14. Tantangan


= Banjarmasin, 2020 =

Faisal pulang sore itu dengan membawa kenangan indah wajah Yun yang kembali berseri setelah ia jenguk. Ia sudah berjanji untuk membantu menerjemahkan jurnal dan mengedit tinjauan pustaka. Semoga proposal tersebut segera disetujui dan Yun bisa lanjut ke tahap berikutnya. Rasanya sedih juga bila setiap kali harus menyaksikan kekasihnya itu berlinang air mata. Harus diakui bahwa ibunya sangat idealis. Tidak jarang mahasiswa bimbingan terpaksa bolak-balik revisi beberapa kali baru selesai.

Saat masuk ke rumah, ayah dan ibunya tengah duduk berdampingan di sofa ruang tengah. Faisal memberi salam sekadarnya untuk berbasa-basi, kemudian segera masuk ke kamar. Baru sampai ambang pintu, panggilan berkumandang.

"Dari mana kamu?" tanya Widya.

"Dari jalan sama teman, Ma," jawab Faisal. Ia tidak berniat menutupi bila ditanya tentang pacar.

"Duduk dulu sini!" perintah Widya lagi.

Aura dingin mengisi ruang itu padahal cuaca Banjarmasin cukup panas. Firasat Faisal mulai mengeluarkan alarm tanda bahaya. Agaknya, akan terjadi perdebatan sengit lagi malam ini.

Begitu duduk di depan ayah dan ibunya, Faisal sengaja diam menunggu.

"Mama kok dengar kabar nggak enak soal kamu," ujar Widya membuka pembicaraan. "Mahasiswa Mama melapor macam-macam."

"Wah, mahasiswa Mama sekarang dapat mata kuliah spionasekah? Kabar apa, Ma?" Hati Faisal berdebar. Jangan-jangan Yun-lah yang dibahas.

"Kamu punya pacar?" telisik Widya kembali. Wajah cantiknya menunjukkan ketidaksukaan.

Faisal mengangguk mantap, tanpa ragu menjawab, "Punya. Kenapa, Ma?"

Widya dan suaminya saling pandang. Hal itu membuat perasaan Faisal semakin tidak enak.

"Siapa pacarmu? Bener mahasiswa Mama yang datang ke sini dulu?"

"Iya, Ma." Faisal sengaja menjawab singkat, berusaha memberi kesan biasa saja. Apa salahnya lelaki seusia dirinya memiliki pacar?

Kening Widya berkerut. "Siapa namanya?"

"Yuniar Lestari."

Jawaban itu sontak membuat Widya menarik napas panjang. "Saaaaal! Mau kamu ini apa, sih?!"

"Kenapa, Ma? Aku nggak boleh punya cewek? Aku jalan sama dia ongkosnya nggak minta Mama, loh. Aku cari uang sendiri."

"Saaaaal! Sekali-kali bikin Mama seneng kenapa, siiiih? Kamu itu anak Mama satu-satunya. Harapan Mama satu-satunya!"

Faisal malas menjawab karena bila ditanggapi, omelan ibunya bisa sepanjang Jembatan Barito.

Ismet menepuk paha istrinya untuk menenangkan. Bila tidak dicegah, perdebatan seperti ini bisa menjadi ajang saling sahut yang amat ricuh.

"Gini, Sal. Papa dan Mama kepingin kamu serius belajar dulu. Kamu kan baru tujuh belas tahun. Masih jauh jalan yang harus kamu tempuh. Sebaiknya jangan melekat dulu dengan cewek mana pun. Yang kamu lihat sekarang baik, belum tentu akan cocok seterusnya sampai kamu dewasa nanti."

Faisal masih bergeming dalam diam. Tidak salah penuturan sang ayah, sehingga tidak perlu dibantah, bukan? Berdasarkan pengalamannya bersilat lidah dengan orang tua, diam adalah emas. Ia akan menunggu ke mana angin bertiup, baru membuat reaksi. Jangan gegabah memulai langkah. Salah-salah, justru senjata makan tuan.

"Sal, kalau dinasehati orang tua itu didengarkan!" sergah Widya. Ia yakin sekali, diamnya Faisal bukan karena menurut.

"Aku dengar kok, Ma," jawab Faisal kalem.

"Terus kenapa nggak jawab?"

"Mama maunya gimana?" Faisal balik bertanya dengan wajah sok tak bersalah. Memangnya ia salah apa? Masa pacaran sopan dengan gadis baik-baik salah? Bagaimana kalau ia jujur sering main ke tempat Noni di Landasan Ulin?

"Eeeeh, kok gimana? Mama minta jangan pacaran! Kamu nggak tahu Yuniar itu seperti apa?"

Faisal mengerutkan kening. "Kenapa dia, Ma? Ada yang nggak pas?"

Widya menarik napas panjang sambil berusaha sabar. Berbicara dengan Faisal selalu sesulit ini. Entah apa yang salah sehingga semua kata-katanya justru tidak didengar. Semakin dilarang malah semakin menjadi. Ia kerap putus asa bagaimana mengendalikan anak lelakinya ini. Menurutnya, Faisal terlalu pemberani dan liar. Dan hal itu sangat menakutkan.

"Dia lima tahun lebih tua, Sal! Nggak cuma itu, anaknya aneh. Dikasih tahu nggak ngerti-ngerti, diajak ngomong nggak nyambung. Kamu mau punya istri ajaib begitu?"

Mendengar pacarnya dijelekkan, darah muda Faisal memanas. Punggungnya langsung tegak bersamaan dengan kedua alis bertaut. Mata elangnya menyorotkan bara. "Maksud Mama?"

Widya kesal melihat perubahan sikap Faisal. "Nah, nah! Mulai melawan lagi!" tuduhnya.

Ismet langsung merangkul istrinya untuk membuatnya tenang. "Ma! Ngomongnya pelan-pelan, dong. Kalau sambil emosi gitu, nanti Faisal nggak paham."

Widya melengos dan mendengkus keras. Faisal belum mau surut. Pandangannya beralih ke ayah tiri, menuntut penjelasan.

Ismet menghela napas panjang sebelum bicara. Membesarkan Faisal layaknya memelihara anak singa. Salah-salah, ia bisa kena cakaran membabi buta.

"Maksud Mama tuh gini, Sal, jangan pacaran dulu. Berteman saja, jangan terlalu serius dengan cewek. Nanti kalau sudah kuliah, baru kamu mulai pilih-pilih pacar. Kalau sekarang, belajar dulu yang utama."

"Ada yang salah sama nilaiku, Pa?" tantang Faisal.

Ismet menghela napas lagi. Memang tidak ada yang salah dengan prestasi akademik anak ini. Ia bahkan selalu masuk tiga besar kelas paralel, walau tidak pernah terlihat sibuk belajar.

Bila terlalu keras melarang, Ismet khawatir Faisal membuat ulah lagi. Dulu, ia pernah dipanggil guru BK karena prestasi anak itu anjlok. Masa nilai semua pelajaran 50? Persis 50, tidak kurang tidak lebih! Ia akhirnya sadar Faisal sengaja membuatnya begitu karena dilarang ikut olah raga bela diri dengan alasan mengganggu pelajaran.

Ia tahu salah satu faktor yang membuat Faisal begitu adalah dirinya. Anak itu tidak pernah suka memiliki ayah tiri.

"Nggak ada yang salah. Kamu sudah menjadi murid yang baik."

"Lalu, kenapa cewekku dipermasalahkan?" tuntut Faisal.

Ismet memutar otak. Menasehati anak ini, seperti beradu diplomasi dengan seteru negara.

"Sal, memilih calon istri itu, harus banyak pertimbangan. Di umur kamu sekarang ini, jelas belum waktunya untuk memikirkan calon istri. Lagipula, apa kamu sudah kenal dia benar-benar?"

"Aku juga belum mau nikah, Pa. Kalau dibilang belum kenal benar, nggak salah juga, sih. Makanya, aku harus ketemu dia biar makin tahu orangnya gimana." Faisal tak mau kalah berargumentasi.

"Papa kasih tahu datanya kalau gitu. Mau dengar nggak?"

"Apa?"

"Yuniar itu nggak jelas latar belakangnya. Kamu nggak tahu kakaknya sakit apa? Orang tuanya gimana?"

"Kenapa orang tua dan kakaknya?" Faisal kini balik bertanya. Ada rahasia apa dibalik sikap pemalu Yun?

"Orang tuanya bercerai. Kamu sudah tahu?"

Faisal mengangguk. Yun sendiri pernah bercerita tentang sejarah keluarganya yang pilu. Ia sama sekali tidak khawatir bila dicecar masalah latar belakang orang tua Yun karena punya senjata ampuh buat melawan Ismet. Bukankah pernikahan ayah dan ibunya juga tidak bebas dari noda hitam? Tunggu saja, senjata pamungkas ini akan ia keluarkan bila benar-benar terdesak.

"Papa tahu dari mana?"

"Orang tua asuhnya pernah ketemu Mama waktu pertemuan orang tua. Ada satu hal lagi. Kamu sudah tahu kondisi kakaknya?"

Kali ini Faisal menggeleng. Ia memang tidak tahu apa-apa tentang hal satu ini. Ia hanya ingat Yun pernah mengelak saat ditanya tentang kakaknya.

"Kakaknya terkena gangguan jiwa berat. Namanya skizofrenia."

Kening Faisal berkerut. "Emang kenapa kalau kakaknya sakit itu? Masih bisa berobat, 'kan?"

"Masalahnya, Sal, penyakit skizofrenia itu sering punya kaitan genetik. Kalau kakaknya begitu, adiknya juga rentan terserang gangguan yang sama."

Faisal mengerti sekarang. Mereka berusaha memisahkan dirinya dari Yun.

"Nggak semua saudara kandung akan kena, kan? Yun kuat kok orangnya. Selama ini, dia udah berjuang keras buat sekolah. Nyatanya dia baik-baik aja. Dia stres gara-gara Mama terlalu idealis, revisi proposalnya nggak selesai-selesai."

Widya kontan membelalak. "Loooh, kok Mama disalahin? Kamu nggak tahu Yuniar itu orangnya aneh? Mama kasih tahu, ya, itu udah gejala, Sal!"

"Semua orang stres pasti aneh, Ma! Mama sendiri nggak merasa aneh apa? Tuh, mahasiswa-mahasiswa juluki Mama 'Dosen Killer'."

Widya meradang. Ia hampir meneriaki Faisal kalau tidak dicegah suaminya.

Melihat gelagat tidak mengenakkan itu, Faisal bangkit. "Aku tahu mana cewek yang baik buatku. Mama dan Papa nggak usah ikut campur."

"Heeei!" Widya memekik.

Faisal menghentikan langkah. "Oh, ya. Aku nggak mau masuk kedokteran. Jangan memaksa, Ma."

"Looh, siapa nanti yang mengurus rumah sakit kakekmu?"

"Biar kakek aja pikirin."


///////////////////

Hiyaaah ... bandel apa pinter Faisal ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top