22| Sekretaris Anarkis

Pertandingan futsal yang berlangsung di tengah lapangan menjadi pusat atensi pada Persatas Day-1, kemarin. Gocekan cantik dari para pemain dimeriahkan lagu-lagu pembangkit semangat yang digembor-gemborkan band kebanggaan sekolah, Hexatas Voice, Harmony of Extraordinary Persatas. Salah satunya, tentu saja, posisi gitaris dikuasai oleh Manusia Fisika kebanggaan MaFiKiBi Society, Alfis Gamyaga.

Selain menyoraki kecepatan Kiano yang lari sana-sini dengan gesit, pekerjaan Bintang hanyalah mengelu-elukan nama Alfis sambil sesekali menyeruput Es Cokelat Lumos yang baru dibelinya dari Kedai Hungry Potter. Ribut sekali. Anak kelas sepuluh lainnya memenuhi pinggiran lorong-lorong kelas demi mencari pemandangan menyegarkan dari makhluk jantan yang sedang bermandikan keringat.

Tubuh mini Bintang mulai terbawa arus ke sana kemari, mengingat sekelilingnya yang semakin ramai disesaki para pendukung tim jagoan masing-masing. Saat ini, tim dari kelas Bintang sedang menghadapi kelas XI MIPA-5. Iya. Ken dan Kiano kembali berhadapan, di sana. Entahlah. Apa memang, semesta senang mempersatukan umat manusia yang sesuai tingkat kewarasannya, ya? Hm, konspirasi.

Bintang yang semakin tidak nyaman atas situasi desak-desakan ini pun kehilangan minatnya untuk terus memantau lapangan. Bintang mulai mengharapkan suatu kejadian keren yang bisa mengembalikan mood-nya seperti semula. Kiano yang terpeleset, misal, atau bahkan kayang di tempat? Kesurupan penunggu Persatas sambil berlari menyongsong bola?

Namun, yang didapati Bintang justru jeritan-jeritan abstrak dari teman seangkatannya yang tak Bintang ketahui identitasnya sama sekali. Mereka memekik kegirangan, lantas mulai menggibah dengan volume yang tidak dikecilkan, mungkin untuk mengalahkan keramaian sekitar.

"Lu, Lu! Lihat, deh! Kak Melvin lewat!" Perempuan itu melonjak-lonjak sambil menutup mulut yang sama sekali tak membantu untuk menahan kalimatnya itu. "Gila! Pakai jas OSIS begitu, damage-nya bukan main ...."

Teman perempuan di sampingnya mendecih pelan. "Ganteng, sih, ganteng ... tapi amati lapangan, deh, Nai! Kak Garda kelihatan jauh lebih macho! Keringat derasnya itu ...."

Oh, Tuhan. Tolong selamatkan Bintang dari situasi begini!

Untunglah, detik waktu tampaknya memihak Bintang kali ini. Wasit meniupkan peluitnya panjang-panjang, tanda pertandingan sudah berakhir. Bintang memicingkan mata untuk melihat papan skor. Kelas mereka kalah. Di detik-detik terakhir, Garda, ketua kelas XI MIPA-5, berhasil mencetak gol dengan memanfaatkan kelengahan kiper di celah antara kedua kakinya.

Sorak-sorai kemenangan terdengar bergemuruh di stan Kedai Hungry Potter. Bintang kesal dan ingin menunjukkan rasa keberatannya dengan mogok jajan di bazar kelas itu. Akan tetapi, karena tema stan-nya Harry Potter, tampaknya Bintang masih memiliki kuota penerimaan maaf.

Sebagai gantinya, Bintang justru menoyor kepala Kiano yang mendekat dengan wajah tengilnya. Demi mendapati tindakan kriminalitas tanpa motif jelas itu, Kiano langsung mengusap muka, mungkin bermaksud menyadarkan diri bahwa aksi anarki Bintang memanglah nyata. Detik berikutnya, Kiano berseru, "Hei, apa maksudmu, Bi? Seharusnya, kau mengelap keringatku dengan penuh kelembutan, bukan dijadikan samsak!"

"Hentikan omong kosongmu."

Sahutan Bintang justru membuat Kiano bersemangat. "Oh, ya! Tentu saja! Kau pasti ingin membiarkan aku basah keringat begini, 'kan? Otot-otot di tubuhku jadi tampak lebih mengilat dan memesona?" Tak peduli pada reaksi Bintang yang terheran-heran, Kiano justru membalikkan badan, berpose bagai juara boxing, memamerkan otot bisepnya yang kerempeng, lantas menyugar rambutnya ke belakang, hingga mengempaskan beberapa tetes keringat.

Hanya satu kata yang terlintas di benak Bintang: menjijikkan. Bintang mengernyitkan dahi. "Aku tidak paham dengan orang-orang yang berteori bahwa berkeringat adalah suatu hal yang keren. Selain basah kuyup macam tercebur got, kau tambah bau masam! Di mana letak menariknya?"

"Astaga, Bi! Kamu harus banyak belajar mengklasifikasikan cogan-cogan masa kini!"

Belum sempat membalas ocehan Kiano, suara pengumuman dari infokom berhasil mengalihkan perhatian seluruh makhluk di penjuru Persatas. "Mohon perhatian! Pertandingan futsal akan dijeda terlebih dahulu. Kepada seluruh siswa, harap untuk kembali ke kelasnya masing-masing. Hanya lima belas menit. Sekali lagi ...."

Sebagai seorang warga yang patuh, Bintang langsung menarik Kiano untuk kembali masuk kelas. Di belakangnya, Kiano hanya bisa mengeluh, lantas mencengkeram tiang di dekat Kedai Hungry Potter, menahan seretan Bintang. "Eh, sebentar! Bro Ken, mau beli es!"

Pada akhirnya, Kiano berhasil mendapatkan minuman yang ia mau. Di kelas, kakak-kakak OSIS yang salah satunya Bintang ketahui bernama Melvin, membawa kardus. Sementara di sebelahnya, gadis dengan name tag yang tertulis Raya itu menggenggam setumpuk kertas lipat mini berwarna-warni.

"Di Persatas, kami menamai ini sebagai Kertas Utopia. Sekarang, adik-adik tulis harapan untuk ke depannya di kertas itu, lalu kumpulkan ke dalam kardus ini. Paham?"

Selagi Melvin bicara, Raya bergerak untuk membagikan Kertas Utopia pada masing-masing siswa di kelas X MIPA-1. Di bangkunya, Bintang membulatkan bibir tanpa sadar, terpana dengan warna ungu yang didapatnya. Warna favorit Bintang!

"Ada yang ditanyakan?"

"Kak, Kak!" Kalea mengacungkan tangan. "Ini diisinya bebas?"

Melvin menganggukkan kepala. "Ya. Bebas saja. Isi dengan angan, mimpi, cita, harapan ... apa pun!"

Kalea berdeham. "Uhm, bagaimana jika aku menuliskan nama Kakak untuk jadi satu-satunya pemilik rasa yang tak terbahasa ini?"

Tanpa memberi respons berarti, Melvin mempertahankan wibawanya. Bintang terkesiap. Mendapati sikap Melvin begitu, membuat Bintang seolah sedang memandangi sosok Mat di tahun depan. Sama persis!

Kelas jadi ricuh dengan sorakan-sorakan membahana. Ketika seluruh siswa sudah memasukkan Kertas Utopia ke dalam kardus, Melvin dan Raya pun undur diri keluar kelas.

Pertandingan futsal akan kembali berlangsung. Anak-anak Persatas langsung berhamburan keluar kelas. Sementara itu, Bintang dipanggil ke Ruang Inspirasi, untuk mengikuti perlombaan menulis esai.

Benar. Bintang lebih suka menulis prosa atau tulisan fiksi seperti cerpen dan puisi. Akan tetapi, statusnya sebagai anak sastra malah menjebak Bintang dalam perlombaan ini. Lagi-lagi ditumbalkan kelas, biasalah.

Tidak ada yang begitu istimewa di hari ini. Tim futsal yang masuk perempat final sudah ditentukan, lantas kegiatan selesai begitu sore menjemput. Anak-anak kelas sebelas tampak sibuk membereskan stan masing-masing sambil berdiskusi ringan, mematangkan perencanaan untuk menu di esok hari. Masih ada hari kedua.

🏅   🏅   🏅

Di tengah kabut pagi yang masih menggantung di naungan nabastala, Bintang terpaksa membuka matanya lebar-lebar. Tidak, tidak. Bintang tidak sedang kesurupan tante-tante penunggu Cimulu yang rajin bangun pagi hanya untuk menakuti bapak-bapak yang berangkat shalat subuh di masjid. Bukan pula oleh teriakan Wulan, ataupun lengkingan alarm dengan lagu Immortals.

Keajaiban kali ini disebabkan Alfis yang membangunkan Bintang. Sejak kejadian kemarin, Wulan memang sengaja menyuruh Mat untuk pergi ke sekolah lebih dulu, tanpa Bintang. Harapan Wulan, sih, biarkan saja anak itu kelimpungan karena menunggu angkutan umum yang hobi mengetem, biar sadar diri, betapa merepotkannya Bintang pada seorang Mat, selama ini.

Akan tetapi, Mat malah berinisiatif mengirim utusan lain untuk menggantikan tugasnya. Hingga detik ini, terkadang, Wulan masih saja bertanya dalam hati ... sebenarnya, mamanya Bintang itu Wulan atau Mat?

Suara lembut Mat kini berubah menjadi nada sarkasme yang dalam. Bagaimana mungkin, Bintang tidak terperanjat? Berkali-kali, Alfis juga tiada segan menghujamkan kalimat-kalimat menusuk yang membuat setiap kesadaran Bintang tertampar bolak-balik. Bintang menahan keluhan. Kalau mau telinga dan jiwa jalor—jago molor—nya selamat, Bintang hanya perlu menutup mulut. Demi kesejahteraan bersama, jangan dulu memperpanjang masalah dengan Alfis.

Setelah berpamitan pada Wulan dengan garis bibir yang menekuk ke bawah, juga oktaf suara rendah bagaikan manusia kena tipes, Bintang pun menaiki jok belakang sepeda motor Alfis. Meski begitu, cengiran Bintang tetap saja merekah lebar begitu menikmati sensasi dibonceng Alfis yang ugal-ugalan. Mereka seperti dalam perjalanan ke isekai saja. Menantang malaikat maut.

Sesampainya di sekolah, kesibukan utama kembali berasal dari stan bazar kelas sebelas yang memenuhi lorong di pinggiran lapangan. Alfis langsung bergabung dengan anak musik lainnya di backstage. Hari ini, Hexatas Voice tidak menyumbangkan banyak lagu, karena 75% kegiatan di Persatas Day-2 memang terfokus pada penampilan kreasi seni dari perwakilan setiap kelas. Tugas Hexatas Voice hanyalah mengambil bagian live music bagi siswa yang mau karaoke.

Hari ini, pertandingan tidak lagi diiringi musik dari Hexatas Band, melainkan langsung menggunakan drum yang biasa dipakai Forza Persatas—bobotoh-nya tim futsal Persatas—dalam pertandingan resmi. Hal itu tak lain dan tak bukan untuk menggelorakan semangat para pemain. Bahkan, Kiano yang tak lagi main pun, sibuk berlagak meregangkan badan, merasa jadi pemain Timnas yang akan turun ke lapangan untuk memenangkan piala dunia.

Akan tetapi, pertandingan semifinal tidak langsung diselenggarakan. Demi mengulur penentuan pemenang, penampilan kreasi seni lebih didahulukan. Berdasarkan jadwal yang tertempel di mading, sebentar lagi giliran Kiano naik ke atas panggung. Bintang sudah bersiap duduk di atas dinding pembatas lorong, hendak menyaksikan teman absurdnya itu.

Benar. Kiano hanyalah lelaki dengan pita suara sumbang yang tidak punya bakat di dunia musik. Akan tetapi, jiwa narsisnya yang selalu menuntut untuk mendapat banyak perhatian dari orang-orang itu membuatnya mau mengajukan diri. Mana mungkin Kiano melewatkan kesempatan untuk bersinar seperti ini, 'kan?

Selain Kiano, Alfis juga akan menyumbang lagu, nanti. Akan tetapi, keduanya sengaja merahasiakan judul lagu yang akan dibawakan, pada Mat dan Bintang. Sebenarnya, Mat tinggal meminta datanya saja pada divisi kesenian yang memegang rundown acara. Namun, Mat berusaha menghargai keinginan kedua temannya, hingga menyuruh Bintang untuk diam saja.

Berbagai opsi lagu mulai bermunculan di benak Bintang. Kiano, kan, wibu. Ah, apa mungkin, mau menyanyikan Renai Cirukation atau Love Decoration dengan nada sok imutnya? Atau dari Yoasobi? Oh! Sepertinya soundtrack Boku no Hero Academia, dari Ryoukuoushoku Shakai itu, akhir-akhir ini sering dinyanyikan Kiano tanpa sadar.

"Ekhem, baiklah kawan-kawan tercinta yang sudah tak sabar untuk mendengarkan suara merduku. Tak lama lagi, aku akan menyinari pagi kalian ini dengan lagu yang teramat sangat menginspirasi! Yow, one, two, three, music!"

Belum sempat penduduk Persatas lain mencari botol atau kerikil untuk dilemparkan pada Kiano, sosok itu sudah telanjur menyanyi.

"There's Hydrogen and Helium, then Lithium, Beryllium, Boron, Carbon everywhere, Nitrogen all through the air, with Oxygen so you can breathe, and Fluorine for your pretty teeth, Neon to light up the signs, Sodium for salty times."

Belum sampai dua puluh detik, seluruh penjuru Persatas langsung digemparkan suara bernada tinggi yang terdengar kelewat memaksakan diri itu. Bintang langsung menepuk dahinya sendiri. Benar juga! Bagaimana bisa Bintang melupakan Periodic Table Song yang sudah menjadi lagu keramat bagi Kiano?

Lihatlah di sudut panggung sana. Alfis tampak sudah muak. Lagu ini adalah salah satu yang sering diputar Alfis untuk menghafalkan unsur senyawa di tabel periodik, mengingat gaya belajarnya yang memang seorang auditori.

Tiga menit berlalu. Akhirnya, orang-orang bisa terbebas dari kungkungan polusi suara yang sangat menyiksa telinga itu. Kiano kembali berselebrasi penuh rasa kebanggaan, lantas turun dari panggung, ber-highfive dengan Kiano, dan menghilang. Selanjutnya, lapangan dipenuhi oleh anak-anak klub dance yang tengah menarikan koreografi Rough dari GFriend.

Ini detik-detik Alfis bisa beristirahat, mungkin ada baiknya Bintang belikan minuman. Bintang memesan Es Cokelat Lumos ke Kedai Hungry Potter yang mendadak terasa begitu suram, sejak awal mula acara berlangsung.

Ah, benar! Semalam, grup kelas dan angkatan dihebohkan oleh berita tentang meninggalnya seorang siswa dari kelas XI MIPA-5. Kak Melvin, ketua departemen Mat, kakak kelas panutan itu .... Dengar-dengar, sih, dibunuh BlackHiss, organisasi gelap yang tak pernah jemu merajai headline berita kriminal di Tasikmalaya.

Sodoran segelas es cokelat di hadapan muka itu membuat Bintang tersadar dari lamunannya. Setelah berterima kasih dan menyerahkan uang lima ribu, Bintang mengedarkan pandangan. Tampaklah sosok Alfis di backstage yang sedang menenggak sebotol minuman dingin dari teman band-nya. Baiklah. Bintang mana berani menerobos masuk ke kumpulan itu. Mari batalkan niat tadi.

Ah, beri Mat saja! Anak itu pasti kelelahan karena patroli sepanjang waktu. Kali ini, semesta tampak tak mau membiarkan Bintang kelelahan lagi. Muncullah Mat dengan jas abu-abunya di balik kelokan lorong yang terhubung ke ruang inspirasi. Tanpa kata, Bintang langsung berlarian untuk menghampiri Mat.

"Ini, untukmu! Capek, 'kan?"

Mat cukup kaget dengan kehadiran Bintang di hadapannya. Diiringi merekahnya kedua sudut bibir itu, Mat menggelengkan kepala. "Bi, ini masih pagi, lho. Kau sudah jajan es?"

Oopsie, Bintang melupakan prinsip hidup Mat yang lurus dan taat aturan. Bintang merengut. "Ya sudah, buatku saja! Malas sekali mentraktir Mat."

Mat tertawa sambil mengelap keringat sebesar biji jagung yang melintasi pelipisnya. "Oke, aku mau kembali bekerja."

"Eh, Mat!" Belum apa-apa, Bintang sudah menahan lengan Mat. Bintang memajukan bibir bawahnya, bertingkah merajuk. "Aku kangen Mat. Waktu membangunkanku tadi, Alfis seram sekali. Mau insaf, deh. Besok-besok, aku akan bangun awal! Berangkatnya sama Mat lagi, ya."

Mendengar curhatan polos itu membuat Mat kembali menahan gemas dalam hati. "Sudah kuduga. Baru sekali saja, Bintang sampai dapat hidayah begini. Mungkin, Bintang memang harus dibangunkan Alfis setiap pagi, ya. Nanti kubilang ke Tante Wulan, deh."

"Ih, jangan, dong! Bintang akan berubah, kok."

Negosiasi Bintang tak dihiraukan Mat sama sekali. Tentu saja. Mat tahu, bahwa Bintang akan melupakan kalimat manisnya itu, esok hari. Amnesia dadakan. Mat mengalihkan topik pembicaraan. "Sehabis ini, kau lomba menulis puisi, 'kan? Semangat."

Tepukan lembut yang mendarat di pucuk kepalanya membuat Bintang mesem-mesem sambil memejamkan mata. Asyik! Mat mengingatnya!

"Dematra, tak bisakah kau bertugas tanpa harus melibatkan kepentingan pribadimu? Apa kau mulai melupakan prinsip profesionalitas dalam bekerja?"

Suara dingin Raya yang juga muncl dari kelokan lorong membuat Mat kembali memasang mode serius.

Raya menyilangkan tangan di depan dada. "Saking asyiknya bermesraan, kau sampai tak peduli pada perkelahian siswa di kelas XI MIPA-5."

Mat menganggukkan kepalanya sekilas. "Maaf, Kak. Saya akan ke sana."

Lirikan isyarat minta maaf yang diarahkan Mat padanya selama tak lebih dari satu detik itu membuat Bintang ikut mengangguk tanpa alasan. Mat pergi. Bintang kembali menundukkan kepala. Akan tetapi, suara Raya juga menghentikan langkah kaki Bintang yang berniat ikut kabur.

"Siapa yang memperbolehkanmu pergi? Aku bahkan belum bicara padamu. Apakah panitia MPLS kami tidak mengajarkanmu tatak rama dalam menghadap senior?"

Habislah.

🏅   🏅   🏅

Ada yang kepikiran ga si, 'Nai' yang lagi gibah itu siapa? Naira kah? WKWKWW Garda si ketua kelas numpang eksis juga yaaa di part ini walau bentar. Kalo mau kenalan sama Garda, ayo baca Detik Detak dan History Track!>.<

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top