11. The Red Jade Ring
= Banjarmasin, 2020 =
Seperti melayang ke awan-awan, perasaan Faisal bercampur aduk tidak karuan. Tapi yang diaduk itu semua hal yang bagus-bagus; senang, bahagia, bangga, kangen, dan berdebar-debar. Bayangkan, ia baru saja diterima oleh cinta pertama! Dunia kontan berwarna-warni bagai pelangi.
Faisal meraih sebuah kotak kecil berbentuk hati yang bagian luarnya dilapisi beludru berwarna merah menyala. Di dalamnya terdapat sebuah perhiasan sederhana. Itu adalah cincin yang terbuat dari batu giok berwarna merah. Biarpun sederhana dan harganya tidak seberapa, benda ini dibeli dengan uang hasil jerih payah sendiri, bukan sisa uang jajan pemberian orang tua.
Oh, buat gadisnya, ia harus berusaha sendiri. Masa untuk menyenangkan pacar harus menadahkan tangan pada orang tua? Gengsi, dong.
Sudah lama Faisal jengah dengan sikap ayah dan ibunya. Mereka saja bisa pergi seenak perut sendiri. Masa ia dikekang? Yang paling parah adalah perlakuan ibunya. Sedikit-sedikit takut anak semata wayang ini celaka atau sakit. Saking paranoidnya sang ibu, Faisal sampai terpengaruh. Saat kanak-kanak dulu, ia sempat merasa tidak akan berumur panjang.
Hal yang lebih menyakitkan adalah tuntutan untuk menjadi yang terbaik.
"Tuh, sepupumu aja bisa. Masa kamu enggak?" Ibunya selalu membandingkan dengan saudara yang lain.
Untung ia punya sifat memberontak. Otaknya tergolong encer. Banyak ide meletup untuk melawan kekangan. Jangan lupa, kata 'takut' tidak ada dalam kamusnya. Ditekan di sini, ia akan mencari jalan lain. Kalau perlu, menjebol tembok.
"Kamu itu satu-satunya harapan Mama dan Papa. Jangan bikin malu orang tua." Nasehat ayahnya selalu sama. Apakah lelaki itu tidak memiliki perbendaharaan kata yang lebih banyak?
Papa?
Faisal mendengkus. Ayahnya hanya satu, yang sekarang sudah tenang di surga. Ayah yang ini hanya bapak sambungan yang tidak pernah ia setujui. Jadi, orang luar jangan coba-coba ikut mengatur hidupnya.
Faisal mengeluarkan sepeda motor. Setelah pamit pada asisten rumah tangga, ia melaju ke rumah Yun.
🌺🌺🌺
Yun kaget. Panggilan Faisal berdering tidak sampai lima belas menit setelah dirinya menyatakan rasa sayang.
"Yun, aku udah di depan."
"D-depan mana?"
"Di depan gerbangmu. Cepetan keluar. Banyak nyamuk, nih."
Mata Yun melebar. Faisal datang? Gawaaaat! Ia antara senang dan bingung.
Yun bergegas ke halaman. Di sana, Faisal duduk di sepeda motor, tepat di depan gerbang. Mengenakan jaket hitam, dan disorot lampu taman yang temaram, sosoknya tidak seperti anak ABG. Begitu melihat Yun, ia bangkit dari duduk, dan berjalan mendekat pintu gerbang.
"Haduuuh, ntar aku dimarahi Ibu. Malam-malam ketemu cowok," keluh Yun, hanya pura-pura. Padahal hatinya girang.
"Nggak usah buka gerbang, biar nggak dicurigai macam-macam," kilah Faisal. "Habis, aku nggak mau nunggu sampai besok. Ntar perasaanku kedaluwarsa."
Yun mengerjap.
"Mana tanganmu?" tanya Faisal.
"Emang kenapa?"
"Udah, deh. Ntar juga tahu. Mana?"
Dengan diiringi tatapan keheranan, Yun mengulurkan tangan melewati pintu gerbang yang tingginya hanya sepinggang. Tangan itu langsung diraih oleh Faisal. Cincin batu berwarna merah darah diselipkan di jari manis.
"E-eh, apa ini?"
Faisal tersenyum bangga. "Cincin giok merah. Suka, nggak?"
Yun mengamati jemari. Cincin merah itu terlihat kontras dengan jemarinya yang putih. "Suka."
"Aku baru bisa beliin cincin giok. Ntar kalau udah punya uang, aku beliin yang bagus."
"Oh, ya? Kapan itu?"
"Setahun lagi lulus SMA. Lalu kuliah empat tahun, lalu kerja. Paling lama lima tahun. Aku juga bisa kuliah sambil kerja."
"Jangan, ntar lama lulusnya kalau sambil kerja," saran Yun.
Faisal terkekeh. Pacarnya itu tidak tahu kalau otaknya encer. Sekarang saja, cukup sekali membaca, ia langsung paham isi pelajaran.
"Kalau beli-beli gini, nggak dimarahi mama dan papamu?" tanya Yun.
"Nggak ada hubungannya. Aku beli dari uang hasil kerja."
"Oh, kerja apa?"
"Nerjemahin makalah kakaknya teman."
"Nerjemahin ke bahasa Inggris?"
Faisal mengangguk. Dadanya semakin membusung saat menemukan sorot kagum dari pacarnya.
Entahlah. Sejak kenal Yun, energinya terfokus untuk mencari uang buat membiayai kencan mereka. Jangan sampai ayah tirinya mengolok lagi. Satu kalimat lelaki itu masih terngiang dan membuat darah mendidih.
"Beli celana dalam aja masih minta orang tua, masa udah berani pacaran?"
Ayah tiri kurang ajar! Ia terpaksa menjauhi Cindy, Lani, dan Nara gara-gara ejekan itu. Tapi, biarlah. Cewek-cewek manja itu tidak ada apa-apanya dibandingkan Yun.
"Tahu nggak apa kegunaan giok merah?" tanya Faisal.
Yun menggeleng. "Ini beneran batu giok? Kukira giok cuma berwarna hijau."
"Banyak warnanya. Ada yang putih, kuning, dan cokelat. Nah yang merah ini namanya batu daya hidup. Gunanya buat kekuatan, ngilangin takut dan ragu-ragu, biar hidup lebih semangat."
"Kayaknya cocok buatku."
"Aku tahu. Makanya kupilih yang merah."
Dada Yun mengembang. Pacar ABG-nya ini ternyata lebih dewasa dari dugaan.
"Kata orang, giok merah juga bagus buat kesehatan. Biar energinya banyak, nggak loyo."
Yun terkikik. "Kamu cocok jualan giok."
"Masa?"
"Beneran."
"Kalau hasilnya banyak dan halal, aku mau aja."
"Ck! Katanya mau kuliah? Kalau cuma jualan giok aja nggak perlu kuliah juga bisa."
"Eh, kamu bener. Tapi aku emang harus kuliah. Mau tahu kenapa?"
"Biar mama dan papamu bangga?"
"Bukan."
"Loh?"
"Bentar lagi kamu sarjana. Masa aku cuma modal ijazah SMA. Nggak level, dong!"
Mata Yun semakin bersinar. "Beneran, ya. Kamu harus sekolah yang tekun, lalu lulus sarjana cum laude."
"Siap 86, Komandan!"
Mereka terbahak sejenak. Angin malam berembus, memberikan rasa sejuk di tengah hawa panas Kalimantan. Sejenak, angin membelai dua pasang tangan yang saling menggenggam di atas pintu besi. Hati yang tertaut telah menepis perbedaan usia dan latar belakang. Kini hanya ada laki-laki dan perempuan yang tengah menatap masa depan. Suara jangkrik dan kodok menjadi nyanyian pengiring diucapkannya janji di dalam hati.
"Kamu mau kuliah di mana?" tanya Yun memecah kesunyian.
Kontan nyanyian alam di hati Faisal bubar. Masalah mau kuliah di mana ini bukan perkara ringan. Ia masih harus berjibaku melawan kedua orang tua.
🌺🌺🌺
= Banjarmasin, 2036 =
Faisal tidak menyangka, akhirnya justru mengikuti permintaan orang tua untuk kuliah kedokteran, jurusan yang dulu sangat ia benci. Napas panjangnya terembus, menyertai tangan yang meraba dada. Di balik kemeja, digantung menggunakan kalung emas putih, cincin giok merah milik Yun. Cincin yang dikembalikan dengan air mata.
Lima belas tahun yang lalu, ibu angkat Yun memberikan amplop berisi cincin dan tulisan tangan singkat yang sebagian kabur karena tetesan air. Ia yakin, itu air mata Yun.
Buat Faisal.
Tolong, lupain aku.
Yun
Sekarang, benda itu sengaja ia jadikan mata kalung agar dekat dengan hati dan dibawa ke mana pun pergi.
Bibir Faisal mengulas senyum ketika memori wajah Yun yang bahagia memandangi cincin giok merah itu membuncah. Gelora cintanya masih terasa. Tetap sama seperti saat pertama terbentuk. Padahal, dirinya bukan ABG naif lagi.
Cinta memang abadi.
Faisal terpejam, merasakan gelombang yang mendera. Seiring dengan itu, beberapa buliran bening mengalir turun dari sudut mata, membasahi senyum getir yang tersungging.
////////////
Penasaran?
Folllow IG-ku juga ya: nataliafuradantin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top