15. Salah Apa
= Banjarmasin, 2036 =
Hidup itu penuh kejutan. Acap kali, lembaran baru dimulai tanpa terduga, tanpa persiapan, bahkan dianggap sebagai gangguan. Hal yang mengusik itu sekarang berdiri tepat di hadapan Faisal. Dari balik layar laptop dan tumpukan kuesioner di meja, tampak Yunida berdiri tegak, lengkap dengan senyum manis dan mata berbinar. Kulit kuning terangnya semakin cerah karena mengenakan rok terusan dari kain tenun Sasirangan[1] berwarna kuning yang dilapisi jas Koas berwarna putih. Sosok itu cemerlang, sangat kontras dengan kondisi ruangan Faisal yang penuh tumpukan berkas, buku, dan berbagai kardus. Belum lagi cat dindingnya yang putih polos, semakin menambah kesan kusam.
"Kamu? Ada perlu apa?" tanya Faisal. Tangannya meraih sebuah berkas kuesioner yang menggunung di meja. Walau sudah melatih enumerator dan memastikan mereka bisa mengumpulkan informasi dengan baik, ia merasa harus mengecek sendiri data primer itu untuk dicocokkan dengan angka-angka yang diinput di komputer. Kedatangan Yunida jelas merusak konsentrasi, lebih dari apa pun. Apalagi saat teringat kejadian tadi pagi, hatinya menggondok.
"Tadi pagi Dokter memanggil saya menghadap siang ini," sahut Yunida. Sama sekali tidak ada aura takut di wajah gadis itu. Diam-diam Faisal kagum dengan mentalnya. Sayang, ia merasa gadis ini menantang minta ditindas. Padahal ia harus menjaga kewibawaan sebagai dosen. Mengganggu sekali!
"Oh, itu," sahut Faisal datar, kemudian kembali memandang layar laptop. Hanya mata saja yang terarah ke situ. Otaknya tidak, justru memikirkan bagaimana mengurus gadis ini. "Silakan duduk. Ada yang harus saya kerjakan."
Dari sudut mata, terlihat Yunida duduk di depan meja Faisal. Ia tampak tenang, walau sorot matanya menunjukkan sedikit keheranan. Makhluk indah itu tanpa sadar membuat Faisal mencuri pandang ketika mengambil kuesioner. Sekali, dua kali, tiga kali. Ternyata setiap melakukan itu, matanya beradu pandang dengan Yunida.
Kamu lihat aku terus, Yun? Suka?
Sudut bibir Faisal terangkat sedikit. Kontan, jiwanya menggelegak kembali seperti belasan tahun yang lalu saat ia masih mengendarai sepeda motor, bolak-balik dari rumah-sekolah-rumah Yun-nya. Ah, sensasi rengkuhan tangan itu masih hangat di pinggang. Kepala yang rebah di punggung pun masih terasa sangat jelas.
Betapa cepat waktu berlalu. Enam belas tahun terlewati begitu saja karena kesibukan sekolah, menangani pasien, mengajar, dan melakukan penelitian. Kalau dipikir-pikir, ia masih merasa berumur belasan. Ya, ia harus jujur mengakui bahwa jiwanya masih selabil dan semembara remaja delapan belas tahun.
Beberapa menit berlalu. Yunida terlihat gelisah. Akhirnya, Faisal meletakkan kuesioner, kemudian menutup laptop.
"Kamu tahu kenapa saya panggil ke sini?"
Yunida menatap dengan mata bundar polosnya. "Tidak, Dok." Jawaban itu singkat dan diucapkan tanpa ragu.
Luar biasa cewek ini!
Tidak jelas apakah itu pujian atau keluhan. Yang pasti, Faisal terganggu oleh sikap tegas itu.
"Saya salah apa sama kamu?" tanya Faisal.
Pertanyaan itu mengagetkan Yunida. Gadis itu tidak menjawab, malah balas menatap sejenak, kemudian membuang muka ke arah lain.
"Saya tahu kamu kesal tadi pagi. Benar, 'kan?" tuduh Faisal. Ia tidak peduli bila dianggap sensitif. Coba saja Yunida mengelak, akan ia cecar lebih gencar.
"Mmm, saya cuma ... kurang suka dipanggil Yun," jawab Yunida akhirnya.
Alis Faisal terangkat. "Ooooh! Maaf. Kenapa kalau boleh tahu?"
Yun mengangkat bahu. "Aneh, Dok. Rasanya seperti tukang sayur."
Faisal ingin tertawa. "Oh, masa? Bagi saya nama panggilan itu bagus. Lagipula, saya tidak mengada-ada. Yun itu bagian dari namamu. Kenapa kesal?"
Tanpa terduga, Yunida menatap lurus-lurus, langsung menembus hati Faisal. "Kalau boleh tahu, kenapa Dokter ngotot memanggil saya Yun?"
Karena cinta pertamaku bernama Yun.
"Karena mudah diingat," sahut Faisal asal saja. "Jadi untuk selanjutnya, saya harap kamu tidak keberatan dengan panggilan itu."
Yunida tidak menjawab. Itu berarti ia tidak setuju.
"Besok, saya tidak mau ada Koas yang pura-pura tidak mendengar saat saya panggil," lanjut Faisal dengan nada agak keras. "Kamu mengerti?"
Bukannya mengangguk, Yunida justru bertanya, "Dokter sudah makan siang?"
Sudah pasti otak Faisal langsung memercikkan api. Entah api apa karena ternyata ia tidak marah. Yunida benar, ia sampai melewatkan makan siang. Nasi yang dibelikan OB tadi masih terbungkus rapi di atas piring di meja tamu.
Yunida meringis. "Jangan marah, Dok. Pasti belum, 'kan?"
"Memangnya kenapa kalau saya belum makan? Kamu mau bilang saya sensi karena perut saya kosong?"
Tanpa diduga pula, Yunida bangkit, kemudian memberi isyarat tangan. "Bukan, bukan begitu! Tunggu sebentar di sini, Dok!"
"Hah?"
Tubuh mungil itu melesat keluar ruang. Faisal hanya bengong melihat rambut ekor kuda gadis itu bergoyang-goyang keras akibat gerakan berjalan yang gegas.
Beberapa menit kemudian, gadis itu datang lagi. Di tangannya terdapat sebuah kotak persegi empat berwarna hitam dengan hiasan gambar bambu di bagian tutup. Dari wujudnya, Faisal menduga itu kotak bento.
"Silakan, Dok," ujar Yunida seraya menyerahkan kotak tersebut. Di atasnya, ia letakkan sepasang sumpit.
Faisal hanya bengong saat kotak itu disorongkan ke hadapannya. Otak raja ngeyel-nya blank.
"Kamu ngapain?" tukasnya.
"Oh, saya tadi ditraktir Arman karena dia ulang tahun. Jadi bekal saya tidak ada yang makan. Kasihan sushi-nya, Dok, tersia-sia. Itu bikinan saya, loh. Resep warisan keluarga. Silakan dicicipi."
Mata Faisal langsung nanar. Gadis di depannya ini sungguh menyimpan banyak kejutan. Seharusnya ia bisa mengusir atau memarahi. Tapi di dalam hatinya sekarang justru muncul rasa ... gemas?
"Kamu mau menyogok saya dengan sushi? Kamu mau apa sebenarnya?" cecar Faisal sok marah. Padahal ia mati-matian menahan ujung bibir agar tidak melengkung ke atas. Ekspresi Yunida yang kebingungan sangat memuaskan hati.
"M-maaf, Dok. Saya sudah lancang," sahut Yunida dengan suara serak. Ia segera bergerak mendekat ke meja, lalu meraih kotak bento.
Faisal membiarkannya sejenak. Melihat wajah yang memucat itu, ia tidak tega. "Mau kamu apakan kotaknya?"
Tangan Yunida membeku. "Mmm ... Dokter tidak mau sushi ini. Jadi say-"
"Kapan saya bilang tidak mau?" sambar Faisal.
Yunida kontan mengerjap. Kotak diletakkan lagi di depan Faisal. Tatapan Faisal seperti berucap, 'Makanya, jangan sok ngeyel!'. Ia mengerti sekarang mengapa orang-orang bilang dosen satu ini agak eksentrik.
"M-maaf, Dok."
Dengan hati girang karena berhasil mempermainkan Yunida, tangan Faisal bergerak membuka kotak tersebut. Beberapa gulungan nasi yang terbungkus lembaran rumput laut hitam tersusun rapi di dalamnya. Seketika, makanan berbentuk unik itu membuat Faisal lupa segala hal.
"Apa di dalam ini?" Jari Faisal menunjuk bagian tengah gulungan.
"Itu daging kepiting dan alpukat."
"Nasinya khusus? Kok bisa lengket?" tanya Faisal. Ia membandingkan dengan nasi dari beras unus, yaitu beras lokal Kalimantan. Nasi unus harum, tapi teksturnya keras sehingga butirannya tidak lengket.
"Ah, tidak, Dok. Cukup pakai beras dari Jawa, lalu diberi cuka dan gula sedikit biar lengket."
Faisal masih takjub dengan kejutan ini. Aneh, tapi menyenangkan.
"Saya tidak mau!" tukasnya.
Yunida terkesiap dan menjadi berdebar karena tidak tahu isi pikiran Faisal. Dengan cemas, ia menatap dosen ganteng itu, berharap perbuatannya tidak menimbulkan kemarahan.
Faisal tidak tega menggoda lebih lanjut sehingga segera meringis lebar. "Kalau makan sendiri, saya tidak mau. Kamu harus temani saya!"
Mata Yunida melebar. "Siap, Dok!"
"Saya mau cuci tangan dulu. Kamu juga harus!" ajak Faisal. Lelaki jangkung itu bangkit, lalu berjalan menuju wastafel di kamar mandi.
Yunida membuntuti. Mereka berdiri berdekatan di wastafel.
"Kamu duluan," perintah Faisal.
Yunida menurut. Tangan halusnya terjulur ke bawah kran. Diam-diam, Faisal melirik gadis ajaib di sampingnya. Tangan mungil itu terasa berkilau, menimbulkan percikan-percikan aneh yang semakin lama semakin kuat.
Tiba-tiba, Yunida mendongak karena telah selesai mencuci tangan. Tatapan keduanya beradu. Napas terhenti. Begitu pula seisi dunia, menghilang seketika, menyisakan pijar-pijar yang keluar dari mata. Kini, percikan itu bertukar tempat, saling merasuki, dan meresap ke kalbu tanpa bisa dibendung.
"S-saya sudah, Dok," ujar Yunida.
Faisal tersadar, namun ia tidak mau melepaskan pandangan sehingga wajah Yunida memerah.
"Oh, iya. Sekarang giliran saya."
Akibat adu pandang itu, keduanya kehilangan kosa kata sehingga hanyakesenyapan yang menemani mereka makan.
_____________
[1] Motif Sasirangan adalah motif kain khas Kalimantan Selatan. Dibuat dengan mengikat bagian-bagian kain menjadi jumputan-jumputan kecil sebelum diwarnai.
☆---Bersambung---☆
Ga kebayang klo punya dosen aneh begini. Ya kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top