27| Rimpuh, Lumpuh

Semesta di mana terdapat eksistensi ekosistem mereka berempat, mendadak terasa remuk di sana-sini. Elemen-elemen pembangunnya hancur dan dibawa pergi oleh kesiur angin. Suasana tidak menyenangkan itu diakhiri Bintang yang langsung berlarian dari Jembatan Cimulu.

Ketiga teman lainnya hanya bisa mengamati kepergian itu dalam diam. Kepergian seseorang yang memutuskan untuk berbalik arah dan meninggalkan perjalanan mereka sejauh ini, setelah begitu banyaknya subbab-subbab kehidupan yang dituliskan bersama, sebelumnya.

Tak ada satu pun yang berniat untuk angkat suara. Mereka sama-sama dilahap senyap. Kecamuk berjuta asumsi berbalut emosi tumpang-tindih, bertarung dalam benak, saling meniadakan di tengah keheningan. Bunyi-bunyi nyanyian binatang malam yang mengisi sunyi.

Embusan napas berat lolos dari mulut Mat. Lelaki itu menyugar rambutnya, sambil bergerak menuju tepi jembatan. Manik netra hitam legamnya tenggelam di antara arus sungai yang tenang, berharap kejernihan air mampu memberikannya sedikit kewarasan untuk tetap berpikir rasional.

"Olimpiade? Tanpa Bintang?"

Pertanyaan retoris Kiano hanya mengudara tanpa satu pun tanggapan.

Mat meletakkan kedua lipatan tangannya di atas tepian jembatan, sekaligus mengetuknya dengan jari-jari, dalam tempo yang konstan. Bagaimanalah mereka bisa fokus mengerjakan soal-soal olimpiade, jika keadaan mereka saja begini? "Ini berat untuknya."

Di sisi lain, Alfis hanya membuang muka ke sembarang arah. Pematang sawah yang hanya diterangi lampu seadanya dari saung-saung kecil tempat para petani beristirahat, juga kerlip gemintang yang tampak menertawakan mereka.

Sama-sama resah, Alfis mengacak-acak rambutnya. Garis rahang Alfis mengeras. Kalimat Bintang tadi terdengar terus bergaung dalam telinganya. Apakah Alfis memang tak seharusnya bicara pada Bintang, sejak awal? Tanpa sadar, Alfis sudah menghancurkan sepotong hati Bintang yang memang rapuh. Sebersit penyesalan menyeruak di pikiran Alfis.

"Apa kita lanjutkan saja mempelajari materi olimpiade seperti biasa?"

Pertanyaan Mat disambut tawa hambar dari Kiano. "Mana bisa. Tidak pernah ada 'seperti biasa', jika salah satunya baru saja memutuskan berbalik arah dan berhenti meneruskan langkah."

"Baiklah. Malam ini, kita kembali belajar mandiri di rumah," putus Mat, "sambil berupaya mengembalikan Bintang dalam siklus perjalanan angan."

"Sial," rutuk Alfis, tak tahan dengan amukan putus asa dari kepalanya. Ditendangnya tepian Jembatan Cimulu sekuat tenaga, lantas melesakkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, dengan napas yang menderu tidak santai. "Aku pulang."

Mendapati langkah lebar Alfis yang sudah menjauh, Kiano tampak kebingungan. Kiano melirik Mat dan Alfis bergantian, dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lantas berlari menyusul Alfis. Tinggallah Mat seorang diri.

Di ruang tengah rumah Bintang, Wulan dan Hera masih keheranan atas sikap Bintang yang kembali sendirian dan langsung mengunci diri di kamarnya. Saat ditanyai keberadaan tiga temannya saja Bintang tak menjawab.

Di atas kasur lantainya, Bintang membenamkan wajah di antara lipatan tangan. Bintang tak mau peduli. Sejak awal kisah ini bermula, Bintang memang berbeda dengan Mat, Alfis, dan Kiano. Apa yang dia harapkan? Bisa sejajar dengan mereka?

Seharusnya, Bintang tak pernah naif untuk menorehkan aksara harap.

Suara deru mesin sepeda motor di halaman membuat Bintang tertarik untuk mendekati jendela, dan mengintip lewat celah gorden. Sesuai dugaannya, itu adalah Alfis dan Kiano yang mulai tancap gas, menghilang di balik kelokan gang.

Benar. Pada akhirnya, selalu ada fase di mana mereka akan berdiri di garis kontradiksi, berseberangan, dan memilih untuk beranjak saling meninggalkan. Tak peduli seerat apa genggaman yang pernah mereka tautkan satu sama lain.

Jika sudah begini, bagaimana cara Bintang berinteraksi dengan Mat, Alfis, dan Kiano? Semuanya tentu tidaklah sama lagi. Ah. Mulai besok, Bintang harus ke sekolah menggunakan angkutan umum, tidak usah merepotkan Mat lagi. Biarlah. Keputusan yang pahit ini bisa menyadarkan Bintang untuk berhenti kebergantungan pada Mat.

Bintang harus bangkit, mulai menata ulang kerangka hidupnya. Mungkin, sehabis ini, Bintang akan belajar membuat sesuatu, juga membantu Wulan dalam mendistribusikan olahan makanan rumahan yang dijualnya. Mengelola dagangan online kedengarannya menjanjikan suatu kesempatan. Setidaknya, hasil dari penjualan ini nyata adanya. Tidak seperti kebiasaan Bintang sebelumnya, yang selalu saja berlarut-larut dalam angan kosong.

Berani bermimpi? Tidak ada yang tidak mungkin?

Rasanya, Bintang ingin menertawakan prinsip hidupnya sendiri yang begitu naif.

"Tante, Bintang tidak apa-apa?"

Suara dari ruang tengah yang amat dikenal Bintang membuat gadis itu lekas meringkuk di atas kasur lantai, lalu membungkus badannya sendiri dengan selimut tebal.

"Kau apakan Bintang, Mat?" tanya Hera, dengan tatapan menyelidik.

Mat menghela napas, tak tahu harus menjelaskannya bagaimana.

Wulan lebih dulu menyela, "Tak apa. Pasti anak itu yang mulai duluan, 'kan?"

Di balik selimut, Bintang mendengkus. Selalu saja begitu. Mentang-mentang Mat dianggap punya pikiran dewasa dan dapat lebih diandalkan, selalu Bintang yang disalahkan. Tidak salah juga, sih. Hanya saja, Bintang ingin ke ruang tengah untuk mengamuk, tetapi teringat bahwa dirinya sedang dalam mode merajuk, saat ini. Terserahlah.

🏅   🏅   🏅

Pukul tujuh malam, Alfis berlama-lama menghabiskan makan malam di tenda nasi goreng pinggir jalan. Sepanjang sejarah mengikuti olimpiade bersama-sama dengan Mat, Bintang, dan Kiano, sejak kelas delapan, rasanya baru kali ini Alfis mendapati mereka tidak menjalankan program MS dalam waktu semendesak ini. Pelaksanaannya lusa. Dan mereka malah dihadapkan konflik tak mengenakkan.

Tak bisa dipungkiri, keputusan Bintang yang tak pernah disangka-sangka itu mengganggu sebagian besar pikiran ketiganya. Tidak ada satu pun yang mampu berpikir jernih, saat ini. Karena itulah, tadi Alfis ingin langsung pergi saja untuk tidak membuat ketegangan semakin parah. Meskipun Mat sebenarnya ingin menyelesaikan permasalahan ini lebih dulu.

Benar juga. Jika semakin ditunda, dengan label 'masing-masing membutuhkan waktu untuk menyendiri', chemistry di antara keempatnya akan terhubung dalam waktu yang lebih lama lagi. Menunda penyelesaian problematika yang terjadi di antara mereka, berarti sama saja dengan merentangkan jarak semakin lebar. Kalau sudah begini, bukankah akan jauh lebih menyulitkan bagi mereka kembali utuh?

Setengah jam berlalu. Alfis tersadar untuk segera pulang. Setelah membayar dan menghabiskan beberapa menit perjalanan yang memuakkan, Alfis pun sampai. Rumah yang tak pernah menguarkan kehangatan.

Kumohon, jangan dulu. Alfis terus merapal doa dalam hati. Akan tetapi, baru saja memasuki pintu depan, pria dengan uban yang mulai memenuhi janggut tipisnya itu menghentikan langkah Alfis. "Alfis, lusa sudah pelaksanaan KSN, bukan?"

Sesaat, Alfis mendelik malas. Mulai lagi. Sebelum kalimat Razfy membuat emosinya semakin meledak, Alfis pun lekas menyahut, "Ya. Dan aku harus memenangkan olimpiade ini untuk terus ke tingkat provinsi, nasional, lalu berharap akan terpilih menjadi delegasi Indonesia dalam kompetisi tingkat Asia Tenggara, persis seperti Kak Nay yang sangat berbakat."

Dua kata terakhir sengaja betul Alfis tekankan. Mendengar itu, Razfy hanya menghela napas. "Anak pintar. Yakinlah pada dirimu sendiri. Kau bisa melampaui Kak Nay, esok hari."

"Bagaimana?" Alfis memaksakan senyuman getir. "Bagaimana caranya? Taat dan patuh angguk-angguk saja untuk kau ajari semalaman penuh, Ilmuwan?"

Razfy ikut tersenyum pahit. Tak apa. Dari kejadian sebelum-sebelumnya, Razfy sudah mempelajari beberapa hal soal putranya. Jika dirinya murka dan terpancing oleh permainan Alfis, anak itu akan memiliki alasan untuk kabur-kaburan lagi. "Begitulah. Selama kau mampu memenangkan setiap kompetisi fisika, aku tak akan menyalahkan cara belajarmu, dan aku tak akan memaksamu untuk mengikuti ajaranku. Bukankah memang begitu, kesepakatan kita sejak awal?"

"Yea!" sahut Alfis, menarik sudut kanan bibirnya lebih lebar. "Sekarang, biarkan aku beristirahat."

Alfis sudah mengambil langkah untuk menaiki undakan tangga menuju kamarnya di lantai dua, persis ketika suara Razfy kembali mengudara. "Juara yang akan kau raih di KSN tingkat kota, lusa, adalah langkah pertama sebelum kau dapat berkuliah di Oxford dan berguru pada peraih Nobel Fisika di tahun 2020. Kau tahu? Penelitian mengatakan bahwa, kebanyakan, para penyabet Nobel itu ...."

"Langkah pertama?" Pertanyaan lirih Alfis merenggut perhatian Razfy.

Di salah satu anak tangga, Alfis tampak berdiri mematung, menghentikan pergerakannya. Kepala Alfis menoleh, menatap papanya dengan membuka mata lebar-lebar, bermaksud menyorotkan semangat semu, tetapi yang tergambar hanyalah luka dan kekosongan. Di wajahnya, tergurat senyuman paling lebar yang pernah Alfis pasang. Namun, lagi-lagi, senyuman itu malah bicara soal duka.

Alfis meneruskan kalimatnya. "Langkah pertama? Padahal aku harus kehilangan kaki untuk sekadar mencapai 'langkah pertama' yang Papa bilang."

Tak peduli lagi dengan reaksi papanya, Alfis pun bergegas menuju kamar, lalu mengunci pintu. Alfis melepas kacamata, lantas mengempaskan badannya di atas kasur. Wajahnya terbenam sempurna di tengah bantal. Perlahan, sesuatu yang hangat terasa mulai menjalar.

Tunggu. Alfis mengangkat kepala. Apakah ia ... menangis?

Alfis menyingkirkan tetes air yang menggenangi bagian bawah pelupuk matanya. Cukup. Alfis membalikkan badan, mencoba berbaring dengan benar. Ditatapnya lampu di langit-langit kamar yang menyala terang, lamat-lamat. Mendadak, ia teringat perempuan pertama dalam hidupnya.

Mama ... tidakkah kau berniat meneleponku, atau sekadar menyerahkan nomor kontakmu? Itu benar. Anak-anakmu pasti jauh lebih baik dibandingkan aku. Aku anak nakal, makanya Mama tidak mau berurusan lagi denganku, 'kan? Tapi, kenapa rindu ini, hanya dimiliki aku sendirian? Apa eksistensiku memang sudah benar-benar mati dalam kehidupanmu?

Alfis terus tenggelam dalam benaknya sendiri, hingga getaran di ponsel mengalihkan perhatiannya. Pesan WhatsApp terbaru, dari Mat.

Bisakah kita bicara? Aku ... sepertinya tak bisa membiarkan ini lebih lama lagi.

Alfis mengusap wajahnya yang terasa kebas. Baiklah. Jarinya mulai menari di atas keyboard.

Aku juga.

🏅   🏅   🏅

Kali ini, Alfis merasa sukses bepergian tanpa diketahui orang rumah. Tak menyadari keberadaan sepasang mata sendu yang terus mengamati punggungnya hingga lenyap ditelan malam. Deru sepeda motor Alfis dalam kecepatan tinggi membelah kesunyian jalanan. Tak perlu waktu lama, Alfis sampai di tempat yang ditinggalkannya lebih dari dua jam lalu. Di depan pintu basecamp, tampaklah Mat dan Kiano yang sudah menunggu.

Tanpa bahasa atau sapaan basa-basi, mereka pun memasuki markas, lalu duduk di atas karpet biru. Sesaat, mereka terlarut dalam pikiran masing-masing.

Ruangan bersejarah ini .... Dengan memasuki ruangan ini, rasanya mereka seperti memasuki kembali berbagai kisah yang sudah mereka guratkan bersama.

Dehaman singkat Mat mengalihkan perhatian Alfis dan Kiano. "Uhm, baiklah. Kita di sini bermaksud untuk meluruskan apa pilihan kita ke depannya. Kita akan lanjut saja, atau mulai merumuskan misi untuk mengembalikan Bintang? Pengambilan suara ...."

"Mat," sela Alfis, menatap Mat tanpa keraguan sedikit pun di kedua manik matanya. "Aku ke sini, hanya untuk mengatakan satu hal."

Mat mengerjap berkali-kali dalam tempo yang cukup cepat. Ia tak menduga interupsi dari Alfis. "Apa itu?"

Alfis memperbaiki posisi kerah jaketnya, lantas berkata, "Bintang saja tak bisa bertahan. I'm out."

Detik berikutnya, Alfis bangkit dari duduknya. Tanpa salam perpisahan walau hanya anggukan singkat atau apa, Alfis pun keluar. Tak tahan lagi dengan mendapati mereka bertiga yang sama-sama rapuh, Kiano pun ikut pergi, lagi dan lagi, meninggalkan Mat sendiri.

Mat tak mampu menghentikan keduanya. Mat menjatuhkan kepalanya ke atas meja bundar. Rasa sesal dan kesal berkolaborasi mengisi penjuru benak Mat, malam ini.

Ia kira, ia bisa menyelesaikan masalah lebih awal, dan mereka jadi bisa melaksanakan kegiatan-kegiatan MS demi persiapan olimpiade yang lebih matang. Akan tetapi, baru saja Mat sadari, semua itu malah membuat mereka semakin menjauh. Jauh dari genggaman.

Mat mulai ragu, mengapa semua ini terasa begitu salah?

🏅   🏅   🏅

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top