18| Sibak Pelak
"Papa! Papa, Papa, Papa!" seru Bintang dengan antusiasme penuh, langsung merebut telepon genggam Wulan yang masih tersambung dengan panggilan Denis di Bandung sana. Masih dengan gaya pecicilannya seperti biasa, Bintang loncat-loncat kegirangan di halaman depan rumah—yang jelas tak bisa dilihat Denis, tentunya—tanpa merasa punya waktu untuk melepaskan sepatunya terlebih dahulu. "Papa, Papa!"
Di seberang sana, Denis menahan senyuman simpul, lantas spontan menjauhkan ponselnya dari daun telinga, untuk sesaat. Putrinya yang satu itu masih saja sama. Belasan tahun telah berlalu, tetapi Bintang masih saja suka membombardirnya dengan panggilan-panggilan tiada henti jika Denis tak kunjung menanggapi. Beberapa detik, Denis mengunci mulut, sengaja betul untuk membiarkan Bintang terus ribut memanggilnya .... Ah, Denis mulai merasa merindukan suara itu. Jika Bintang mendengarnya, Denis pasti akan diolok habis-habisan.
"Papa!"
Merasa iba dengan pita suara Bintang, Denis pun segera menyahut, "Iya?"
"Bintang juara paralel di pertengahan semester ini, juara pertama! Bintang mengalahkan Mat!" Bintang mengeluarkan suara tawa seperti tokoh jahat di film-film. Saking totalitasnya mendalami peran jumawa nan di atas angin, Bintang sampai tersedak ludahnya sendiri. Wulan langsung mengambil segelas air dari dapur, sambil tak henti mengomeli.
"Ah, yang benar saja? Bintang mengalahkan Mat? Bagaimana bisa? Bintang pakai jurus apa?"
Dihadiahi respons begitu membuat cengiran Bintang merekah semakin lebar. Tidak, tidak. Bintang tak pernah berpikiran bahwa kalimat papanya bermaksud menyangsikan kemampuan Bintang. Denis justru membuat Bintang merasa jauh lebih keren lagi. "Tentu saja, Pa! Bintang berusaha amat sangat keras untuk ini! Bintang dapat piala, lho. Uang pembinaan juga. Kalau Papa mau lihat, cepat pulang ke Tasik, ya!"
Tawa renyah mengalun dari seberang sana. "Baiklah, baiklah. Tidak perlu risau, Bi. Sekitar tiga atau empat bulan saja, Papa pulang, kok."
"Ih. Itu, sih, masih lama! Bintang sudah olimpiade, dong!" keluh Bintang, mulai menekukkan wajahnya. Masih setia di sampingnya, Wulan berdeham keras, bermaksud menegur. Bintang melirik mamanya sekilas. Oke, Bi. Ini bukan sikap yang pantas untuk ditujukan pada papamu .... Bintang mendengkus singkat. "Ya sudah. Tapi Papa janji, ya? Sepulang Papa ke Tasik nanti, traktir Bintang mi ayam pangsitnya Mang Dod!"
"Kau ini, masih saja mi ayam pangsit."
"Ya, Pa, ya?" Tak peduli dengan protes keberatan dari papanya, Bintang terus bersikeras. Sedari dulu kala, prinsip Bintang tak akan pernah berhenti bicara jika belum mendapat jawaban 'iya' dari lawan bicaranya. Dan sejauh ini, strateginya memang selalu berhasil. Bintang kembali jingkrak-jingkrak tidak jelas, persis bagai cacing kepanasan. "Sekaligus hadiah karena sudah mengalahkan Mat, 'kan .... Mat, lho, Pak! Anaknya Tante Hera yang tak pernah bosan jadi juara sejak SD itu!"
"Astaga, Bi .... Kau kira, Papa ini sudah sepikun apa, sampai harus kau jelaskan serinci itu? Tentu saja, Papa tahu! Ah, apa Bintang sedang mengetes Papa, hm? Papa ingat dengan jelas. Tetangga kita yang ramah itu namanya Pak Haji Amir, pemilik pohon rambutan yang sering berbagi. Rumahnya tepat di perempatan dekat Cimulu. Pak RT kita bernama Pak Iing Sudarsono, punya darah Yogya. Anak bungsunya suka merusak ladang dengan menyalahgunakannya sebagai lapangan sepak bola, meresahkan sekali memang, namanya Alif. Lalu, sesepuh kita yang mantan tentara itu ...."
"Baiklah, yeay! Itu cukup, Pa. Terima kasih! Papa memang papaku yang asli!"
"Lho, lalu siapa yang sejak tadi kau ajak bicara lewat sambungan telepon ini, Nak? Papa palsu?"
Mendapati pertanyaan sarkas dari papanya yang dibalut nada sebal membuat Bintang terkikik geli. "Oke, deal! Benar, ya, Pa ... mi ayam pangsit! Bintang tunggu, lho. Terima kasih!"
Dasar, ya. Selalu saja seenaknya sendiri, padahal Denis belum mengiyakan sama sekali. Tak tahan lagi dengan perilaku putrinya, Wulan pun mengambil alih telepon genggamnya kembali. Bintang tak terima, langsung menatap Wulan dengan muka memelas yang minta diamplas. Wulan balas melotot, lalu berlagak tak peduli, kembali melanjutkan perbincangan seriusnya dengan Denis yang sempat tertunda karena ulah sopan santun Bintang.
Di luar pagar rumah Bintang, Mat yang sedari tadi hanya digibahkan pun memasang seringai gemas. Alfis dan Kiano tidak datang ke markas. Mat memang sengaja meliburkan kegiatan MaFiKiBi Society hari ini. Alasannya, sebagai bonus sehabis ujian tengah semester. Padahal, Mat memiliki maksud lain. Dia ... hanya merasa lelah. Ada suatu beban tak kasat mata yang cukup berat, menggelayut di bahunya. Mat menghela napas, tetapi tak kunjung berhasil membuat tekanan itu tandas, atau berkurang meski sekilas.
Jeritan malas menggelegar dari mulut Bintang. Dengan ogah-ogahan, Bintang pun melepas sepatu dan kaus kaki. Bintang sudah berniat masuk rumah dengan langkah gontainya, merasa tak perlu lagi untuk sekadar melambaikan tangan pada Mat.
Sadar dengan posisinya, Mat pun kembali meneruskan langkah menuju rumahnya yang hanya berkisar empat belas langkah lagi dari sana. Sesaat, Mat berbalas anggukan kepala dengan Wulan, pamit undur diri lewat isyarat. Tarikan bibir yang membentuk kurva itu kini musnah. Seiring dengan tergelincirnya bola mentari di ufuk barat, bayangan hitam Mat memanjang, seolah setiap langkahnya menambah kelam yang tak kunjung terbenam.
Baru selesai menyimpan sepatu, tas, juga mengganti pakaiannya, kamar Mat dimasuki Hera. Mat hanya menyerahkan buku laporan hasil belajarnya dalam diam. Semesta ikut membisu, seolah sudah tahu betul bahwa mimpi buruk itu baru saja dimulai.
Embusan napas berat menggantung di langit-langit kamar Mat. Tanpa perlu dibisiki desau silir angin yang menelisik lewat celah jendela sekalipun, Mat tahu pasti bahwa mamanya sedang kecewa saat ini. Mat menundukkan kepala dalam-dalam, rasanya ingin samudra menariknya untuk tenggelam.
Nilai Biologi Mat turun dari perolehan terakhirnya di semester satu .... Tangan Mat mengepal kuat. Garis-garis uratnya sampai terlihat menyembul. Program MAS JONTOR yang sudah susah payah ia rumuskan untuk memfokuskan diri pada kelemahannya, kini malah berakhir sia-sia. Tiada artinya ....
Untuk apa Mat berusaha sekeras itu, jika pada akhirnya tetap saja tak direstui semesta?
"Apa kau punya kalimat terakhir?" Hera menutup buku rapor, lalu kembali menyimpannya di atas meja. "Jika tidak, Mama rasa, kau tidak berkeberatan untuk pengajuan pindah kelas. Lagipula, dengan bertahan di IPA sekalipun, kau belum punya gambaran akan masuk ke jurusan apa di perguruan tinggi nanti, bukan? Masuk hukum saja. Tidak. Ini bukan pemaksaan kehendak. Mama hanya menyerahkan suatu opsi yang lebih pasti untukmu, suatu jalan yang akan kau syukuri jika berhasil melaluinya, suatu saat nanti."
"Itu kesepakatan kita sejak awal. Pada akhirnya, sebanyak apa pun kesempatan yang Mama berikan untukku, aku tidak akan pernah berhasil memenangkannya," lirih Mat, masih dengan kepala tertunduk. Matanya menatap kosong pada tepi meja belajarnya. "Tapi, sebelum keputusan itu benar-benar diambil, salahkah jika aku ingin mengetahui alasan sebenarnya di balik pemikiran Mama yang tiga tahun ini selalu saja memintaku mendalami hukum? Padahal Mama sendiri sadar betul, bahwa aku tidak memiliki minat sama sekali di bidang itu."
"Ini bukan soal minat atau tidak, Mat ...."
Belum selesai kalimat Hera terlontar, kini Mat menengadahkan kepala untuk menatap mamanya dengan penuh tanda tanya. "Mat tahu. Ada yang Mama sembunyikan sejak ... kecelakaan Papa."
Sorot manik manik mata Hera yang tegas, mendadak saja berubah sendu. Seperti ada sesuatu yang mengguncang setiap penjuru pikirannya. Hera mengempaskan badannya di atas kasur Mat, duduk berhadapan dengan putranya yang masih di kursi belajarnya. Perlahan, pertahanan itu hancur, luruh begitu saja. Hera membenamkan kepalanya di antara dua telapak tangan. Tampaknya, ia harus mengatakan segalanya, hari ini. "Tidak, Mat. Papamu meninggal ... bukan karena kecelakaan lalu lintas, sebagaimana yang Mama, Tante Wulan, dan tetangga lain katakan."
Sesaat, setiap darah yang beredar di tubuh Mat seakan terisap oleh black hole tak terlihat. Mat mematung di tempat. Apa? Kematian papanya selama ini .... Lantas apa?
Sekujur tubuh Hera bergetar hebat, tremor. Hera tak siap .... Tidak. Hera tak pernah dan tak akan pernah merasa siap untuk berterus terang atas segalanya pada Mat. Untuk beberapa saat, langit-langit kamar itu hanya diisi sedu sedan Hera.
Begitu tersadar dari amukan berjuta tanda tanya di benaknya, Mat pun beringsut duduk di sisi Hera, lantas melingkarkan tangan di bahu rapuh itu, mencoba ikut merengkuh setiap luka yang ada.
Sentuhan dengan kehangatan yang menjalar itu berhasil menguatkan sepotong hati Hera yang selama ini hilang ditelan kerasnya dunia. Dengan terbata, Hera berusaha menjelaskan semuanya. Apa pun alasan yang bisa Hera gunakan sebagai tameng pembenaran diri, Mat tetaplah berhak tahu tentang apa yang terjadi pada orang tuanya. "Papa .... Papa meninggal karena dijerat hukuman .... Menebus hukuman yang tak pernah ia perbuat. Kesalahan orang lain, yang malah ditanggungnya karena kesalahpahaman semata."
Mat terdiam seribu bahasa. Mendapati serbuan fakta tak terduga itu hanya membuat Mat tambah menguatkan dekapannya pada bahu Hera.
"Aparat-aparat itu terlalu buta .... Tidak ada satu pun pengacara yang benar-benar berniat mengembalikan hak kebebasan bagi Papa, tindakan mereka hanya ditujukan untuk bernegosiasi dengan pihak pengadilan, supaya urusannya cepat tuntas dan dapat penghasilan."
Di tengah senyap, kening Mat mengernyit dalam. Sebagian hatinya menjerit frustrasi, karena baru mengetahui kebenaran di balik kematian papanya, setelah tiga tahun berlalu .... Mat marah! Mat merasa kesal, tetapi tak tahu harus melampiaskannya pada siapa. Di saat itulah, sisi rasional Mat menyadari, bahwa mamanya benar-benar kuat, menanggung semua beban sendirian. Mat seharusnya mengerti. Mat seharusnya mau buka mata, buka telinga, dan mencoba memahami situasi yang tengah dilalui Hera. Bukan malah menjauh hanya karena merasa mamanya berusaha melarang Mat dari hal yang disukainya, tanpa alasan.
Hera meneguk salivanya susah payah. Masih dengan tangis yang membuat suaranya tesendat, Hera berkata, "Mama hanya mau kamu menguasai hukum, Mat. Pelajarilah, bagaimana cara semesta bekerja. Jika kau mampu melakukannya, kau bisa mencegah pelanggaran hak manusia di muka bumi ini, Mat. Tak akan ada lagi Papa selanjutnya, atau seorang ibu yang berusaha menyembunyikan segalanya dari sang anak, hanya untuk mencegah kemungkinan terburuk yang selalu menghantui setiap malam-malam lelapnya .... Tidak akan ada."
"Aku akan mempelajarinya. Aku akan membaca semua buku hukum yang Mama belikan. Aku akan mulai mencari tahu soal hukum, dan memasukkannya ke dalam salah satu opsiku dalam menentukan jurusan nanti. Aku akan melakukannya selagi bertahan di kelas IPA ini. Aku bisa melakukan keduanya, seiringan. Bolehkah?"
Anggukan Hera yang patah-patah itu membuat tangisannya semakin pecah. "Kejar apa yang kamu mau. Dematra ... Mat, maaf. Mama sudah egois, ya?"
Kini, Mat menggelengkan kepala. "Tidak, Ma. Jangan meminta maaf. Aku hanya ingin bilang ... terima kasih karena sudah mau berjuang dan bertahan bersama Mat, di sini."
Mat memeluk Hera, erat sekali. Perasaan yang telah lama terasa hilang ini .... Untuk pertama kali dalam hidupnya, semenjak kepergian Papa, Mat merasa bahwa eksistensinya di muka bumi ini hanya untuk menjaga manusia paling berharga yang pernah Tuhan hadirkan di sisinya: Mama.
🏅 🏅 🏅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top