17. Tidak Baik-Baik Saja
= Banjarmasin, 2020 =
Di ruang tamu Yun yang sederhana, berkas-berkas terhampar di meja dan kursi kayu. Sebagian merupakan jurnal ilmiah yang berhasil Yun kumpulkan dari internet. Sebagian lagi bagian textbook yang difotokopi.
Sebuah laptop lama, yang masih menggunakan OS Windows XP, terbuka dan menyala di antara berkas-berkas. Faisal sebenarnya tidak tega melihat perangkat tua yang tebalnya melebihi setangkup roti tawar itu. Sudah uzur. Coba bayangkan bila tiba-tiba minta pensiun alias mati, apa jadinya skripsi Yun?
"Jangan lupa bikin backup," sarannya.
"Buat apa backup?"
Faisal menunjuk komputer jinjing yang layarnya sudah redup. "Tuh, udah kayak lampu kehabisan minyak. Bentar lagi kena serangan jantung, terus-"
Tangan Yun segera membekap mulut kekasihnya. "Jangan ngoceh jelek-jelek. Nanti kejadian beneran!"
Faisal menangkap tangan tersebut, lalu mendaratkan bibir di sana.
"Saaaal! Kamu godain aku terus!" rengek Yun. "Awas, ada Ibu Sur di belakang!"
Takut terlihat oleh ibu angkat Yun, Faisal segera melepaskan tangan berjari lentik tersebut. Sejenak, Yun mengalihkan perhatian dari tugas berat tersebut ke wajah kekanakan di sampingnya. Setiap melihat raut rupawan itu, otaknya sedikit jernih.
"Aku tahu aku kece. Tapi nggak usah dipelototi terus gitu, dong?" goda Faisal.
Kontan Yun mencibir. "Aku stres, Sal," keluhnya sejurus kemudian.
"Kamu mau neliti apa, sih?" Faisal menjulurkan kepala untuk membaca apa yang tertera di layar laptop. Tulisan yang terbaca sama sekali tidak ia mengerti.
"Aku mau neliti hubungan merokok dengan kejadian penyakit paru."
"Penyakit paru? Kanker paru?"
"Bukan. Tuberkulosis."
Faisal menggaruk kepala. "Itu penyakit paru-paru basah, bukan?"
"Iya. Orang awam bilangnya seperti itu."
"Emang susah kalau ambil topik itu?"
"Ihhh, kamu nggak ngerti. Susah banget!"
"Loh, mamaku bilang apa? Apa yang kurang?"
"Ini." Yun menunjuk layar laptop. "Definisi, etiologi, cara penularan, gejala, epidemiologi, dan faktor risiko TB paru udah."
Kening Faisal berkerut. "TB tuh apa? Toko buku?"
Yun berdecak. "Ih, maklum anak SMA. TB tuh singkatan tuberkulosis."
Mulut Faisal membulat, menyuarakan 'o' panjang. Matanya ikut membulat sehingga Yun terkekeh. Kalau sudah begitu, dunia terasa cerah.
"Kurangnya apa?" tanya Faisal.
Yun menggaruk kepala, berharap otaknya menjadi jernih dan sanggup menunaikan tugas dengan lancar.
"Kerangka teorinya salah melulu, Sal. Kalau enggak benar, aku nggak bisa lanjut Bab 3 tentang kerangka konsep dan hipotesis. Gimana, nih?" Suara Yun lirih, mirip rintihan.
Faisal ikut terjangkit rasa frustrasi. Ingin sekali ikut membantu, tapi sampai di mana, sih, pengetahuan anak SMA?
"Ya, udah. Dicoba aja. Kalau salah, dibetulin lagi."
"Udah, tapi salah terus. Kata Bu Wid, bagan yang kubikin nggak nyambung sama teori yang kutulis di atas."
"Nggak nyambung di bagian mana?"
Bukannya menjawab, Yun malah menutup wajah dengan kedua tangan. "Aku nggak tahu, Sal, nggak paham! Otakku kayak buntu. Kayak kepenuhan!" Sesudah itu, bahunya berguncang keras. Isakan tertahan memecah keheningan ruang tamu.
Hati Faisal seperti teriris. Dikeluarkannya flash disk, lalu diangsurkan kepada Yun.
"Udah, jangan nangis. Cepetan kamu salin semua tulisan dan bahan ke sini. Ntar malam, aku coba pelajari di rumah."
Tangis Yun terhenti. Dengan wajah sembab, ditatapnya Faisal dengan tak percaya. "Emang kamu ngerti?"
Dada remaja tanggung itu langsung membusung. Kedua alisnya terangkat-angkat. "Lihat aja nanti!" ujarnya dengan sangat percaya diri.
Yun hanya melongo.
"Eh, malah bengong? Kesambet, ntar. Udah, cepetan kerjain!" perintah Faisal, tegas bak sabda raja. "Habis itu kita jalan."
Yun akhirnya melakukan apa yang diminta Faisal tanpa protes. Setelah itu, mereka membereskan laptop dan berkas-berkas, kemudian pamit pada ibu angkat Yun.
"Kita mau ke mana?" tanya Yun saat naik ke boncengan sepeda motor.
"Makan, yuk?"
"Makan apa?"
"Kayak biasa."
"Asiah Resto?"
"Yap!"
"Di sana mahal, Sal. Beli mi ayam aja, yuk?"
Faisal terkekeh. "Aku dapat uang terjemahan lagi. Buat apa kalau bukan buat traktir kamu?"
Faisal menyalakan mesin sembari mengamati Yun dari spion. Ia tahu, wajah merona gadis itu karena kata-kata barusan membuat hatinya meleleh. Hmm, rayuan gombalnya belum pernah gagal!
Yun melingkarkan lengan di pinggang ramping Faisal. Biarpun lima tahun lebih muda, punggung remaja ini telah cukup untuk menyembunyikan badannya yang mungil. Disandarkannya pipi ke tubuh liat berbalut jaket kulit itu. Seketika, deru kegalauan reda, berganti bunga-bunga yang bermekaran.
"Jangan ketiduran!" seru Faisal. Tangannya menepuk dan mengelus tangan Yun.
"Enggak. Tenang aja!"
Mereka meluncur ke arah pusat kota. Dari Km. 6 di mana rumah Yun berada, hanya membutuhkan sekitar lima belas menit untuk sampai di Asiah Resto. Rumah makan makanan laut yang terkenal itu terletak di Km. 3.
Sepeda motor Faisal menembus kepadatan lalu lintas Banjarmasin dengan lincah. Yun beberapa kali mempererat pegangan, walau sebenarnya Faisal tidak mengebut. Cengkeraman Yun baru terlepas saat mereka memasuki halaman parkir resto yang luas.
Seperti biasa, rumah makan itu ramai dikunjungi pelanggan. Faisal menggandeng tangan Yun tanpa ragu menuju tempat duduk di pojokan. Dari tempat itu, mereka dapat menikmati kolam kecil dan taman asri di samping jajaran meja dan kursi.
"Jelawat saus bawang, 'kan?" tanya Faisal untuk memastikan.
Yun mengangguk. "Boleh? Ikan jelawat mahal, Sal."
Faisal hanya menjawab dengan decakan, dan Yun pun semakin lebar tersenyum. Ada yang menyenangkan selama bersama cowok ini. Dirinya selalu merasa diistimewakan.
"Berapa halaman yang harus kamu terjemahin biar bisa bayar makanan di sini?" tanya Yun lagi.
Faisal terkekeh. "Banyak."
Sorot mata Yun langsung memancarkan kekhawatiran. "Ah, berapa banyak?"
"Sebanyak cintaku padamu, Yun!"
Hati gadis ayu itu kontan melambung. Kata orang pintar yang bisa melihat hal-hal dunia lain, di sekeliling mereka berhamburan bunga api berbentuk hati yang membuat wajah keduanya berkilau.
Setelah menunggu beberapa waktu, hidangan datang. Jelawat saus bawang dan kepiting telur asin. Uap beraroma sedap mengepul dari masakan yang baru saja diangkat dari wajan tersebut.
"Kamu nggak coba kepiting?" tanya Faisal.
Yun mengangguk, lalu mengambil sepotong. "Bikin gatalan nggak, ya?"
"Enggak. Makan aja sama cangkangnya."
"Masa cangkang dimakan?"
Faisal mengangguk mantap. "Renyah, loh! Dan mengandung antigatal."
Tanpa berprasangka, Yun melahap kepiting beserta cangkangnya.
"Enak?" tanya Faisal.
Yun mengangguk. "Kata siapa, sih, cangkangnya antigatal?"
Faisal menahan senyum. "Aku bercanda, kok."
Mata Yun membulat seketika. "Jadi, enggak beneran buat antigatal?"
Faisal terbahak-bahak hingga nyaris tersedak. Dengan geram, Yun melempar gumpalan tisu ke wajah anak itu.
"Kamu ngerjain aku!" pekiknya.
"Tapi cangkangnya bener enak, 'kan?" balas Faisal tanpa merasa bersalah.
Belum sempat Yun menjawab, dua orang mendatangi meja mereka. Gadis itu menoleh. Seketika, wajahnya berubah pias.
"Faisal Elvano!" Sebuah suara bernada geram membuat Faisal menoleh dan mendongak. Sejenak, matanya melebar dan membulat. Namun, detik berikutnya ia berdiri dan menarik kursi.
"Mama dan Papa mau makan bareng? Silakan, Ma."
Wajah Widya memerah. Ismet yang berdiri di sampingnya segera melingkarkan lengan di pinggang wanita mungil itu. Widya tahu, ia tidak boleh berbuat kasar di depan umum.
"Mama tunggu kamu di rumah!" sentaknya, walau dengan suara pelan. Setelah menghunjamkan pandangan petir kepada sang putra, tatapannya beralih ke Yun. "Dan kamu, Yun! Besok temui saya di kampus!"
Sesudah melempar kemurkaan, wanita itu meninggalkan rumah makan dengan langkah pendek-pendek yang gegas, diikuti oleh suaminya.
Faisal duduk kembali. "Diiih, diajak makan malah sewot!"gerutunya. "Yuk, lanjut, Yun!" Tangannya meraih sepotong kepiting.Saat itulah, ia baru sadar bahwa Yun tidak baik-baik saja.
//////////////////
Gimana nasib Yun besok?
😊😊😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top