab dengan santai, "Semoga enggak, Bang."
"Kok semoga?!"
"Loh, loh. Jangan marah. Tadi Abang bilang apa coba? Bukannya, 'Yuk kita coba setahun.' Nah. Harus menunggu setahun biar pasti, Bang!"
Faisal kontan merengut. Yunida tak dapat menahan diri, terbahak-bahak sampai mulas.
"Abang sendiri emang udah yakin sama aku? Abang udah pacaran berapa kali? Sekarang gantian cerita, dong."
"Malas! Kamu bikin aku bad mood."
Bukannya takut, Yunida malah cengar-cengir tidak jelas. "Ya udah, kalau emang bad mood. Mumpung belum keterusan, kita putus aja, gimana?"
Faisal kontan memicing. Belum setengah jam jadian, Yunida sudah menantang putus?
Beneran, kamu ini bikin geregetan, Yun!
"Hiiiishhhh!" desisnya. "Mana papamu, aku mau ketemu!"
Yunida melongo. "Untuk apa?"
"Loh, aku harus minta izin buat pacaran sama putrinya. Supaya kamu dijaga dan diingatin keluargamu kalau ada cowok lain punya niat aneh-aneh."
Hati Yunida bersorak, tapi mulutnya manyun panjang. "Dih! Belum-belum Abang posesif."
"Yun, tolong ya, aku serius kali ini!" ucap Faisal dengan nada tegas.
"Iiiiya, Bang. Papa ada di belakang. Yuk!"
Petang itu juga, Faisal meminta restu pada ayah Yunida untuk berkencan dengan putrinya. Melihat sosok Faisal dan latar belakang lelaki itu, sang ayah langsung merestui.
☆☆☆
Malam itu, sepulang dari tempat Yunida, Faisal tidak langsung menuju rumah. Entah mengapa, hatinya mengajak berkeliling melewati tempat-tempat di mana kebersamaan dengan Yun-nya dulu diukir.
Di dekat masjid raya, ia berhenti sejenak. Halaman masjid—yang dibangun untuk menghormati ulama besar yang berjasa mengembangkan agama Islam di Kalimantan Selatan, yaitu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari—sangat luas. Terdapat hutan mini di sekelilingnya. Dalam keremangan hutan itu, salah satu kenangan paling berkesan bersama Yun dipahat.
Bunyi telepon mengagetkan Faisal.
"Ya, Pa? Gimana kabar mama?"
"Baik. Kamu nggak pulang? Mama kangen banget."
"Sibuk, Pa. Aku mengajukan beasiswa doktoral."
"Oh?" Balasan Ismet terdengar mengambang dan hambar. Mungkin kecewa mendengar penolakan anaknya. "Beasiswa ke mana?"
"Oxford."
"Ah ... berapa lama? Kapan berangkat?"
"Belum tentu lolos. Kalau lolos mungkin tahun depan, Pa. Sekitar tiga tahun lebih."
"Sal, datanglah ke Semarang, jenguk mama." Suara Ismet terdengar memohon.
"Iya, Pa. Nanti," sahut Faisal, hambar seperti biasa.
Terdengar desahan panjang dari lawan bicaranya di Semarang. "Kamu nggak bisa terus begini. Mama butuh kamu. Kondisinya makin lemah."
"Pa, aku kurang apa? Aku dulu udah siap buat donor ginjal, tapi mama sendiri menolak. Kalau sekarang makin lemah, apa itu juga salahku? Itu pilihan mama sendiri."
"Papa paham soal itu. Papa cuma ingin lihat kalian berbaikan sebelum ...."
Faisal mendengkus. Ia paling benci diintimidasi dengan cara seperti ini. Ia pasti pulang, tapi nanti. Nanti saat hatinya sudah bisa diajak datang ke Semarang. Nanti saat lukanya telah mengering. Akhirnya, demi mengamankan suasana agar tidak memanas, ia berniat memberi sedikit penawar sakit hati sebagai pengganti ketidakhadiran.
"Pa, aku mulai dekat dengan seseorang," ujarnya pelan.
"Oh, ya? Siapa?" Suara Papa Faisal berubah antusias. Upaya itu berhasil.
"Aku kirim fotonya." Faisal mengirimkan foto pacar barunya melalui WA. "Gimana, Pa? Suka?"
Terdengar suara sang ayah berbicara dengan gegap gempita pada Widya. Tak lama kemudian, suara Widya-lah yang terdengar.
"Sal, cantik banget! Anak mana?"
"Dia Koas stase terakhir. Sebentar lagi lulus. Anak sini, setengah Banjar setengah Dayak Kalbar."
"Oh, dokter juga!" Suara Widya terdengar kembali. "Siapa namanya?"
"Namanya ... Yun."
Tiba-tiba sunyi. Baik Ismet maupun Widya tidak sanggup menyahut.
//////////////////
Komen please ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top